View allAll Photos Tagged aceh
Acehnese children play at Ulhee Lheu beach that was devastated by the 2004 Indian Ocean tsunami, in Banda Aceh, Aceh province, Indonesia, Sunday, March 13, 2011. Some survivors of the disasters said the pictures of tsunami pummeling Japan's coast brought back tears and nightmares that had all but stopped. (AP Photo/Heri Juanda)
Massive barge in Banda Aceh, Indonesia, after tsunami, 3 km from shore. The barge is sitting on top of houses
The jungle covered hills of Aceh Selatan come down to the waters edge. Fair amount of monkeys wild pigs and huge bats. To the left can be seen coniferous trees specific to this coast line.
Banda Aceh is located on the island of Sumatra and is the only province in Indonesia allowed to apply Sharia law. The people are so friendly and the city is just full of life. We had people in the market posing for pictures and children coming up to us asking if they can practice their english for a school assignment. Banda Aceh was the hardest hit by the Tsunami and earth quake and you can still see signs of the devastation throughout the city.
Sapiah binti Ahmad. Pada 9 September 2004 ia ditangkap oleh TNI dengan tuduhan sebagai Inong Balee. Karena tuduhan tidak terbukti, maka Sapiah dibebaskan. Tetapi kondisi itu tidak membuat Sapiah bebas. Setelah itu ia pun ditangkap oleh oknum GAM dengan tuduhan cuak (informan).
Teuku Radja Reza Fahlefi. Radja Teunom.
Tidak ada info tentang raja ini.
Sumber foto: raja saifullah, FB
Kerajaan Teunom: sultansinindonesieblog.wordpress.com/sumatera/teunom-kera...
The noerthwestern part of Weh island, Aceh in Indonesia eventually has a wonderful view of beach and also underwater.
Even at November which should be considered to be rainy season, it turned out that the sky here is very blue, the water is so clear attracted us to just jump in.
Across is Rubiah island.
“Saman” the most popular dance in Aceh and the dance that has become well-known abroad with the name “Thousand hands”. It has its origin from the Alas ethnic group from Gayo plateau central Aceh and is normally performed to celebrate the birthday of the Prophet Muhammad and other important occasions.
It’s an energetic, dynamic and require excellent coordination among its players. The movements are intense and powerful because, those movements also formed the rhythm for the dance. Because beside the sound of claps, chest slapping or hand hitting the floor there’s only one person reading a narrative in Acehnese tone.
Hampir 2 tahun Pemerintahan "zikir" memimpin Aceh, namun peningkatan kesejahteraan rakyat pun masih jauh dari harapan. Sebaliknya, angka korupsi dan tindak kekerasan di Aceh semakin meningkat.
Koordinator KontraS Aceh, Destika Gilang Lertari menyebutkan dari 149 kasus tindak pidana kekerasan tahun 2013 di Aceh, 60 kasus diantaranya pelakunya masyarakat sipil berpenghasilan rendah. Faktor utama karena kebutuhan hidup.
“Ini artinya, ada kaitan dengan ketidak merataan pembangunan ekonomi kepada masyarakat Aceh. Sebagian mereka belum tersentuh oleh bantuan-bantuan ekonomi dari Pemerintah Aceh walau dana hibah dikucurkan begitu besar,” kata Destika Gilang.
sebelumnya, Jumat, 27 Desember 2013 massa dari Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Aceh, juga menuntut Zikir mundur dari jari jabatannya karena gagal merealisasi janji saat kempanye.
Mereka juga menilai Pemerintahan Zikir gagal membawa Aceh ke arah yang lebih baik. Bahkan selama kepemimpinan Zikir hanya memunculkan para mafia proyek yang berkeliaran di setiap Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA). Akibatnya, serapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) jadi rendah. Sementara itu di bidang peningkatan SDM khususnya bidang Pendidikan yang menjadi janji pasangan ini saat kampanye berhasil menjadi "juara" peringkat terendah di nusantara. Inilah performa pemerintahan Zikir yang didukung oleh Partai Aceh. Awalnya masyarakat menaruh harapan besar (HOPE) kepada pasangan ini, dan akhirnya setelah hampir dua tahun Harapan itu menjadi less...berkurang hingga habis tak ada harapan..ACEH HOPELESS!
Sumber: sabree salleh, FB.
Kesultanan Aceh Darussalem: sultansinindonesieblog.wordpress.com/sumatera/sultan-of-a...
Alih-alih mencoblos calon yang diinginkan, sebagian pemilih Aceh justru mencoret-coret kertas suara, sebagai bentuk kekesalan dan kelelahan demokrasi Aceh yang sakit.
Aceh kian mengkhawatirkan jelang pemilu kali ini. Seorang calon senator muda asal Partai Aceh, Fachrur Razi tengah mencalonkan dirinya untuk maju mewakili daerah Aceh sebagai DPD. Dikatakan mengkhawatirkan sebab anak muda yang kini menjabat sebagai jubir Partai Aceh (PA) memiliki track record yang kurang baik di depan masyarakat juga media massa. Kta tentu masih ingat bagaimana ia menghardik para wartawan lokal ketika partainya menghadapi hujatan-hujatan akibat kekerasan yang kerap dilakukan oleh partai eks kombatan ini. Belum lagi ia menghina para wartawan yang dianggap kerap meminta-minta uang pada pemerintahan Aceh kini. Tabiat ini sungguh memprihatinkan mengingat FR merupakan jubir PA yang tentunya suaranya adalah suara kebijakan partainya. Sekarang pertanyaannya adalah, dengan fakta di atas, apakah rakyat Aceh mau dan ikhlas diri mereka diwakili oleh seorang tokoh yang rentan terhadap isu-isu partai? atau apakah masyarakat Aceh benar ingin memiliki "senator" yang hanya memperjuangkan partainya sendiri?
Hmmm.....
makamnya sedang dipugar.
"Adat bak Po teumeureuhom
Hukom bak Syiah Kuala
Qanun bak Putroe Phang
Reusam bak Laksamana"
Itulah salah satu semboyan yang populer di aceh sejak zaman sultan iskandar muda sampe saat ini, artinya adalah adat berada pada raja/sultan, hukum berada pada syiah kuala/ulama, qanun/perundang2an berada pada putri pahang/cendekiawan, pertahanan dan keamanan berada pada laksamana. Disitulah terlihat sejak beratus2 tahun lalu aceh sudah menganut sistem pemisahan kekuasaan dimana raja tidak bersifat absolut, hanya mengurusi masalah adat.
Syeh Abdurrauf bin Ali Al fansuri As Singkili (bergelar Syiah Kuala) lahir tahun 1591 M, wafat pada 1696 M dalam usia 105 tahun, dikebumikan pada tempat yang diamanahkannya di Gampong Meunasah Dayah Kuala Aceh (sekarang Desa Dayah Raya).
Alhmarhum menjabat selaku Qadhi Malikul Adil pada Kerajaan Aceh Darussalam mulai dalam masa pemerintahan para Ratu/Sultanah, yaitu:
1. Ratu Syafiatuddin Syah (1641-1675 M)
2. Ratu Nakiatuddin Syah (1675-1678 M)
3. Ratu Zakiatuddin Syah (1678-1688 M)
4. Ratu Kamalat Syah (1688-1699 M)
Nama Almarhum sudah diabadikan pada perguruan tinggi di Aceh yaitu Universitas Syiah Kuala.