View allAll Photos Tagged ilustrasi
Beside Mount Hachimantai.八幡平
赤褐色の黄土色を表現する大きな緑が優勢な夢詳細な精神的な質素敵な陰影,
biểu tượng tự nhiên biểu tượng màu sắc được xác định chi tiết nhấn mạnh tông màu cao biểu cảm phát quang sửa đổi minh họa,
kreative visninger dynamiske uttrykk abstrakte attraksjoner livlige penselstreker komplekser faste forkortede strukturer,
sentiments heureux peintre prolifique bénévole poète sens explicite vues délibérées représentant des expériences angulaires,
bentuk-bentuk parah ilustrasi tekstual refleksi canggung diucapkan kontur terang aneka garis tajam,
雄心勃勃的旅程興奮性的視覺現象滔滔不絕的敘事本能的風格包容靈活的膨脹性,
colpi fluidi burrascosi punti di impasto relitti disegnati da modellismo rapido superficie di superficie pristine,
夏の創造グラフィック革命表現可能な愛功妙な文大規模な肖像画を満たす世界の素晴らしい黄色のエレガントな登り.
Steve.D.Hammond.
Pocket Monster atau biasa yang disingkat pokemon adalah serial anime, anime pokemon pernah tayang di stasiun televisi swasta di Indonesia. Karena telah melahirkan banyak sekali episode, maka tidak sedikit fans pokemon dari seluruh dunia. Tidak menutup kemungkinan fans dari pokemon adalah seorang...
#FALL2023 #tree #nature #October #November #Fall #Autumn #Automne #Autunno #Efterår #Herbst #Herfst #Höst #Høst #Jesen #Jesień #Mùathu #Musimgugur #Ősz #Otoño #Outono #Podzim #Rudens #Sonbahar #Sügis #Syksy #tagwâgi #Toamnă #Φθινόπωρο #Есен #Осень #خريف #ฤดูใบไม้ร่วง #가을 #秋 #秋天 #Hösten #Ruduo #Foghar #Autumnus #Sügise #Hostjé #Сонцекрас #Hösttiden #Güz #Охуран #Haaztsaastsoh #WiíiyayA #Thlak'wimpt #Misko #Autumn #AutumnAesthetic #AutumnAesthetics #AutumnArt #AutumnBeauty #AutumnChill #AutumnDays #AutumnDecor #AutumnEquinox #AutumnFeelings #AutumnFever #AutumnFoliage #AutumnHarvest #AutumnInspiration #AutumnJoy #AutumnLeaves #AutumnLifestyle #AutumnLove #AutumnMagic #AutumnMood #AutumnScenery #AutumnStyle #AutumnTime #AutumnVibes #AutumnWalks #AutumnWeather #AutumnWonderland #CozyAutumn #CozySeason #CrispDesigns #FallColors #FallFoliage #FallIllustration #FallPalette #FallVibes #FestiveGraphics #GoldenHourDesign #HarvestHues #Leaves #RusticInspiration #SweaterWeatherDesign #SweaterWeatherPalette #WarmTones #AI_MAIN #ArtificialIntelligence #MachineLearning #DeepLearning #AI #NeuralNetworks #DataScience #BigData #Tech #Innovation #AIArtistry #ArtificialArt #MachineArt #AIgenerativeart #ArtificialVision #NeuralArt #Cyberart #SyntheticDesign #DigitalPainting #AlgorithmicPainting #GeneratedArt #RoboticDesign #AIinspiredart #ArtificialInspiration #DataVisualization #TechDesign #ArtificialExpression #ArtificialBeauty #ArtificialBrilliance #TheArtOfMachine #AIInnovationInArt #AiArt #ArtificialIntelligence #MachineLearning #DeepLearning #NeuralNetworks #ArtificialCreativity #DigitalArt #GenerativeArt #TechArt #AIgenerated #SyntheticArt #CodeArt #DataArt #AlgorithmicArt #ArtificialImagination #TheArtofAI #AIandArt #AIinArt #ArteDeInteligenciaArtificial #ArteDeAprendizajeAutomatico #ArteDeAprendizajeProfundo #ArteDeRedesNeuronales #ArteDeCreatividadArtificial #ArteDigital #ArteGenerativo #ArteTecnológico #ArteCyberpunk #ArteFuturista #ArteRobótico #ArteGeneradoPorIA #ArteSintético #ArteDeCódigo #ArteDeDatos #ArteAlgorítmico #ImaginaciónArtificial #ElArteDeLaIA #InnovaciónEnElArteDeIA #ArteEInteligenciaArtificial #ArteInnovadorDeIA #ILLUSTRATION #darluniad #illustrasjon #illustratie #illustrationi #illustratsioon #ilustração #ilustrace #ilustrācija #ilustración #ilustracja #ilustrasi #kuva #myndskreyting #paglalarawan #иллюстрация #চিত্রণ #插图
Ilustrasi, pencoblosan
WartaBekasi, Cikarang – Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kabupaten Bekasi mulai membuka pendaftaran bagi peserta Pilkada Kabupaten September 2016 mendatang.
Pembukaan pendaftaran sendiri dimulai pada Minggu ke empat sampai dengan awal Oktober 2016.
Hal ini jika...
wartabekasi.com/pendaftaran-calon-bupati-bekasi-akan-dibu...
(Foto: Ilustrasi)
Not only men who like watching porn on a regular basis but also women. A survey revealed that one in three women admitted if he was watching porn at least once a week.
Photographer Amanda de Cadenet in collaboration with Marie Claire magazine to make a comprehensive survey to...
milutenali.com/2015/12/13/1-of-3-women-watch-porn-video-o...
Melalui kotak pesan daring Anna mengonfirmasi ia akan datang dua pekan lagi, yang berarti hari ini. Tidak perlu menyiapkan apa-apa, aku adalah bagian dari keluarga, bukan tamu istimewa, tulisnya gede rasa. Memang dikiranya aku akan menggelar karpet merah di bandara? Tapi, toh kubalas dengan gambar wajah kuning bulat menyeringai jenaka, meski saat mengetiknya mulutku mengerucut, bersungut.
Aku tak benar-benar berminat menerima kedatangannya, jauh hari, dekat hari, terencana atau tiba-tiba, bagiku sama buruknya. Setelah korespondensi panjang lewat media sosial yang entah bagaimana permulaannya itu, akhirnya Anna mengaku sebagai saudara kembarku.
Dia tuliskan, saat dikirim untuk belajar kedokteran di Universitas Saint Petersburg, Bapak kami jatuh cinta pada seorang mahasiswi lokal yang kelak ia menjadi ibu kami. Kisah cinta mereka mekar di semester ketiga perkuliahan, sejak pertemuan tak sengaja di lorong manuskrip Melayu di perpustakaan umum Saltykov-Shchedrin. Itu terjadi kira-kira satu sampai dua dekade setelah peristiwa proklamasi.
Pertengahan tahun enam puluhan Bapak lulus dan berencana membawa pulang Ibu, tapi gagal. Situasi panas di tanah air waktu itu. Pemerintahan lama dikudeta, rezim baru melarang alumni luar negeri kembali, pukul rata semua dianggap berbaluan kiri jika menolak menandatangani pernyataan mengutuk pemimpin terguling. Bapak termasuk yang menampik karena merasa berutang budi sudah diberi kesempatan sekolah tinggi. Jadilah ia pelarian, diburu sampai ke Vietnam. Kami berdua lahir di tengah sisa kecamuk perang, di Ho Chi Minh City yang masih porak-poranda. Ibu lalu membawa Anna kembali ke Leningrad dan aku dititipkan kepada entah siapa, pulang ke Amlapura. Bapak tetap tinggal dan menjadi dokter rumah sakit militer setempat. Setelah itu, semua gelap. Tak ada kabar, Ibu hanya mendengar Bapak tertembak, jasadnya tak terjejak.
***
Luh, istriku, bertanya, “Apakah ada penerbangan langsung dari Moskwa ke Denpasar?” Tolol, kubilang. Tentu saja tidak ada. Perjalanan dari Rusia ke Indonesia makan waktu 20 jam, setidaknya butuh satu atau dua kali transit, di Abu Dhabi, di Hong Kong, atau di mana saja, tergantung maskapai yang dipakai. Tidak ada direct flight!
“Tapi ini ada,” sergahnya, menggumam dengan nada rata, dengan jari-jari dan mata menumpu pada layar tablet di pangkuannya, “Aeroflot, low cost carrier. Langsung dari Domodedovo Airport ke Ngurah Rai.” Mulutku melecu. Untuk apa bertanya kalau sudah tahu?
Tak perlu resah, kata Luh, bukankah kalian hanya sepasang kakak beradik dan bukan sepasang kekasih? Aku melengos. Seharian kalimat-kalimatnya sama sekali tak menenangkan. Tapi mengapa harus aku tak tenang? Luh menyeduh kopi dan menuangkannya ke cangkir-cangkir kaca seperti biasa, satu untukku satu untuknya, pertanda ini sudah pukul lima, sudah dekat senja. Harum kafein menguar, bersahutan dengan aroma gula merah. “Minumlah, ini sempurna,” ia berlagak bersulang dengan senyumnya yang selalu menggoda, namun entah kenapa sore ini di mataku terkesan meledek.
***
Anna mengabarkan baru saja mendarat, berarti bisa tiba di sini dalam satu jam, asal kondisi lalu lintas Badung-Karangasem tak kelewat padat. Aku membayangkan apa yang akan kami bicarakan nanti ketika bertemu muka. Apakah aku harus menyambutnya dengan gembira atau memeluknya penuh rindu, mengingat kami adalah kembaran yang terpisah puluhan tahun? Atau kujelaskan saja langsung kepadanya bahwa aku sama sekali tak percaya versinya tentang riwayat kami. Kalaupun aku menerima kunjungannya, semata-mata demi sopan santun, menuruti saran istriku, bukan memenuhi penasaranku tiba-tiba memiliki saudara kandung. Seumur hidup aku yatim piatu, tak punya asal-usul, orokku ditemukan di halaman pura Desa Tumbu, kata orang ibuku bukan manusia, melainkan arca batu.
Anna memperkenalkan dirinya dengan cara yang amat formal, tegak dekat leneng di pintu gerbang, menghadapku dengan sikap tubuh lurus dan senyum ramah. Menyebut namanya, menanyakan kabar, mengagumi rumah tradisional kami sambil tetap berdiri. Lalu seperti sudah terencana, lengannya bergerak laksana petugas pengibar bendera pada upacara di halaman gedung-gedung negara, membentuk persis sudut siku-siku, menyodorkanku sebuah kotak kayu seukuran kotak sepatu, “Dari ibu.”
Apakah maksudnya ini oleh-oleh, hadiah, wasiat atau apa, tak diterangkannya. Jadi kuterima pemberiannya itu dengan separuh syak dan sebuah pertanyaan tak bermutu, “Ia menitipkannya padamu?”
“Pada hari terakhir Ibu sadar.”
Aku tak siap harus menimpali apa. Melihatku canggung, Luh buru-buru menyela, “Mari, mari masuk jeroan. Kita ngeraos, ngobrol-ngobrol di dalam….” Mulutnya langsung nyerocos menanyakan apa saja, tangannya lalu sibuk menawarkan berbagai penganan kampung yang sejak tadi disiapkannya, jaje lukis yang manis, jaje ketimus yang gurih, pisang rai yang legit. Suasana kaku perlahan berubah sesegar es tambring.
Sepasang Matryoshka
Anna mengatakan tak akan tinggal terlalu lama. Ia hanya membawa satu koper tanggung dan satu tas tangan yang ditentengnya ke mana-mana, mirip kantung ajaib karena dari dalamnya ia mengambil berbagai macam benda, termasuk sebuah album kecil, “Ini kakek,” ditunjuknya potret lelaki berkumis setebal milik Stalin. Seorang perempuan tambun tersenyum anggun yang duduk dekat pria berkumis itu diperkenalkannya sebagai nenek. Kemudian seraut wajah tirus berdiri semampai, disebutnva sebagai Ibu. Wajah wanita ayu dalam gambar itu seperti kukenal entah di mana, mirip seseorang tapi aku lupa siapa. Di situ ia berpose mendekap sesosok bocah mungil montok bertopi renda di puncak kepala. Anna tersenyum seakan ingin mempermaklumkan dirinya sendiri di masa lalu, “Itu aku.”
Istriku tertawa gemas ketika mengatakan lucu sekali anak ini, manis sekali.
“Nah, ini kau,” Anna menarik sepucuk foto lagi, melihat ke arahku. Telunjuknya menuding wajah bayi yang terbungkus selimut serapat kepompong, sebelah pipinya menempel pada pundak kiri seorang lelaki muda berkulit sawo tua, berperawakan sedang, berkemeja longgar, berjas tanpa dasi, tak berpeci, “Dan ini Bapak.”
“Cukup!” putusku. Anna kaget, dahinya mengernyit. Luh ikut gugup, tersenyum kecut, tikar lampit tempat kami duduk ikut-ikut menciut.
“Jangan teruskan omong kosong ini,” aku mendesis.
“Maksudmu?” Anna herusaha berhati-hati.
“Maaf, Anna,” aku mulai iba kepadanya, “Barangkali memang saja kau dan aku memiliki beberapa hal yang sama. Tapi sudah pasti kita bukanlah saudara!”
Anna terdiam sebentar. “Kau harus tahu, Ibu membuat sebuah lemari yang berisi baju-bajumu. Masih utuh sampai sekarang. Setahun sekali ia menjahit setelan baru seukuran tubuhmu, membelikanmu sepasang kaus kaki dan longjohn satu nomor lebih besar setiap Natal.”
“Itu tidak membuktikan apa pun!”
“Tidak ada yang perlu disangkal, Ananta.”
“Dengar,” kurendahkan suara, “Boleh jadi aku lahir dari rahim seorang ibu, mewarisi darah seorang ayah. Tapi kalau alam raya ini saja terjadi karena satu tubrukan maha dahsyat hingga hancur berkeping-keping, bukan mustahil juga pada suatu ketika, sebutir di antara miliaran debu serpihan terhalusnya terbawa angin ke suatu bukit yang luar biasa jauhnya, tersambar petir, tercatu listrik, lalu hidup, dan… jadilah aku!” Anna tak menyangka mendengarku sesinis itu.
Sudah genap setahun ini Ibu terbaring koma. Anna lalu bercerita begitu saja tanpa menghiraukan apakah aku menyimak atau mengabaikannya. Catatan rumah sakit mengatakan batang otaknya masih berfungsi, jantungnya masih berdetak, beberapa organ masih merespons baik. Setiap kali sepupunya yang menetap di Desa Troparyovo datang ke Moskwa menumpang kereta metro untuk menjenguk dan menyanyikan lamat-lamat senandung cinta Katyusha di samping ranjangnya, kepalanya bergerak lemah ke kanan ke kiri seperti berusaha mengikuti tempo. Jika ada seseorang menyebut nama Bapak dan namamu, sudut bibirnya terangkat seperti tersenyum. Saban ada kesempatan anggota keluarga berkumpul membacakan doa untuk kesembuhannya, ujung matanya menitikkan air seperti terharu.
Kata Nenek, bukan rencana Ibu terpisah dari Bapak, tapi waktu itu harus diputuskan bagaimana menyelamatkan anak-anak. Amerika berkoar, agresi komunis sedang mengancam seluruh dunia, sangat-sangat berbahaya, Eisenhower dengan domino effect-nya berteori, jika tidak dihancurkan ideologi ini akan merajalela ke seantero Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Tentara-tentara diturunkan menumpas komunisme di mana-mana, mulai dari Vietnam sampai ke negara-negara sekitarnya yang saling bertetangga. Alih-alih, baku bunuh terjadi setiap hari, di kota, di desa, di perbatasan, di pedalaman, di kampung, di hutan. Semua orang tiba-tiba saja menjadi musuh bagi yang lain tanpa terkecuali. Mayat bergelimpangan sampai nyaris tak terkenali. Dalam nalar perang, sama sekali hal biasa jika ada satu, dua, bahkan seratus orang hilang, atau dihilangkan, sekalipun ia bukan siapa-siapa, tak mengancam, tak membahayakan bahkan tak punya pengaruh apa-apa, seperti Bapak, atau siapa saja yang tahu-tahu enyah, lenyap.
Anna berhenti berkisah. Matanya menyusuri nat-nat lantai keramik di bale daja. Luh meninggalkan kami beberapa saat lalu, pamit ke paon mengambil sesuatu.
“Aku telah terbiasa hidup tanpa Ibu,” kataku. “Tak ada nama Bapak dalam Kartu Susunan Keluarga, akta kelahiran sampai paspor, kolom tempat tanggal lahirku pun kosong,” kutekankan setiap kata sambil kupandangi wajah Anna. Aku ingin ia memercayaiku sebagaimana aku mulai menganggap bualannya masuk akal. Anna hanya mengangguk. Langit adalah pantulan kopi hitam ditaburi remah roti, cahaya ribuan bintang menggambar bayang-bayang lereng Gunung Agung di bahu malam. Wangi dupa melintas menenteramkan.
“Aku sering memikirkan, bagaimana aku bisa sampai di tempat ini.”
“Ibu sering memikirkan di belahan dunia mana kau berada.”
“Ia tak menganggapku mati?”
“Ia menganggapmu selalu ada di dekatnya.”
Kotak yang tadi diserahkan Anna kepadaku, isinya sebuah boneka kayu gendut yang beranak pinak jika dibuka. Yang terbesar seukuran genggaman tangan dewasa, berturut-turut empat lagi lebih kecil, lebih kecil lagi, hingga yang terkecil seukuran ibu jari. Anna mempermainkan gelas belimbing kosong di tangannya, bersandar pada salah satu sakanem, tiang penyangga rumah.
“Aku menghubungi empat ratus empat puluh sembilan akun lelaki seumuranmu di negeri ini. Kutanyai masing-masing dari mereka, adakah di antara kalian yang memiliki matryoshka?”
Anna memerinci sambil tertawa kecil membayangkan lagi perjuangannya, “Seperti menolong pangeran mencari sebelah sepatu Cinderella ke seluruh pelosok dunia. Tapi aku yakin pasti menemukannya.”
Boneka kayu itu kini ada di timanganku, “Jadi, Bapak adalah seorang dokter?” pertanyaanku ini bukan basa-basi. Anna mengangguk, “Dokter muda yang belum sempat berbuat apa-apa, kecuali menyelamatkan orang-orang yang dicintainya.”
Mataku hangat, “Kata orang-orang sejak dulu, bapakku pemberontak dan ibuku pelacur.”
Terngiang lagi rundungan di masa kecil, untukku yang berkulit putih, berambut merah, bertubuh dan berhidung tinggi. Ke mana pun aku pergi sebayaku akan bernyanyi, cunguhne gede cara nyambu, hidungnya besar seperti jambu, cunguhne gede cara nyambu…. Terus menerus berolok tentang bapak ibuku, sambil tertawa-tawa, menungguku merengek dan akhirnya meraung. Aku marah dan malu, tapi tak tahu harus kepada siapa mengadu. Anna meletakkan gelas dan menghela napas, “Ibu adalah seorang penyair yang beralih jadi buruh pabrik.”
Lama sesudah itu kami sibuk dengan hiruk-pikuk pikiran dan perasaan sendiri. Aku bertanya-tanya, siapa kiranya yang keluar dari perut Ibu lebih dulu di antara kami? Kupindah-pindahkan dari tangan kanan ke kiri, ke tangan kanan, ke kiri lagi—seperti membulatkan jaje pulung-pulung ubi, boneka yang terbuat dari kayu lipa itu lalu kupisahkan dari induknya dengan menariknya satu per satu hati-hati. Pada setiap dasarnya terpahat nama-nama.
Namaku tertera pada yang paling kecil: Ananta, satu suku kata lebih singkat dari nama Bapak, Anantara. Nama Anna, selisih dua huruf dari Ivanna, nama Ibu. Déjá vu ini mengesalkan dan menggelikan pada saat yang bersamaan. Didahului kokok ayam pertama dini hari itu, Anna menyatakan ulang niatnya, “Aku bertekad menemukanmu, untuk Ibu.” Orang-orangan kecil bersusun-susun itu satu-satunya petunjuk ia mengacu.
Dari arah merajan, dengan anteng terlingkar di pinggang bersiap sembahyang, Luh datang menghampiri, sebuah besek bambu berdebu diangsurkannya ke tengah kami. Kukeluarkan isinya, persis seperti yang Anna bawa, boneka kayu gendut yang beranak pinak jika dibuka. Yang terbesar seukuran genggaman tangan dewasa, berturut-turut empat lagi lebih kecil, lebih kecil lagi, hingga yang terkecil seukuran ibu jari. Pada setiap dasarnya terpahat nama-nama, Ananta, Anna, Ivanna, Anantara.
Telapak kaki boneka terbesar bertuliskan kalimat yang sama, Svetit vsegda, Vestit vezde—bersinarlah selalu, bersinarlah di mana saja. Kutipan stanza tua penyair Rusia kesukaan Ibu. “Ibu pernah bilang,” kata Anna, “Pada suatu ketika, tanpa sengaja, bisa saja kita menjadi bagian gelap bahkan tergelap dari kehidupan seseorang. Sungguh pun begitu, jangan padam.”
Matahari belum lagi mekar seutuhnya, tapi sinarnya yang lembut membuat pipi-pipi matryoshka merona. Pagi ini aku adalah seorang anak, seorang adik, seorang lelaki yang memiliki sejarah hidup, setelah separuh abad lebih tanpa kejelasan asal-usul. Perempuan yang duduk di seberangku itu, yang wajahnya mentah-mentah seperti wajahku, kakak kandungku Anna, tampak letih tapi lega. “Ananta,” ia melirih, “Ibu memintamu memaafkannya.”
Vika Wisnu, pengajar Program Ilmu Komunikasi Untag Surabaya dan sukarelawan Gerakan Sadar Autisme. Cerpennya pernah termasuk dalam buku Cerpen Pilihan Kompas 2014. Tulisan terbarunya dimuat dalam antologi “Tumbuh Bersamamu, 27 Kisah Inspiratif Ibu Anak Berkebutuhan Khusus”. Buku pertamanya, ditulis bersama Gadis & Kika, berjudul BER317AN diterbitkan Penerbit Buku Kompas.
Bambang Pramudiyanto, lahir di Klaten, 10 September 1965. Kini menetap di Kasihan, Bantul, DI Yogyakarta, setelah menempuh pendidikan STSRI “ASRI” Yogyakarta. Lima Besar The Philip Morris Group of Companies Indonesia Art Award 1995. Selama kariernya sebagai pelukis telah menggelar tiga kali pameran tunggal pada periode 1995 sampai 2001.
[1] Disalin dari karya Vika Wisnu
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Kompas” edisi Minggu 14 Oktober 2018
The post Sepasang Matryoshka appeared first on Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara.
via Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara bit.ly/2QMX9sU
Kereta tiba. Aku melangkah malas ke dalam ular besi. Mencari kursi di gerbong yang masih kosong. Langit mulai menua. Mendung menambah sepuh cuaca. Gerimis mulai berjatuhan di luar jendela. Bayangan kamu berkelebatan di dalam kaca jendela kereta yang kusam karena jarang dibersihkan.
Kereta mulai bergerak maju. Memburu ruang dan waktu yang bersekutu. Aku ajak mereka bersekutu, untuk mencari-cari kamu yang menghilang tiba-tiba karena putus asa.
Hujan menderas di luar jendela. Bayangan kamu perlahan memudar. Luntur dihajar air langit. Rumah-rumah penduduk yang bersolek dengan cahaya lampu tak lagi terlihat cantik. Suara gesekan roda kereta dan ayunan gerbong berebut dan berdesakan menggedor-gedor gendang telinga.
Ini adalah tahun ketiga aku pulang pergi saban akhir bulan naik kereta. Menemui istri yang kutitipkan dengan berbekal setia.
Tahun pertama pernikahan bagiku sulit. Apalagi akses ke rumah kamu jauh. Aku harus melewati puluhan kilometer dengan perjalanan panjang untuk menjengukmu. Tapi yang tak kuinginkan terjadi.
Setelah 36 perjumpaan singkat, malapetaka itu datang. Kamu enggan ikut aku banting tulang di ibu kota dan memilih bertahan di kampung halaman sejak ijab kabul. Kukira biasa. Awalnya. Tapi, kecurigaan itu semakin nyata. Tanpa kabar aku memutuskan pulang lebih awal. Tidak seperti jadwal bulanan.
“Kenapa tidak beri kabar jika mau pulang,” katamu sembari gelagapan ketika melihatku sudah berdiri di depan kamar.
“Kenapa?” tanyaku singkat. Mencoba menerka alasan yang keluar dari bibirmu yang jarang aku kecup.
“Karena aku putus asa,” jawabmu singkat.
Tubuhku kaku. Aku yang biasanya tidak peduli dengan ucapan orang kini seperti orang gila yang punya alamnya sendiri. Sejak itu aku putuskan untuk berpisah dunia denganmu. Beruntung belum ada malaikat kecil dalam kehidupan aneh yang kita jalani selama 1.095 hari.
***
Dua tahun sudah aku menggelandang di ibu kota. Nebeng tidur dan numpang makan di rumah kerabat. Satu ketika, ada seorang guru mengaji yang menawarkan tempat berteduh. “Setidaknya sampai kamu punya rumah,” kata dia.
Abah, begitu aku memanggilnya dan orang-orang di lingkungan rumahnya. Ia peranakan Arab Betawi. Disegani karena pandai mengaji. Abah tidak punya pesantren. Hanya langgar kecil tempatnya sehari-hari menghadiahkan ilmu yang diwarisinya dari ayahanda.
“Nak, kamu mau menikah dengan kemenakan Abah?” tanya Abah tiba-tiba di suatu sore jelang berbuka puasa Senin-Kamis. Aku tidak bisa menolak. Pernikahan pun digelar. Hanum nama kemenakan Abah. Cantik layaknya perempuan keturunan Timur Tengah. Kerudung merah yang tidak sempurna menutupi wajah tirusnya. Sayangnya belum tumbuh cinta di hatiku yang hampir mati meski ijab kabul sudah digelar.
Setelah tujuh bulan bersama, baru aku tahu jika Hanum ternyata primadona di kampung. Tak sedikit pemuda kampungnya yang berebut memiliki pesona Hanum. “Kamu beruntung bisa menikahi Hanum,” kata pengojek sepeda yang kutumpangi saat berangkat kerja.
Kukulum senyum. Ah, apa aku benar-benar beruntung, tanyaku kepada hati.
Tiga tahun aku menyulam rumah tangga. Tapi buah hati yang kunanti tidak kunjung tiba. Tak ada tanda-tanda dari Hanum. Sampai suatu ketika seorang kemenakanku berkunjung ke rumahku yang sederhana. “Paman kenapa murung?” tanya dia menerka.
“Paman ingin punya anak, punya keturunan. Tapi bibi kamu belum hamil-hamil.”
“Sabar, Paman. Mungkin belum waktunya.”
Obrolan ringan yang didengar Hanum itu ternyata berdampak besar. Sejak itu perangai Hanum berubah. Ia sering marah tak jelas.
Melayani sehari-hari seperti sekadar membuatkan kopi pun tak pernah lagi dilakukannya. Perubahan perangainya membuatku bingung. Sampai satu hari aku menemui satu lembar obat berwarna merah muda dari dalam tasnya. Ukurannya lebih kecil dari kancing baju anak sekolah. Pil KB.
Rupanya selama ini dia sengaja minum pil tersebut agar tidak hamil setiap kali berhubungan. Dan yang lebih menyakitkan, aku baru tahu ternyata dia tidak menginginkanku jadi suaminya.
Dia menudingku ingin menikah lagi. Di hadapan keluarganya dan Abah, ia memaksa aku menjatuhkan talak. Alasannya sederhana, aku ingin menikah lagi karena Hanum tidak bisa memberikan keturunan.
Batinku hendak berontak, tapi aku tahan. Kegagalan lagi-lagi berada di depan mata. Rapat keluarga itu pun berakhir ricuh. Tapi hanya Hanum saja yang ricuh. Abah tetap bijak. Ia juga baru tahu kemenakannya ternyata diam-diam sudah punya kekasih sebelum menikah denganku.
Dulu Hanum menerima pinangan Abah karena rasa segan. Tapi Hanum tidak menyangka akan dinikahkan dengan pria asing yang tidak pernah ia kenal sebelumnya.
“Semua keputusan ada di tanganmu, Nak,” ucap Abah bijak. “Putuskan yang menurutmu baik. Shalat istikharah bila perlu.”
Beberapa bulan sebelum peristiwa Malari meledak, aku putuskan untuk melepas Hanum.
***
Cinta kini bagiku hanya legenda. Seperti cerita Sangkuriang yang menendang perahu lalu menjelma menjadi gunung. Atau seperti kisah Jaka Tarub yang berhasil menikahi bidadari, setelah melakukan perbuatan tak terpuji.
Mengintip bidadari mandi di air terjun tempat pelangi mendaratkan ekornya. Mengintip gadis manusia mandi saja sudah terkutuk, apalagi dia yang mengintip lalu menyita selendang bidadari. Mahluk suci dari kahyangan. Parah sekali kelakuan Jaka Tarub itu.
Imajinasi di kepalaku menerka-nerka seberapa cantik wajah Dewi Nawang Wulan yang membuat Jaka Tarub kehilangan akal sehat. Bentuk wajahnya, mata, hidung, bibir, lalu mahkota di atas rambutnya. Terlebih bentuk tubuhnya. Mungkin lebih aduhai dari Diana Nasution, penyanyi yang sedang digandrungi pria seantero Indonesia.
Ku susun baik-baik sketsa wajah Dewi Nawang Wulan yang kata orang-orang amat sangat teramat cantik. Ketika goresan sketsa itu hampir rampung, bahuku tersenggol secara tak sengaja. Lamunanku buyar. Aku saat itu duduk di pinggir bangku kereta menuju Jakarta. Tidak dekat jendela. Dan yang menyenggol bahuku tersenyum.
“Maaf,” katanya singkat. “Bangku aku di sini. Boleh aku duduk di dekat jendela.”
Detik itu aku seperti tahu bagaimana rasanya Malin Kundang menjadi batu saat dikutuk ibunya. Kaku. Sketsa dalam kepalaku kini berbicara. Sketsa bidadari yang kugambar dalam imajinasi kini hidup dan berdiri anggun di hadapanku. Sketsa Dewi Nawang Wulan. Bidadari itu bukan di kahyangan, tapi di dalam kereta.
“Silakan,” kataku sembari berdiri memberi ruang untuknya.
Kursi kereta yang kutumpangi kali ini seperti menjelma menjadi tumpukan bebatuan. Di ujung kanan dan kiri berbagai jenis pepohonan rimbun bergelantungan. Sementara di ujung lintasan mataku ada seorang bidadari yang sedang asyik duduk bermain di bawah guyuran air terjun. Dia sendirian, tidak ditemani enam saudaranya yang lain.
Ternyata begini sensasi jadi Jaka Tarub. Diam-diam menikmati kecantikan Dewi Nawang Wulan yang mungkin saat masih cetak biru di surga saja sudah cantik. Teramat cantik. Rasanya menyesal pernah mengutuki Jaka Tarub, pemuda dalam legenda yang aku cap berengsek karena mengintip bidadari mandi.
Kini aku seolah menjadi Jaka Tarub. Aku menjadi pengintip. Ekor mataku berkali-kali menoleh ke wajah gadis yang duduk anggun memakai gaun putih berkerah dengan salur garis hitam tipis. Kulitnya putih. Wajahnya membulat. Pipinya gembil. Hidungnya mungil, dan ia membiarkan rambut sebahu terurai. Bibir tipisnya terus mengatup. Hingga aku memberanikan diri memulai pembicaraan.
“Kenalkan, aku Nursi,” kataku dengan gesture percaya diri sembari menyodorkan tangan.
Dia menoleh. Gerakan kepalanya yang perlahan semakin membuatnya kian gemulai. Wajahnya kaku tanpa senyum. Tapi ia tetap cantik.
Mati aku. Dia tidak membalas uluran tanganku, batinku berbisik.
Tiga detik yang mematikan itu berubah, saat otot bibirnya tertarik hingga membuat pipi gembilnya semakin kenyal. Sepertinya. “Sarah,” ujar dia sembari mengulurkan tangan.
Pembicaraan pun mengalir. Tak hanya wajahnya yang teduh, sikapnya juga ramah. Kami berbicara banyak. Dari pembicaraan itu mencerminkan kecerdasan pikirannya. Cantik, ramah, cerdas. Aku jadi membayangkan Dewi Nawang Wulan yang saban hari menemani Jaka Tarub.
Empat setengah jam perjalanan di dalam kereta kami lahap dengan perbincangan tanpa jeda. Hingga kereta bergebong tua memasuki stasiun legenda, Jatinegara.
“Boleh aku tahu alamat rumahmu?” kususun kalimat tanya itu hati-hati. Perlahan-lahan, agar jangan sampai permintaan gilaku tertolak mentah-mentah.
“Jatinegara, dekat Pasar Mester,” ucap Sarah sembari mencoretkan alamat lengkap di selembar kertas bekas dan memberikannya kepadaku. Kuraih dan kusimpan di kantong jaket.
“Kamu dijemput siapa?” tanyaku ketika kami berdiri di dekat pintu keluar stasiun.
Sarah tidak menjawab dengan kata-kata. Telunjuknya menunjuk seseorang berpakaian militer. Perwira menengah sepertinya.
“Mas,” teriaknya sembari melambaikan tangan. Sebelum pergi, Sarah pamit ke padaku. Kami bersalaman, lalu ia melayang ringan seperti angin musim semi.
Aku kembali menjadi Malin Kundang. Mematung. Di ujung sana kulihat Sarah memeluk pria itu. Sarah mencium tangannya. Takzim. Tak hanya sekali, tapi dua kali. Punggung tangan lalu telapaknya. Pria itu kemudian menghujani pipi Sarah dengan ciuman. Tanpa malu di depan banyak orang. Harapanku hilang sudah. Pupus. Kisah Jaka Tarub memang hanya legenda.
***
Satu pekan sudah aku berpisah dengan Dewi Nawang Wulan yang turun dari kereta. Bau harum minyak wanginya masih tersisa di ujung hidungku. Aku berkencan dengan ingatan. Setangkup rindu merambat pelan merambat ke dalam dada. Setidaknya matahari lebih paham cara berpamitan. Membiarkan pengagumnya menikmati keindahannya perlahan-lahan di batas perpisahan. Ah mengapa aku ini. Aku jatuh cinta kepada perempuan yang hanya kutemui empat setengah jam di atas kereta. Gilanya perempuan itu memiliki pasangan. Entah kekasih, atau mungkin suami.
Adakah pekerjaan yang paling puitis selain berlari mengejar-ngejar rindu? Jawabnya ada, yaitu mengingat lesung pipi saat Sarah tersenyum. Aku raba kantong jaket katun biru dongker yang selalu kupakai ketika berpergian. Jemari tanganku menemukan sesuatu. Selembar kertas bekas. Kubuka, lalu untaian huruf-huruf membentuk sebuah kata yang bersalin menjadi kalimat, lalu menjelma menjadi alamat. Alamat rumah. Rumah Sarah.
Kini aku kembali merasakan girangnya menjadi Jaka Tarub. Kertas itu bagaikan selendang Dewi Nawang Wulan yang disimpan Jaka Tarub diam-diam. Kertas itu bagai minyak kesturi yang disuntikkan ke dalam lampu minyak yang nyala apinya hampir padam. Api harapan.
Batinku berperang. Tetap simpan alamat itu, atau buang ke dalam Sungai Ciliwung yang kini ada di hadapannya. Sarah sudah berpasangan. Tapi tak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Kemungkinan selalu ada, meski sangat kecil peluangnya. Aku harus memastikan siapa pria itu.
Nekat, kupacu sepeda kumbang pinjaman dari kakakku. Alamat yang ditulis Sarah tidak jauh dari tempat aku kini berdiri. Hari Ahad. Semoga Sarah ada di rumah, gumamku sembari berharap.
Sepeda kumbang merek Gazelle itu kukayuh perlahan. Pasar Mester terlewati. Aku hafal betul jalan itu karena saban hari aku melewati untuk pergi ke kantor. Setelah perempatan jalan, aku belokkan sepeda ke kanan. Lalu gang ketiga atau keempat setelah perempatan itu adalah gang rumah Sarah. Aku menerka-nerka. Akhirnya ketemu.
Kereta angin buatan Belanda aku parkir di depan rumah Sarah. Rumah sederhana. Pagar besi beralur tombak, kokoh membentengi rumah dengan atap asbes. Jam tangan otomatis merek Titus di pergelanganku berhenti di angka empat. Sudah sore. Tapi belum terlalu petang untuk bertamu, pikirku.
“Assalamualaikum… Permisi,” kataku di depan pintu pagar. Kuulangi sampai dua kali. Seperkian menit kemudian, pria bertubuh tegap keluar dari dalam rumah yang pintunya tidak tertutup. Pria dengan wajah yang sama saat menjemput Sarah di Stasiun Jatinegara. Gagah, layaknya tubuh tentara. Wajahnya seperti aktor Abdul Hamid Arief.
“Mau cari siapa, Mas?” suara baritonnya membuat lamunanku buyar. Pria itu berjalan mendekat ke pagar. Kini kami berdiri berhadapan dan hanya dibatasi pintu besi.
“Oh maaf, Pak. Saya Nursi. Saya mencari Sarah. Boleh saya bertemu?” tanya saya dengan hati-hati. Sedikit terbata.
Raut wajah pria itu berubah. Ia kaget. Sudah barang tentu. Itu semua terlihat dari alis matanya yang naik dan kulit keningnya yang mengkerut. Mungkin ia berpikir, siapa laki-laki yang nekat dan berani-beraninya mendatangi istri seorang tentara ke rumah. Tapi ia membukakan pintu pagar yang ternyata tidak terkunci. Aku dipersilakan masuk.
“Temannya Sarah? Silakan masuk. Saya Yatmo,” kata dia sembari menjabat tanganku. Genggamannya keras.
Baru tiga langkah aku menginjak pekarangan rumah itu, dua anak kecil yang kutaksir berusia enam dan sembilan tahun menghampiri pria itu. “Panggil ibu kalian, suruh buatkan minum. Ada tamu,” katanya. Perintah pria itu membuat dadaku berdekup. Mati aku.
Dua anak kecil itu menggeret tangan seorang perempuan dari dalam ruang tengah. Sarah keluar dari dalam ruangan yang tersekat lemari pajangan berbahan kayu. Sarah sore itu memakai blus warna biru di bawah lutut. Ayu. Wajahnya beringsut terkejut saat mengetahui siapa tamu yang datang. Tapi tak lama ia tersenyum.
“Kamu. Nur..Nursi.”
Bersamaan dengan itu, seseorang di belakang Sarah yang membawa dua buang cangkir putih susu di atas nampan datang dengan tersenyum.
Penulis adalah wartawan Republika. Bisa dihubungi lewat akun Instagram: @kartaraharjaucu.
[1] Disalin dari karya Karta Raharja Ucu
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Republika” edisi Minggu 17 Maret 2019
The post Nawang Wulan dalam Pelukan appeared first on Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara.
via Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara bit.ly/2JuvUEJ
Yang hilang dari catatan para sejarawan terkemuka Kutaraja, yang gagal ditemukan Snouck Hurgronje—sekalipun dia telah bersusah payah untuk menyaru di dayah-dayah dengan menggunakan nama Abdul Ghaffar—yang bersampul dua puluh empat warna, yang beratnya harus diangkut seekor kerbau, sebuah kitab yang ingin kucatat ulang jika Tuhan menghendaki, dan hatiku tergerak untuk membocorkan sedikit isinya di sini.
Secara tak sengaja aku mengetahui rahasia kitab ini, dimulai dari keisengan guru pelajaran PMP—yang kemudian berubah menjadi pelajaran PPKN atau sekarang yang kamu kenal PKn—madrasah dulu yang senang mendongeng saat jam pelajaran berlangsung. Dan, karena itu, aku selalu menunggu-nunggu jam pelajaran PMP, sekali dalam seminggu, setiap hari Rabu. Ibeurahim, nama guru yang berpostur tinggi, berdada bidang, berhidung mancung, dan berkumis seperti penampilan laki-laki Kutaraja pada umumnya; kutaksir umurnya belum empat puluh pada saat itu dan kami memanggilnya Pak Beurahim.
“Belanda itu tak punya tanah sebenarnya, mereka menjajah kita demi untuk menguasai kebun-kebun lada dan kebun-kebun pala. Setelah lada atau pala dipetik penduduk lembah, mereka mengambilnya kemudian menjualnya ke Eropa dengan keuntungan sangat tinggi. Karena itu, mereka memiliki banyak uang, uang yang dipakai untuk membeli tanah dari negara-negara di samping kerajaan untuk menimbun lautan. Lautan ditimbun terus-menerus dan jadilah dataran tempat mereka membangun rumah, kincir angin, kebun-kebun gandum, dan kebun-kebun bunga tulip,” ujar Pak Beurahim dalam sebuah dongengnya.
Dongeng-dongeng yang keluar dari mulut Pak Beurahim menyusup ke dalam aliran darahku, menafkahi daging yang kemudian membentuk jaringan badaniah hingga aku menjadi dewasa. Karena hobinya itu, Pak Beurahim tidak pernah membebankan kami dengan tugas, atau pekerjaan rumah dan sejenisnya. Perlu kamu tahu, aku bukanlah murid yang rajin membuat PR, PR matematika saja hanya sekali kukerjakan semasa duduk di kelas enam madrasah, tak pernah peduli pada kegeraman guru-guruku, bahkan sekali waktu di kelas empat, angka merah menebar di raporku. Sebenarnya aku tidak bodoh-bodoh amat, aku hanya marah pada guru matematika yang senang mencubit kemaluan murid-muridnya yang tidak berhasil mengerjakan soal di papan tulis. Demi kemaslahatan bersama, ada baiknya nama guru tersebut tak perlu kutulis di sini.
Kembali pada Pak Beurahim, hari itu cuaca begitu cerah, kembang merak berwarna kemerah-merahan bermekaran di halaman sekolah, pohon yang saat itu terlihat begitu menjulang, menaungi kami saat upacara bendera dan senam pagi. Pak Beurahim muncul di depan kelas, menarik kursi guru yang berada di belakang meja ke tengah-tengah kelas—setelah mengucapkan salam dan menanyakan keadaan kami—ia berkata, “Kalian tahu bahwa negara kita dijajah Belanda selama tiga ratus lima puluh tahun? Tiga abad setengah negara itu berhasil menjajah kita, tapi kalian juga harus tahu, itu tidak terjadi di daerah kita. Indatu tidak pernah hilang akal untuk berperang melawan kaum penjajah. Kalian pernah tahu apa yang dilakukan orang-orang di Samalanga? Yang membuat galiung Belanda tidak jadi berlabuh di sana? Padahal mereka sudah mempersiapkan pasukan untuk menyerang Samalanga dari laut. Tentu kalian tidak pernah tahu karena cerita itu tidak pernah tercatat dalam buku sejarah mana pun di muka bumi.”
Lelaki itu berhenti sebentar, mengambil rokok dari saku kemeja hijau pupusnya lalu memantik rokok, mengisapnya perlahan, kemudian berkata, “Saat saya kecil dulu, saya pergi mengaji ke Samalanga, kota para santri. Saya diantar oleh bapak saya ke dayah Abon Samalanga untuk menimba ilmu agama di sana; tinggal di sebuah rangkang yang dihuni oleh sepuluh santri, rangkang bertiang yang dipenuhi gantungan baju dan tempat kami merebahkan diri bila selesai membaca kitab agama.”
“Bagaimana Bapak bisa jadi guru madrasah ibtidaiyah sementara latar pendidikan Bapak mengaji di dayah? Bukan bersekolah seperti guru lainnya?” Linda yang berkulit putih, memiliki senyum paling manis dan yang paling menonjol di antara kami, tiba-tiba mengajukan pertanyaan.
“Setelah keluar dari dayah, orang tua saya memasukkan saya ke PGA (Pendidikan Guru Agama), Linda.” Ia kembali mengisap rokok, mengembuskan asapnya yang berbentuk bulatan-bulatan kecil. Saat itu belum ada larangan merokok untuk guru, hanya murid yang tidak boleh merokok, seperti pasal pertama dalam perpeloncoan, guru tak pernah salah. Jika murid yang ketahuan merokok, bersiaplah dihajar dengan rotan, dipermalukan di depan kelas sebelum kemudian dipanggil orang tuanya. Pak Beurahim kembali melanjutkan cerita, “Salah satu dari teman kami itu bernama Salahuddin, kami memanggilnya Din. Din adalah anak Ampon yang memiliki sawah separuh kecamatan, dan memiliki ladang melampaui dua bukit dengan kerbau seratus ekor dan lembu tiga ratus ekor. Kekayaan orang tua Din yang membuat dia menjadi anak manja dan paling egois di antara kami, anak itu tak pernah menyentuh makanan dayah yang kadang ikannya kekurangan garam atau menjadi sangat keras karena digoreng di hari sebelumnya, membuat geligi menjerit saat mengunyahnya. Ibunda Din selalu mengantarkan lauk-pauk dari rumah, yang membuat air liur kami meleleh. Kami selalu berharap ditawarkan ikan cumi-cumi sambal atau ikan mujair masak plik u atau sepotong ayam kampung yang diantar ibundanya. Tetapi Din terlalu pelit untuk itu, dia meletakkan makanannya di dalam lemari pakaiannya yang dikunci dengan gembok perak; memakannya diam-diam saat kami sedang tidak di rangkang. Suatu hari setan-setan membisikkan sebuah muslihat kepada kami, ketika Din pergi mandi di sungai, kami mencongkel lemari anak itu dan menghabiskan ayam masak mirah yang baru diantar kakak Din. Din menangis saat mendapati makanannya tak bersisa, dan melaporkan pada ibunya keesokan hari. Saya dan teman-teman lainnya dipanggil guru rangkang untuk mempertanggungjawabkan perbuatan kami. Teman-teman saya dihukum untuk membersihkan dapur, menghafal satu surah, dan berdiri selama satu jam di bawah sinar terik matahari selama satu minggu. Karena saya tak kunjung mengakui perbuatan saya, guru rangkang menjadi putus asa dan menyerahkan saya pada Abon Samalanga.
Karisma dan hikmah seperti mengikuti Abon Samalanga, meski usia sudah sepuh, rambut berubah putih, tak ada yang berani membantah lelaki itu. Jangankan membantah, menatap wajahnya saja orang tak mampu, ada cahaya tauhid berpendar di dahinya, cahaya kehijauan yang menyilaukan mata.
“Sesampai di balee Abon, saya tidak ditanyai mengenai perbuatan saya pada Din. Abon malah menyuruh saya mencuci tangan dan menjamu saya makan malam satu meja dengan dirinya. Istri Abon sudah menghidangkan daging bebek masak kari beserta nasi mengepul yang sangat menggugah selera. Tanpa banyak bicara, saya langsung mencuci tangan dan makan satu meja dengan Abon Samalanga, mensyukuri keberuntungan yang sedang mendatangi saya. Setelah selesai makan, hati saya kembali dag-dig-dug, menunggu dengan cemas apa yang akan terjadi pada saya selanjutnya. Yang tidak saya duga sebelumnya, Abon Samalanga malah bertanya, kamu tahu kenapa Belanda sempat frustrasi di Aceh?” Saya menggeleng-geleng kepala. Lalu Abon bercerita, ….”
“Suatu masa dulu, ketika saya masih sangat muda, kami mendengar Kutaraja telah jatuh. Sultan menyerah demi menyelamatkan keluarganya, kami melihat dua galiung besar mendekati pantai Samalanga. Dua kapalnya yang dilengkapi meriam telah mengapung di dekat pantai, menunggu waktu yang tepat untuk menyerang; meriam-meriam telah diarahkan ke daratan. Saat itu, tetua Samalanga bersama ulama duduk bermufakat, membicarakan langkah-langkah yang akan mereka ambil. Tidak ada kata menyerah pada para kafir, para tetua dan ulama satu kata untuk melawan; keluar sebagai pemenang, atau mati terhormat. Untuk itu, salah satu dari mereka yang bernama Lah Keubat mengajukan satu muslihat, muslihat yang berasal dalam kitab rahasia yang diwariskan turun-temurun oleh keluarganya; Kitab Tipu Muslihat.”
Syaukani yang duduk di sudut belakang tiba-tiba menangis, kemudian hidung kami mencium aroma pesing. Anak itu tak berani meminta izin untuk ke kamar kecil pada Pak Beurahim. Karena tak tahan lagi, dia buang air dalam celana di kursinya. Semua mata mengarah pada teman kami yang penakut itu, dan kami hanya bisa mengutuknya dalam hati. Pak Beurahim menghentikan ceritanya, menyuruh kami membantu Syaukani mengangkut air dari sumur yang berada di belakang sekolah, mencuci lantai dan kursi yang telah kena najis teman kami itu. Dan lonceng jam pelajaran selesai berbunyi tepat setelah kami berhasil mengelap lantai dengan kain yang diambil Pak Beurahim dari kantor guru. Meski Pak Beurahim berjanji akan melanjutkan ceritanya minggu depan, kami tetap sangat kecewa, beberapa di antara kami bahkan mulai menyalahkan Syaukani.
Seminggu terasa cukup lama untuk menunggu. Dua galiung Belanda yang sedang mengapung di pantai Samalanga sampai terbawa ke dalam mimpi. Aku melihat kedua galiung berbendera tiga warna; merah, putih, biru muncul dari Paya Nie, merangsek ke arah sawah kami, di mana aku duduk di rangkang untuk menghalau burung. Ketakutan, aku berlari sekuat tenaga di pematang sawah, menuju rumah, sampai sandalku hilang. Aku terbangun dengan keringat bercucuran dan tak habis-habisnya mengutuki Syaukani.
Rabu, ketika jam pelajaran PMP di kelas kami akhirnya tiba juga, setelah sebelumnya berulang kali kami mengejek Syaukani, si tukang ngompol di kelas. Pak Beurahim masuk kelas, berdehem, membuat kami terdiam. Ketika kami menagih janjinya untuk melanjutkan cerita apa yang dilakukan oleh orang Samalanga untuk menghalangi dua galiung Belanda berlabuh, Pak Beurahim mulai mempermainkan kami: berpura-pura lupa, sudah sampai di mana dia telah bercerita.
“Sampai pada bagian Lah Keubat mengajukan sebuah tipu muslihat, Pak.” Lagi, Linda menyelamatkan kami.
Seperti minggu-minggu sebelumnya, Pak Beurahim kembali mengeluarkan rokok dari saku kemeja, memantik dan mengisapnya di depan kami, dan dia mulai bercerita, “Abon Samalanga bercerita kepada saya.”
“Lah Keubat, lelaki yang memiliki lima belas kebijaksanaan, berkulit paling cerah di antara kami, menunjuk tangan dan memberi usul yang mengagetkan seisi majelis, yang membuat para tetua dan ulama berbeda pendapat akan hal itu. Mereka terus berdebat hingga tengah malam, memberikan alasan-alasan yang masuk akal dan alasan-alasan yang tidak masuk akal terhadap usulan Lah Keubat.”
“Apa yang sebenarnya diusulkan Lah Keubat itu, Abon?” tanya saya yang tidak kuat menahan rasa penasaran saya lebih lama lagi. Abon tersenyum, kemudian menjawab.
“Sabar dulu, sampai saya tiba pada bagian itu.”
“Setelah tengah malam, akhirnya ulama dan tetua sudah memutuskan untuk melaksanakan usul Lah Keubat yang berasal dari Kitab Tipu Muslihat. Kami pulang ke rumah sebentar untuk bersiap-siap. Sebelum matahari terbit di ufuk timur, saya dan para laki-laki di kampung kami dan kampung tetangga sudah berkumpul di pantai. Kami melepaskan baju, celana, dan kancut hingga telanjang bulat, saling mengecat badan kami dengan arang, kemudian berbaris membelakangi pantai kira-kira sepanjang dua kilometer. Saat matahari hampir terbit, kami rukuk, kepala mendekati tanah dengan posisi pantat ke arah dua galiung Belanda, tak kami pedulikan angin dingin yang mengembusi ketelanjangan kami. Kira-kira dua jam kemudian, mereka mulai menarik jangkar dan meninggalkan laut Samalanga. Mereka pasti berpikir, meriam-meriam telah dibariskan di pinggir pantai untuk menyambut kedatangan mereka.”
“Abon Samalanga tersenyum puas kepada saya, dan menanyai, muslihat apa yang bisa saya lakukan untuk mengelak hukuman guru rangkang? Saya menjadi malu sendiri, kemudian mengakui perbuatan saya dan bersedia menjalani hukuman seperti teman saya yang lain.”
Pak Beurahim mengakhiri ceritanya, tapi cerita itu tak pernah berakhir dalam kepalaku. Mulai saat itu, aku bersumpah untuk menemukan Kitab Tipu Muslihat milik keluarga Lah Keubat. Aku mulai rajin belajar, melanjutkan sekolah hingga selesai kuliah, kemudian berkelana dari satu kampung ke kampung lainnya di Samalanga, sampai aku ditakdirkan untuk menemukan kitab tersebut dan berencana untuk menyusun ulang. Jika kamu sangat penasaran pada Kitab Tipu Muslihat, bersabarlah, lain kali pasti akan kuceritakan lebih banyak padamu.
Ida Fitri, lahir di Bireuen, Aceh, pada 25 Agustus. Kumpulan cerpennya berjudul Air Mata Shakespeare (2016) dan Cemong (2017)
[1] Disalin dari karya Ida Fitri
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Koran Tempo” edisi akhir pekan 24-25 November 2018
The post Kitab Tipu Muslihat appeared first on Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara.
via Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara bit.ly/2TMmWUK
Hari masih begitu muda. Kau belumlah ada. Maka kuceritakan kisah ini. Semoga kau suka. Sebab semuanya bermula di sini. Pada gulungan kabut tebal di utara dan hamparan api berkobar di selatan.
Niflheim: dingin seperti cinta mati
Muspell: membara seperti cinta pertama
Niflheim tak menjanjikan apa-apa selain dingin dan kebekuan yang abadi. Di balik selimut tebal kabutnya mengalir sebelas sungai berbisa yang mampu membunuh sesiapa saja yang meminumnya. Semua bersumber di Hvergelmir-pusat segala, gejolak yang tak pernah reda, dendam yang tak pernah tuntas, nafsu buas yang tak bisa lagi kau bungkus dengan apa pun. Sedang Muspell adalah api abadi, neraka bagi siapa saja yang berani menginjakkan kakinya. Semuanya membara di sana: tanah, batu-batu, debu, juga udara. Dan di tepian kobaran api, titik di mana kabut menjelma jadi cahaya, Surtr tegak berdiri. Pedangnya tertancap di tanah dan menyala-nyala. Sosok ini sudah berdiri di sana entah sejak kapan. Surtr ada sebelum segalanya ada. Katakanlah demikian. Percayalah demikian. Berdiam di sana. Seperti berjaga. Tak pergi ke mana-mana. (Kelak ia akan pergi sekali saja. Pada waktunya nanti. Dan ia tak bakal kembali. Tak ada yang bisa kembali lagi setelah kepergiannya. Juga kita. Saat ini aku yakin ia masih di sana. Di tempatnya semula. Di bawah debunya semula. Jangan pergi dulu, Surtr. Berdiamlah di sana. Setidaknya sampai cerita ini selesai.)
Di antara Niflheim dan Muspell, di antara yang dingin dan panas, ada celah di mana kelak kita bertemu-memang, selalu ada celah meski kecil dan tak mudah. Sebutlah ia Ginnungagap, sebuah ruang antara. Sungai-sungai dari utara, di sinilah mereka bermuara, mengeras menjadi dataran es, membeku menjadi bongkahan-bongkahan yang dingin dan sepi. Di ruang antara inilah segala sesuatu mulai tumbuh. Pertama, terciptalahYmir dari sepi yang paling getir, dari angin yang paling dingin. Ia raksasa tanpa kelamin. Kita tak bisa menyebut jantan atau betina. Tubuhnya besar. Lebih besar dari apa yang bisa kaubayangkan atas kebesaran. Tak berselang lama, terciptalah Audhumla, seekor sapi yang juga besarnya bukan kepalang. Sapi raksasa yang lahir tanpa tanduk. Kerjanya hanya menjilati balok-balok es-yang menurutnya asin. Tak ada yang lain. Rumput belum ada di hari yang masih muda itu. Maka jadilah bongkah-bongkah es sebagai makanan dan minumannya. Sedangkan Ymir bertahan hidup dengan air susu yang dihasilkan Audhumla. Susunya segar. Berlimpah. Memancar dari puting-putingnya. Mencipta sungai-sungai baru. Sungai susu.
Ymir makin hari makin besar. Susu Audhumla mempercepat pertumbuhannya. Sementara sapi raksasa itu tak henti memamah balok-balok es. Lidahnya yang besar menjilat dengan rakus bongkahan-bongkahan air yang beku itu seperti kanak-kanak-saat itu belum ada-menjilat es potong dari warung sebelah. Dan inilah ruang antara, ruang yang menjanjikan begitu banyak kemungkinan penciptaan. Ruang ketiga di mana ruang pertama dan ruang kedua sudah tak mampu menjanjikan apa-apa lagi: tua, pasti, dan tak terbantah lagi. Balok es yang tiap hari dilumat ludah Audhumla pelan-pelan mulai berubah menjelma jadi berhelai-helai rambut di suatu hari. Menjadi kepala di hari berikutnya. Dan menjadi sesosok tubuh laki-laki di ujung hari yang lain. Dialah Buri yang kelak dikenal sebagai moyang para dewa. Hiduplah ia berkawan dengan Ymir, sapi dan sepi.
Segalanya seperti baru saja dimulai. Siapa pula yang sanggup menghentikannya. Segalanya seperti terus tumbuh bahkan dalam tidur yang paling dalam. Begitulah dalam sebuah tidurnya yang kosong tanpa mimpi-mimpi belum ada waktu itu-Ymir beranak pinak. Dari ketiak kirinya lahir sepasang raksasa, jantan dan betina. Dari balik sepasang kakinya yang besar lahir seorang raksasa berkepala enam. Ya, di hari yang masih begitu muda, sebuah bangsa bisa tercipta dalam sebuah tidur tanpa mimpi. Mereka kawin-mawin dan berbiak dengan cepat. Ratusan raksasa segera memecah kesepian Ginnungagap. Sungai-sungai susu Audhumla penuh dengan bayi-bayi raksasa yang berenang sambil minum susu. Bangsa baru ini pun menyebar ke seluruh penjuru. Ke utara yang dingin lantaran berbatasan dengan Niflheim. Juga ke selatan yang hangat seperti musim sepi sebab berhadap-hadapan dengan Muspell dan bayang Surtr yang kadang tampak dengan jelas di saat-saat tertentu-bayang-bayang yang mengerikan entah karena apa.
Lalu bagaimana halnya dengan Buri? Apakah ia tetap bertahan hidup seorang diri? Jilatan ajaib Audhumla hanya berlaku satu kali. Tak ada Buri-Buri lain yang lahir dari bongkahan es. Buri pun tak bisa beranak pinak dalam tidur sebagaimana Ymir-tak ada yang mendadak lahir di ketiak atau sepasang kakinya. Sementara hampir tiap hari ia menyaksikan bayi raksasa terus bertambah banyak. Ia makin merasa kesepian. Sendirian di antara keramaian bangsa raksasa yang makin mengepungnya. Buri baik-baik saja sebenarnya. Ia bergaul akrab dengan para raksasa itu. Tapi tetap saja ia berbeda dengan mereka. Ia bukan raksasa. Itulah yang membuatnya merasa sendiri. Hingga di satu hari ia memberanikan diri mengajak seorang raksasa betina bercinta. Ya, tiba-tiba saja ia ingin bercinta setelah berkali-kali ia melihat para raksasa itu bercinta di depan matanya. Raksasa perempuan itu mengiyakan ajakan Buri. Dan bercintalah mereka di balik bongkahan es. Untuk pertama kalinya Buri merasa tak sendiri. Dengan rakus ia melumat bibir pasangannya, menindih tubuhnya berkali-kali, hingga di sebuah puncak ia berteriak dengan keras. Sangat keras. Memecah kesepian hatinya.
Dari persetubuhan di balik bongkahan es itu lahirlah Bor, makhluk setengah dewa setengah raksasa pertama di Ginnungagap. Buri merayakan kelahiran Bor. Keinginannya untuk mendapatkan keturunan telah tercapai. Perkawinan silang adalah jalan keluarnya. Buri bercinta sepanjang hari. Berharap akan lahir Bor-Bor yang lain. Berharap akan segera tercipta sebuah bangsa selain bangsa raksasa. Tapi keajaiban sekali lagi hanya berlaku satu kali. Maka ketika Bor menginjak dewasa ia segera memintanya untuk mengawini salah seorang raksasa betina. Bor memilih Bestla, raksasa betina yang terbaik di antara kawanannya. Dari perkawinan Bor dengan Bestla, lahirlah Odin, Ve, dan Vili. Buri bernapas lega. Garis keturunannya bertambah panjang. Dan ia bisa mati dengan tenang.
Odin, mungkin kau pernah mendengar namanya. Dewa dari segala dewa. Ayah dari Thor si Dewa Petir. Tapi bersabarlah, cerita belum akan sampai ke sana. Hari masih begitu muda. Kembali pada Odin, Ve, dan Vili. Mereka telah beranjak dewasa. Buri sudah mati. Bor menyusul tak lama kemudian. Tinggal mereka bertiga saja. Hidup bersama Ymir dan bangsa raksasa.
Berbeda dengan ayah dan kakeknya, Odin bersaudara tumbuh menjadi pribadi-pribadi tak pernah puas dengan keadaan yang melingkungi mereka. Celah di antara Nifhleim dan Muspell telah habis mereka jelajahi. Tak ada apa-apa lagi yang mampu menggairahkan mereka. Gerombolan raksasa juga tampak menyebalkan di mata mereka. Para raksasa itu hanya bisa beranak pinak dan membuat keramaian. Bertarung satu sama lain dan berpesta. Ginnungagap jadi terlalu membosankan buat mereka. Sementara Niflheim dan Muspell terlalu mengerikan untuk mereka masuki. Odin, Ve, dan Vili mulai membayangkan masa depan.
Sesuatu harus berubah. Mereka tak bisa selamanya hidup seperti itu dari waktu ke waktu. Odin, Ve, dan Vili tengah merancang perubahan itu. Membunuh Ymir adalah awal dari sebuah perubahan. Mereka yakin kematian Ymir akan menjadi awal dari kehidupan baru. Maka diaturlah pembunuhan pertama itu dengan saksama. Dan saat yang tepat adalah saat Ymir tenggelam dalam tidurnya yang dalam. Dengan ujung-ujung batu es yang tajam, mereka menusuk seluruh tubuh Ymir. Mereka bertiga menusuk-nusuk dan menghantam Ymir dengan bongkahan-bongkahan es yang keras. Darah menyembur. Ymir menggeliat bangun tapi sudah terlambat. Ia bangun hanya untuk bertemu dengan kematiannya. Darah terus menyembur dengan deras dari seluruh tubuhnya. Banjir darah di Ginnungagap. Banjir dalam arti yang sebenarnya. Ribuan raksasa hanyut dan mati tenggelam. Semuanya mati kecuali sepasang raksasa, Bergelmir dan istrinya. Mereka selamat karena sempat naik ke dalam kotak kayu yang menjadi perahu bagi mereka dalam mengarungi derasnya samudra darah Ymir. Odin, Ve, dan Vili mendaki tubuh Ymir. Mereka bertahan berhari-hari di sana menyaksikan bencana hebat akibat ulah mereka. Darah Ymir menjelma samudra, membuat tubuhnya menjadi sebuah pulau yang terpencil. Ginnungagap telah lenyap.
Setelah keadaan tenang, darah tak lagi mengalir dari tubuh Ymir, raksasa-raksasa sudah tewas tenggelam dalam samudra darah-kecuali Bergelmir dan istrinya yang bisa kabur dengan perahu, Odin dan saudara-saudaranya mulai bekerja mencipta dunia baru. Mereka membuat tanah dari daging Ymir. Membuat gunung dan tebing-tebing dari tumpukan tulang-tulang Ymir. Membuat pantai pasir putih dari serpihan gigi Ymir. Tak lupa mereka membuat benteng pertahanan, berjaga jika para raksasa keturunan Bergelmir akan kembali dan membalas dendam. Benteng itu terbuat dari bulu mata Ymir. Daerah di dalam tembok itu mereka namakan Midgard. Di sinilah Odin bersaudara mewujudkan dunia impian mereka. Dunia yang indah: sungai-sungai jernih mengalir, gunung-gunung dan perbukitan yang hijau, padang rumput yang luas, hutan-hutan hijau yang lebat, pantai dan batu-batu karang. Dataran es Ginnungagap adalah masa lalu yang pelan-pelan akan mereka lupakan.
Tapi buat apa mereka ciptakan itu semua jika tak ada yang bisa menikmatinya. Odin dan saudara-saudaranya mulai gelisah. Mereka harus menemukan penghuni buat dunia baru yang mereka ciptakan. Permainan-permainan baru harus terus diciptakan. Jika tidak, mereka akan kembali bertemu dengan kebosanan. Bertiga mereka berkelana menyusuri dengan teliti lembah-lembah dan gunung-gunung, pantai-pantai yang jauh, untuk menemukan penghuni dunia rekaan mereka. Tapi tak ada. Mereka tak bertemu siapa-siapa. Hanya dua batang pohon yang teronggok di sebuah pantai, tergeletak bersisihan, sisa dari bencana yang belum lama berlalu. Sebatang kayu ash dan sebatang kayu elm.
Dua batang kayu ini mereka dirikan. Tingginya setinggi manusia. Odin lantas meniupkan napas kehidupan. Maka hiduplah kedua batang kayu ini. Mereka bernapas dan berdarah. Vili kemudian meniupkan hasrat ke dalam dua makhluk yang baru ini. Memberi mereka kemampuan berpikir dan bertindak. Dan Ve menyempurnakan tubuh kedua batang kayu ini. Mengukirnya menjadi sebentuk manusia: punya mata, telinga, hidung, leher, badan, dan sepasang tangan-kaki. Ia juga mengukir alat kelamin. Laki-laki pada kayu ash dan perempuan di kayu elm. Sepasang manusia baru saja tercipta. Keduanya berdiri berhadapan. Telanjang di sebuah pantai. Mereka adalah kita.
Aku Ask kau Embla.
Jogjakarta, 2019.
________________________________________
Gunawan Maryanto adalah seorang sutradara, aktor, dan penulis. Lahir di Yogyakarta, 10 April 1976. Bekerja di Teater Garasi/Garasi Performance Institute sebagai associate artistic. Dalam 10 tahun terakhir mengelola IDRF (Indonesia Dramatic Reading Festival) selaku direktur artistik. Buku terbarunya adalah Sakuntala (GPU, 2018).
[1] Disalin dari karya Gunawan Maryanto
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Koran Tempo” edisi akhir pekan 2 – 3 Maret 2019.
The post Titik Nol appeared first on Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara.
via Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara bit.ly/2EMC3rr
DI saat gerimis menggaris tipis, dan tebal kabut begitu akut, aku melamunkan burung möwe, krähe, atau taube, dan segala jenis burung yang biasa berkitar liar di sekitar pantai dan teluk di sini, pastilah sedang mendekam dengan bulu terkembang sembari saling bercumbu dengan pasangan masing-masing. Dalam cuaca dingin di mana api unggun hanya sebatas rencana yang gagal, dan selimut tebal tak bisa menahan gigil yang bebal, bergumul bisa menjadi pilihan terbaik selain menenggak anggur ditemani cerutu sampai jatuh dan tersungkur.
Tapi, sungguh, aku tak paham dengan tingkah gadis asing yang sedang duduk sambil terpingkal-pingkal di depanku ini. Tak pernah bertemu sebelumnya, tiba-tiba ia datang menghampiri sambil membawa dua gelas glühwein dan mengatakan akan mentraktirku malam ini. Ia juga menawarkan –lebih tepatnya melemparkan– cerutu ke arahku, yang jika dilihat dari jenisnya sulit untuk mengatakan dia tipe gadis yang hanya merokok di kala putus asa, atau sekadar coba-coba.
Kemudian, dia memperkenalkan diri bernama Helen, asli Jerman. Dengan alasan basa-basi paling basi sekalipun, sungguh, tak ingin aku merespons salam pekenalan darinya. Hanya sekilas kuperhatikan matanya saat ia bicara; mata yang lebar dengan pupil kebiruan. Alisnya cokelat muda tebal, sangat kontras dengan kulit wajahnya yang khas Eropa; putih terang dan nyaman dipandang. Dia mengenakan sweater wol rajut bermotif kereta santa, yang terlihat agak terlalu besar untuk tubuhnya. Rambutnya lurus sebahu, terbungkus penutup kepala warna merah muda
“Dari mana asalmu?” Aku tak bicara. Hanya menggeleng. Tatapannya teduh, namun mendalam seakan teluh hendak merelungi tubuhku. Lalu, dia berkata setengah tersenyum, “Cuaca dingin seperti ini kau bahkan tak memakai sehelai mantel pun? Sangat aneh.” Aku membalas senyumannya dengan tarikan napas panjang sambil mengangguk-angguk kecil setengah terpaksa. Jujur saja, aku tak suka jika ada yang mengganggu kegemaran sekaligus tugasku untuk bersendiri dan diam-diam mengamati.
Bagi banyak manusia, barangkali kegemaran dan tugas adalah dua hal berbeda. Hidup mereka pun selalu berada di antara gaya tarik-menarik antardua hal itu. Maka, perasaan lelah, ketidakadilan, bahkan kadang putus asa sama purbanya dengan usia dunia mereka. Tapi, tidak bagiku. Keduanya adalah sama. Kesendirian adalah momentum paling sempurna untuk bercakap-cakap dengan diri sendiri tentang apa saja, tanpa perlu malu, takut, atau gelisah pada suatu perasaan apa pun. Lain halnya manusia yang berinteraksi dengan rutinitas sehari-hari yang sering kali terlalu menuntut dan mutlak harus diturut.
Lagi pula aku sudah telanjur yakin bahwa aku memang hidup untuk sendiri, diam-diam mengamati, merekam tiap getir, keluh kesah, atau harapan yang kadang terkatakan lantang, kadang lemah dalam bisikan, atau bahkan yang teredam dalam diam dari tiap manusia. Itu adalah kegemaranku, sekaligus tugas yang tak pernah lepas dariku. Aku akan berpindah, selalu tak pernah menetap lama. Aku hanya mendengar dan tak harus mengenal kata berbagi, ingin, atau lain-lainnya lagi.
Tetapi, kenyataan sekarang memang sungguh ganjil. Meski makhluk bernama Helen ini kusadari sedang menginterupsi kesendirianku, aku tak cukup punya alasan untuk pergi. Cuaca di luar teramat buruk: kabut membuat jarak pandang berkisar tiga meter, dan membuat segelas glühwein panas hanya mampu mempertahankan kehangatannya tak lebih dari waktu yang dibutuhkan mengisap setengah batang cerutu. Lagi pula, selain penjaga gerai di weihnachtsmarkt yang meringkuk menahan dingin dan kantuk, tak ada lagi makhluk selain aku dan gadis kejutan ini. Mana bisa mendadak pergi?
“Rupanya kamu orang yang suka diam, ya?” tanyanya lagi. Aku menggerakkan sedikit kepalaku, dan kutarik alisku agak ke atas. Dia mengangguk, seakan memahami maksudku.
“Baiklah. Kalau begitu, aku saja yang berbicara. Kalau kamu mau membalas, aku akan senang. Kalau kadu diam pun, tidak mengapa. Aku hanya ingin kamu tahu. Deal?” Begitu katanya. Aku menghela napas panjang dan mengangguk. Ah, ini akan jadi lebih lama dari yang kuduga, pikirku.
Jam menunjuk pukul dua dini hari ketika dia bercerita tentang hidupnya: yatim-piatu semenjak usia sembilan tahun; kerja sambil belajar di suatu perguruan tinggi di daerah pinggiran Hamburg; bertunangan dengan seorang pelaut untuk kemudian gagal karena kapal yang dinakhodai kekasihnya dinyatakan tak akan pernah berlabuh kembali di suatu malam badai beberapa tahun lalu.
Aku memang tak seberapa menghiraukan ceritanya. Tetapi, dapatlah kukatakan bahwa pada awalnya dia mampu bercerita dengan jelas dan kronologi. Namun, selepas dia menenggak lima–enam gelas glühwein dicampur dengan rum, bicaranya jadi tak keruan. Ini diperparah dengan cerutu tipis yang daun tembakau dan kertas lintingannya dijual terpisah itu. Helen mengeluarkannya tanpa perasaan bersalah sedikit pun, melintingnya, lalu mengisapnya dengan detail bibir yang begitu subtil hingga per satuan helai asap seolah terlalu sayang untuk dibuang. Aromanya sungguh kuat dan khas. Maka, beberapa saat setelah itu, jadilah semua yang diceritakannya terkesan ambigu, tak tentu maksud, dengan ekspresi bicara yang teaterikal dan terkesan absurd.
Apa yang membuatnya terpingkal-pingkal seperti saat ini adalah ketika ia bertanya kepadaku, “Mengapa banyak orang justru membeli kemabukan di eh..eh…situ? Ha..ha..,” ucapnya sambil menunjuk menara rumah ibadah. Itulah pertanyaan yang diajukannya kepadaku, sekitar lima menit lalu. Selama itu pula dan hingga kini, ia tertawa begitu lepas tak tentu arah.
Ah, aku tahu, itu jenis pertanyaan sindir ejekan yang bukan tanpa dasar. Eropa, ya aku paham. Tempat di mana ilmu dan logika pernah menjadi segalanya. Menyempit ke Jerman, negeri penghasil banyak pemikir berotak kidal sehingga pemikirannya pun kerap kekiri-kirian, namun tetap liberal memuja kebebasan. Dan mengapa aku bilang bahwa pertanyaan Helen tadi adalah sindiran, lebih tepatnya sindir satir yang cerdas, adalah diam-diam aku berpikir dia tak sepenuhnya keliru.
Pertanyaannya itu mengingatkanku akan kejadian beberapa tahun yang lalu, ketika di suatu negeri nun jauh di sana terjadi bencana dahsyat tak berkeputusan. Pada musim kemarau, segalanya mengering dan menyedihkan: sawah hanya tanah kering yang retak, pepohonan meranggas, dan sungai-sungai mengering menjelma tanah lapang tempat bocah-bocah bertubuh layu bermain sepak bola bergawang debu.
Udara dan pemandangan yang terlampau gerah dan menyedihkan itu diperparah dengan beberapa ladang yang mulai terbakar. Tak begitu jelas mengapa dan siapa yang membakar. Yang pasti, terjadi keributan antar penduduk tentang siapa yang harus dipersalahkan dalam kebakaran seperti itu. Beberapa pihak yang dituduh mengaku dirinya hanya disuruh oleh tuan tanah yang mereka sendiri tak pernah melihatnya. Ketika ia terus dipaksa dan akhirnya dengan pasrah menyebut sebuah nama, tertuduh itu kemudian dianggap tak hanya membakar hutan, tapi juga tukang fitnah!
Begitulah, keributan itu menerus berulang, seperti sengketa tak berkesudahan. Perangkat desa itu sudah berusaha melakukan berbagai tindakan untuk meredakan kegusaran warga. Tetapi, itu saja tidak cukup. Seluruh warga seolah terlalu sangsi untuk menuruti segala perintah yang diberi. Sampai pada saat para tetua di negeri itu mengumandangkan seruan-seruan sebagai penenang. Ajaib! Sebagian besar penduduk seolah terbius, mendadak terdiam seakan suatu mantra sakti mandraguna meredam segala kegalauan.
Selang beberapa bulan kemudian, langit seolah menjawab doa mereka. Hujan membayar dahaga mereka dengan curah yang setimpal. Sungai menderas, rumput-rumput hijau semarak dengan celoteh girang dari kanak-kanak. Semua orang bergembira menyambut hujan yang dianggap selalu membawa mujur karena mereka kini tak lagi menganggur sebab sawah dan ladang kini siap disemai dengan padi, rempah, atau biji anggur.
Sayang, keceriaan karena lepas dari langit kemarau itu tak berlangsung lama. Bala banjir dan gelombang pasang dari laut di utara negeri menjelma lengan-lengan Izrail yang datang mengambili nyawa-nyawa penduduk desa itu secara acak. Di bukit, di pesisir, setiap hari, selalu saja ada yang meninggal. Penduduk desa mulai putus asa dan marah. Di saat itulah, sekolompok tetua dengan hiasan zirah di tubuh dan kepala bekerja keras mencegah keputusasaan penduduk macam itu. Dan sekali lagi, seperti waktu lalu, mereka berkumpul untuk berdoa beramai-ramai. Setelah berdoa dengan seksama, mereka pulang bersama dada lapang sembari serempak berkata, “Beruntunglah terdapat bencana susul-menyusul seperti ini. Sebab, dengan begini, persatuan dan kesatuan kita yang selalu rentan kini semakin terkuatkan.” Dan tak ada upaya lain yang sungguhsungguh kulihat dari mereka agar malapetaka semacam itu tak terulang di tahun berikutnya.
Ah, aneh sekali. Memang begitukah tabiat manusia?
Sering aku merenung dan membayangkan jawaban atas pertanyaanku itu. Dan Helen yang masih saja terpingkal-pingkal di depanku ini membuatku sedikit menemu jawab. Ah, sudah lewat delapan menit ia tertawa. Tidakkah ia lelah?
Tiba-tiba Helen menutup bibirnya, lalu terdiam. Bahkan lebih aneh, mimik mukanya berbalik total seperti hendak menangis. Matanya membening, bibirnya bergemetar samar. Ia sedang menahan air mata.
Tiba-tiba dia menggeser posisinya: duduk tepat rapat di sebelah bahu kananku. Kerlip lampulampu dari kapal yang hendak merapat ke pelabuhan tampak sedikit cemerlang. Barangkali kabut sudah berangsur menipis. Tiba-tiba saja disandarkannya kepalanya itu pada lenganku, dan dengan setengah memeluk ia mulai terisak.
“Kau lihatlah di luar sana. Lautan itu menyimpan begitu banyak riak di dalamnya, yang pada suatu saat akan meledak menjadi gelombang. Setiap kali aku menatap ombak, juga kapal-kapal yang datang dan pergi itu, aku selalu teringat…” suaranya kembali parau. Dingin. Helen tak mampu melanjutkan kalimatnya. Dia menangis lagi.
“Dia masih di sana bukan? Ah..mengapa..bahkan sekadar bisik menenangkan. Tak ada jawab, selain bunyi-bunyi ganjil yang selalu menerorku di malam hari dan membuatku menggigil tak henti mengutuki diri sendiri!”
Helen seakan bermonolog, dan kalimatnya yang terakhir itu seakan marah sekaligus lemah, dan jujur saja aku sedikit tertarik.
“Kenapa kamu masih diam saja? Kamu mengerti ceritaku, kan?” tanyanya.
Pada jarak dan suasana sedemikian dekat, aku putuskan untuk membalas tatapannya. Ah, sepasang mata yang indah, namun dengan tatapan kesepian yang begitu pucat. Kukira Helen juga merelungi mataku, dan kurasakan kini dia sengaja lebih mendesakkan tubuhnya kepadaku. Tapi, sungguh, aku tetap tak menemukan alasan untuk berlaku lebih dari diam.
“Kenapa kamu baru datang sekarang, malaikatku?” Nada bicaranya kini selembut kabut. Diraihnya tanganku, lalu ditempatkannya pada pipi kanannya yang basah oleh air mata. Aku membalas pandangan matanya yang masih membasah, sama dalam dan tenangnya. Sementara aku dan dia saling melepaskan pandangan, aku merasa di antara jarak pandang itu beribu cemara tumbuh menjulang begitu rimbun dan tinggi. Terlalu rimbun, hingga aku, dan mungkin dia, tak bisa melihat sesuatu yang dicari dengan lebih seksama. Tak bisa! Hanya bisa saling menebak-nebak, memanjat, kemudian turun, dan naik di pohon yang lain lagi, begitu seterusnya, berharap bisa menemukan sudut penglihatan yang lebih baik.
Mendadak ia melepaskan tanganku, berdiri dan berjalan agak linglung, menoleh sejenak ke arahku, lalu pergi menembus kabut dan gerimis. Ah, segelas glühwein yang Helen berikan untukku bahkan belum terminum separo.
Ketika melihat punggungnya menjauh, sungguh aku tak tahu persis apa yang sebenarnya Helen pikirkan atau duga tentangku. Mungkin ia berpikir bahwa aku bisu. Atau, aku tak berminat pada nafsu. Aku maklum, dan itu bukan masalah bagiku. Tapi, karena kejadian barusan, aku mulai berpikir bagaimana seandainya aku ini manusia, yang ternyata bisa begitu rela melakukan apa saja demi menawarkan rasa sepi dan kerinduannya….
Hamburg, 2018
Möwe: camar
Krähe: gagak
Taube: merpati
Glühwein: Minuman lokal Jerman. Terbuat dari campuran wine, jeruk, dan rempah-rempah yang disajikan hangat. Hanya dijual di bulan Desember jelang perayaan Natal
Weihnachtsmarkt: Pasar Natal, umumnya buka sore hingga dini hari
K.Y. Karnanta
Kukuh Yudha Karnanta, staf pengajar di Departemen Bahasa dan Sastra Inggris FIB Universitas Airlangga Surabaya. Visiting lecture di Departemen Languages and Cultures of Southeast Asian Universitat Hamburg, Jerman.
[1] Disalin dari karya K.Y. Karnanta
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Jawa Pos” Minggu 23 Desember 2018
The post Secangkir Glühwein untuk Darda’il appeared first on Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara.
via Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara bit.ly/2RiyG2L
Di sisi jenazah ibu, satu anak di antara sepuluh anak yang menangis bercerita tentang pisang: Ibu selalu menjinjing sesisir pisang pada setiap sore, melangkah agak terburu di jalan desa, lalu meliuk masuk rumah seseorang.
Di dalam rumah, sisir pisang matang di pohon itu dihadiahkan pada anak-anak. Maka, riang senang memenuhi rumah itu, dan ibu kemudian pulang ke rumah sendiri dengan senyum bahagia. Ibu melakukan ritual itu setiap sore, saban pulang dari sawah, secara bergantian dari satu rumah ke rumah lain. Dan ibu selalu tepat menebak di rumah mana anak-anak sedang berkumpul, bercerita atau bermain, sehingga ia senantiasa menerima sambutan alami dan getar bahagia ucapan terima kasih, seakan-akan ia berhadapan dengan berpuluh-puluh anak dari buah rahimnya sendiri. Anak-anak itu datang begitu mendengar ibu meninggal. Berkerumun mereka datang dan menangis, bahkan seorang anak perempuan sesenggukan tak habis-habis hingga tubuhnya bergetar hebat. Di sela sedu-sedan itu, mereka berebutan bercerita—kisah yang sama dengan irama yang beragam tentang pisang. Begitu bangga mereka bercerita dengan sungging bibir lembut dan cerah meski air bening senantiasa deras meluncur dari mata jernih mereka. Satu anak perempuan seperti sedang menyimpan telaga di matanya sekaligus menyimpan ribuan cerita di kepala dan ia menumpahkan air mata dari telaga matanya sekaligus menumpahkan cerita dengan penuh perasaan. Ia berkisah tentang bagaimana ibu mendirikan pagar dari berbagai jenis pohon pisang di tepi-tepi sawah, terutama di pinggir petak kecil di sisi jurang, agar tanah tak tergerus saat hujan. Tak ada yang bisa paham bagaimana deret pisang itu ditanam dan dirawat sehingga setiap hari selalu ada sesisir pisang yang matang di pohon dan ibu akan memotongnya setiap sore, hadiah sederhana bagi anak-anak desa. “Untuk urusan petik pisang, ibu paling lihai. Ia pegang bambu runcing, seperti di film-film perang itu, lalu menusukkannya ke bagian batang pisang agak ke atas. Ditusuk berkali-kali. Tusuk, tusuk, tusuk!” pekik si anak, sembari tetap menangis dengan air mata meleleh pada ranum pipi. Pilu sekaligus lucu. Anak-anak lain tertawa sekilas, lalu menangis lagi. “Tusuk, tusuk! Sepuluh kali, seratus kali, batang pisang koyak, getahnya merembes, dan setengah bagian atas akan tertekuk, terkulai ke bawah. Tidaklah putus. Tandan pisang hanya menjuntai seakan tunduk pada ibu. Ibu dengan leluasa kemudian mengiris sesisir pisang yang matang, hanya yang matang. Lalu sisanya dibiarkan begitu saja, tetap menjuntai ke bawah, untuk diiris besok atau dua hari lagi, ketika satu sisir lagi matang dengan warna kuning tua menggoda!” Aku, anak kandung ibu, tak betul-betul cermat mendengar anak-anak itu bercerita. Pikiranku terbagi pada gawai yang erat kukepal. Aku sedang berupaya meminjam dana kilat dari sejumlah bank dan gelisah menanti jawaban. Pagi ketika sepupu memberi tahu bahwa ibu meninggal akibat terjatuh di dapur, aku langsung menghubungi bank karena sekurang-kurangnya aku perlu Rp 200 juta untuk biaya upacara pembakaran jenazah ibu. Sebagai pengembang kondang di Bali, malu jika aku tak bisa menggelar upacara ngaben secara mewah dan megah. Setidaknya sepuluh babi besar harus dipotong, juga ratusan ayam, dan puluhan bebek beragam jenis bulu, sebagai pelengkap upacara. Belum lagi untuk aneka menu jamuan tamu-tamu penting kolegaku dari kota. Apalagi, untuk upacara besar, pamanku yang paham soal adat istiadat telah merinci berbagai sarana penting, semisal seribu butir kelapa, seratus batang bambu, puluhan ribu lembar janur, dan setidaknya sepuluh ton beras. Jika hendak membeli perlengkapan upacara yang sempurna, aku diminta menyediakan setidaknya Rp 80 juta kontan. Gawaiku bergetar. Satu panggilan dari bank besar memberi jawaban. Pinjamanku ditolak. Seakan sudah diatur, bank lain kemudian secara bergiliran menelepon dan memberi jawaban yang sama. Semua menolak dengan alasan serupa: aku ditolak karena angsuran utang sebelumnya macet total. Tubuhku bergetar. Kupandang tubuh ibu. Kupegang kakinya, rasanya aku ingin merajuk minta uang untuk membeli es sabun atau dibuatkan masakan sambal belut seperti ketika aku kanak-kanak. Dan ketika kusadari semua itu tak bisa kulakukan lagi, hatiku seperti teriris. Ibu kutinggalkan setamat aku SMA, sekitar 30 tahun lalu. Gagal kuliah, aku luntang-lantung masuk partai politik dan kenal banyak politisi, pengusaha, dan pejabat. Rupanya tak berbakat aku jadi politisi dan justru tumbuh jadi pengembang. Awalnya ikut-ikutan mengecer tanah kavling, lalu coba-coba bangun satu-dua rumah sederhana, dijual dan laris. Dengan berbagai koneksi, mudah kemudian kudapat pinjaman bank. Jadilah aku pengembang sejati. Sawah-sawah petani kusulap jadi perumahan megah, petani senang, kekayaanku jadi raya. Berkali kujemput ibu, kusiapkan satu vila dan kuminta ia tinggal diam saja menikmati pemandangan alam, namun ibu selalu menolak. “Ibu ingin merawat sawah peninggalan leluhurmu dan akan aku garap sampai tak ada tenaga dan jiwa lagi,” kata ibu selalu. Ibu tak bisa dirayu. Dan aku terlalu sibuk untuk bisa sering-sering pulang sekadar mengetahui kehidupannya. Hingga tiba pada satu masa, terjadi situasi yang tak mudah dipahami oleh pengusaha tamatan SMA macam aku. Orang-orang kaya tiba-tiba takut dan gentar belanja besar. Daya beli mereka nol, padahal aku baru saja membangun ratusan unit vila mewah di sebuah desa di lereng gunung. Vila yang kubangun tak satu unit pun ditawar orang. Dari bisik-bisik seorang teman, konon situasi itu terjadi karena korupsi perlahan-lahan sudah reda. Apa huhungannya? Aku tak paham. Yang jelas, aku bangkrut. Kreditku macet. Bank mengucilkan aku. Dan, sialnya, hampir seluruh aset milikku telah kujaminkan demi mendapat dana besar untuk membebaskan ratusan hektar lahan milik petani di lereng gunung. Sambil tetap memegang kaki ibu, aku berkali-kali memandang gawai di genggaman, jangan-jangan ada pengurus bank berubah pikiran. Tapi gawaiku beku, tak ada getar tak ada dering. Aku sungguh gelisah. Dua laki-laki masuk halaman rumah, menggotong babi besar, disusul dua laki-laki lagi, juga menggotong babi besar. Belum sempat disapa, para lelaki itu pergi begitu saja setelah menjatuhkan babi di sudut dapur. Sejam, mereka datang lagi, menggotong babi besar, begitu terus, hingga terdapat lebih dari dua puluh babi tergeletak di sudut dapur. Seorang perempuan bercerita: ibu adalah pemelihara babi yang tekun. Entah apa resepnya, ibu tak pernah gagal. Pernah terjadi kiamat babi, semua babi mati, kecuali babi ibu. Dalam setahun masa pembesaran, ibu selalu sukses membesarkan lebih banyak babi dari ibu-ibu lain. Begitulah, pada musim ayu untuk upacara adat, banyak warga tak punya babi hingga sulit menggelar upacara, maka ibu selalu dengan sukacita meminjamkan babinya. Si peminjam bukannya tak mau bayar di kemudian hari, tapi segala jenis uang ditolak ibu. Kembalikan nanti saja, kata ibu. Mungkin karena itulah warga desa tetap setia memelihara babi, terutama warga yang berutang babi pada ibu. Jaga-jaga, siapa tahu ibu tiba-tiba punya upacara sehingga utang babi bisa dilunasi dengan lekas. Dan kini, seakan jadi hari penentuan bayar utang, ramai-ramai mereka mengembalikan babi karena mereka pun tak sudi jika jenazah ibu diupacarai dengan cara sekadarnya. Aku, anak kandung satu-satunya milik ibu, termangu mendengar cerita dan menyaksikan peristiwa demi peristiwa di halaman rumah. Di sisi lain, aku masih gelisah mengepal gawai, mencoba menghubungi kawan baik, seorang rentenir. Laki-laki penggotong babi pergi, tapi mengalir kemudian ibu-ibu muda diikuti para suami. Penampilan mereka lebih rapi dari rata-rata suami-istri lain di desa itu. Ibu-ibu muda menjunjung keranjang berisi sayur-mayur, si suami di belakang menggotong sekarung beras di pundak dengan napas terengah. Seorang kakek bercerita: pasangan-pasangan suami-istri muda itu adalah guru kontrak yang dengan bayaran seadanya mengajar anak-anak desa di sekolah desa. Jika panen tiba, mereka tak ikut panen. Untuk makan, mereka beli beras di pasar. Gaji mereka pun habis untuk beli beras. Maka setiap panen, ibu kemudian menyisihkan berasnya untuk para guru desa agar gaji mereka tetap aman jadi tabungan. Ibu kadang juga menyelipkan sayur-mayur dan sedikit cabai hasil kebun. Boleh dibayar kapan saja, bahkan ibu tak pernah tanya jika mereka sama sekali abai membayarnya. Ketika ibu meninggal, terpanggillah mereka mengembalikan beras itu meski mereka yakin sampai di surga pun ibu tak akan pernah memintanya. Aku, anak kandung laki-laki ibu, terduduk lemas. Semua hal unik yang kusaksikan adalah keajaiban. Halaman rumah ibu, berarti juga halaman rumah masa kecilku, perlahan makin hiruk-pikuk oleh hilir-mudik orang. Entah dapat dari mana, mereka berbondong membawa janur, kelapa, bambu, dan berbagai jenis rempah. Lalu rumah ibu seakan penuh cahaya saat anak-anak berbaris seperti pawai Hari Kartini, dengan berpakaian adat, menjinjing berbagai jenis pisang untuk bahan upacara. Gawaiku bergetar. Pesan masuk. Dan betapa jengah aku, bahkan rentenir yang pernah kubantu membangun rumah pun tak bisa membantuku. Dasar rentenir busuk! “Made, makanlah dulu. Sejak pagi Made belum makan. Ayo, makanlah!” kata seorang warga desa, namanya tak kuingat, tapi wajahnya kukenal. Dia teman sebangkuku di SD. Aku kemudian digiring ke sebuah balai bambu beratap daun kelapa yang tampaknya baru saja dibangun. Di rumah ibu, di rumah masa kecilku sendiri, aku disuguhi berbagai jenis makanan yang tak kupahami dengan benar siapa tukang masaknya dan dari mana mereka mendapatkan bahan-bahan masakan. “Selama upacara ngaben ini, Made cukup menyambut tamu pelayat, terutama tamu-tamu penting, teman Made dari kota. Biarlah kami mengurus upacara ibu sampai tuntas. Hidup ibu adalah milik kami, sampai kami pastikan jiwa ibu tenang ber-stana di nirwana, sampai ibu menjadi Dewi Hyang, menjadi Hyang Ibu,” kata teman sebangkuku di SD, yang namanya tak kuingat itu, dengan suara berat. Aku memandang teman itu sekilas sebelum menjumput nasi lalu kukunyah dengan perasaan hampa. “Setelah jiwa-atma ibu ber-stana di nirwana, hanya Made kemudian yang berhak memujanya, memuja Hyang Ibu, dengan cara apa pun, karena kami sudah cukup bahagia bersama ibu selama ibu hidup!” lanjutnya. Aku tersedak. Warga desa seakan menghukumku dengan membiarkan aku merasa bodoh dan miskin, tidak mengerjakan apa-apa, tak membiayai apa-apa. Ibu membiayai sendiri upacara kematiannya dan aku harus menerima kesempatan memuja ibu, setelah ibu benar-benar tiada.
Made Adnyana Ole, lahir di Tabanan, kini tinggal di Singaraja, Bali Utara. Menulis cerpen dan puisi. Buku kumpulan cerpennya, Padi Dumadi (2007), dan kumpulan puisinya, Dongeng dari Utara (2014). Tiga cerpennya masing-masing terdapat dalam buku Cerpen Pilihan Kompas 2014, 2016, dan 2017.
Adytria Negara, lahir September 1995 di Jakarta, kini tinggal dan berkarya di Bandung. Cukup aktif melukis dan berpameran selama beberapa tahun terakhir, antara lain pameran You’ve Got One Notification, The Parlor, Bandung, 2018, dan INSIGHT: Nowadays Painting, Orbital Dago, Bandung, 2018.
[1] Disalin dari karya Made Adnyana Ole
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Kompas” Minggu 3 Maret 2019
The post Hyang Ibu appeared first on Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara.
via Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara bit.ly/2GXrJiI
ATAP sirap menghirup layu bau asap dari tungku kayu di dapur. Berkali-kali Nini Laba meniup selongsong bambunya untuk menjaga bara tetap membara. Ia menggoreng ikan asin, sambil sesekali mengaduk beras yang masih basah setengah lunak. Lalu menyeduh teh, menunggu daun-daun kering kecokelatan menguarkan isinya ke dalam air panas di teko kecil. Setelah panci nasi ditutup, dan ikan diangkat dari wajan. Nini Laba menuangkan teh ke dua buah gelas dan mencampurkannya dengan air tawar. Tak lupa gula, hanya satu sendok makan, untuk satu minuman.
Nini Laba harus berhemat. Musim hujan membuat getah karet sulit disadap karena medan yang berat. Apalagi penampung getah sering banjir dan membusukkan isinya. Membuat Nini Laba dan suaminya rela mengais rezeki dari memancing ikan. Kadang mereka membersihkan lahan demi upah beberapa ribu rupiah untuk membeli gula, garam, teh, dan bawang.
Bakul berisi nasi disajikan di atas meja makan yang reyot. Bersama Kai Djamal yang menunggu sambil mengasah pengukir. Setelah ini ia akan menyadap, tidak peduli hujan baru turun semalam.
“Makan,” ujar Nini Laba. Keduanya menikmati ikan asin mereka dengan khidmat. Secepatnya, Kai Djamal menandaskan isi teh yang mendingin. Lalu mengambil tas rotan yang dipanggul di punggung, kemudian pergi tanpa mengucapkan salam. Nini Laba ditinggalkan sendiri dalam temaram cahaya dapur yang sayu.
****
Kehidupan pasangan tua itu menyedihkan. Nini Laba hanya buruh serabutan. Sementara Kai Djamal ialah penyadap karet di lahan yang tidak luas. Padahal dulu mereka masyhur, hidup berkecukupan, dan tidak kekurangan sesuatu apa pun. Mereka tidak perlu mengikat perut dan menahan liur jika ingin penganan manis. Cukup pergi ke batang, tempat perahu-perahu penjaja sembako dan jajanan tertambat, tukar uang, dan dapatlah segala kebutuhan yang mereka inginkan.
Sekarang mereka renta, hidup serbaterbatas. Harta habis demi menyambung pendidikan anak semata wayang ke kota, yang selalu dibangga-banggakan Nini Laba sebagai calon dokter. Anak perempuan satu-satunya: Nuri, yang terbang ke luar sarang dan sesekali kembali untuk menceritakan pengalaman hebatnya di ibu kota provinsi.
Betapa hangat perasaan Nini Laba tatkala anaknya pulang. Nuri tampak anggun saat memperagakan jas putih dengan stetoskop. Nuri ialah pelita yang terus-menerus dinyalakan sebagai estafet harapan kedua orangtuanya yang baru punya anak di usia cukup tua. Semua tanah, kebun, dan emas dijual demi kuliah Nuri yang tinggal menghitung beberapa bulan. Apa pun mereka lakukan, meski rumah semakin miring, dan renovasi terakhir dilakukan ketika Nuri lulus SMP.
Sekarang pertengahan Juni semakin dekat, Nini Laba giat mencari tambahan uang untuk memanjakan anaknya ketika ada di rumah. Ia tahu, anaknya senang makan juhu singkah dengan wadi patin dan sambal kandas. Jadi, pelan-pelan, ia membeli daging patin beberapa potong di pasar Selasa. Beberapa pedagang heran melihat kedatangan Nini Laba yang lusuh dan jarang. Beberapa mempergunjingkannya, kebanyakan melontar penasaran dalam tatap.
Akan tetapi, Nini Laba tidak peduli. Ia tetap melanjutkan belanja ke dua daftar berikutnya, beras ketan dan garam batu. Setelah itu, ia pulang ke dapurnya yang rikuh dan menyangrai ketan untuk dicampurkan pada patin berlumur garam di dalam stoples.
Dalam pikiran Nini Laba, Nuri akan datang membawa berita gemilang. Ia akan kembali bercerita tentang susahnya menghafal simtom dan pertanda penyakit tertentu. Nini Laba sesungguhnya tidak paham, tetapi ia coba dengar setulus mungkin.
“Nak, tidak mandi?” tanya Nini Laba. Anaknya mulai semakin enggan turun ke batang. Entah karena jijik melihat kotoran dari jamban mengambang, atau mencium getah karet yang direndam setelah dikeraskan. Kai Djamal akhirnya membuat titian di bawah rumah yang diakses dengan pintu tingkap di lantai dapur. Sekalian, kata Nini Laba, sebagai tempat mencuci piring dan membilas baju.
Sekarang rasanya sudah lama sekali sejak titian itu dipijak. Dua papan kayunya berderit, hampir lapuk, dan lembek dikulum air pasang. Jadilah Nini Laba bersiasat dengan menampung air hujan dalam gentong lusuh pemberian tetangga yang memiliki bisnis air isi ulang dan jual-beli pulsa. Kadang menimba air dari sungai, lalu mengisi ceruk-ceruk kosong sampai ke ember yang bibirnya pecah dan rapuh.
“Boleh aku numpang menelepon?” tanya Nini Laba pada tetangga yang memberi gentong. Melihat Nini Laba sering diam dan bolak-balik membuat penjual itu iba meski heran. Sedikit enggan, ia sodorkan telepon genggam.
Nini Laba memencet nomor yang selalu disimpannya baik-baik di balik lipatan tapih. Kemudian menunggu, menunggu, dan menunggu. Tidak ada jawaban. Nuri sibuk. Itu yang selalu dipikirkan Nini Laba. Jadi, ia hanya mengirimkan pesan agar anaknya mengabarkan diri jika hendak pulang.
****
Foto-foto Nuri menguning di ruang tamu. Walau dibersihkan setiap hari, debu tetap erat menempel seperti kenangan di benak Nini Laba. Ia rindu anaknya, tetapi tak bisa berbuat apa-apa selain menanti.
Tidak ada gambar baru, terakhir rekam hanya saat Nuri berhasil masuk tes fakultas kedokteran. Setelah itu kosong. Dinding tampak tidak seimbang di satu sisi. Nini Laba ingin menyimpan ruang itu untuk kelulusan anaknya nanti.
“Nanti kalau anak kita sudah jadi dokter, kita akan jadi orangtua dokter,” cerita Nini Laba. Berbeda dari istrinya, Kai Djamal tidak antusias dan sibuk menganyam tikar rotan di bawah temaram lampu lima watt.
“Kita akan pindah ke kota.”
“Hmm.”
“Kita akan tinggal di rumah beton dengan isi garasi mobil.”
“Iya.”
“Anak kita akan jadi kebanggaan kampung. Orang-orang pasti iri.”
Kai Djamal meminum tehnya yang hambar, lalu lanjut menganyam.
“Kalau kita sakit, tidak usah bayar.” Nini Laba terus mengkhayal.
Khayalan itu semakin dekat mendekati waktu kelulusan Nuri. Nini Laba tidak bisa menahan senyum. Ia sengaja mendatangi gerombolan ibu-ibu yang sedang mencari kutu dan membicarakan anaknya. Mengatakan ia akan jadi yang pertama dan satu-satunya orangtua dokter.
Anehnya, mereka tidak ambil pusing, terus sibuk menindih mati kutu-kutu dengan kedua kuku mereka.
“Anakku sebentar lagi lulus. Ia akan jadi dokter betulan,” nyanyi Nini Laba. Ia menghitung tanggal dengan teliti seolah menunggu masa subur. Sementara itu, wadi-nya semakin masak di dalam toples. Kepala ikan mencuat dari permukaan amis air asin yang pekat. Kedua bola matanya bulat membesar. Ungu, hampir kehitaman. Terkupas di beberapa bagian. Daging-dagingnya lembek dan lepas mencari tambatan sendiri di dasar genangan.
Laba bangga karena wadi buatannya adalah yang terenak di antara semua masakan. Asin, gurih, dan lumer di mulut. Nuri suka makan nasi hangat dengan wadi, meski mengeluh, orangtuanya harus jaga asupan garam agar tidak hipertensi.
Kapan terakhir Nuri mengingatkan mereka? Nini Laba menerawang. Atap sirapnya lama tidak diganti hingga bolong di sana-sini. Ada gantungan baju bekas kerja yang tercemar getah di dinding, juga jas putih, dan celana hitam panjang bekas Nuri di semester awal dulu. Anaknya meninggalkan itu semua di rumah karena ingin membeli yang baru. Di liburan terakhirnya, saat Nuri hendak pulang menyeberang sungai dengan kapal.
Setelah itu batang mereka tenggelam. Jukung terakhir musnah ditelan pasang. Tidak ada lagi kendaraan di air. Lagi pula Kai Djamal tidak membutuhkannya. Sudah tidak ada ladang di seberang sana untuk diurus. Semua sudah ia jual untuk perkebunan sawit.
****
Tanggal 15 Juni. Nini Laba memasak wadi banyak-banyak, semua makanan disusunnya sedemikian rupa agar menarik dan mengundang nafsu makan. Kai Djamal hanya bisa menatap pedih itu semua.
“Anakku calon dokter.”
“Iya.”
“Kenapa dia belum datang?”
“Nanti sebentar lagi,” Kai Djamal menyabarkan. Berbeda dengan Nini Laba, sang suami mengenakan setelan baju muslim lengkap dengan peci dan buku surah Yasin di tangan. “Kita jemput Nuri, ya.”
Nini Laba terdiam. Tiba-tiba saja ia ingat kenapa anaknya terasa sangat lama pulang. Kenapa ada ruang kosong di dinding. Kenapa perahunya tidak lagi tertambat di rumah. “Nuri akan pulang.” Ia terus meyakini itu.
“Kita akan mendatanginya.”
“Anak kita dokter.”
“Ayo pergi.”
Jas putih lusuh. Stetoskop rusak di dekat pengukir karet. “Nuri anakku, dia dokter.”
“Kita akan makan di sana bersama Nuri.”
Nini Laba menangis, lagi. Untuk kesekian kalinya di tanggal 15, ia mendapati kenyataan berputar-putar dalam kepalanya. “Anakku tahu gejala dan tanda penyakit. Dia dokter,” raungnya. Kai Djamal cuma bisa memeluk perempuan renta itu dibarengi tatapan Nuri, dari bingkai foto yang dimakan kusam. (M-2)
Thiya Rahmah, pegiat literasi di komunitas Dimensi Kata.
[1] Disalin dari karya Thiya Rahmah
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Media Indonesia” Minggu 27 Januari 2019
The post Nuri appeared first on Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara.
via Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara bit.ly/2RZBYJj
Pagi menyingsing fajar, suasana masih berkabut dingin samar-samar dalam kegelapan. Sudah beberapa malam aku tidak dapat memejamkan mata, selalu terjaga. Rasa takut masih menyelimuti meskipun kini aku bersama yang lainnya telah berada di tenda pengungsian, setelah selamt dari amukan dasyatnya gelommbang tsunami yang memorak-porandakan wilayah Banden dan Lampung Selatan.
Banyak orang tua yang kehilangan anak suami kehilangan istri, Kakak kehilangan adik dan sebaliknya. Harta benda mereka habis terbawa derasnya air akibat gelombang tsunami dampak dari erupsi gunung Anak Krakatau. Mengingat kejadian malam itu, sungguh membuatku trauma, dadaku sesak, menahan kesedihan. Karena kini aku tak memiliki apa-apa.
***
Malam itu, ketika aku hendak pergi ke pertemuan muda-mudi desa yang juga bertepatan dengan malam Minggu. Malam panjang bagi anak muda, begitu beberapa syair lagu mengatakan. Setelah mempersiapkan diri dan berpakaian rapi, aku menunggu jemputan dari sahabat yang akan pergi bersama, sembari SMS-an. Aku terkejut, tiba-tiba terdengar orang-orang di luar ribut dan berlarian sangat panik.
Aku pun jadi heran, sebenarnya apa yang terjadi, mengapa semua orang berlarian? Pada saat itu ibu tengah pergi kondangan dan adikku laki-laki mengantarnya. Dengan cepat, aku meraih handphone untuk menelepon Ahmad, yang tengah mengantar ibu kondangan di desa tetangga. Namun, ketika suara panggilan itu mulai terhubung dan berdering, tiba-tiba air setinggi empat meter menerjang dan menghantam bagian atas didinding rumah dan atap. Aku terpental dan hanyut terseret arus.
Aku terus berjuang dengan berenang sekuat tenaga. Di antara deru dan sengal kulihat sebatang kayu yang tengah mengambang. Tanpa berpikir panjang, aku pun memegangnya erat sebagai pelampung agar tidak tenggelam. Karena tenagaku sudah terkuras untuk berenang sejak terpental dan terseret air dari rumah. Dalam terkatung-katung, aku membaca asma Allah sebisaku. Berdoa, meminta pertoongan-Nya. Karena hanya Dia yang menguasai segalanya. Aku sudah tak bisa merasakan apa pun, antara sakit, takut, dan pasrah menjadi satu.
“Andaikan hamba harus meninggal dalam peristiwa ini, Ya allah. Tak mengapa. Tapi tolong, selamatkan adik dan ibu hamba,” doaku dalam hati, di saat badanku terombang-ambing terseret air.
Di antara tenaga yang masih tersisa, aku terus berjuang. Meskipun tangan dan kaki ini merasakan sakit yang luar biasa karena harus membentur benda-benda lain yang turut berhampuran di atas air bah. Aku berharap ada keajaiban yang datang menyelamatkan.
***
Entah berapa jauh tubuhku terseret arus ganas yang menyita waktu kurang lebih sepuluh jam tersebut. Ketika aku tersadar samar-samar aku mendengar suara orang memanggilku.
“Mba.. Mba …Anda mendengar suara kami?” Sayup-sayup kudengar suara laki-laki.
“Aku di mana?” tanyaku dengan kebingungan.
“Apakah ini alam kematian?” batinku lirih.
Seluruh badanku terasa sakit, dan sulit digerakkan. Kaki dan tanganku terdapat banyak luka barutan benda-benda tajam. Mungkin saja ada paku yang menganga dan akar-akar tajam di antara puing-puing yang kulalui. Sebab, yang aku ingat, banyak pohon tumbang, dan rumah-rumah belum permanen yang roboh.
“Mba ada di tenda pengungsian,” jawab seorang laki-laki yang berdiri di sampingku.
Saat itu aku baru sadar, sebuah gelombang setinggi lima meter telah menyapu rumah dan seluruh penghuni Desa way Muli, Lampung Selatan. Kampung nelayan tempatku dibesarkan. Aku pun terombang-ambing tanpa tahu seberapa jarak yang telah kulalui. Anganku mengingat sesuatu.
“Ahmad, Ibu, di mana mereka?” tanyaku terperanjat.
“Mba kami temukan terjepit tak sadarkan diri, di antara himpitan runtuhnya rumah dan pohon-pohon yang tumbang. Untuk keluarga Mba yang lain, nanti bisa kita cari perlahan-lahan.”
Aku tidak tenang sebelum menemukan Ahmad dan ibu yang saat gelombang tinggi itu datang mereka tengah di luar rumah. Apa yang kami miliki telah habis tak tersisa, jangan sampai aku kehilangan mereka berdua. Batinku sakit, sedih, hampa, tak tahu harus berbuat apa. Bahkan air mata pun sudah tidak dapat keluar. Segala rasa perih tercurah saatku tertelan pusara air yang banyak merenggut ratusan nyawa manusia dan menyisakan kesedihan. Antara hidup dan mati, hingga membawaku sampai ke tempat ini.
“Ibu … Ahmad, kalian di mana?”
***
Rasa sedih dan tangis pilu kehilangan orang-orang yang dicintai mewarnai segala penjuru di tenda pengungsian. Raut wajah waswas dan takut akan adanya tsunami berada setiap sudut. Tak hanya masyarakat biasa, beberapa artis juga menjadi korban keganasan gelombang tsunami tersebut.
Aku berusaha menyibukkan diri dengan bergabung ke dapur umum pengungsian di Balai Desa Totoharjo, Bakauheni. Dengan begitu, sedikit menghilangkah kesedihan dan khawatirku karena ibu dan Ahmad belum ketemu. Bersama relawan yang lain, saling membahu menyediakan makanan untuk pengungsi dan relawan yang datang mengantarkan bantuan. Namun, ujian itu belum berakhir karena seorang pengungsi lain yang berasal satu daerah denganku mengabarkan jika mereka menemukan keluargaku di antara tumpukan rumah dan tiang listrik yang roboh, keduanya telah meninggal dunia, dan jenazah mereka telah dibawa ke rumah sakit bersama korban lainnya yang telah ditemukan.
Tanpa banyak tanya aku bergegas menuju RSUD dr H Bob Bazar, tempat dimana jenazah yang ditemukan dikumpulkan guna proses identifikasi. Aku ingin memastikan jika yang katakan tetanggaku itu benar. Meski aku lebih berharap jika semuanya salah. Aku lebih senang jika Ibu dan Ahmad masih hidup dan berada di tenda pengungsian yang lain. Namun, lagi-lagi Allah menguji kesabaranku. Mengambil semua orang yang kucintai. Dari baju yang dikenakan dan ciri-ciri yang lain ternyata benar; kedua mayat di dalam kantung jenazah itu adalah orang-orag yang beberapa hari ini kucari. Ibu dan Ahmad baru ditemukan dua hari setelah kejadian yang mencekam 22 Desember 2018 lalu.
“Ibu … Ahmad, Bangun …!” Raungku kencang, sembari kugoyangkan kantung jenazah satu persatu.
Tangisku pecah. Rasa sedih yang beberapa hari ini tersimpan di dada, membuncah. Aku tak peduli tatapan orang di sekelilingku. Rasa iba, haru membaur menjadi satu. Bersyukur jenazah mereka bisa ditemukan karena banyak korban yang terseret air belum diketahui keberadaan hingga sekarang. Apakah selamat, atapun sebaliknya. Samar-sama aku pun mendengar beberapa orang tergugu penuh kesedihan. Mereka sama sepertiku. Menemukan anggota keluarga, yang telah tak bernyawa.
***
Tetangga dan para warga memantu prosesi pemakaman keluargaku. Hari itu ada beberapa jenazah yang dimakamkan di pemakaman umum daerah kami. Dengan berat hati aku menyaksikan kedua orang yang kucintai dimasukkan ke liang lahat. Setelah dikumandangkan Adzan, makam pun ditimbun tanah basah. Kesedihan ini sama saat pascakelulusanku dari akademik keperawatan, saat ayah meninggal karena serangan jantung. Sejak saat itulah, kami hidup bertiga. Namun kini, tinggalah aku sendiri
“Sabar ya, Mba Ana. Ikhlaskan kepergian Ibu dan Ahmad. Mereka telah berkumpul di sana,” hibur Ratri. Tetangga kampung, yang juga kehilangan salah satu anggota keluarganya.
Sebenarnya aku tidak sendiri, banyak orang lain yang juga harus tegar karena ditinggal orang-orang yang disayangi. Bahkan vokalis grup band Ifan Seventeen harus kehilangan istrinya yang belum lama ia nikahi, sekaligus tiga rekan grup yang lainnya. Bencana dan kematian bisa menimpa siapa saja, tak pandang bulu. Tak ada yang bisa menghalangi jika kuasa-Nya telah berkehendak.
Tidak bisa dipungkiri, kesendirian ini benar-benar membuat aku terpuruk. Bagaimana masa depanku kelak? Tinggal di mana, bersama siapa? Semua pertanyaan menjadi momok ketakutan yang kian meracuni pikiran. Karena hari ini, aku resmi menyandang status yatim piatu dan tak memiliki apa-apa. Sebatang kara.
***
Aku selalu menyibukkan diri di dapur pengungsian. Menyiapkan masakan, menata, dan membagikannya dengan pengungsi yang lain. Ini cara yang ampuh mengobati kesedihan. Sama-sama bangkit dan saling berbagi membuatku merasakan jika hidupku masih berguna bagi orang lain. Jika pekerjaan dapur usai, aku ikut bersama relawan lain memberikan terapi healing kepada adik-adik yang mengalami trauma akibat tsunami tersebut, juga belajar dan bernyanyi bersama dengan anak-anak. Menghibur mereka. Kenyataan perih ini, takkan kutambahi dengan berlarut-larut dalam kesedihan karena kehidupan harus tetap berjalan.
Hari demi hari bantuan terus berdatangan, baik dari pemerintah maupun elemen masyarakat. Kesibukan para relawan kian meningkat. Dapur umum bekerja selama 24 jam dengan shift bergantian. Aku menikmati semua rutinitas itu sebagai pelipur lara meskipun di setiap malam rasa sedih itu datang menyerang. Menghujani ulu hati.
***
“Masih terlalu pagi, kamu sudah terbangun, Na?” sebuah suara memudarkan lamunanku.
“Aku tidak pernah bisa tidur, Ratri. Selalu teringat masa-masa bersama keluarga.”
“Aku mengerti perasaanmu, Na. Namun, kamu tidak sendiri. Ada aku, mereka, dan kita semua. Mari sama-sama bangkit menatap masa depan untuk hari berikutnya.”
Kami pun berpelukan. Bulir bening itu mengalir lagi, basah merata di pipi. Menghiasi dinginnya fajar menyambut subuh di pengungsian. Kebersamaan ini membuat diriku tak merasa sendiri menapaki hari-hari.
Taiwan, 8 Januari 2019
Note: Kisah ini terinspirasi dari peristiwa Tsunami di Selat Sunda dan Lampung. Penulis berasal dari Lampung yang saat ini tengah merantau ke Taiwan.
Wanita penggemar kopi ini berimajinasi. Saat ini tengah berada di Bumi Formosa untuk meraih mimpi yang tertunda. Eti beberapa kali menjuarai perlombaan menulis, peraih juara ke-3 VOI Award RRI 2017, Jury award Taiwan Literature Award Migran (TLAM) 2017 di Taiwan, dan 1 lomba menulis cerpen Inspiratif Forum Pelajar Muslim Indonesia Taiwan (FORMMIT) 2018. Penulis merupakan pekerja migran dan berstatus mahasiswa Universitas Terbuka Taiwan. Penulis bisa disapa melalui etimelati18@gmailcom.
[1] Disalin dari karya Eti Nurhalimah
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Republika” edisi Minggu 10 Februari 2019
The post Ujian di Penghujung Tahun appeared first on Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara.
via Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara bit.ly/2SAFc6y
Di Kedu Swatama itu Menjelma Diriku
Akulah lelaki itu
Yang engkau tusuk kutuk di tanah Kedu
dengan penyakit kusta cintamu.
Setelah di sokalima panah cundamanik
Tak juga kuasa membunuh kesepian kita.
aku membayangkan cinta adalah perang besar
Antara Pandawa dan Kurawa di kurusetra
yang melahirkan luka-dukana.
aku sempat juga membayangkan cinta adalah dendam
kesumat
Yang diberikan rindu sebelum
gadarujakpala itu menghancurkan segala doa-doa
Yang di bangun dari mimpi-mimpi kita
Yang gagal di amini para dewa
di Astina sana.
Kedu Dalam perang Baratayudha
adalah kau dalangnya
di mana sebuah perang kembali diciptakan
untuk melahirkan kesepian.
bukan oleh Pandawa atau Kurawa
Sebab di kurusetra perang itu belum juga di mulai, katanya.
Tapi, di tanah Kedu rindu kita telah gugur satu demi satu.
Hingga tak tersisa lagi cintamu.
dari utara Astina luka membara
dari selatan amarta kesedihan lebih dulu merayakan kemenangannya.
aku pulang kepada dirimu
tapi tidak membawa kenangan
sebelum dan sesudah kunang-kunang lepas dari sangkar
ingatan
sewaktu musim hujan atau kemarau panjang menghadang
jalan.
dari atas langit setetes hujan dijatuhkan
ke dalam ladang jiwamu yang gersang..
setahun lamanya usai perang Baratayudha
menjemput nasib kita di tanah Kedu
Aku bakar dendam kesumat itu
Untuk memulai hari baru
Hari-hari rindu tanpa dirimu
Begawan Durna Gugur di Kedu
kenyataan mengabariku bahwa rindulah yang lebih dulu
membunuhmu
Sebelum perang Baratayudha itu berakhir
membuat aku pulang lagi ke tanah kedu
tanah kandung ari-ariku dan dirimu saling menancapkan
panah cinta cundamanik
Yang kita lepas bersama-sama ke arah jantung sepi yang
tertinggal di kurusetra.
Sumpah Gendari Kepada Sengkuni
Telah aku lahirkan seratus bayi di tanah Kedu, Rayi
Dari seorang lelaki buta yang jatuh cinta pada seekor
ayam cemani
Ayam itu peliharaan Sanghyang Dewi Sri
Meski pun aku tak pernah tahu apakah arti bahagia
Setelah di kurusetra kesepian mengalahkan kita
Tapi matahari yang selalu gagal kita amini tiap pagi
Datang melahirkan hujan
bagi benih-benih padi yang tumbuh
di rahimku ini
Ayam Cemani di Lumbung Padi
Di atas kuburan itu bulan telanjang
Sehelai sarung menutupi auratnya.
Di tanah Kedu
ayam cemani satu demi satu mati
di lumbung tak ada lagi padi.
Telah ia tanam benih tubuhku.
ke dalam ladang jiwamu yang gersang
burung-burung terbang meninggalkan kampung halaman..
Tapi kesepian ini akan tetap bersemi
setelah kemarau panjang mengeringkan rindu kita
Tak apa, nduk,
Selama mulut masih bau tembakau lintingan.
Dan si tole rajin mengaji ke rumah Ki Ageng Makukuhan
Keselamatan atas cinta kita
tak akan pernah habis
di makan hama.
Budi Setiawan, tinggal di Temanggung – Jawa Tengah. Bergiat di Komunitas Seni Turonggo Setro. Buku puisi pertamanya berjudul ‘Kerokan’.
[1] Disalin dari karya Budi Setiawan
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Kedaulatan Rakyat” Minggu 20 Januari 2019
The post Di Kedu Swatama itu Menjelma Diriku appeared first on Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara.
via Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara bit.ly/2RCvmjW
Musim dingin bulan Januari menemani langkah kakiku keluar dari lobi Steigenberger Frankfurter Hotel. Gedung-gedung berbalut lampu warna-warni, menambah indah sepenggal wilayah penanda kota, kawasan Domplatz. Town Hall yang memasang poster besar Aaron Neville membuatku sejenak menghentikan langkah. Sang maestro jazz itu berkabar sedang menggelar konser di Frankfurt.
Langkah kaki berlanjut, menelusuri jalan kecil untuk bertemu ikon kota, Katedral Santo Bartolomeus. Ada stasiun kereta, tepat di depan sisi kanan katedral. Aku berjalan merapat di samping stasiun kereta. Di belakang, sedikit di luar halaman katedral ada museum yang menyimpan koleksi perjalanan peradaban bangsa Jerman. Di pintu masuk museum tersua kedai kopi White Cafe.
Dia duduk membaca sebuah buku di White Cafe. Kupanggil lirih, “Saras….” Ia, pemilik nama itu, meletakkan buku. Bibirnya terbuka, lirih menyebut Sang Pencipta. Saras memandang tajam wajahku. Beralih menatap jaket tebal Versace yang baru kubeli seminggu lalu di Milan. Celana panjang Ermenegildo Zegna yang belum patah seterikanya tak lepas dari pandangannya. Tatapan Saras berakhir ke sepatu Adidas edisi terbatas yang kubeli di toko utama Adidas di Berlin.
Aku membentangkan tangan. Saras beranjak dari kursi. Menyerbu dan mendekapku. Dekapan erat lagi hangat. “Bau tubuhmu berbeda, Agung. Calvin Klein Obsession. Aku memang begitu terobsesi bertemu denganmu.”
Ya, bau tubuhku memang berbeda. Begitu kontras dengan bau tubuhku sebelas tahun lampau. Gedung Pusat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Dua ratusan mahasiswa mengelilingi panggung demontrasi. Oktober dua puluh delapan. Saat paling tepat menggelorakan Sumpah Mahasiswa. Aku meloncat ke atas panggung. Meraih mikrofon untuk berorasi. Itulah demonstrasi yang muncul lagi di kampus setelah terakhir besarbesaran sepuluh tahun lalu saat melengserkan kekuasaan Orde Baru.
“Kawan-kawan, sudah sepuluh tahun mahasiswa hidup dalam kenyamanan. Saatnya bergerak lagi. Ada banyak ketimpangan. Ada banyak penyelewengan kekuasaan. Ayo kita bergerak ke rumah rakyat. Kita ke gedung DPRD!”
Aku turun dari panggung. Berdiri paling depan, memimpin rombongan. Kami bergerak meninggalkan panggung demonstrasi. Seribu meter dari Gedung Pusat UGM. Ada perempatan jalan besar. Kami tetap bergerak. Namun tepat di depan department store lokal, rombongan mahasiswa diadang puluhan aparat keamanan. Lengkap dengan sepatu lars, tameng, pentungan, dan gas air mata.
Entah siapa memulai, terdengar sebuah kata kencang lagi keras, “Serbu!!!” Serentak pentungan turun dari udara. Menebas tubuh mahasiswa. Menerjang kaki mahasiswa. Kekerasan tercipta. Rombongan mahasiswa berhamburan. Cerai-berai menuju empat penjuru mata angin senyampang dengan guyuran gas air mata.
Mataku panas. Aku tertatih-tatih. Gebukan pentungan mendera tubuhku. Aku tersungkur. Sebelum gebukan kedua menghajar, aku segera bangkit. Berlari. Tiga aparat keamanan menyusul. Lorong-lorong department store. Berujung di sebuah gang. Gang yang terasa amat panjang. Sebuah pertigaan, aku belok ke kanan. Ada pintu rumah terbuka. Aku nyelonong ke sana.
“Ya, Tuhan!” seorang wanita membuka bibir begitu aku memasuki pintu rumahnya.
“Dikejar aparat!” tersengal-sengal aku menjelaskan.
Wanita itu langsung bergerak, menutup pintu. Lalu berkata tegas, “Buka sepatumu. Lepaskan bajumu!”
“Apa?!” aku tidak paham perintahnya.
“Ayo, cepat. Jangan terlambat!”
Kuikuti perintahnya. Kucopot sepatu. Kulepas baju. Ia kemudian mendekapku. Bersandar di tembok, ia berseru, “Peluk aku! Dekap aku!” Naluriah aku patuhi ajakannya.
Pintu didobrak. “Ketangkap kau!” suara dari mulut aparat keamanan terdengar.
“AaahhÖ.” dia berseru. Masih tetap mendekapku. Hanya matanya tajam menatap si aparat keamanan.
“Maaf, maafÖ,” aparat itu menurunkan pentungan. Menutup pintu pelan. Lalu terdengar teriakan, “Bukan! Bukan cecenguk itu!” Derap-derap sepatu lars meninggalkan rumah, hilang di kelokan jalan.
“Aman,” katanya. Lalu ia melepas dekapan. Ia meninggalkan aku yang masih terpaku di tempat. Mengambil segelas air putih, “Minumlah.”
Kuteguk air putih itu. Kesadaran hinggap dalam logikaku. Kemudian aku tahu, dia Maria Saraswati. Berasal dari Surabaya. Ambil fakultas psikologi di kampus yang sama denganku, UGM. Kami beda fakultas. Aku di ekonomi jurusan manajemen.
Pelukan tanpa rencana itu ternyata bersambung berjilid panjang. Aku sering mendatangi kosnya. Lalu sering berboncengan motor menelusuri jalanan kota Yogya. Di Stadion Kridosono kudekap dia sambil mendengarkan konser grup lawas Michael Learn to Rock. Mampir di Lembaga Indonesia Prancis, melihat pameran lukisan. Tentu di depan pintu kosnya yang selalu berujung pada ciuman di pipi. Saras yang sungguh ayu benar-benar merontokkan naluri purbaku; jatuh cinta.
Sayang hubungan emosional itu putus tak lebih dari umur jagung. Perkawinan orang tua Saras memburuk, berujung pada perceraian. Itu menimbulkan luka sangat dalam bagi Saras. Ia kecewa pada orang tuanya. Kekecewaan itu dia lampiaskan dengan meninggalkan jauh kedua orang tuanya. Berlin tujuan Saras. Melanjutkan kuliah S-2. Uang warisan ayahnya yang pengusaha di Surabaya lebih dari cukup untuk membiayai kuliah dan hidup Saras di Berlin.
Tidak hanya memutus hubungan dengan kedua orang tuanya. Hubungan emosi denganku pun terjerembap. Suara telepon Sarah nun jauh di Berlin menghentikan hubungan kami. “Agung, aku trauma atas perceraian kedua orang tuaku. Terlampau berat bagiku menerima kenyataan ini. Biarkan aku di Berlin menenangkan diri. Biarkan pula aku membunuh benih-benih cinta padamu. Selamat tinggal dan sukses dengan wanita baru pilihanmu.” Telepon dia tutup dan sejak itu pula hubunganku dengan Saras tertutup.
***
“Kau masih seperti dulu, Saras. Tetap ayu,” aku membuka percakapan setelah kami duduk berhadapan.
“Kau berubah terlampau jauh. Penampilanmu sekarang tidak mencerminkan dulu ketika dikejar-kejar aparat,” Saras menimpali.
Aku tertawa ringan. “Di Frankfurt tiada sah bila tidak mencecap anggur.” Saras menunjukkan daftar menu ke arahku. “Cabernet Sauvignon paling terkenal di cafe ini.”
Aku menyetujui anggur pilihan Saras.
“Sebelas tahun tiada bersua, bagaimana kau bisa sampai di kota ini?” Saras bertanya.
“Selesai kuliah, orang tuaku membiayaiku ambil master bisnis di Amerika. Berbekal gelar master, aku diterima di perusahaan multinasional di Jakarta. Pengalaman sebagai aktivis mempercepat karierku. Tak sampai tujuh tahun aku sudah jadi general manager. Membawahkan semua penjualan produk di Indonesia. Dua minggu ini aku berkeliling Eropa. Mengunjungi kantor pusat di Swiss, ke kantor cabang di Barcelona, Lyon, Roma. Lalu berlanjut konferensi bisnis digital dua hari di Rotterdam. Hari ini bebas, dan siap jalan-jalan di Frankfurt. Kau?”
Kutatap wajah aristokrat Saras. Ia menyibakkan rambut. Ada anting hijau muda menghias telinganya. Anting yang dulu kubelikan di salah satu toko di Malioboro.
“Master psikologi aku raih di Berlin enam tahun lalu. Pernah bekerja di perusahaan global yang berkantor cabang di Indonesia juga. Tapi hanya bertahan dua tahun. Tiga tahun ini aku di Frankfurt. Ambil doktor sambil jadi asisten dosen. Kabar Bayu? Ong? Dita? Ahmad?” Saras bertanya tentang teman-teman mantan aktivis.
“Bayu jadi orang partai. Ong sekolah di Amerika. Selesai doktor hukum malah jadi pastor Katolik dan sekarang bertugas di Venezuela. Dita kawin dengan Sitompul dan pulang kampung ke Kabanjahe. Jadi petani dengan puluhan hektare tanaman jeruk. Ahmad membesarkan pesantren leluhurnya di Situbondo.”
Aku teguk Cabernet Sauvignon. “Aaron Neville malam ini main di Town Hall. Bagaimana kalau kita habiskan malam di Town Hall?”
Ajakanku disetujui Saras. White CafÈ, penggalan kawasan Domplatz dan berujung di Town Hall. Ketika Aaron Neville bernyanyi “Don’t Know Much”, kudekap erat tubuh Saras. Kucium lembut pipi ranum Saras.
***
Lonceng Katedral Santo Bartolomeus Frankfurt terdengar lantang. Penanda sore berganti petang. White Cafe, secangkir latte panas dan dua potong sosis frankfurter wurtschen menemaniku petang ini. Penjaga cafe menyerahkan surat bertulis tangan. Surat dari Saras. Katanya, Saras mendadak ada acara yang tak bisa ditinggalkan. Kubuka surat dan kueja perlahan.
“Agung, aku tulis surat ini agar tidak meninggalkan jejak di dunia maya. Semalam ketika tanganmu erat menggenggam tanganku, puluhan aparat Jerman datang mengepung apartemenku. Ketika kau melumat habis bibirku, habis juga seluruh isi apartemenku diobrak- abrik aparat. Sejak malam itu aku jadi buron. Aku tidak ingin melibatkanmu. Lanjutkan kariermu yang cemerlang. Biarkan aku dengan kawan-kawan dari Solidarity Without Borders bergerak di bawah tanah. Menghilang darimu. Bau Calvin Klein Obsession yang menempel di tubuhmu masih menyengat dalam indra ciumku. Aku terus terobsesi denganmu. Sama persis dengan obsesiku untuk penghapusan perdagangan bebas dunia yang membuat negara-negara miskin makin miskin. Tunggu aku di Indonesia.”
Aku terpana. Seketika metabolisme tubuhku kacau tak beraturan.
Maria Saraswati, gadis ayu yang mampu membangkitkan naluri purbaku, ternyata aktivis gerakan transnasional. Kulipat surat tulisan tangan Saras. Dari balik jendela White CafÈ, kutatap lanskap kota. Musim dingin Januari kali ini di Frankfurt terasa sepi sekali. (28)
Catatan
Solidarity Without Borders merupakan gerakan transnasional yang menentang globalisasi. Pada 2017 di Hamburg Solidarity Without Borders menggerakkan demonstrasi besar, yang berujung pada kerusuhan massal.
– AM Lilik Agung, trainer dan konsultan bisnis. Menulis novel Awan dan dua kumpulan cerpen, Starbucks Suatu Senja dan Orang-Orang Kampus.
[1] Disalin dari karya AM Lilik Agung
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Suara Merdeka” edisi Minggu 13 Januari 2019
The post Di Frankfurt Januari Ini Sepi Sekali appeared first on Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara.
via Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara bit.ly/2CoPWK2
Perjalanan Jenat
AKU selalu berpikir, bus patas akan sampai ke Bungurasih ketika petang dihiasi gerimis, hingga hujan yang deras itu telah reda ketika bus memasuki Surabaya, dan jalanan kota cuma dihiasi lopak dan hamparan basah. Semua nanar, dari panas siang di keseharian, hilang sesaat, meski fakta dekat laut, ada di daerah pesisir, membuat udara kembali meruapkan gerah—mungkin karena tergesa meloncat dari kabin ber-AC. Aku berlari untuk kencing—seperti biasa. Lalu bergegas mencari taksi serta mintanya agar bergegas ke Lidah Kulon, ke pendapa depan FBS.
Aku ada janji dengan Ifta—sampai kini masih terikat janji. Yang lewat HP, tadi, minta dijemput di sana, yang bersumpah akan terus menunggu di sana. Sampai malam tiba, bahkan tembus sampai remang pagi, untuk (kemudian) bersama-sama merayakan sukses mengatasi sidang: si sarjana yang menunggu momen wisuda—hingga bisa leluasa dirayakan. “Harus datang…” katanya—sampai kini aku selalu mengingat: apa terusannya, karenanya, pada saat itu, aku bergegas ambil taksi dari Bungurasih. Setidaknya, aku telah memaksakan kehendak: akan datang merayakan, meski—sesuai perjanjian awal—Ifta yang seharusnya memberikan ucapan selamat, di Jogjakarta.
Aku tergesa. Terjebak macet. Mutlak belum mandi, tapi AC bus serta AC taksi akan meredam keringat. Aku tahu: keringat merembes saat bergegas di terminal, tidak peduli Surabaya selepas hujan. Dalam perjalanan taksi aku akan bersandar—membisu. Diam mencermati bias sinar matahari menerobos tirai gerimis, menciptakan lengkung semu warna-warni yang semakin memudar ditentang langit. Sekali akan mengambil botol air mineral dari backpack yang teronggok, dan pelan meneguknya. Mungkin si sopir akan melirik, bertanya, “Dari mana?” Aku diam, karena itu bisa jadi serentetan tanya yang mengganggu saat memikirkan senja gerimis dan Ifta menunggu sendiri.
Apa kantin di seberang itu masih buka? Ifta menunggu di sana sambil mencicipi bakso dengan sambal yang disendok gila-gilaan? Aku kelu. Tak bisa membayangkan. Tidak ingin membayangkannya, agar sekadar pasti, karena aku berharap akan segera bertemu. Tapi, aku meminta supaya taksi itu ngebut. “Ada janji, Mas?” kata sopir itu. Tersenyum. Mengiyakan. Dan berharap: ia punya kesimpulan, aku terlambat untuk sebuah janji, karena itu memsibantu dengan secepatnya mengemudi taksi. Tapi, apa bisa secepat imajinasi dan rindu?
Kenangan Ifta
Malam itu Jenat menelepon, mengabarkan lagi merayakan kelulusan di kantin belakang kampus, makan gudeg dengan teman tapi lebih banyak bercerita dan tertawa denganku. “Aku akan keluar kampus, mencari pekerjaan, dan tak akan kembali lagi—bahkan tak akan bertemu dengan teman-teman yang juga lulus dan pulang kampung,” katanya. Aku tersenyum. Semester ganjil ini akan habis dan aku akan menyelesaikan semua di semester depan. Lolos sidang, jadi sarjana, wisuda, pulang kampung. Masuk kehidupan nyata, membawa kenangan tentang banyak teman kampus serta pondokan. Seperti biasa, seperti seharusnya—sesegera melupakan dengan peranan lain.
Ada haru menyumbat kerongkongan sekaligus mengerti: apa yang disirayakan Jenat. Bukan keberhasilan menempuh kuliah dalam empat tahun, tapi keharuan mulai menarik garis, awal untuk meninggalkan semua serta masuk ke kehidupan baru. Suka duka dan teman jadi transenden di luar diri, seiring dunia kuliah ditinggalkan dengan total mencari celah di dunia kerja. Akankah semua lancar? Aku tersentak. Kaget saat Jenat berteriak, bilang: besok akan berangkat dengan bus patas pagi agar siang sampai di Surabaya, lantas berdua saja merayakan kelulusan dengan makan siang, jalan-jalan, nonton, dan seterusnya.
“Kamu harus siap merayakan, Ta,” katanya. Dan aku berjanji akan menunggu di pendapa kampus, depan gedung rektorat. Jenat tertawa. Aku bilang, “Besok, mulai jam 11.00—hari itu aku ada janji dengan dosen pembimbing, tapi kapan itu tepatnya—, aku menunggu di pendapa, terus menunggu sampai malam, serta terus menunggu di sepanjang malam, sampai fajar terbit dan hari merembang mau pagi.” Di seberang itu Jenat terbahak—itu tawa terakhirnya. Seharusnya aku ke Jogja, memsiberikan ucapan selamat, dan berdua merayakan—sesuai perjanjian, ketika ia memilih kuliah di Jogja—sedang aku di Surabaya. Tapi, aku telah janji dengan dosen pembimbingku, karena itu Jenat memutuskan akan datang untuk merayakan.
“Deal!”
Kami setuju. Sepanjang malam—bahkan sampai kini—: aku gelisah. Seharusnya aku lulus dulu sehingga Jenat datang ingin memberi ucapan selamat pada, karenanya aku jadi pemenang –dan menikmati kenangan lulus kuliah dalam empat tahun. Tapi, kehendak-Nya bicara lain. Bukan tak mampu, tapi sakit, dan terlambat menyelesaikan satu mata kuliah. Kini Jenat jadi juara, menemui untuk mengajak aku—si pecundang—merayakan kemenangan. Tapi, apa itu—sampai kini aku memikirkannya, dan merasa bersalah pernah mempersoalkan—: penting? Bukankah berkali-kali Jenat bilang bila kami tak bersaing? Hanya ada kesepakatan buat segera punya pegangan hidup, lantas berusaha punya pijakan supaya bisa membina keluarga?
“Ada cinta di antara kita. Ada yang harus diperjuangkan supaya cinta itu punya pijakan—konkret,” katanya. Saat itu aku melengos –tetap merajuk agar dicumbuinya dengan pemanjaan. Dulu. Saat Jenat berkeras mengambil kampus yang berbeda. Dan tadi Jenat bilang, akan telat karena bus terjebak macet. “Ada kecelakaan di Saradan—hari itu ada truk pengangkut pupuk terguling di tengah jalan—, jadi terhambat, malah antreannya sekitar empat kilometeran, sampai ke Caruban,” katanya lewat HP. Dan di selepas tengah hari itu, aku memesan es jeruk dengan dua lumpia. Santai—mesti udara gerah memeras keringat dari jangat– sambil mengawasi pendapa yang senyap itu—dan tampaknya sedang disiapkan buat latihan teater.
Lalu langit runtuh, gegayut mendung itu jadi hujan, lebat menghunjam seperti si gentong pecah alasnya. Deras. Hanya sesaat. Meski gerimis kekal, jadi kengungunan tirai kusam yang hadir sepanjang sore. Sulurnya liat dan lembut berjulai-julai di antara deras berpuluh gelendong air jatuh dari kanopi pepohonan—terutama bila angin lewat. Aku mencoba menelepon, tapi tidak ada kontak. Apa sinyalnya demikan buruk karena hujan? Apa low battery? Aku menelan ludah. Memperhatikan sisa-sisa pelangi yang tak utuh membentuk busur di langit dan berharap mata kami bertemu pada titik yang sama—hal yang bertahun-tahun dilakukan ketika rindu. Kontak batin yang melegakan. Yang membuatku tabah di Surabaya meski Jenat di Jogjakarta.
Apa yang bisa memisahkan kami?
Ifta Pulang dari Jogjakarta
Aku ambil S-2 di kampus, segera setelah diterima jadi asisten dosen. Aku ingin jadi dosen agar tidak meninggalkan kampus Lidah Kulon. Sangat bersyukur sebab tak diperlukan alasan bila berlama-lama di kampus—berpura-pura mengerjakan tugas atau memeriksa tugas mahasiswa di pendapa sore hari. Saat senggang, tanpa memedulikan siapa pun, aku ke kantin, memesan makanan atau hanya minuman agar bisa berlama-lama mengawasi pendapa—membayangkan: Jenat bergegas, tertawa, dan berteriak, “Maaf, Ta—terjebak macet.” Tapi, tak mungkin Jenat sampai, bergegas datang, karena hari itu busnya mengalami kecelakaan di Saradan—dan hari itu ia meninggal.
Sejak itu, dari bulan ke bulan: aku selalu menunggu—meski yang datang hanya bayang. Berharap, sekali waktu muncul—hanya terlihat olehku—dan bilang: tak bisa segera datang karena jalanan macet dan antreannya mengular sampai empat kilometer, tapi berusaha datang meski akan sangat terlambat. Tersenyum –tersipu-sipu. “Ta, kau bersumpah akan menunggu semalaman, sampai pagi menjelma, sampai malam datang lagi, kan?” katanya. Aku berkaca-kaca. Sejak saat itu—kapan—: aku menatap pendapa sepanjang bulan, sepanjang minggu, setiap hari—kalau tidak disibukkan kerja—, serta: tak kuasa menahan tangis. Selalu berlinang duka meski tak pernah terisak.
Aku ambil S-2. Karena itu total mengabdi—sambil menunggu kedatangan Jenat—, sambil mencari kesempatan ambil S-3, dan akhirnya dikabulkan kuliah di Jogja. Kota tempat Jenat berkuliah, tinggal, dan empat tahun berjuang agar lulus S-1, kota tempat Jenat berancang-ancang menata nampan kehidupan tempat segala cinta itu ditugalkan, mengecambah, bertunas, dan tergelar menjadi sulur silsilah—yang entah membelit ke mana dan membuhul siapa. Jogja. Jenat. Mimpinya buat kebersamaan di masa depan. Itu yang coba aku sesap selama kuliah. Dan, sekarang, setelah lolos sidang meskipun belum wisuda—seperti dilakukan Jenat—, aku bersigegas naik patas dari Jogja, sambil mengharap hujan turun ketika bus memasuki Sidoarjo.
Berharap sesampainya di Bungurasih tinggal gerimis penghujung hari. Matahari sudah tergelincir di ujung lengkung langit barat, tapi sinarnya masih kuat menembus tirai gerimis: membentuk secuil busur pelangi tidak sempurna. Aku—membayangkan sosok Jenat—akan terpejam di taksi sambil sesekali menatap pelangi yang tercuil itu, sambil kuat berharap mata kami bisa bertemu tatap dalam busur pelangi dan merasuk kedalaman batin. Apa mungkin bila Jenat ada di sebalik cakrawala sedang aku di sisi lain? Terisak—tanpa peduli reaksi si sopir. Aku, kini, bisa membayangkan kecemasan Jenat, saat harus bergegas ke pendapa fakultas—kini bahkan Jenat tak bisa ke mana-mana. Dan terbayang, sekarang, taksi itu membelok ke fakultas, ke halaman parkir.
Ifta Pergi ke Pendapa
Aku meraih backpack—cuma itu, lainnya di Jogja, di kamar kos—, dan di senja rembang yang senyap itu aku melangkah menuju pendapa yang sunyi. Ada sisa basah dari gerimis yang reda. Lampu belum dinyalakan sebab malam masih terlalu jauh dan kegelapan masih terkantuk-kantuk di sela-sela daun. Terbayang: aku ini Jenat, yang ragu-ragu menemui Ifta, yang telah bertahun menunggu. Tercangkul serta berharap—dalam cemas—di pendapa. Karena itu, di dalam ragu, dengan rasa takut dan malu, aku memaksakan diri datang, untuk sekadar minta maaf dan merayakan kelulusan yang amat diharapkan. Langkah awal dari impian bersama –angan yang dibina dalam keterpisahan aku di Surabaya dan ia di Jogjakarta—sembilan tahun lalu.
Dan kini aku seperti melihat Jenat setengah bersisandar di tiang gerbang selatan, tersenyum, melebarkan kedua tangan mengundang hamburan yang akan disikuncinya dengan pelukan. Aku gemetar. Tertegun dan memejam. Ketika pelan membuka mata lagi: segala kembali sunyi di dalam remang, meski aku tahu—aku telah menemui Jenat yang di sembilan tahun ini berusaha untuk menemuiku di pendapa ini. Pasti. Dan kini, dengan kedatangan tergesa pada petang ini—dalam perasaan bangga lulus S-3 itu—: aku tidak lagi merasa sedang menunggu Jenat dan ditunggui Jenat. Semua sudah tuntas. Ia dan aku lebur. Bersatu. Menyatu—meski terpisah berbeda dimensi. Dan aku tahu: esok aku harus berziarah—merayakan secara fisik.
Metamorfosis Jenat
Langit mendung memekat. Dipenuhi gayutan awan mendung. Surabaya kekal tenggelam dalam saputan cat kelam, meski sering coba dilawan dengan lampu-lampu, kesibukan, dan hiburan. Sia-sia. Tidak ada angin. Yang bersihembus ke daratan, atau yang menderas menuju lautan. Berbulan. Bertahun. Lama. Dan, senja itu—seperti pada sembilan tahun lalu—: hujan turun. Roboh. Segera selesai –meski gerimis memanjang. Aku tersentak, ketika aku melihat Ifta bergegas—tampak kurus, lebih dewasa dengan beberapa uban pada rambut yang hanya diikat buntut kuda—, serta seperti bisa melihat aku karena ia berlari mendekatiku. Otomatis, penuh kerinduan—di sembilan tahun aku menunggu, berharap ia bisa melihat aku menunggu di pendapa—: berpelukan.
Setelah itu, kini, aku tidak terjangkar lagi ke pendapa, di depan gedung rektorat. Sehembus angin malah seperti mengajak serta mengapungkan—menerbangkan. Mengangkat lebih tinggi dari ketinggian yang kuasa diukur serta diingat, di mana aku, kini, pelan memasuki ruang tidak ingat apa-apa. Yang lebih pekat dan kental dari tir membungkus ingatan, seiring waktu yang tak berdetik lagi itu aku diletakkan pada rak. Tak ada lagi yang bisa ditulis—hanya kenangan dan mengenangkan. Semua lebur. ***
BENI SETIA
Sastrawan kelahiran Bandung. Selain cerita pendek, juga produktif menulis esai sastra dan puisi.
[1] Disalin dari karya Beni Setia
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Jawa Pos” edisi Minggu 10 Maret 2019
The post Narasi Gerimis (Kisahan dalam Lima Fragmen) appeared first on Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara.
via Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara bit.ly/2UGb3PV
Hujan seperti inilah persis di saat kau terlahir di dunia ini dengan tangisan yang membentuk paduan suara bersama gemercik air yang jatuh. Dalam tangis, kau merasakan kehangatan ketika hujan dalam pangkuan ayahmu yang berbisik tepat di samping telinga kananmu. “Varsha Agnimaya.”
***
Kutulis surat ini ketika jatuhnya bulir-bulir hujan ke bumi. Doa pun tak lewat kusampaikan kepada tuan semesta agar kau selamat sentosa. Kau akan menjadi perempuan yang berjasa bagi masyarakat dan bisa menghangatkan suasana hati seseorang yang dingin, termasuk aku sekarang. Hatiku dingin. Aku ditemani oleh sepi yang dingin. Apalagi kini hujan semakin mendinginkan hatiku dengan kesepian yang dingin. Dinginku bertambah dingin.
May!
Hanya dengan mengingatmu saja hatiku hangat dan damai. Aku bisa tersenyum membayangkanmu meski saat hujan dan sepi seperti sekarang. Mungkin akan lebih manis apabila kau kupeluk menjelang tidur malam.
Aku ingin memelukmu sambil bercerita dongeng atau kisah-kisah masa lalu atau mungkin cerita-cerita legenda yang sering kudengar dari guruku sejak aku masih siswa sekolah dasar. Kita tertawa bersama. Melihat ke luar jendela dan menghitung jumlah bintang di langit ketika malam hari. Selalu kupanjatkan doa agar kau diberi keselamatan di mana pun kau berada. Hingga pada akhirnya kita bisa bertemu dan mewujudkan kejadian yang kuceritakan tadi.
Dengan doa-doa yang selalu kupanjatkan demi keselamatanmu, aku yakin sekarang kau telah tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik. Meski hingga saat ini aku belum tahu pasti wajahmu seperti apa saat remaja. Minggu lalu aku sengaja berseluncur di media sosial. Kucari nama Varsha Agnimaya di Facebook. Lalu, kutemukan foto gadis remaja cantik yang masih memakai seragam SMA. Berkulit putih, rambut lurus terurai, mata yang bulat, dan senyuman yang berseri. Kuyakin itu dirimu.
Pasti banyak laki-laki remaja yang menyukaimu. Mungkin tak jarang ada laki-laki yang langsung menyatakan cinta padamu. Seperti ayahmu dulu. Dia memiliki paras yang tampan serta postur badan yang ideal, tentunya idaman para kaum hawa. Selain tampang yang begitu sempurna, sifatnya yang ramah membuat banyak juga perempuan yang terpesona. Bahkan, ada juga yang sangat tergila-gila oleh ayahmu.
Dia tidak memedulikan perempuan-perempuan itu. Ayahmu lebih memilih aku untuk menjadi teman hidupnya. Tepat di bawah guyuran hujan aku dan ayahmu menjalani hubungan. Waktu itu, dia memberikan sebatang cokelat yang dibungkus dengan kertas kado berwarna ungu dan pita merah muda. Ayahmu adalah orang yang sangat romantis. Akibat kejadian itu, banyak perempan yang patah hati melihat atau mendengar kisah kami berdua.
Aku selalu mendampinginya ke manapun dia pergi hingga aku mempunyai perasaan takut kehilangan. Dia selalu menjaggaku seperti sebuah tembok yang selalu membuntutiku ke mana pun aku pergi. Tak pernah sedikit pun dia membuatku kecewa. Entah mengapa aku selalu bahagia bersamanya Bahkan di saat badai pun aku masih bisa tersenyum dan tertawa jika bersamanya. Ayahmu benar-benar pria idaman wanita.
Hal yang aneh atau perilaku yang tak lazim orang-orang lakukan telah kami lakukan bersama. Ayahmu romantis. Dia mau saja bertingkah aneh bersamaku di hadapan uumum. Dunia serasa milik kami berdua. Tidak memedulikan cibiran orang-orang sekitar yang disertai pandangan-pandangan mata yang sinis. Mereka hanya orang-orang yang iri terhadap hubungan kami.
Ayahmu juga pandai merangkai kata. Bukan rayuan yang dia ucapkan, melainkan sebuah kalimat yang menginspirasi hidup semua orang. Dulu waktu kami berkencan di sebuah taman pusat kota, ayahmu pernah mengucapkan kalimat yang memang sedikit membuatku bingung.
“Tuhan itu Maha Membolak-Balikkan. Maka ada kalanya rusa akan memangsa harimau.”
Saat itu aku hanya bisa mengerutkan dahi dan hanya tertawa kecil saja.
Aku tidak terlalu mengerti apa yang diaktakan ayahmu itu. Tapi, sekarang aku baru mengerti. Menurutku, kalimat itu memiliki arti bahwa Tuhan Maha Pengatur segalanya. Mungkin ungkapan itu sudah kamu dengar juga dari ayahmu Kata-katanya begitu mudah, bukan? Ada bukti lain selain itu, namanya juga bagus untuk ditulis ataupun diucapkan.
Satu tahun lebih tujuh bulan usia hubungan kami, kami berniat untuk saling berkenalan dengan orangtua masing-masing. Saat itu aku bingung, aku anak yatim. Aku hanya tinggal bersama ibuku, itu pun dengan komunikasi yang kurang baik. Aku tidak mau mengatakan yang sebenarnya terjadi antara aku dan ibuku. Aku menyarankan untuk menemui orangtua ayahmu dulu.
Ketika aku bertemu dengan orangtua ayahmu, bukannya bahagia yang aku dapatkan. Saat itu mereka memakiku dan memaki ayahmu. Mereka tidak merestui hubungan kami. Ayahmu berkeras untuk melindungiku dari lontaran kemarahan yang meledak-ledak. Namun, itu tidak bisa membendung amarah orangtua ayahmu. Bentakan demi bentakan yang keluar dari mulut orangtua ayahmu hampir meledakkan gendang telingaku. Kata-kata kasar juga satu tamparan keras tepat di wajah ayahmu membuat aku tidak tahan lagi untuk meluapkan air mataku.
“Dasar anak tak tahu diri!”
Kudengar kalimat itu dengan suaranya yang menghapus keheningan disertai ayunan tangan yang kencang menabrak pipi kanan ayahmu.
“Kami membesarkanmu bukan untuk bercinta dengan dia!”
Terdengar lagi kalimat yang keras dan kulihat lemparan-lemparan barang ke arah ayahmu.
“Dan kau! Sampai kapan pun tak akan pernah bisa mendekati anakku. Karena kau manusia tak berguna!”
Kalimat itu terdengar jelas ke telingaku dan langsung merambat cepat ke dalam hatiku. Tak lewat dengan telunjuk yang tepat di depan mataku.
Aku langsung berlari keluar dari rumah ayahmu. Saat itu sedang hujan, aku tidak membawa payung. Semula setiap hujan datang selalu kurasakan kehangatan dan kedamaian, kini berbalik menjadi dingin dan menyakitkan. Dengan terpaksa aku pulang diterpa jarum-jarum hujan yang selalu menusuk-nusuk kepalaku. Air mataku juga sudah larut dengan hujan. Suara petir yang begitu tajam tak setajam kalimat yang dikatakan orangtua ayahmu. Dingin. Aku kesepian.
***
Di sepanjang waktu menikmati kesendirianku, aku selalu mendoakan ayahmu. Lalu, aku menerima kabar dari teman ayahmu di gym bahwa dia akan menikah dengan seorang perempuan dalam waktu dekat. Hatiku terpukul. Jarum-jarum hujan kini menancap di dalam hati dan air mataku meluap lagi.
Aku sengaja tidak mau datang ke acara pernikahan ayahmu. Sakit. Lebih baik aku menikmati kesendirianku saja. Hingga akhirnya aku memiliki sebuah toko cokelat di pusat kota. Tapi tak bisa kumungkiri bahwa aku selalu ingin tahu bagaimana kabarmu dan kabar ayahmu.
Dua tahun sudah aku menjalani bisnis cokelat ini. Ketika aku sedang menghitung jumlah cokelat, ada pelanggan yang berkunjung. Pelanggan itu seorang pria yang bajunya sedikit basah karena di luar sedang hujan. Dia menggendong bayi yang amat menggemaskan. Mata bayi itu berbinar-binar. Pria itu juga tersenyum melihatku. Aku hanya bisa diam tanpa berkata-kata setelah kutahu bahwa itu ayahmu. Ayahmu menyuruhku untuk menggendong bayinya yang tak lain adalah kamu.
“Ayo, kau harus menggendong dia!” suruh ayahmu.
Ini hal pertama kalinya aku menggendong bayi. Aku merasa menjadi seorang ibu seutuhnya. Ketika aku menggendongmu, ada kehangatan yang terasa –merasuk ke dalam jiwa. Sampai saat ini aku masih ingat harum dirimu saat masih bayi. Hatiku yang dingin seketika menjadi hangat ketika kuihat kau tertawa melihat wajahku. Aku tak bosan melihatmu tertawa. Kugelitiki perutmu hingga kencing. Kubantu ayahmu untuk menggantikan popokmu yang bau pesingnya masih kuingat sampai saat ini.
Kuciumi juga pipimu yang menggemaskan itu. Kemudian kita menyempatkan untuk berfoto bersama. Dalam foto itu kau tersenyum ketika kugendong.
Dingin yang kurasakan lenyap dibilas kehangatan dari tubuhmu. Setelah kejadian itu, kita sudah tidak pernah bertemu lagi hingga sekarang.
Aku sadar dan bersyukur karena pernah berhubungan dengan ayahmu. Hubungan kami sangat berarti bagiku untuk memperbaiki diri. Terlalu banyak kebaikan yang diberikan ayahmu. Maka, aku yakin kamu juga orangnya baik seperti ayahmu. Perkataan ayahmu bahwa Tuhan Maha Membolak-Balikkan telah kualami.
Mungkin peristiwa yang pernah kami alami dulu disebabkan oleh diriku yang belum baik. Namun, sekarang hidupku jauh lebih baik. Apalagi mengetahui kabar bahwa dirimu juga baik keadaannya lewat balasan surat ini. Ayahmu pasti mengajarkan berbagai kebaikan yang harus dilakukan sepanjang hidupnya.
Itulah yang ingin kuceritakan saat ini padamu. Aku ingin berbagi pengalamanku dengan ayahmu dulu. Karena aku menyayangimu seperti anak sendiri meskipun kita belum pernah bertemu. Atau mungkin saja kita pernah bertemu hanya saja tak saling sapa.
***
May!
Terakhir kupesankan padamu, janganlah sekali-kali mengecewakan ayahmu. Ayahmu terlalu baik untuk merasakan kecewa dan sedih. Selain itu, jagalah ayahmu bila sudah tua nanti. Hangatkanlah dia dengan pelukanmu yang penuh dengan kasih sayang meski hujan akan terus menusuk-nusuk hati seseorang yang kecewa. Maka, sekali lagi aku ingatkan padamu jangan sesekali mengecewakan.
Jangan lupa sampaikan salamku kepada ayahmu dan katakan bahwa dialah laki-laki terbaik yang pernah kumiliki. Kebaikannya telah mengubah hidupku menjadi lebih baik lagi. Kau akan banyak belajar tentang hidup dan kehidupan dari ayahmu. Kuharap kau bisa membalas suratku ini atau paling tidak menghubungiku ke nomor telepon yang sudah kutulis di ujung surat ini.
Aku juga menuliskan alamat toko cokelat milikku. Kau bisa datang ke sana untuk mendapatkan cokelat yang kau inginkan. Nanti akan kuberikan sebatang cokelat dengan bungkus kado warna ungu dan diikat pita merah muda. Kabari aku kalau kau mau berkunjung ke sana.
Aku yakin ayahmu masih menyimpan foto kita bbertiga. Kau pasti sudah melihatnya. Di foto itu kau akan melihat wajah ayahmu yang tersenyum manis. Berbagai kebaikan bersinar dari senyumnya itu. Dan akulah yang menggendongmu itu — seorang pria yang sebelumnya kau mengetahui diriku sebagai sahabat dekat ayahmu.
Tedy Heriyadi lahir di Bandung pada 22 Juli 1992. Bekerja sebagai dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pasundan Bandung. Bergiat di Saung Sastra Lembang. Tercatat sebagai alumni Kelas Cerpen Kompas 2018, alumnis kelas menulis Media berkarya 2018, dan alumni kelas menulis puisi bersama Joko Pinurbo dalam acara Kampung Buku Jogja #4 2018.
Yusuf Susilo Hartono, pelukis wartawan dan penyair. Mantan Pemred Majalan Visual Arts ini telah menerbitkan beberapa buku, di antaranya Menangkap Momen, Memaknai Esensi (Moment and Essence}, kumpulan sketsa pilihan 1982-2013, mengiringi pameran tunggal sketsanya di tiga kota: Jakarta, Bojonegoro, Surabaya, 2014.
[1] Disalin dari karya Tedy Heriyadi
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Kompas” Minggu 17 Februari 2019
The post Hujan yang Hangat appeared first on Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara.
via Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara bit.ly/2BI9YQu
”Make a wish!” Rico menyeru Laura, ketika nyanyian ulang tahun berakhir ceria membahana.
Mendengar seruan itu, para waiter Restoran Altitude yang berdiri mengelilingi menyurut, pergi.
”Hmm, tak terasa 32 helai umurku tercabut hari ini,” keluh Laura.
”Aku mencintaimu, Laura. Sangat!” Rico mengecup kening Laura semesra kecupan Leonardo Di Caprio kepada Kate Winslet. Namun Rico tentu tak membayangkan kapal Titanic tenggelam pada puncak kemesraan mereka.
”Terima kacih,” sambut Laura manja.
Kue telah terpotong. Laura mengangkat dan siap mengucap keinginan. Namun tiba-tiba air matanya menetes, menggelincir ke pipi.
Rico yang menganggap haru kebahagiaan menyelimuti Laura, menyambut potongan kue dengan senyuman. Dia usap air mata Laura dengan selembar tisu. Lembut, penuh pengertian.
Sejenak Laura terdiam, belum mampu berkata-kata. Rico penasaran. ”Apa keinginanmu?”
Api di jambang meja tempat mereka bercengkerama jadi saksi ketegangan wajah Laura. ”Maafkan aku, Rico,” ujar Laura, lalu terdiam lagi.
”Kenapa, Beib?” Rico menyampaikan rayuan iba.
Laura menatap tajam wajah Rico. ”Rico, menikahlah dengan Tasya!”
Rico terkesiap. Dia tak menyangka kalimat itu meluncur dari mulut Laura, saat membayangkan langkah menyingkirkan segala rintangan bagi pernikahan mereka.
”Kamu bercanda, Beib?”
”Tidak, Rico. Aku serius. Inilah akhir cinta kita yang kuinginkan. Ini untuk kebahagiaan kamu, orang tuamu, serta Oma. Lebih dari itu, untuk kebahagiaan sahabatku, Tasya.
”Aku telah bertemu mamamu. Berdua dari hati ke hati, kami lama berbincang. Mamamu dengan bijak dan jujur, beserta permohonan maaf, meminta aku mundur dari kehidupan kamu. Meminta aku tak melanjutkan jalinan cinta kita ke pelaminan.
”Alasannya klasik dan rasional. Aku dapat menerima dengan akal dan perasaan; mereka tak ingin nama baik keluarga islami, berada, dan terhormat tercemar. Apalagi berpotensi terusmenerus dipergunjingkan.
”Walau tak terucap, aku yakin keluargamu beranggapan, kamu yang tampan, kaya, dan berpendidikan, akan mudah menemukan gadis pendamping yang memenuhi kriteria mereka. Mengapa memilih aku? Pasti orang tuamu malu karena video mesumku dan Deril beredar luas.
”Kejadian itu sangat memalukan. Aku telah mempertontonkan aurat yang seharusnya rapat kusembunyikan. Inilah realitas yang harus kita pahami. Paling tidak, aku harus menyadari kejadian itu membuat kehidupan banyak orang menjadi tak nyaman.”
Laura tertunduk sejenak. Setelah itu pandangannya menembus temaram ruangan, mengantarkan ke kenangan amat-sangat pedih dan menyakitkan. Kejadian yang dalam sekejap mengubah nasibnya, dari gemerlap yang menjanjikan menjadi suram yang mengaburkan masa depan.
***
Waktu itu Gizka menggelar pesta di Kafe Tisi Bandung, ajang rendezvous pilihan kaum milenial. Ia merayakan keberhasilan menerbitkan album solo, koleksi lagu hip-hop spesialisasinya.
Laura tak menyia-nyiakan kesempatan bertemu para penyanyi kreatif, teman lamanya. Dia mengajak Deril, sang kekasih, anak muda lulusan Arsitektur ITB seumuran, yang juga pemusik.
Semula Laura ingin meniti karier di bidang tarik suara, tetapi keindahan tubuh dan kecantikan wajah membuat dia tak bisa menolak tawaran jadi model dan terjun ke dunia entertainment dengan bayaran menggiurkan.
Pesta usai. Deril mengajak Laura ke hotel. Di hotel, Deril tak sabar untuk segera mencumbu Laura. Entah kenapa, Laura seperti setengah sadar ketika bersedia memenuhi ajakan Deril.
Mereka bercumbu dan Deril merekam seluruh adegan.
”Mengapa kaulakukan itu, Deril?”
”Yah, sebagai koleksi pribadi. Untuk mengenang kemesraan kita, ketika aku jauh dari kamu.”
Beberapa kali Laura meminta dihapus. Namun Deril meyakinkan akan menyimpan dalam file pribadi yang terkunci dengan sandi tak mungkin orang lain buka.
Mula-mula aman-aman saja. Namun tak lama terjadilah sesuatu yang tak diharapkan. Laura menangis dan berteriak, ”Ada yang meminta uang sepuluh miliar?! Bagaimana rekaman itu bisa di tangan Donny, teman kamu pencandu narkoba itu?”
Deril menjelaskan, ”Waktu itu aku menonton rekaman seorang diri. Pas aku tinggal sebentar ke kamar, Donny datang. Dia mungkin menyaksikan dan merekam dengan flash disk.”
”Ya, ampun, Deril! Sekarang dia minta tebusan sebesar itu. Mengancam akan mengedarkan kalau tidak dibayar. Kita dapat duit dari mana? Masya Allah!”
Deril dan Laura tak memenuhi permintaan. Rekaman pun beredar; publik mudah mengunduh dari internet. Jadi kasus besar. Deril diputus pengadilan bersalah dan dipenjara tanpa bisa menuntut Donny karena ketiadaan bukti yang mencukupi.
***
Laura sedih setiap kali melewati jalan protokol yang bertabur baliho raksasa. Semua iklan sabun ternama dengan model dia satu per satu diturunkan.
Namun kehidupan terus berjalan. Suatu hari, saat bersama sang ibu di Coffee Shop Grand Hyatt Nusa Dua Bali, seorang anak muda tampan menghampiri. Dia memperkenalkan diri, membawa buket, mengaku bernama Rico Branoto. Dia ingin menjalin hubungan cinta. Oh, semua itu hanya kenangan.
Laura terenyak ketika Rico bicara, ”Oh, itu maksud kamu selama beberapa bulan ini mendekatkan saya dengan Tasya?! Tidak, Laura. Kita segera harus menikah! Apa pun konsekuensinya. Tak ada yang bisa menghalangi. Aku tak mau kehilangan kamu!”
”Rico, sejak perkenalan kita tiga tahun lalu, aku tahu kamu tertarik padaku, kemudian mencintai dan tak peduli tentangan keluargamu. Aku bahagia kaucintai secara tulus. Tapi itu aku tak bahagia. Setelah perkawinan nanti, aku harus berada di tengah orang-orang terpandang yang mencibir, memperhatikan dari ujung kaki hingga ujung kepala, bukan sebagai model, melainkan gadis mesum yang tak layak bersama mereka. Itu siksaan batin bagiku. Biarlah musibah jadi ganjaran yang mengubah dan mengajari aku bersikap menantang kehidupan. Bukan lagi sebagai selebritas, figur publik, melainkan perempuan yang terpuruk. Namun aku tak akan menyerah. Aku akan mengabdikan diri bagi kepentingan bernilai moral lebih tinggi.”
”Pengabdian apa?” tanya Rico.
”Mungkin ini hikmah. Sejak berniat bertobat, aku merasa mendapat berkah. Datang beberapa tawaran yang kurasa lebih mendatangkan maslahat dalam kehidupan daripada terus jadi artis.”
”Oh ya? Kalau begitu, kau patut bersyukur.”
”Salah satu berkah itu datang dari papamu!”
”Hah! Kapan kamu bertemu Papa?”
”Setelah aku menerima dan menyetujui permintaan keluargamu untuk tak menikah dengan kamu, mamamu memelukku, menangis, dan menyampaikan papamu akan memberikan uang yang cukup untuk membiayai sisa hidupku. Aku menolak. ‘Bapak saya almarhum selalu memberikan kail, bukan ikan.’Mamamu pun bilang, ‘Oh, kalau soal itu, lebih baik bicara langsung dengan papa Rico.’Lalu bertemulah kami bertiga; aku, Tasya, dan papamu. Pertama, aku perkenalkan Tasya yang baru saja lulus sebagai dokter spesialis neurologi dan psikiatri yang ingin mendirikan klinik terapi untuk mengatasi kelainan orientasi seksual yang disebut LGBT. Dari sudut pandang medis, LGBT seharusnya bisa disembuhkan melalui cognitive theraphy. Namun perlu investasi tak sedikit. Aku berharap papamu bisa membantu. Bukan pemberian, melainkan pinjaman modal yang akan kami kembalikan.”
”Papa setuju?”
”Tak sepenuhnya! Beliau mengusulkan kerja sama joint venture; 70 persen saham milik papamu. Papamu minta kesepakatan itu kami rahasiakan. Dia bertanya, apa peran serta posisiku dan Tasya. Kubilang, Tasya akan jadi dokter kepala. Aku, selama klinik dibangun, akan ambil kursus hospital management. Kelak, jadi kepala klinik. Di tengah pembicaraan, papamu bertanya status Tasya. Kubilang, ‘Masih singgel, Om. Dia sibuk sekolah, lupa pacaran. Dia ambil S-1 di Akuntansi UKI, melanjutkan S-2 di UI sekalian mengajar. Setelah tabungan dia cukup, ambil Kedokteran UI.’Kusampaikan, lewat konsuling dengan Tasyalah aku tegar kembali, setelah pernah berniat bunuh diri. ‘Carikan jodoh, Om. Dia tak kalah cantik dari saya kan? Atau buat Rico saja,’candaku.”
Laura menatap Rico, lalu bicara lagi, ”Kelihatannya papamu nggak menolak.”
Rico terdiam. Dia pun memikirkan Tasya. Berbagai kemungkinan memendar di kepala. Selain cantik, Tasya terpelajar dan pintar. Sejenak kemudian Rico memandang Laura, lalu bertanya, ”Kehidupan apa yang akan kamu jalani?” ”Sementara atau seterusnya aku akan jadi single parent. Mengadopsi anak atau cari donor untuk bayi tabung. Tentu tidak di Indonesia, karena masih ilegal.”
Rico menyahut, ”Di sini bisa legal kalau aku yang jadi donor!”
”Maksudmu?”
”Kita menikah diam-diam di depan penghulu, tanpa surat dan dokumentasi. Hanya untuk Tuhan, menghindari zina,” kata Rico.
”Bagaimana mungkin kita merahasiakan?” tanya Laura. ”Kalau ketahuan, rencana investasi klinik bersama papamu bisa buyar. Aku tak mau jadi pecundang; berjanji, lalu berkhianat.”
”Demi cintaku padamu, aku setuju usulmu! Namun itu sebagai imbalan agar bisa menikahimu secara rahasia,” tegas Rico.
”Kamu bersedia menikah dengan Tasya?”
”Iya! Namun apakah Tasya bersedia?”
”Demi aku, dia mau.”
Mereka pun berjabat tangan, lalu erat berpelukan. Rico berpesan agar Laura menyimpan rahasia: dua kali pernikahan.
”Kalau ini sebuah kemungkinan, aku mau. Bila kita dikaruniai anak, baru kita buka: itu anak kita, kelak jika sudah besar,” sahut Laura.
”Aku akan menikahi Tasya di Belanda. Di Masjid Al-Ikhlas Badhovedorp, supaya Oma yang tinggal di sana bisa hadir. Beliau sudah tak bisa beranjak jauh dari kursi roda. Dalam perjalanan kembali ke Jakarta, akan kuhadirkan Ustaz Bustomi ke Makkah untuk jadi penghulu. Syukur beliau bisa menghadirkan Sheikh Abdul Rahman Al-Sudais, imam besar Kakbah, sebagai saksi. Setelah itu kita bertiga umrah. Lalu aku dan kamu ijab kabul di depan Kakbah.”
***
Usai umrah, Laura Mayangsari sendirian di pesawat Garuda ke Jakarta. Meninggalkan Rico dan Tasya yang akan berbulan madu di Paris. Ingatan Laura melayang ke kota itu, kota romantis yang dulu sering dia singgahi bersama Rico. (28)
– Nugroho Suksmanto, menulis cerpen dan novel.
[1] Disalin dari karya Nugroho Suksmanto
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Suara Merdeka” edisi Minggu 24 Maret 2019.
The post Cinta Laura appeared first on Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara.
via Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara bit.ly/2U0uR4v
KERIS itu menancap di tubuh Ayam Cemani yang hitam legam terselimut kain berwarna awan. Di ujung kelokannya yang nongol, terlihat bercak-bercak darah yang dibiarkan kering. Artinya, benda itu telah merenggut satu korban. Bulu romaku berdiri dari tadi, sejak Pak Ahmad mengatur napas, dan mengganti tasbihnya yang putus lantaran pergulatan di alam sana.
“Jangan sentuh!” Teriak Pak Ahmad padaku yang hendak menyingkap kain itu. Rupanya Ayam Cemani masih menyerap energi hitam. Pak Ahmad bilang, benda itu terkirim di sudut kamar mandi rumah kami, sehingga darah hitam Ayam Cemani mesti ditumpahkan di sana. Benda yang tak sengaja kusentuh itu sebenarnya terasa seperti sengatan tawon, tapi kutahan kesakitan itu agar mereka tak ikut terbawa cemas.
Aku tahu dalam keadaan seperti ini, aku seharusnya lebih banyak diam dan menyaksikan. Ini ritual ketiga yang dilakukan Pak Ahmad untuk mengusir roh jahat dan mencabut benda gaib yang bersemayam di rumahku.
Ritual pertama adalah mandi di sungai yang deras sambil menyebut nama Tuhan. Konon, itu dilakukan agar ‘yang bersemayam’ di tubuh kami lepas dan hanyut terbawa arus. Akan tetapi, ternyata tak berhasil. Bahkan hawa panas menjadi tumpah ruah. Maka, kami lanjutkan dengan ritual ke dua. Kali ini dua buah kelapa disiapkan sebagai mediasi. Lampu-lampu dipadamkan. Remang-remang kulihat bibir Pak Ahmad komat-kamit seperti sedang membaca sesuatu. Kemudian pandanganku beralih pada satu buah kelapa yang bergetar tiba-tiba. Pak Ahmad menarik napas panjang kemudian tersenyum buah delima. “Roh jahat itu telah berhasil diringkus.” kata Pak Ahmad puas.
Sudah banyak cara yang kami lakukan untuk menyelamatkan kakak dari maut, mulai dari tenaga medis profesional, herbal, dan pijat. Kurasa semua usaha itu hanyalah sesuatu yang percuma sebab penyakit kakak memang tidak wajar. Ia terus mengeluh sakit di bagian kepala dan perutnya, tapi dokter tak berhasil mengindikasi apa pun, sampai akhirnya Kakak benar-benar meregang nyawa. Tak putus di kakak, adikku juga mengalami hal-hal tak masuk akal seperti diganggu roh jahat. Adikku merasa ada ‘sesosok’ makhluk yang datang dari negeri lelembut yang memeluk dan melucuti tubuhnya setiap malam.
Jadi, sekarang kami memilih melakukan penanganan secara metafisik. Awalnya aku yang sudah menginjak umur 22 tahun setelah Januari mendatang, merasa ragu dengan ide tabu itu. Aku ingat, kakak adalah orang yang sangat baik hati dan dermawan.Dulu, waktu kecil kakak pernah tak sengaja mencolok mataku saat bermain perang-perangan. Lalu dia menjadi orang yang sering mengucapkan maaf saat mentraktirku makan dengan uang sakunya.
Sementara itu, adikku yang berumur 18 tahun adalah seorang feminin yang cerdas dan pandai bergaul. Bagiku, hampir mustahil kalau kakak dan adikku punya musuh, apalagi sampai nekat mengirim benda gaib semacam itu.
“Kalian yakin, tak ada orang yang pernah kalian sakiti?”Pertanyaan Pak Ahmad itu ditujukan kepada kami. Aku dan adikku menggeleng setelah menyelisik peristiwa di kepala kami, tapi Ayah dan Ibu seperti memintal sesuatu.
Beberapa bulan yang lalu, ayah diminta datang ke balai desa untuk menjelaskan laporan gugatan tanah Pak Awi. Tentu awalnya mereka tak mau memperkeruh keadaan hanya karena permasalahan kecil yang menjadi bumerang sendiri untuk Pak Awi.Ayah punya segala berkas kuat yang ditandatangani langsung oleh mendiang Pak Suroto yang menjual tanahnya untuk kami, sedangkan Pak Awi sebagai penggugat, mengira-ngira saja. Tapi pria berkelulusan SD itu merasa kuat dengan tuduhannya, sampai berani ditembuskan langsung ke kepala desa.
“Jadi, bagaimana masalahnya?” Seorang pria berkumis tebal menyambut kedagangan ayah. Dia adalah Pak Sukanta, kepala desa kami.
Ayah kemudian menjelaskan kronologi yang terjadi. Ternyata waktu itu ibu sedang memasak tumis kacang panjang favorit kami. Aroma cabai, bawang merah, merica, dan rempah-rempah yang digoreng, menjadi unggunan asap yang membakar mata dan penciumannya sehingga dibukalah jendela rumah agar aroma pedas itu pergi.
Di sisi lain, pada waktu yang sama, Pak Awi baru pulang dari sawah, kerutan wajahnya menunjukkan kelelahan. Ia berjalan agak terhuyung membawa sekarung padi di samping rumah dan tak sengaja menyundul jendela kami yang terbuka.
Bletaaaakkk! Dug!
“Bangsat! Siapa yang membuka jendela sembarang?” Teriaknya dengan nada kasar. Ternyata desas-desus yang mengatakan kalau Pak Awi orang yang keras adalah benar. Bahkan sebagai orang yang lebih tua, ia sampai berani memasuki rumah dan mengomel ngalor ngidul. Kami cukup mendengarkan dan tak mau memperpanjang masalah, sehingga di sela-sela rentetan emosi yang dilemparkan. Kami terus meminta maaf, akhirnya ocehan itu sampai pada, “Kalau bukan karena bapakku, kau tidak akan punya rumah barang cuma satu jengkal, lagi pula kau sudah mengambil tanah hakku di samping rumahmu, aku tuntut kau nanti.”
Awalnya kami mengira kalau itu gertakan saja, ternyata pria berkulit hitam gelap itu serius melapor ke Pak Sukanta. Bapak kepala desa mulai mengelus kumisnya. “Apa ada yang bisa dijadikan barang bukti, seperti surat kepemilikan tanah?”
Ayah kemudian menunjukkan semuanya, sementara Pak Awi duduk menahan malu. Tatapannya tajam mengiris mata ayah. Ia menahan dendam yang bergolak di hatinya. Dendam yang mungkin lebih besar dan berbahaya dari taring sebuah bukti yang menggugurkan gugatannya.
“Sudah selesai,” kata Pak Ahmad kemudian, “orang yang berbuat seperti ini merasa dirinya dizalimi sehingga ia berusaha membalas, tetapi biarkan. Setelah perkara selesai, biasanya orang itu akan sakit, lalu menerima risiko yang diterima pengirim semestinya, benda gaib berupa keris berkelamin wanita itu, juga mungkin warisan dan pelaku bisa mengirim sendiri, sebab ia sudah lama menjadi benda gaib yang diisi kekuatan kanuragan oleh tuannya. Kalau beli dan meminta bantuan dukun untuk mengirim, mungkin harganya bisa mencapai Rp30 juta.”
Kemudian benda gaib yang sekarang ‘kosong’ itu, akhirnya kami simpan di lemari. Kata Pak Ahmad, keris itu sekarang hanya benda biasa yang bisa digunakan sebagai pajangan. Tak ada kekuatan gaib di dalamnya. Beberapa hari kemudian, setelah kejadian itu, Pak Awi meninggal dunia. Tak ada yang tau penyebab kematiannya. Yang jelas, kami menjadi semakin yakin kalau selama ini memang dialah yang mengirim benda gaib ke rumah kami.
Akhirnya kami hidup tenang. Adikku tak lagi mengalami hal buruk apa pun. Tapi akhir-akhir ini, aku merasa ada yang aneh dengan diriku. Setiap terlelap di malam hari. Aku selalu bermimpi duduk di sebuah batu besar, dengan seorang perempuan yang tiba-tiba datang. Bajunya putih tipis dengan rambut berurai sebatas bahu, aku tak ingat detail wajahnya. Tapi dia punya senyum yang manis.Kadang perempuan berkaki jenjang itu suka berlaku manja padaku. Mencium tanganku layaknya seorang istri pada suaminya dan menggigit jariku tiba-tiba. Saat itulah aku terbangun.
Bekas gigitannya masih terasa ketika ibu teriak di kamarnya. Aku langsung berlari ke sana. Rupanya ayah tak sadarkan diri di ranjang, matanya terbelalak dengan mulut berbusa. Setelah kuperiksa denyut nadinya dengan penuh kegamangan, ayah ternyata sudah tidak ada di dunia. Suasana duka menyelimuti rumah kami. Tapi anehnya hanya aku yang tidak menangis, aku merasa puas dengan kematian ayahku sendiri. Gigitan halus perempuan itu masih terasa di telunjuk tangan kiriku sampai sekarang.
Malam berikutnya aku bermimpi lebih panjang dengan perempuan jelita itu. Lagi-lagi ia tersenyum memandang dengan tatapan yang berarti. Ia menghampiriku yang kuyup diguyur hujan. Daun-daun mendesir di bawah langit dan angin mengibaskan rambutnya yang kelam. O, perempuan berwajah merah jambu, ia telah sampai di samping telingaku untuk berbisik setelah beberapa kali menghitung langkah tanpa jejak.
“Perjalananmu masih panjang. Kalau mau, aku akan membantumu mengakhiri semuanya,” ujarnya dengan suara berbisik.
Aku tak mengerti maksudnya, tapi dia memang perempuan yang cantik, aku sudah menyimpan hati kepadanya sejak pertama bertemu, bahkan sekadar dalam mimpi. Beberapa kali ia melirik jariku seperti sebelumnya.
“Ada apa dengan jariku?” Tanyaku kemudian.
“Aku ingin menggigitnya lagi demi menuntaskan sebuah janji.”
“Apa maksudmu?”
“Maksudku, kita akan menikah setelah aku menggigit dua jarimu lagi.”
Lalu ia menyentuh lenganku dengan ayunan yang halus dan menggigit kelingkingku. Kemudian beralih ke jari manis dan ia kembali tersenyum. Lagi-lagi aku terbangun setelah itu. Bedanya kali ini, terbangun dengan menyentuh leher ibuku yang sudah tak benyawa. Aku mundur beberapa langkah dengan perasan kalut dan tak sengaja menginjak sesuatu, ia adalah jasad adikku yang juga tak bernyawa. Mereka semua tewas dan tak ada kesedihan sedikit pun. Yang kutahu, kuku-kuku jari kiriku telah penuh bercak-bercak darah yang dibiarkan kering di dekat bekas sengatan keris yang panas itu. (M-2)
[1] Disalin dari karya Asqo L Fatir
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Media Indonesia” Minggu 3 Maret 2019
The post Benda Gaib appeared first on Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara.
via Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara bit.ly/2ThKT9T
TATKALA suara ketukan pintu mengibaskan dingin di sekitar telinga, hujan sedang bertambah lebat. PLN baru saja melakukan pemadaman bergilir dan Nosa menggigil karena demam berdarah.
Melly tahu yang mengetuk pintu itu tiada lain, kecuali Tuhan. Pertolongan Tuhan hanya datang di akhir, demikian Melly meyakini. Melly bergeming di tubir paling pinggir. Bilamana tangan Tuhan terulur? Orang-orang membekap mulut, bersedekap sambil mengamati dari jauh, memandang jijik, dan menganggap Melly tak lagi manusia seperti mereka. Pertolongan Tuhan kali ini pasti datang, bisik Melly kepada Nosa. Tuhan tak mungkin abai.
Tuhan berdiri di muka Melly. Kehadiran-Nya saja sudah membuat Melly jatuh bahagia. Seolah semua beban hidup, segala kesulitan, dan penyakit Nosa yang hampir membuatnya yakin kematian akan memisahkannya dengan Nosa, tak berkutik menyiksa Melly lagi.
Tuhan yang tahu semua yang dirasakan Melly, menyingkirkan Melly dari hadapan-Nya. Masuk menuju dipan di kamar satu- satunya. Di sana Nosa menjelma kepompong. Digulung sarung, kain batik peninggalan Ibu Melly, selimut putih, dan dua lembar seprai. Itu satu-satunya cara Melly membantu mengusir demam Nosa yang tak kunjung turun.
Tiga bulan lalu, Melly membawa Nosa ke kampung ini. Satu-satunya yang tersisa di kampung ini ialah rumah Ibu yang sempit, rapuh, doyong, dan tak terurus. Akan tetapi, hanya di pojok sanalah, tempat di muka bumi ini yang Melly harapkan memberinya atap. Sepotong harapan dan sedikit pertolongan.
Kita akan liburan ke rumah nenek, kata Melly menenangkan Nosa. Dalam hati, Melly menampik, rumah nenek Nosa tak sehangat dalam cerita dongeng. Nenek yang meninggal karena usia tua, tak Melly antarkan ke permakaman.
Melly tak ingin melihat wajah ibunya dengan ragam cumbu, keringat, dan pekat sperma laki- laki telah berkerak dan menebal di tubuhnya. Tak ingin ia membiarkan kenangan terakhir di benak ibunya demikian. Biarlah ibunya membawa kenangan bahwa Melly ialah gadisnya yang berusia sembilan belas tahun, turut Sapuan si supir truk ke Jakarta, merantau sebagai buruh di pabrik garmen.
Sepanjang perjalanan dari terminal bus, dua degup perempuan itu saling memburu. Melly diterkam kekhawatiran bagaimana orang-orang kampung menilainya dan Nosa dikejar kegembiraan untuk menyaksikan bagaimana rupa sang nenek. Bukan Mami Julya, perempuan tua sekaligus pemilik pondokan Melly. Bukan juga Manissa, perempuan yang kerap Nosa saksikan kencing sambil berdiri seperti para lelaki pengunjung pondokan Melly. Aku mau minta gendong sama nenek, Nosa membatin.
Tak ada yang mau menerima Melly. Yang melihat Melly diantar ojek menatap seperti mata pemanah yang bersiap menarik busur. Alih-alih menyapa dengan kerinduan, mereka justru mengirim perkataan kasar. Anak durhaka. Ibunya mati, tidak datang. Anak tak tahu diuntung. Sekarang pulang membawa anak. Anak pelacur. Pulang pasti menjual tanah dan sawah. Mengais warisan yang tersisa.
Melly sesunggukkan. Dengkulnya loyo. Bersimpuh di hadapan Tuhan. Apakah Tuhan datang karena akan menutup hidup Melly? Apa Tuhan ingin menertawakan hidup Melly? Melly semakin tergugu, kata-kata berloncatan tak teratur.
Mengantar kematian itu sudah diserahkan kepada Izrail. Malam ini bukan malam terakhir hidup Melly. Kali ini Tuhan benar-benar datang ingin menolong Melly dan Nosa.
Karomah Tuhan. Nosa langsung sembuh. Bangun dari kasur dan menyibak kokon selimut, seperti kupu-kupu yang mengepakkan sayap. Lebih cerah dan segar. Apa dia nenek, Ibu? Nosa polos bertanya dari balik kokon selimut. Bukan, dia Tuhan. Kita kedatangan Tuhan dan akan diberi pertolongan. Melly mengusap wajahnya yang basah keringat dan air mata. Malam itu, Tuhan menginap di rumah Melly. Melly yang kikuk mendapatkan kunjungan mendadak dari Tuhan, diliputi rasa bahagia sekaligus merasa istimewa. Benar yang sering dia dengar, pertolongan Tuhan datang di akhir-akhir pengorbanan.
Saat pagi mulai merekah, Melly mendekati Tuhan. Dan begitu lirih bertanya, apa Tuhan tidak sebaiknya kembali ke al-arsy1), tempat Tuhan berkedudukan? Tentu Tuhan akan terhina bila diketahui oleh pengikutnya tengah bermalam di rumah Melly, mantan perempuan nakal.
Tuhan membalas dengan lembut. Tuhan tak perlu dibela seperti itu, Tuhan mulia dengan cara di luar akal manusia.
Belum lagi dibalas, Melly mendengar suara orang-orang bergumam dari belakang rumah. Nosa yang sedang buang hajat di jumbleng2) terdengar berbincang dengan mereka. Melly gegas menuju Nosa, tak ingin bocah polos dan tak tahu cara berdusta itu menceritakan semuanya.
Baru sampai di pintu belakang, Melly melihat dua lelaki yang dia kenali sebagai Topan dan Andung, bercakap-cakap dengan Nosa. Dua lelaki itu jongkok di luar jumbleng, bertanya dan Nosa menjawab dengan tetap ada di atas mulut kakus mengejankan kotoran dari dubur. Melly menepuk keningnya sendiri.
Tuhan semalam datang ke rumah. Menolongku dan Ibu. Seneng, ternyata Tuhan itu keren dan tidak tidur. Tuhan bisa datang ke rumah. Nosa mengoceh mirip burung emprit usai didulang pepaya masak. Yakin kamu kalau itu Tuhan, bukan lelaki simpanan ibumu, tanya Andung. Topan terkikik. Tangannya memegang bilah dari dahan kemlanding, menepuk-nepuk dinding kakus yang berbahan plastik dan anyaman bambu mulai keropos. Beberapa terjatuh.
Benar, dia Tuhan. Tengok saja, dia sekarang ada di rumah ngobrol bersama Ibu. Nosa menuding ke rumah. Andung menoleh. Seketika Melly sembunyi di balik pintu belakang. Mengamati apa yang akan mereka lakukan. Keduanya berdiri. Melly tahu apa yang akan keduanya kejar. Bukti bahwa Melly menyembunyikan lelaki. Bila itu mereka temukan, warga kampung akan menindak langsung Melly. Bisa mengusir, membakar rumah, atau menebas hidup Melly seketika. Toh sudah tak ada yang mau menganggap Melly.
Sebaiknya, Tuhan kembali ke langit. Andung dan Topan akan masuk ke rumah ini. Dan aku tidak tahu apa yang akan mereka lakukan. Melly lagi- lagi bersimpuh.
Tuhan yang berhak memerintah manusia, bukan manusia yang mengatur Tuhan. Jawaban itu mengunci lidah Melly. Matanya basah. Dadanya goyah. Lebih-lebih, terdengar langkah kaki mendekat dan pintu belakang digeser.
Bisik keduanya mulai jelas terdengar. Melly! Tak dilanjutkan kalimat Andung, setelah tahu bukan manusia yang di hadapannya. Benar kata Nosa, Tuhan semalam menginap di rumah Melly.
Tuhan, mengapa harus bermalam di sini. Ini tempat kotor. Pemilik rumah ini perempuan kotor. Manusia kotor. Tentu lebih pantas bila Yang Mahasuci menginap di tempat suci. Tuhan bisa singgah di masjid, musala, atau di rumah Kiai Toha. Andung gugup menyampaikannya. Dan siapa saja tentu tak bisa berkata lancar bila sudah bertatap wajah dengan Tuhan. Tuhan diam tak menyahut.
Merasa lemah, Andung dan Topan segera keluar dari rumah Melly dan mencari bala bantuan. Tak berselang lama, Andung datang dengan segerombolan orang. Ada Kiai Toha, ada sekdes, ada modin, ada lurah, dan tentu ada gemuruh kemarahan yang berarak seperti awan di atas mereka.
Mengapa Tuhan lebih memilih Melly? Kurang suci dan taat apa, Kiai Toha dan orang-orang kampung? Mengapa justru bermalam di rumah perempuan hina seperti Melly? Perempuan hina itu telah menyembunyikan Tuhan! Menghina kesucian Tuhan dengan merendahkan, laiknya pengunjung jalang pondokannya. Semua menyerang pertanyaan. Melly sama seperti mereka, tak tahu betul maksud Tuhan. Nosa menangis, tangannya diikatkan di paha Melly. Melly hanya diam. Mulutnya sudah buntu.
Tak mendapat jawaban jelas. Orang-orang dengan arahan Kiai Toha mencoba merangsek masuk ke rumah Melly. Perempuan mana yang bisa menghalau laki-laki dalam jumlah banyak. Setelah masuk, mereka tak menemukan apa-apa kecuali barang-barang usang dan tak seberapa milik Melly dan Nosa. Suara teriakan. Suara tangisan Nosa. Berkelindan.
Tanpa ada yang mengetahui bersumber dari tangan siapa, api pertama tepercik, mulai membakar rumah Melly. Kiai Toha beralasan, rumah perempuan jalang tak boleh ada di kampung ini. Agar Tuhan tidak kembali menyambangi rumah hina, dan hanya datang ke tempat-tempat suci; masjid, musala, dan kediaman Kiai Toha.
Api membesar. Suara emprit bersuitan, suara ayam berkokok ketakutan. Sesaat Kiai Toha tersadar, belum disaksikannya Tuhan keluar dari rumah Melly. Bila demikian, sama saja dia memerintahkan membakar Tuhan. Dia lari ke depan. Dengan serban serta gerakan tangan seadanya, Kiai Toha berusaha memadamkan api. Andung mencegah, takut orang suci itu jatuh mati dalam kobaran. (M-2)
Catatan:
1. Al-Arsy: tempat kedudukan Tuhan dalam keyakinan agama Islam. Berupa berupa singgasana seperti kubah yang memiliki tiang-tiang yang dipikul dan dikelilingi malaikat.
2. Jumbleng: Kakus tradisional, biasanya berdinding tidak terlalu tinggi dan diletakkan di belakang bangunan utama.
Teguh Affandi, menulis cerpen dan ulasan buku di berbagai media massa. Pernah menjuarai sayembara cerpen Femina, Green Pen Awards Perhutani, dan Pena Emas Nurul Fikri. Sekarang tinggal di Jakarta sebagai editor sastra di salah satu penerbit di Jakarta.
[1] Disalin dari karya Teguh Affandi
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Media Indonesia” Minggu 16 Desember 2018
The post Tuhan Bermalam di Rumah Melly appeared first on Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara.
via Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara bit.ly/2BoZcNQ
Ketenangan pagi di kampung Lubuk Tampui serentak pecah oleh teriakan keras Mat Boneh. Lelaki bujang tua itu berlari tunggang langgang dari arah sawah Tanjung Raya. Wajahnya pucat pasi seperti baru berjumpa hantu kesiangan.
Seperti orang gila ia menjeritkan warta yang membuat puluhan butir kepala bermunculan dari balik pintu dan jendela.
“Ada orang mati tergantung! Ada orang mati tergantung!”
“Di mana? Di mana?” tanya orang-orang yang bergegas menghampirinya.
“Tergantung di pohon kepayang dekat sawah Mang Saleh!” jawab Mat Boneh terbungkuk-bungkuk dengan napas tersengal-sengal.
Sekejapan, berbondonglah orang-orang menuju tempat yang dimaksud. Setibanya di sana tampak di dahan pohon kepayang tua yang tumbuh di dekat pondok milik Mang Saleh, sedikit terlindung oleh gerumbul daun-daun, sesosok mayat perempuan berayun-ayun memilukan.
Melihat pemandangan itu, bukannya menolong, orang-orang malah menjauh. Tidak ada lagi keriuhan. Kerumunan berangsur menyusut begitu saja. Hanya satu-dua saja yang berusaha menurunkan mayat, sedangkan sisanya pergi tanpa bicara.
***
Satu bulan sebelum peristiwa pahit itu terjadi, serombongan laki-laki bertandang ke rumah Pacik Awang. Rombongan itu adalah utusan Pacik Hambali yang bermaksud mengajukan pinangan untuk Kemala — dara jelita, putri satu-satunya Pacik Awang untuk Anwar, putranya semata wayang.
Dari hulu sampai ke hilir kampung Lubuk Tampui tak ada yang meragukan ken cantikannya Kemala. Telah banyak pula pemuda yang berniat meminangnya, tetapi mahar yang dicanangkan Pacik Awang membuat mereka harus menimbang niat beribu kali.
Lelaki tua itu tak tanggung-tanggung meletakkan mahar untuk Kemala. Bila tak sanggup menyediakan perhiasan emas ratusan gram serta sutra pengikat berlarat-larat, jangan harap bisa menikahi putrinya. Tetapi syarat itu tidak berlaku bagi Pacik Hambali. Ia adalah saudara terpandang di kampung Lubuk Tampui. Mahar yang diminta Pacik awang bukan sesuatu yang sulit baginya.
Lagi pula, Pacik Hambali bersahabat dekat dengan Pacik Awang. Persahabatan yang terjalin bukan setahun dua tahun belaka. Mereka bersahabat lebih dari saudara. Namun, persoalan datang justru dari Kemala. Gadis itu menolak rencana perjodohan yang digadang-gadang untuk dirinya.
“Pernikahanmu dengan Anwar adalah ujian martabatku. Jangan sesekali menolak, kecuali kau ingin mengguyur kepalaku dengan kotoran.”
“Bukan aku menolak, Ayah,” sahut Kemala ragu-ragu.
“Tapi….” “Tapi kenapa?” potong Pacik Awang tak sabar. Wajah Kemala berubah pucat seperti mayat. Tusukan tajam mata lelaki tua itu membuat jantungnya menciut. Hampir dua puluh tahun hidupnya tak pernah sekali pun ia membantah kata-kata ayahnya.
“Apakah anak bujang Kasim itu yang membuat kau durhaka padaku seperti ini?” Pacik Awang muntab. Ia tegak berkacak pinggang, sebilah skin tersembul dari balik bajunya.
“Aku tak punya hubungan apa-apa dengan Bang Radin, Ayah.” Kemala menundukkan wajah. “Bang Radin hanya teman sesama guru.”
“Nah, kalau begitu apa alasan kau menolak perjodohan ini?”
“Aku tak setuju jika cengkung dipakai dalam adat pernikahanku,” jawab Kemala pelan. Wajahnya menunduk semakin dalam.
“Kenapa kau tak setuju? Tak perlu takut jika kau tak berbuat apa-apa.” Pacik Awang mulai melunak. Tatapannya pisaunya menumpul.
“Aku tak takut.”
Pacik Awang menatap Kemala penuh selidik. “Tapi, kenapa kau menolak? Apa karena alasan kau tak suka pada Anwar. Sudahlah, Kemala, rasa suka itu akan muncul jika kalian berumah tangga. O, atau kau sudah melanggar adat, hingga takut cengkung tak berbunyi di malam pengantinmu?”
“Demi Tuhan dan demi Ibu yang melahirkanku. Aku masih suci, Ayah. Aku selalu menjunjung tinggi harga dirimu.”
Mata Kemala berkilat, suaranya berderak di antara hening yang memantul di rumah panggung berdinding papan itu. Matanya berair saat memandaang potret bisu perempuan yang sedang tersenyum beku di dinding rumah itu.
“Aku tak mungkin menistakan diri dan membuat ibu menangis di alam kubur,” isak Kemala.
“Jika begitu tak ada yang perlu kau cemaskan. Lagi pula siapa yang akan meneruskan adat di kampung ini kalau bukan kalian-kalian yang masih muda.”
“Tidak, Ayah! Tidak!” seru Kemala. Ia berdiri menantang, bagai menjelma harimau luka. Gadis itu menantang mata ayahnya. “Cengkung adalah adat yang menghina. Ayah harus tahu bahwa kesucian wanita tak selamanya berpaut pada tetes darah di lembar pembungkus orang mati!”
“Cukup!” bentak Pacik Awang dengan wajah merah padam.
“Kau tak usah membantah. Aku dan Hambali sudah sepakat. Kau dan Anwar akan menikah bulan depan!” tegasnya menyudahi perdebatan. Lelaki itu lantas meninggalkan Kemala duduk terdiam tanpa mampu menjawab apa-apa.
Selepas pertengkaran hebat itu, Kemala menjadi batu. Di punggungnya bagai ada sebongkah es yang merayap. Dentang cengkung adalah sangkakala penanda kiamat. Pengadilan adat akan menjerat lehernya, tak peduli meskipun ia tak pernah mencurangi dirinya sendiri.
Kemala dirundung bingung, sebab tak tahu harus berbuat apa. Kesucian wanita memang tak selamanya dibuktikan setetes darah di malam pertama. Namun, ayahnya dan orang-orang di kampungnya mana tahu dan mana peduli perihal itu. Kemala menekur diri, membayangkan musibah besar yang akan jatuh menimpa apa apabila perjodohan itu betul-betul terlaksana.
Di dalam aturan ada yang berlaku turun-temurun, usai pesta pernikahan digelar, kehormatan dan kesucian pengantin wanita harus dibuktikan di atas sehelai kain putih dan dentang cengkung di malam pertama. Hanya dengan cara itu kesucian akan dijamin. Bagai hitam di atas putih, terang-gelapnya tak bisa dipersengketa.
Ketika sepasang pengantin menyibak tirai kamar, seisi kampung akan menunggu. Apabila cengkung berbunyi bertalu-talu, itu pertanda pengantin wanita masih perawan dan apabila cengkung membisu, maka kampung dianggap telah ternoda dan harus melakukan upacara tolak bala.
Hujat gunjing akan menjadi racun yang menusuk tulang belikat. Orangtua yang ketahuan anak gadisnya tak lagi suci akan dicemooh dan dihina. Sedangkan sang gadis akan diusir. Adat inilah yang menjadi hantu di benak Kemala, berpuluh hari sejak diterimanya pinangan itu oleh ayahnya.
***
Apa yang diucapkan Pacik Awang satu bulan yang lalu menjadi kenyataan.Hari yang paling ditakuti Kemala tiba juga. Akad nikah dilaksanakan dan Kemala tak memiliki kesempatan untuk menghindarinya.
Rumah panggung yang panjangnya hampir tiga puluh depa itu ramai oleh tamu-tamu undangan. Ruang berbentuk aula dijadikan tempat untuk berkumpul. Pacik Awang dan Pacik Hambali sibuk meladeni tamu-tamu yang berasal dari beragam latar belakang. Ada pejabat, ada saudagar, ada rakyat biasa. Sesekali mereka tertawa dan saling menepuk bahu tanda memuji.
Di atas kursi pelaminan, Kemala dan Anwar duduk bersanding bagai raja dan permaisuri. Anwar duduk gagah dengan senyum yang tak henti-henti. Ia bangga telah menyunting Kemala, kembang kampung Labuk Tampui. Tapi Kemala terlihat kuyu. Ada ketakutan yang membayang di wajah cantiknya.
Kemilau songket bersulam emas tak sanggup menyulan senyum di bibir Kemala. Risau terpahat begitu nyata. Gadis itu bagai bidadari yang terperangkap di samping raksasa jahat. Meski ia tak menangis, namun ketakutan itu membayang jelas.
Siang menyasar menuju sore, sore beringsut menuju malam. Tibalah pada acara puncak yang paling ditunggu-tunggu. Malam pertama pengantin baru. Seperangkat cengkung sudah dipersiapkan di atas panggung dan kain putih telah digelar dia tas ranjang pengantin.
Detik berjalan senyap bagai tak bernyawa. Orang-orang menunggu berkasak-kusuk. Ada yang tertawa, ada yang berbisik mengumbar canda. Permpuan-perempuan juru masak di dapur terkikik-kikik. Semua membayangkan apa yang tengah terjadi di bilik kamar pengantin.
Suasana malam yang penuh kasak-kusuk dan tawa tertahan-tahan itu redam oleh derit pintu kamar yang terbuka. Berpuluh pasang mata tak saabar menunggu kabar. Anwar melangkah keluar dengan muka masam. Di tangannya tergenggenggam kain putih yang telah kusut. Ia tak banyak bicara, hanya menyodorkan kain putih itu pada ayahnya.
“Tak perlu menabuh cengkung!” teriak Pacik Hambali pada tetua adat yang menjadi perwakilan mempelai laki-laki. “Kain ini tidak akan berdusta. Kampung ini telah ditaburi bibit bencana. Tega nian engkau padaku, Awang! Anak gadismu ternyata tak lagi perawan. Ini buktinya!”
Lelaki itu melempar kain putih ke wajah Pacik Awang. Ia lantas membukanya dengan jemari gemetar. Tak ada bercak noda di sana. Tak ada darah yang menjadi bukti kesucian Kemala. Datuk Awang merintih. Ia terduduk lunglai tanpa bisa berkata-kata.
Malu serupa skin yang ditusukkan ke ulu hati. Anak kebanggaan sekaligus anak yang menjadi penjunjung harga dirinya telah melumurkan najis kepadanya. Kenyataan itu telah membungkam mulut Pacik Awang unutk membela harga dirinya yang jatuh di hadapan berpuluh pasang mata.
Di balik kamar pengantin, Kemala meratap. Tipis nian adat membalut harga dirnya. Setipis kain putih yang menjadi pembukti kesuciannya. Sungguh berat beban malu yang akan ditanggungnya. Ia akan terusir, bukan karena kesalahan yang dikira orang-orang melainkan karena adat yang buta pada kesalahan yang tak pernah dilakukannya.
Pesta pernikahan malam itu menyisakan luka yang menganga. Satu per satu orang-orang meninggalkan rumah panggung Pacik Awang. Malam pun kian melengang, hanya sesekali terdengar isak tangis Kemala yang bersikejar dengan rintih pedih Pacik Awang.
Bulan menggantung pucat di langit kmpung Lubuk Tampui. Saat malam menuju dini hari, Kemala meninggalkan rumahnya. Diam-diam gadis itu menerabas kepekatan malam dan menuju sawah Tanjung Raya. Di dahan pohon kepayang tua, ia menebus malu dengan nyawanya. (*)
Catatan:
Cengkung, sejenis gong kecil yang ditabuh saat malam pertama. Jika gong dibunyikan, pertanda mempelai perempuan masih perawan. Sebaliknya, jika tidak ditabuh, pengantin perempuan dianggap tak lagi perawan dan pihak mempelai laki-laki berhak menceraikannya. Adat ini masih ada sampai sekarang di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan.
Adam Yudhistira bermukim di Muara Enim, Sumatera Selatan. Cerita pendek, cerita anak, esai, puisi dan ulasan buku yang ditulisnya telah tersiar di sejumlah media massa cetak dan daring di Tanah Air. Saat ini mengabdikan diri unutk mengelola Taman Baca Masyarakat Palupuh untuk anak-anak di sekitar tempat tinggalnya. Buku kumpulan cerita pendeknya, Ocehan Semut Merah dan Bangkai Seekor Tawon (basabasi, 2017)
Kun Adnyana, perupa yang juga dosen seni rupa dan desain Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar. Lahir di Bangli, 4 April 1976, meraih gelar doktor bidang Pengkajian dan Penciptaan Seni Rupa dari Pascasarjana ISI Yogyakarta. Telah menggelar 12 pameran tunggal, baik di Jakarta, Yogyakarta, Bali, Michigan Amerika Serikat, maupun di kota Tainan, Taiwan. Meraih penghargaan Visiting Scholar/Artist Awards tahun 2013 dari Gwen Frostic School of Arts, Western Michigan University.
[1] Disalin dari karya Adam Yudhistira
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Kompas” Minggu 24 Februari 2019
The post Cengkung appeared first on Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara.
via Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara bit.ly/2Xu6gD6
Hampir pukul 10 malam saat bus yang kami tumpangi tiba di depan Hotel Daar al-Tawhid Inter continental, Madinah. Hotel tersebut berlokasi di depan Masjid Nabawi.
Jarak Jeddah-Madinah sekitar 450 km kami tempuh dalam waktu sekitar lima jam. Rombongan jamaah umrah Naja Tour berangkat dari Makkah pukul dua siang. Kami singgah di Jeddah–sekitar 75 Km dari Makkah–untuk berbelanja di al-Balad. Tempat tersebut sangat terkenal bagi jamaah haji dan umrah asal Indonesia sebagai pusat belanja oleh-oleh.
Tak lupa, jamaah menikmati bakso dan mi ayam di warung bakso Mang Udin. “Ini warung bakso yang sangat terkenal di Jeddah. Rasanya pun enak sekali, seperti rasa bakso yang biasa kita makan di Indonesia,” kata Ustaz Aminullah, muthowwif yang melayani kami, berpromosi.
“Pendek kata, ke Jeddah belum makan bakso Mang Udin, seakan-akan belum ke Jeddah. He he he. Di sini juga ada warung nasi yang terkenal asal Indonesia, Ayam Bakar Wong Solo. Restoran ini pun sangat ramai,” Ustaz Aminullah menambahkan.
Ini hari kelima aku melaksanakan umrah. Empat hari di Makkah, dan rencananya tiga hari di Madinah. Ini bukan umrahku yang pertama, tapi kali ini ada dua hal yang aku adukan kepada Tuhan. Pertama, aku ingin bertobat–sebenar-benar tobat–atas segala dosaku. Kedua, aku mencari petunjuk untuk menemukan istri dan anakku.
Dua puluh tahun lalu aku meninggalkan istri dan anakku karena tergoda sekretaris cantik di kantor. Sebagai pemilik dan bos perusahaan tersebut, aku merasa bisa melakukan apa saja. Termasuk menikahi sekretarisku, Sherly. Tapi rupanya ia meminta lebih dari itu. Ia meminta aku untuk memilih dia atau istri dan anakku. Dan jahatnya aku, saat itu lebih memilih dia. Aku menceraikan istriku dan membiarkannya pergi membawa anak kami yang baru berusia lima tahun.
Lima belas tahun berlalu, aku membina rumah tangga dengan Sherly. Kami tidak dikaruniai anak. Sherly tidak mau mengandung dan melahirkan anak karena takut bentuk badannya yang ramping dan seksi akan berubah.
Suatu hari, seperti disambar geledek, Sherly tiba-tiba minta cerai. Belakangan baru kutahu, ternyata dia sudah setahun lebih menjalin hubungan dengan seorang laki-laki, duda, pengusaha kaya, yang kemudian menjadi suaminya.
Kejadian itu menyadarkanku. Baru aku merasakan betapa aku merindukan istri dan anakku. Aku segera ke Cianjur. Namun, istri dan anakku sudah tak ada lagi di sana. Tetangga tidak ada yang tahu ke mana mereka pergi.
Bertahun-tahun aku mencari informasi tentang istri dan anakku. Namun, mereka seperti hilang ditelan bumi.
Hingga suatu hari, tahun kelima, aku mendengar kabar samar bahwa mereka pergi ke Nusa Tenggara Barat (NTB). Tapi di mana tepatnya? NTB adalah provinsi yang luas.
Akhirnya kuputuskan pergi umrah. Dengan niat dan harapan penuh, semoga aku mendapatkan petunjuk di sana.
Begitu sampai di Jeddah dan bertemu Ustaz Aminullah, aku sampaikan niatku umrah untuk bertobat dan mencari petunjuk mengenai keberadaan istri dan anakku. Ustaz Amin, begitu dia dipanggil, sangat simpatik dan penuh empati.
Dia ikhlas menemaniku untuk melakukan tawaf lewat tengah malam, agar aku dapat mencium Hajar Aswad dan berdoa di tempat-tempat mustajab di Masjidil Haram. Dia juga membimbingku untuk shalat tobat dan istikharah. Namun, sampai kami berangkat ke Madinah, belum ada titik terang sama sekali.
“Jangan putus asa, Pak. Insya Allah, akan ada petunjuk. Di Masjid Nabawi kita akan bermunajat di Raudhah, tempat yang makbul. Semoga Allah megijabah doa Bapak,” tutur Ustaz Amin.
Satu hari menjelang pulang ke Tanah Air, Ustaz Amin mengatakan, ia bertemu seorang ustaz muda dari Indonesia, tepatnya Lombok, yang namanya sama dengan nama anakku.
“Mudah-mudahan dia memang anak Bapak,” ujarnya.
Selepas shalat Zhuhur di Masjid Nabawi, Ustaz Amin mempertemukan aku dengan ustaz muda itu. Ia berjalan bersama rombongan.
Dadaku langsung berdebar. Aku malu bertemu dengan ustaz muda yang berkharisma itu. Tapi ia yang mendahului bertanya, “Apakah Bapak bernama lengkap Fatih El Ghozi?”
“Iyyyaa,” jawabku terkejut.
“Istri Bapak bernama Sayyidah Qalbi?”
“Betul, Ustaz.”
“Anak Bapak bernama Adly Fairuz?”
“Semua itu benar,” sahutku bergetar.
“Apakah Bapak ingat ciri-ciri anak Bapak tersebut?”
Aku berusaha mengingat-ingatnya. Dua puluh tahun bukanlah waktu yang singkat. Namun, tiba-tiba aku ingat sesuatu. “Ya, saya ingat, dia punya dua tahi lalat di pundak kirinya.”
Ustaz muda itu membuka bajunya yang sebelah kiri. Lalu menunjukkan dua tahi lalat di pundak kirinya. Belum sempat aku berkata-kata, tiba-tiba ia menghambur ke dalam pelukanku. “Bapak adalah ayah saya. Subhanallah, terima kasih ya Allah, Engkau telah mempertemukan saya dengan ayah saya.”
Ia lalu mencium tanganku. “Maafkan Adly, Ayah. Adly mohon ridha Ayah,” ujarnya dengan suara bergetar penuh emosi.
Spontan aku memeluknya. Kami berpelukan lama sekali. Tak ada kata-kata yang bisa keluar dari mulutku. Hanya air mata yang terus berderaian tak henti.
“Maafkan Ayah, Nak. Ayah sangat berdosa kepadamu dan ibumu,” akhirnya keluar juga kalimat itu dari mulutku.
“Sudahlah, Ayah. Tiada yang lebih baik untuk kita lakukan selain bersyukur kepada Allah.”
Ia langsung sujud syukur. Aku pun melakukan hal yang sama: mencium lantai Masjid Nabawi.
Para jamaah umrah yang dibimbing Adly masih berkumpul di sekitar kami. Mereka mungkin bingung terhadap apa yang terjadi.
“Para jamaah sekalian yang dimuliakan Allah. Perkenalkan, ini Ayah saya, Bapak Fatih El Ghozi. Kami terpisah selama 20 tahun. Ceritanya panjang. Tapi satu hal yang pasti: bagi Allah tidak ada yang tidak mungkin. Allah Mahakuasa,” kata Adly dengan wajah penuh kegembiraan.
Satu per satu jamaah memeluk aku dan mengucapkan selamat. Setelah itu, mereka kembali ke hotel.
Aku mengajak Adly masuk kembali ke dalam masjid. Kami duduk berhadapan.
“Nak, bagaimana kabar mamamu?”
“Alhamdulillah sehat, Ayah.”
“Di mana kalian tinggal? Dan bagaimana ceritanya?”
“Setelah berpisah dengan Ayah, mama mengajak Adly tinggal di Cianjur, di rumah nenek. Mama adalah anak satu-satunya. Beberapa bulan kemudian nenek meninggal, sedangkan kakek–seperti Ayah tahu–sudah meninggal setahun sebelumnya. Mama lalu menjual tanah dan rumah warisan.
Mama mengajak Adly pindah ke Lombok. Di sana, teman nyantri mama waktu di Gontor mendirikan pondok pesantren bersama dengan suaminya yang juga alumni Gontor. Mama jadi pembantu di pondok pesantren tersebut. Bagi mama, yang penting bisa untuk menyambung hidup dan Adly bisa nyantri gratis.”
Ya Allah, betapa besar dosaku kepada istri dan anakku. Aku menyia-nyiakan mereka hanya karena seorang wanita yang tidak mencintaiku dengan tulus.
“Alhamdulillah, Adly lulus Aliyah usia 16 tahun dan hafal 30 juz. Adly ikut seleksi beasiswa kuliah di al-Azhar University Kairo, Mesir. Alhamdulillah, Adly termasuk salah satu dari 300 pemuda Indonesia yang berhasil mendapatkan beasiswa tersebut.
Mama sangat senang. Beliau pernah berkata, “Seandainya ayahmu tahu bahwa engkau dapat beasiswa kuliah ke al-Azhar, pasti akan bangga.’”
Ucapannya membuat aku kembali menguras air mata. Hatiku terasa semakin sedih dan bersalah.
“Adly lulus S-1 dari Al Azhar dalam waktu empat tahun dan pulang ke Indonesia dengan membawa gelar Lc. Mama bilang kepada Adly, ‘Pulanglah dulu. Abdikan dirimu di pondok pesantren. Insya Allah beberapa tahun lagi kamu melanjutkan kuliah S-2 dan S-3 di al-Azhar. Mudah-mudahan sebelum engkau kembali ke Kairo, Allah pertemukan engkau dengan ayahmu.”
Kali ini aku tak tahan lagi. Aku peluk anakku. Aku peluk ia erat sekali. Aku tak bisa berkata apa pun. Hanya air mata yang terus tumpah.
Setelah sekian lama, Adly berkata, “Adly sekarang jadi salah seorang ustaz di pondok pesantren. Adly juga menjadi imam rawatib di salah satu masjid jami di Lombok. Selain berdakwah ke berbagai kota, Adly juga menjadi pembimbing ibadah haji dan umrah,” tuturnya.
Hatiku begitu bahagia dan bangga. Anak yang kusia-siakan kini sudah menjadi orang yang berguna.
Aku minta Adly menyambungkan telepon ke mamanya.
“Assalamualaikum, Ma. Mama tahu, Adly sekarang dengan siapa? Doa Adly dan Mama dikabulkan Allah Adly bertemu ayah di Masjid Nabawi. Ini, ayah mau bicara dengan Mama.”
Lama aku dan Sayyidah terdiam.
“Assalamualaikum, Sayyidah,” suaraku bergetar.
“Walaikumussalam,” terdengar suara lembut yang kukenal 20 tahun lalu di seberang sana.
“Sayyidah, masih bolehkah aku bertemu denganmu? Aku hanya ingin mencium tanganmu dan mengucapkan permohonan maaf.”
“Terbalik, Mas. Sayyidah yang meminta maaf. Mungkin selama ini Sayyidah belum bisa jadi istri yang baik. Biarkan Sayyidah yang mencium tangan Mas Fatih.”
Aku menggigit bibir. Namun, air mata ini terus saja menderas.
“Pulang umrah besok, aku akan langsung ke Lombok. Aku minta diantar Adly.”
“Semoga Allah berikan kepada kita umur yang panjang dalam sehat dan taat kepada Allah.”
Namun, keesokan harinya, hanya tiga jam sebelum kami kembali ke Tanah Air, ada telepon masuk ke Adly. Isinya mengabari bahwa mamanya terkena strok, pembuluh darah pecah. Ia langsung dirawat di rumah sakit. Sampai saat ini belum sadarkan diri.
Aku terkejut dan sangat khawatir. Ya, Allah, izinkan aku menemui istriku dan meminta maaf atas segala kesalahanku.
Perjalanan Jeddah-Cengkareng yang hanya delapan jam terasa begitu lama. Ditambah transit tiga jam, kemudian terbang Cengkareng-Lombok selama dua jam. Sepanjang perjalanan dari Jeddah sampai Lombok, aku sama sekali tak bisa memicingkan mataku. Bayangan buruk berkali-kali menghantuiku.
Begitu mendarat di Bandara Internasional Lombok (BIL), Praya, aku dan Adly langsung ke rumah sakit. Istriku masih koma. Adly langsung memeluk mamanya dengan penuh kasih sayang seraya melantunkan berbagai macam doa.
Sejenak aku terpaku. Namun, segera aku cium tangan istriku. Wanita mulia yang telah kutinggalkan begitu saja hanya karena dorongan nafsu. “Maafkan aku, Sayyidah,” bisikku di telinganya. Namun, ia sama sekali tidak merespons.
Selama lima hari, istriku koma. Dokter melakukan berbagai upaya untuk mengobatinya. Namun hasilnya nihil.
Hari keenam, tiba-tiba tangannya bergerak. Segera kugenggam tangannya. “Sayyidah, maafkan aku, sayang.”
Ia menjawab dengan isyarat. Tangannya menggenggam jariku.
“Cepat sembuh ya sayang. Aku ingin kembali hidup bersamamu dan anak kita.”
Namun, tiba-tiba air matanya meleleh dari matanya. Dan pegangan tangannya kembali melemah.
Ia kembali koma. Dan dua hari kemudian meninggal dunia, tanpa sempat mengucapkan sepatah kata pun kepadaku maupun Adly.
***
Senja makin tenggelam dalam muram. Mentari kembali ke balik malam. Angin seakan berhenti berdesau. Memagut hatiku yang kian galau.
“Ayah, mari kita pulang. Sebentar lagi gelap,” Adly menyentuh bahuku.
Untuk kesekian kali aku memeluknya. Air mataku berderai.
“Maafkan aku, Nak. Ayah sangat berdosa kepadamu dan mamamu.”
“Adly sudah memaafkan Ayah. Dan mama pun, Adly yakin sudah memaafkan Ayah. Kita hidup menjalani takdir yang sudah Allah gariskan. Tugas kita berikhtiar. Dan Ayah sudah berikhtiar maksimal untuk menemukan mama dan Adly dan merajut kembali bangunan keluarga kita yang sempat rapuh. Tapi manusia berencana, Tuhan pun punya rencana. Dan rencana Tuhan selalu yang terbaik.”
Adly mencium tanganku. “Adly selalu bangga dengan Ayah. Dulu, sekarang dan se lamanya. Itu yang selalu mama ajarkan kepada Adly.”
“Mama selalu bilang, Ayah adalah cinta pertamanya. Ayah adalah satu-satunya laki-laki yang beliau kenal dalam hidupnya. Ayah melamar mama, saat mama nyantri di Pondok Pesantren Gontor. Kata mama, Ayah tidak mau menunggu sampai mama lulus dari pesantren karena takut mama disunting anak Pak Kiai. Ketika akhirnya Ayah berpaling kepada wanita lain, mama tetap membanggakan cinta Ayah dan menyimpan nama Ayah di lubuk hatinya yang paling dalam.”
Mendengar ucapannya, aku kembali tersedu. Kembali kupeluk anakku, sambil memandang makam yang masih merah itu. “Istriku, terbuat dari apakah hatimu? Bahkan intan permata pun tidaklah semulia itu. Seandainya saja Allah izinkan aku sehari saja menemanimu, ingin kucium kakimu dan kulayani engkau sepanjang waktu.”
“Ayah, Adly yakin mama tersenyum di alam kuburnya. Ia ingin Ayah bahagia. Dan ia menunggu Ayah di pintu surga.”
Adly meraih tanganku. “Sekarang saatnya kita pulang. Besok Adly antar Ayah ziarah ke makam mama. Kita berdoa bersama-sama untuk mama. Semoga Allah bahagiakan dan muliakan mama di alam barzakh.”
Aku melangkah perlahan. Sekali lagi kutengok makam istriku.
“Selamat jalan, cahaya mataku. Aku akan selalu merindukanmu dalam sunyiku dan doa-doaku.”
Masjid Nabawi, Madinah, 2 Syawwal 1439 H
Irwan Kelana adalah cerpenis, novelis, dan wartawan Harian Republika. Ia telah menerbitkan sekitar 20 judul buku, baik novel, kumpulan cerpen, biografi maupun buku-buku Islam. Lebih dari 10 kali memenangkan lomba menulis novel, cerpen, karya tulis, dan artikel tingkat nasional. Ia juga aktif memberikan pelatihan jurnalistik dan sastra di dalam maupun luar negeri.
[1] Disalin dari karya Irwan Kelana
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Republika” edisi Minggu 6 Januari 2019
The post Rindu di Tangkai Senja appeared first on Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara.
via Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara bit.ly/2CXh0lp
Bulat sudah tekad lelaki itu pergi ke pegunungan, menembus belantara pohon. Dia sudah jenuh bertemu laut, lelah berjemur di pantai. Sudah dua tahun dia menggali pasir, lalu berbaring membenamkan tubuhnya di lubang galian, hanya sebatas leher dan kepala yang tampak.
Selalu begitu ia lakukan, setiap matahari sore setinggi pinggang batang kelapa. Ia akan pulang jika matahari terbenam, mengibas-ibaskan pasir yang melumuri tubuh. Badannya akan terasa hangat, ngilu dan kesemutan berkurang, dan berharap tidur akan lelap ini malam. Tapi, laki-laki itu tak kunjung sembuh dari sakit yang bertahun-tahun ia derita, yang membuat badannya sering loyo tak bertenaga. Padahal ia sudah dengan tertib dan tekun menjalankan anjuran teman-temannya untuk membenamkan diri di pasir pantai yang hangat saban sore.
“Sudah banyak yang berhasil,” rajuk rekan-rekan lelaki itu. “Aliran darah akan lancar, bebas stroke, jantung membaik, diabetes lenyap, otot-otot kaki menguat, badan tak lagi pegal-pegal.”
Setelah dua tahun ia ikuti saran itu, tubuhnya memang terasa enteng, tetapi kadar gula darahnya selalu tinggi dan tak pernah stabil. Dokter menganjurkan agar menjaga asupan makanan dan rajin berolahraga. Sudah ia lakukan semua itu, tetapi cek laboratorium yang mengukur kadar gula darah selama tiga bulan (HbAlc) menyodorkan angka 7,5 pertanda ia masih menderita diabetes melitus. Semestinya kurang dari 5,7.
Laki-laki itu mulai putus asa, yakin ia tak akan sembuh dari penyakit kronis diabetes. Terbayang orang-orang yang ginjalnya rusak karena gula darah tinggi, pembuluh darah rusak, stroke, gagal jantung, mata rabun, kaki luka busuk diamputasi, dan akhimya mati pelan-pelan.
Namun ia tetap menghabiskan waktu di pantai setiap sore hingga senja tiba. Ia ingin mati di atas pasir saja. Sering ia di pantai sampai pagi, berbaring memandang planet dan bintang-bintang, membayangkan rohnya nanti apakah bisa mencapai angkasa raya bertabur bintang itu?
Lelaki itu pun jadi banyak tahu peristiwa yang teijadi di tepi laut. Sudah sangat sering ia bercakap-cakap dengan para nelayan yang kini lebih kerap mengantar turis bule menyelam dibandingkan menangkap ikan. Ia acap menyaksikan upacara membuang abu jenazah ngaben ke tengah laut. Ia juga bertemu orang-orang yang melangsungkan upacara nyegara-gunung, pergi ke laut dan gunung usai menyelenggarakan upacara adat dan keagamaan. Beberapa yang diajaknya bercakap-cakap menganjurkan agar lelaki itu jangan banya mencari kesembuhan di laut, sepantasnya juga ke gunung.
“Kami melangsungkan nyegara-gunung demi keseimbangan, agar bahagia dan tenteram,” alasan orang-orang yang melangsungkan ritual itu.
Sejak itu ia mulai berniat pergi ke pegunungan. “Masuk akal juga kata mereka, aku harus nyegara-gunung, pergi ke samudra dan juga ke gunung-gunung,” kata hati lelaki itu. “Siapa tahu aku benar-benar bisa sembuh.”
Lelaki itu pun meninggalkan pantai, pergi ke pegunungan Batukaru, berpuluh kilometer dari rumahnya, menembus belantara. Ia menjadi pencinta alam, menggendong ransel, membawa bekal makanan, dan sering tidur dekat hutan. Paling sering ia tidur di tepi sungai beratap tenda seperti seorang pramuka. Ia merasa segar, semakin ringan badan, kian enteng kaki melangkah. Tapi, penyakit kronis diabetes melitus yang dideritanya tak jua kunjung sembuh. Sudah dua kali ia cek laboratorium, kadar HbAlc-nya tak pernah turun dari 7,5.
Lelaki itu mulai putus asa. Kadang muncul hasratnya mati di tengah hutan saja, ketika suatu hari ia memastikan pergi ke belantara pohon untuk tidak lagi balik ke rumah. Ia telusuri jalan setapak dengan rimbunan perdu di kiri kanan, seperti seorang pengelana yang membuang diri menghabiskan hari tanpa tujuan. Sinar matahari sore ia rasa lebih redup dari biasanya. Tujuh kupu-kupu ungu yang terbang mengitari pohon buni dengan buah merah ranum menyambutnya.
Laki-laki itu terpana menyaksikan kupu-kupu itu terbang rendah berputar sebelum beriringan menjauh, memberi pertanda agar laki-laki itu mengikuti mereka. Jika lelaki itu melangkah bergegas, kupu-kupu itu juga mempercepat gerakan melaju ke depan.
Sampai di sebuah tempat dengan beluikar semakin rapat padat, kupu-kupu itu berputar merendah, seperti hendak menyampaikan sesuatu. Laki-laki itu mendekat, dan ia sampai di tepi mata air dengan serakan batu-batu besar, seluas kurang dari setengah lapangan sepak bola. Di atas sebuah batu pipih selebar tempat tidur, dengan pohon sukun rindang di sampingnya, kupu-kupu itu terbang berputar.
Kepada seorang perempuan tua yang sedang memikul kayu bakar, laki-laki itu bertanya. “Apa nama tempat ini, Nek?”
Si nenek mencoba menegakkan tubuhnya yang bungkuk. “Ini Desa Batu Hyang, Nak. Tapi kami biasa menyebutnya Batuyang. Kalau di situ, setelah lewat sungai, Desa Penatahan,” ujar si nenek menunjuk dengan mengangkat dagunya yang keriput ke arah timur.
Kupu-kupu itu terbang mengitari batu, seakan menyarankan agar lelaki itu mendekat. Laki-laki itu meletakkan ranselnya, dan berbaring di atas batu. Matahari hampir terbenam. Laki-laki itu merasakan kesejukan, tidur pulas sampai pagi. Tujuh ekor kupu-kupu hinggap di ujung batu, seakan menjaga laki-laki itu.
Sejak ia tidur di atas batu itulah ia merasa tubuhnya selalu bugar. Berkali-kali kemudian ia datang dan berbaring di atas batu itu. Sudah dua kali ia cek darah dan hasilnya mencengangkan. Kadar HbAlc darahnya 5,2 pertanda kini ia normal, tidak lagi mengidap diabetes. Ia berhenti minum obat dan tidak lagi menyuntikkan insulin ke tubuhnya, gula darahnya stabil.
Laki-laki itu sangat gembira. Ia ingin memindahkan batu itu ke rumahnya sehingga ia tak perlu sering pergi jauh ke bawah pohon sukun itu. Kepada kepala desa ia sampaikan hasrat itu.
“Oooo silakan, tidiik apa-apa,” ujar kepala desa yang seluruh rambut, janggut, dan kumisnya beruban.
Lelaki itu menukar batu itu dengan seratus bibit pohon alpukat madu dengan daging buah yang lembut dan lezat untuk warga desa. Butuh waktu sehari memindahkan batu itu ke jalan utama desa sebelum diangkut truk.
Ia menempatkan batu itu di pekarangan rumahnya di batas kota. Setiap hari ia tidur di atas batu itu. Kepada rekan-rekan ia bercerita kalau ia punya batu yang bisa menurunkan kadar gula darah. Banyak yang datang, dan berbaring di atas batu itu. Mereka kemudian mengaku tubuh menjadi lebih ringan, pegal hilang, dan badan lebih segar.
Berita ten tang batu pipih yang bisa menyembuhkan diabetes itu pun pelan-pelan merayap menyebar. Banyak yang semula tidak percaya, kemudian takjub setelah mengetahui kadar gula darah mereka berangsur turun dan stabil.
Rumah lelaki itu pun sepanjang hari sesak pengunjung. Mereka kadang harus menunggu berhari-hari menanti giliran untuk bisa berbaring di atas batu itu. Banyak yang mesti berbaring berkali-kali dalam sekian pekan, sebelum tubuh merasa bugar. Tapi tak sedikit yang tidak sabar, malas mengulang datang sehingga menganggap batu itu tak mengandung khasiat apa pun. Mereka berujar, semua kehebatan dan kesaktian batu itu bohong belaka. Hoaks.
Namun, yang sembuh senantiasa berpromosi itu batu sungguh berkhasiat Mereka berkabar kepada kerabat, mengajak orang-orang menjaga kesehatan agar terhindar dari diabetes, dengan bertemu batu. Mereka berkumpul di rumah lelaki itu, bertukar cerita, dan bergiliran berbaring di atas batu. Semua sepakat atas pandangan seorang rekan yang menjelaskan. Batuyang itu artinya batu yang melimpahkan kasih sayang.
Karena banyak yang datang dan lama menunggu giliran, lelaki itu kemudian memotong-motong sebagian batu itu menjadi seukuran tegel. Potongan itu ia bungkus kain putih, dimasukkan ke dalam kemasan menjadi kasur tipis, dibingkai potongan papan, dijadikan alas tidur dipan. Kini tersedia lima dipan beralas batu. Mereka yang berbaring di dipan itu mengaku nyaman, segar, dan bugar.
Makin banyak orang berkunjung untuk berbaring di atas batu. Lelaki itu kemudian memperbanyak dipan dengan kasur-kasur tipis berisi potongan batu selebar tegel. Ia menempatkan dipan-dipan itu di kamar-kamar. Rumah lelaki itu pun kini menjadi sebuah klinik tempat merawat penderita diabetes. Tidak ada dokter dan perawat di rumah itu, masing-masing mengurus diri sendiri.
Hampir semua penderita diabetes yang datang ke rumah lelaki itu berusia 50 tahun ke atas adalah orang-orang dengan ekonomi mapan. Mereka kemudian berbincang-bincang, mengapa mereka tidak membangun saja rumah sakit khusus untuk diabetes melitus, dan memanfaatkan batu Batuyang itu untuk menyembuhkan?
“Kita bisa urunan modal, mulai dengan beberapa kamar saja,” ujar seorang pemilik rumah makan yang istrinya sembuh dari diabetes setelah berbaring beberapa kali di atas batu.
“Untuk membangun kamar-kamar, serahkan sama saya,” usul pengusaha pengembang permukiman.
“Saya punya banyak teman dokter dan perawat untuk mem bantu,” ujar pemilik showroom mobil. “Ada sahabat saya di departemen kesehatan untuk mengurus izin.”
“Kita bangun rumah sakit yang dasarnya dari batu-batu Batuyang,” seorang penekun spiritual mengajukan saran.
“Ubinnya dari batu saja,” sahut yang lain.
“Tembok pekarangan juga dari batu,” ujar seorang pensiunan.
“Dinding-dinding kamar dari batu. Semua dari Batuyang,” keinginan pemilik toko bangunan.
Lelaki itu pun pergi ke Batuyang hendak mengumpulkan dan mengangkut batu-batu. Tak terasa hampir lima tahun ia tidak pernah mengunjungi desa ini. Dia menyaksikan pohon alpukat madu yang ia hadiahkan sebagai penukar batu sudah ada yang berbuah di halaman warga. Jalan ke sungai tempat ia berbaring dan kemah di atas batu sudah diperlebar kendati belum dikeraskan.
Laki-laki itu tersentak kaget tak percaya setiba di tepi sungai. Tak satu pun batu tampak, hanya menyisakan kawasan gersang dengan kerikil terserak. Pohon sukun itu tidak ada lagi. Dataran yang dulu disesaki batu-batu besar kini rata seperti pantai yang habis diterjang tsunami. Ke mana kupu-kupu ungu itu pergi?
Lama sekali laki-laki itu termangu sebelum mendatangi kepala desa, yang tampilannya tak banyak berubah, dengan rambut, janggut, dan kumis masih seputih dulu. Penuh semangat kepala desa bercerita, ada orang-orang kaya dari kota mengangkut batu-batu itu.
“Semuanya?”
“Semua, mereka hanya menyisakan kerikil.”
“Untuk apa?”
“Kata mereka buat membangun rumah sakit turis bule di Nusa Dua. Mereka bilang batu-batu itu bertuah, bisa memperlancar aliran darah jika dipakai alas tidur. Kata mereka, sudah banyak yang membuktikan sakit gula darah dan sakit jantung bisa sembuh berkat tidur beralas batu Batuyang.”
“Bapak percaya omongan mereka?”
“Mereka orang baik-baik. Buktinya mereka menanggung pembangunan balai desa kami dan menyumbang untuk perbaikan pura. Membangun rumah sakit itu mereka mempekerjakan tukang-tukang Batuyang. Tahun depan rumah sakit itu diresmikan. Banyak pemuda dari desa ini dijanjikan bekerja di rumah sakit itu,” ujar kepala desa manggut-manggut tak kuasa menyembunyikan bangga dan girang.
“Apa lagi janji mereka?”
“Mereka akan membangun Vila di Batuyang karena desa ini cocok untuk wisata alam.”
“Ada lagi?”
“Mereka berniat mengembangkan wisata-agro di sini. Turis bisa memetik sepuas hati buah-buahan di kebun, dan menyeruput kopi yang mereka sangrai dan giling sendiri.”
“Lagi?”
“Orang-orang Batuyang akan menjadi karyawan di vila-vila itu.”
“Lagi?”
“Mereka akan mengalirkan air bersih ke rumah-rumah, bikin jamban.”
“Ada lagi?”
Kepala desa itu diam sejenak. “O ya, mereka menjanjikan seragam dan sepatu gratis buat anak sekolah.”
“Lagi?”
“Saya lupa saking banyaknya,” ujar kepala desa itu tersenyum.
Laki-laki itu pulang dengan perasaan kacau. Ia menyesal tak sekali pun datang ke Batuyang sejak kesembuhan ia dapatkan. Ia tidak pernah menceritakan kepada warga Batuyang, berkat bertemu batu ia sehat dan bugar. Baru kini ia sadari, ia lupa menyampaikan terima kasih. Selama ini ia merahasiakan kepada warga desa, batu-batu di tepi sungai itu bertuah menyembuhkan penyakit. Ia lalai berpamitan dari Batuyang sehingga menerima karma buruk.
Tapi, laki-laki itu juga tak kuasa menyembunyikan kekesalannya pada industri turisme. Ia sangat dongkol ketika lewat di depan balai desa sumbangan pemilik rumah sakit internasional untuk turis itu.
“Huh, tahunya cuma turis… bule…. Mengapa pariwisata harus jadi panglima?” gerutu laki-laki itu sepanjang perjalanan pulang.
Gde Aryantha Soethama, banyak menulis buku tentang Bali daerah di mana ia lahir dan hidup sampai sekarang. Bukunya berupa antologi cerpen, laporan perjalanan, dan sejumlah kumpulan esai. Pengalamannya dalam dunia jurnalistik ia tuliskan dalam buku Menjadi Wartawan Desa (1985), Wawancara Jurnalistik (1986), dan Koran Kampus (1986). Buku kumpulan cerpennya Mandi Api memenangkan Khatulistiwa Literary Award tahun 2006.
Hazim Muhammad Zarkasyi Hakim, lahir di Bandung, 27 Agustus 1993. Ia menempuh pendidikan di Fakultas Seni dan Desain Institut Teknologi Bandung. Hazim dikenal sebagai seniman drawing, mural, patung, seni lukis cat minyak. Sampai kini tinggal di Bandung.
[1] Disalin dari karya Gde Aryantha Soethama
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Kompas” Minggu 18 November 2018
The post Bertemu Batu appeared first on Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara.
via Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara bit.ly/2KxRmWt
Dekade 90-an tenggelam dan dasawarsa selanjutnya naik ke permukaan. Perkembangan teknologi bergerak perlahan, kemudian semakin cepat. Penemuan baru hampir tiap tahun hadir di sisi kehidupan, tidak seperti sebelumnya yang membutuhkan waktu lebih lama. Kertas bertintakan kabar-kabar berbalas mulai tak menemukan ruang di masa ini. Bentuk perhatian seakan menyesuaikan perubahan zaman.
Di pinggir jalan raya, telepon umum memang masih terjamah pelanggan setianya. Akan tetapi, sentuhan teknologi memermak perangkat telepon menjadi lebih mungil, serta-merta nyaman dalam genggaman dan dapat terselip di saku celana. Jarak bisa dipangkas entah dari mana saja. Segenap manusia berhak memiliki, tak terkecuali Aida.
Kebutuhan tengah mengembang dalam kehidupan Aida. Tatkala ia harus menerima atau memberi kabar sesegera mungkin. Itulah sebabnya ia harus sering mampir ke sebuah penyedia layanan pulsa elektrik untuk memenuhi syarat sebagai pelaku informasi melalui ponselnya. Tanpa ia terka, Tuhan menyediakan ruang pertemuan tanpa hiasan janji-janji sebelumnya. Bahkan, perkiraan terlalu jauh dari pikiran mereka.
“Halo, apa kabar?” Sapaan seorang lelaki yang baru saja datang dan mendahului pembicaraan pada siang itu. Ia menyeret satu kursi duduk lalu meletakkannya di sebelah Aida.
Aida mengangkat kepala yang sebelumnya tertuju pada layar mini seluler, memastikan saldo pulsa sudah terisi. “Hai Fahrie, kabarku baik, kau sendiri bagaimana?” jawab Aida semringah sembari memperhatikan raut wajah Fahrie.
Mereka sudah lama tak mengadu tatapan sejak lulus dari sekolah menengah. Memang tak ada yang berubah dari paras Fahrie, hanya panjang kakinya yang telah melebihi dirinya.
“Kalau kau baik, berarti aku juga baiklah hahaha. Kau sudah lulus kuliah?” jawab Fahrie diselingi tawa. Fahrie sempat menanyakan perihal Aida kepada seorang teman.
Jadi, meskipun baru dipertemukan, ia bisa memapah pembicaraan ke arah mana saja dengan bekal keterangan yang telah ia himpun.
Saat pertemuan dengan Fahrie di usianya yang menginjak dua puluh tiga ini, Aida telah lulus dari dunia perkuliahan dan tak lama menganggur. Ia berkesempatan mengajar di sekolah swasta bernuansa religius. Setiap hari ia bertemu dengan anak-anak yang menggemaskan.
Mereka pun hanyut menikmati tanya jawab yang terlempar kepada satu sama lain. Selayaknya teman sejawat melepas rindu, yang juga mengenang masa lalu. Semua perihal yang telah berlalu terasa lucu untuk diingat, sekalipun menyakitkan di masa itu. Sekelumit canda yang merebak di antara mereka, mengundang tawa terbahak-bahak. Setelah waktu lampau sudah memuaskan, pokok bahasan mulai mengacu pada kenyataan, masa kini.
“Tak terasa ya, kita telah berada di usia sekarang. Aku yakin beberapa teman kita sudah menikah. Lalu, apa kau akan segera menikah dalam waktu dekat?” kata Fahrie diiringi berbagai dugaannya.
“Doakan untuk segera. Sekarang belum ada calonnya hehe. Kau mau mendahuluiku?” balas Aida terkekeh berlanjut mengintimidasi.
“Haha aku pun belum punya pasangan untuk diajak ke sana. Bukannya teman dekatmu se-abreg ya, apa tak ada yang memenuhi kriteriamu?” kata Fahrie mengelak yang diteruskan tanya yang menggoda.
Masih terukir jelas dalam kepala Fahrie, bahwasanya Aida merupakan dambaan setiap lelaki di masa sekolah menengah. Tak heran jika beberapa di antaranya pernah mengisi harinya. Hal itu juga berlaku ketika berada di lingkungan tempat tinggalnya. ‘Kembang Desa’ bahkan patut disematkan dalam julukannya. Barang kali ia masih menyandang nama itu hingga saat ini, pikir Fahrie.
“Belum ada yang berani serius. Kau sebagai lelaki bisa santailah, tak dikoyak oleh usia. Kalau wanita sudah masuk usia dua puluh lima dan belum ada calonnya bisa ketar-ketir,” jawab Aida yang mulai memakai sudut pandang gendernya.
“Bukannya takdir itu masing-masing? Jadi, ya kita tak perlu menyesuaikan waktu kita untuk sama dengan waktu mereka,” sahut Fahrie beserta pendapatnya mengemuka.
Perdebatan kecil menyeruap di sela pembicaraan mereka berdua. Mulai dari kehidupan secara garis besar, hingga mengerucut pada perihal waktu yang ideal untuk menikah. Pelanggan di warung elektrik itu silih berganti datang dan pergi, tetapi hanya sedikit memengaruhi keintiman mereka.
Berselang kesempatan, Fahrie mengambil papan kayu pengapit kertas yang tergeletak di meja pesanan. Kertas berisi puluhan nomor pelanggan itu disingkirkan, kemudian Fahrie menggoresnya dengan pulpen di cengkeraman jemarinya. Sembari menerangkan gagasan yang terlintas di pikirannya dengan cakap, sesekali Fahrie meminta Aida untuk menengok ke papan agar keduanya mencapai kesepahaman.
Aida memang sering kali menggunakan papan bor untuk memperjelas penyampaiannya kepada murid kesayangan. Namun, kali ini Aida harus bertukar posisi, ia bukan sebagai guru ketika berada di tengah penjelasan Fahrie.
“Kalau misalnya seperti ini, bagaimana?” tanya Fahrie meminta pendapat.
Senyuman bergurat dari wajah Aida karena tak mampu menahannya. Ia meringis gemas melihat Fahrie yang sok imajinatif mengubah papan kayu seolah menjadi surat perjanjian. Meskipun, dua kali anggukan kepala Aida ialah gestur yang menyiratkan persetujuan di antara mereka.
Sore kala terasa terik, benda-benda bersama bayangannya di sebelah timur tampak kala ditembak sinar surya. Tak terasa obrolan bisa berlangsung selama hitungan jam. Mereka pulang setelah pembicaraan santai cukup untuk mengisi waktu senggang di hari itu. Entah bagaimana pun juga, inti dari percakapan tadi hanyalah gurauan pengusik penat masing-masing.
***
Waktu berjalan lekas, cepat menggilas dua tahun berlalu. Tak ada perubahan mendalam pada masa ini selain anak band yang mulai mendominasi blantika musik Tanah Air. Mereka kerap memenuhi layar kaca stasiun televisi lokal di waktu tertentu. Kaset pita mulai tergantikan dengan piringan. Karya musisi beredar dan bisa ditemukan di titik keramaian dengan status bajakan.
Pagi hingga siang Aida mengajar. Malam hari merupakan sela waktu baginya untuk membaca bermacam jenis buku, seraya mendengar lagu kesukaannya. Ia berusaha memperdalam ilmu demi menjadi guru yang baik. Kesibukan lainnya tak lain ialah mengoreksi tugas murid-muridnya, memberi nilai yang sesuai serta menyiapkan materi keesokan harinya.
Sudah dua kali ia menyaksikan anak didiknya lulus melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah. Bangga sekaligus sedih dirasakan saat melepas mereka, menyisakan kenangan indah yang telah melekat dalam ingatan. Ia harus terbiasa. Momentum seperti itu akan terus terulang dalam kurun waktu pengabdiannya sebagai pendidik.
Beberapa kali ragam pertanyaan seputar pernikahan atau sejenisnya dilayangkan kepada Aida. Sebanyak itu pula permintaan doa ia sematkan di akhir kalimat sebagai jawaban. Bukan berarti tak ada ikhtiar, seorang pria dari perantara bahkan pernah mengisi hatinya dalam dua tahun ini. Namun, kecocokan tak sekadar memiliki hobi yang sama atau kemampuan finansial. Menurutnya, menjalin hubungan suci pun tak lepas dari lika-liku meskipun cinta telah menjadi landasannya. Dan, Tuhan belum membiarkan Aida bersua dengan takdirnya, mungkin di lain hari nantinya.
***
Dua kalender sudah ditanggalkan. Fahrie menjelma seorang pekerja yang tidak bisa jauh dari sepeda motor. Ia tidak mendiami satu tempat seharian, tetapi berpindah-pindah untuk meliput beragam kejadian. Tatkala jam istirahat pun ditinggalkan kala panggilan telepon menghendakinya untuk pergi. Dalam sehari, ia harus mengirimkan beberapa tulisan untuk melengkapi konten media cetak yang terbit harian. Ia sangat menikmati kehidupannya yang selalu dikejar tenggat waktu.
Pekerjaan Fahrie memungkinkan ia untuk bertemu dengan orang-orang baru dalam hidupnya. Penggalian informasi dilakukan kepada narasumber dengan berbagai macam karakter. Tak jarang jika Fahrie mendapatkan perlakuan atau sekadar perkataan yang kurang berkenan di hati. Untungnya ia sudah kebal. Hanya kebaikan yang akan diingat olehnya. Namun, ia masih belum sempat memikirkan cinta.
Empat jam menuju pergantian hari, pertanda bagi Fahrie untuk bergegas pulang dari kantor. Waktu itu ia sedang bebas. Pekerjaan sudah terselesaikan dan tak ada kencan dengan teman seperti biasanya. Namun, ia harus mampir mengisi saldo pulsa untuk selulernya. Semenjak menjadi pekerja, ia lebih sering menggunakan telepon layaknya suatu kebutuhan bagi dirinya.
Sesampai di tempat yang ia tuju dan memastikan sepeda motornya tertata semestinya, Fahrie memperhatikan perempuan dengan penutup mulut dan pria yang duduk di sebelahnya. Tak butuh waktu lama untuk menerka, dari lilitan kain jilbab yang khas dikenakan, ia pun mengetahui siapa pemilik wajah di balik masker itu.
“Hai Aida, selamat malam untukmu,” kata sapa Fahrie menghampiri dan masih berdiri.
Perubahan tak luput dari bangunan tempat ini. Warna cat semakin memerah disertai model iklan yang melekat pada satu sebelah dinding. Sejumlah kursi berjajar di depan meja kaca tembus pandang. Tersisa satu dua pelanggan pada jam-jam malam, berbeda dengan beberapa waktu sebelumnya. Penyedia layanan serupa kian merajalela, dapat ditemui dalam setiap kilometer jalan raya. Itu sebabnya tempat ini tak seramai dahulu kala.
“Iya selamat malam juga. Kok kamu bisa tau kalau aku?” kata Aida heran yang sedang tak menampakkan seluruh parasnya.
“Iyalah, sorot matamu hanya satu-satunya di dunia ini,” bual Fahrie menggombal.
“Dan, selamat malam untuk Mas tampan ini. Calonnya Aida ya pasti?” lanjut Fahrie yang hendak menjalin perkenalan dengan lelaki di samping Aida.
“Waduh.. bukan Mas, saya ke sini beli pulsa aja dan tidak saling kenal dengan Mbak ini,” sambut lelaki menerangkan yang sesungguhnya.
Seorang lelaki yang duduk di sebelah Aida hanyalah pelanggan di lapak pengisian pulsa elektrik itu. Setiap orang memungkinkan untuk dipertemukan pada waktu yang sama di tempat itu. Aida mematung, mendapati sikap Fahrie yang tak berubah selama mereka tak bersemuka. Prasangka, praduga, segala perkiraan tetap liar dalam dirinya. Kendati Aida terkadang menganggapnya sebagai ulah jenaka yang memicu gelak tawa.
Seusai transaksi menuai keberhasilan, lelaki yang tak sesuai persangkaan Fahrie ini pun beranjak pamit dan pergi entah ke mana. Kursi kosong yang ditinggalkan segera diisi oleh Fahrie. Perbincangan perihal kabar tak terelakkan sembari mereka memenuhi keperluannya masing-masing.
“Lalu, bagaimana tentang asmaramu?” celetuk Fahrie yang sudah mulai menjurus.
“Belum dipertemukan dengan yang semestinya. Doakan untuk segera. Kau sendiri?” sahut Aida menyelipkan permintaan doa.
“Hahaha bahkan aku tak sempat memikirkan hal itu,” jawab Fahrie berleha-leha.
Sambil berceloteh, Fahrie tersadar jika kemungkinan sebuah papan kayu pengapit kertas berada dalam cengkeramannya sedari tadi. Kala menemukan jeda di sela pembicaraan, Fahrie pun membalikkan kertasnya dan mengeja setiap kalimat dilengkapi bagan penjelasnya di papan kayu yang tak lagi mulus. Meskipun demikian, tinta masih membekas samar dan bisa diterjemahkan oleh Fahrie. Ia pun memperlihatkannya kepada Aida.
“Jika di usia dua puluh lima masing-masing dari kita belum menemukan pasangan, maka kita akan bersama. Dengan catatan, perjanjian ini dibatalkan jika salah satu dari kita telah menikah sebelum menginjak usia yang telah disebutkan.”
Sebuah paragraf tersebut tak sukar untuk diingat oleh Aida. Janji yang tercetus dari gagasan absurd Fahrie dua tahun terlampau. Aida pun tak mengasa jika pada akhirnya papan kayu itu menjadi awal ke terikatan dirinya terhadap Fahrie dalam jalinan yang serius. Tuhan mempersatukan mereka di luar sudut dugaan Aida, beriringan dengan cinta yang mulai bersemi di hatinya.
***
Kamar di rumah kontrakan berukuran 4 X 3 meter lengang ketika langit hitam membungkus hari. Sudah sebulan mereka menjalani hubungan layaknya suami istri, menikmati perduaan di ranjang yang sama. Namun, cinta bukan pangkal ikatan, melainkan sebuah janji.
Fahrie terbiasa mengajukan pertanyaan kepada seseorang dalam pekerjaannya, tetapi tidak untuk perihal isi hati Aida, ia masih menyimpannya rapat-rapat. Ia hanya berharap Tuhan menaburkan benih cinta dalam hati mereka.
Pada suatu malam mereka terenyak dalam lamunan masing-masing, sebelum menutup mata dengan doa. Baru saja terpejam, suara khas membangunkan Fahrie sebaliknya Aida sudah terlelap. Sumber bunyi itu berasal dari ponsel yang tergeletak tak jauh dari ranjang mereka. Fahrie menghampiri untuk memungutnya dan membuka pesan dari nomor tak bernama, serta-merta mengeja teks yang tertulis pada layar kecil itu “Selamat malam, mimpi indah Aida!”
Berjarak beberapa spasi, tertera nama seseorang. Seingat Fahrie, nama itu ialah salah satu mantan kekasih Aida semasa sekolah menengah. Fahrie pun terdiam memaknai nyeri yang sekejap hinggap di dadanya. Tak lama berselang ia telah mengartikannya, cinta mulai tumbuh menjulang dan mengarah pada teman sekamarnya ini. ■
Muhammad Nur Iskandar. Penulis aktif menghasilkan cerita pendek dan puisi. Karyanya dimuat di sejumlah media massa.
[1] Disalin dari karya Muhammad Nur Iskandar
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Republika” edisi Minggu 09 Desember 2018
The post Arti Sesak di Dada Fahrie appeared first on Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara.
via Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara bit.ly/2PAyG9h
AKU ingin tahu berapa umur malaikat di tahun ini? Kalau tidak keberatan, bisa tidak ibu katakan berapa umur malaikat?
Ibuku hanya diam. Memperhatikan aku yang sedang bingung. Matanya menyimpan rahasia. Dia selalu menampakkan mata yang indah. Seakan kunang- kunang singgah di matanya.
Mata yang indah dan rahasia telah aku rebut dengan sebuah tanya yang tidak bisa ibu jawab. Bagaimana aku bisa menjadi anak yang patuh jika seperti itu. “Nak, malaikat itu diciptakan dan diberikan tugas khusus. Mereka bukan laki-laki dan juga bukan perempuan. Yang jelas Tuhan menciptakan malaikat sebelum menciptakan manusia.”
Aku tidak percaya kata-kata ibu. Aku ingin bukti. Bukti yang bisa membuat aku percaya dan tak bertanya lagi. Aku akan menunjukkannya kepada bapak. Kata orang-orang, nyawa bapak dicabut malaikat. Tapi, bapak kok justru menyuruh malaikat untuk menjagaku.
***
Tepat di ulang tahunku yang kesembilan, ibuku bertanya. “Nak, tahun ini kamu minta kado apa?” Aku langsung ingat malaikat. Sebelum detik-detik bapak meninggal di rumah sakit, tempatnya dirawat karena kecelakaan, ia bilang kepadaku, “Jika aku tiada. Nanti ada ibumu dan malaikat yang menjagamu, nak. Bapak harap kamu jadi anak yang baik dan patuh.” Begitu ucapnya. Setelah itu bapakku meninggal.
Kejadian itu membuat ibuku tak masuk bekerja selama satu minggu. Memikirkan bapak yang sudah tak lagi bersama-sama. Tak lagi menikmati hari raya Lebaran dengan naik delman istimewa, yang kata kusirnya, delman itu milik orang Belanda. Aku senang naik bersama-sama. Aku selalu duduk di pangkuan bapak sambil melihat ekor kuda yang berkibas-kibas. “Aku ingin memberikan kado untuk malaikat, bu. Kapan malaikat ulang tahun?”
“Ah itu kado yang rumit sayang. Ibu kasih kamu kado apa aja asalkan tidak meminta itu.” Raut wajah ibuku berubah. Ibu sedih melihat permintaanku itu. Aku juga ikut sedih. Tapi, aku ingin bertemu dengan malaikat. Aku ingin menanyakan akan kupanggil apa dia nantinya, om apa tante? Tapi, itu tidak penting. Aku hanya ingin tahu seperti apa orang yang bernama malaikat itu.
Ibuku bilang dia bukan manusia. Aku heran. Kenapa bisa malaikat itu bukan manusia? Kata pak ustaz, malaikat itu ada yang bertugas mencabut nyawa. Menjaga kuburan. Menjaga surga dan neraka. Mencatat amal baik dan buruk, dan lain sebagainya. Aku jadi bingung.
Tapi, aku percaya kalau dia itu manusia. Manusia bisa membunuh manusia lainnya. Bisa menjaga perilaku baik seperti tetanggaku yang selalu menanyakan kabarku yang selalu baik. Kalau aku nakal, tetanggaku itu juga menegurku.
Pamanku yang bernama Supri juga jaga kuburan. Katanya lagi, surga itu banyak taman dan air yang mengalir. Terus di desa sebelah ada taman dan air yang mengalir. Di situ juga ada penjaganya.
Terakhir, neraka. Neraka katanya banyak api berkobar-kobar, yang siap memakan kulit manusia. Di Api tak kunjung padam, di Desa Larangan Tokol juga banyak penjaganya. Lalu, apa yang bisa membedakan malaikat dengan manusia?
“Tidak, ibu, aku hanya ingin itu. Titik. Kalau tidak sekarang aku harap tahun depan ibu bisa memberikan kado itu untukku.”
Aku meringankan tugas ibu. Sebenarnya aku kasihan melihat wajah ibu yang semakin memelas. Ibu selalu baik. Merawatku penuh kasih sayang. Ibu tidak pernah jahat. Aku senang kalau ibu mengantarku ke sekolah. Dia ikut tersenyum jika teman- temanku menyapanya.
***
Hari ini langit berubah warna. Aku melihat warna abu- abu. Warna itu terbang dan berubah-ubah, ditambah bau amis ikan yang menyerbu hidungku.
Warna ini berasal dari alat pengebor minyak. Alat itu dekat dengan rumahku. Kemarin warga nelayan di sini sempat berkelahi dengan orang yang bekerja di alat pengebor itu. Ibuku bercerita. Mereka naik perahu nelayan dan perahu kecil. Katanya ini demi masa depan anak dan cucunya. Puluhan tahun dan ratusan tahun laut ini bakal jadi lumpur. Begitu juga katanya. Mereka bicara keras-keras. Sama seperti suara mesin. Raut wajah ibu muram saat bercerita. Seperti langit yang abu- abu.
Tapi, kata ibu, warga tidak berhasil. Mereka menyerah karena diberi janji sama ketuanya. Kesejahteraan para kampung nelayan akan diperhatikan betul katanya.
“Sekarang warga hanya diam saja. Menikmati pemberian itu tanpa tahu apa yang akan terjadi.” Suara ibu nyaris tak terdengar.
Mendengar cerita itu, aku jadi kasihan pada anak-anak yang berumur di bawahku. Nanti mereka menginjak lumpur. Bukan lagi pasir. Terus nelayan berhenti melaut karena ikan tidak melahirkan lagi. Kalau sudah begitu, para pemanggul ikan juga tidak bisa bekerja. Tidak bisa membayar uang SPP untuk anak- anaknya. Ibu memberitahuku kalau semua butuh uang. Aku tidak habis pikir kalau warga di sini kehilangan pekerjaan dan juga uang, tentu saja.
***
“Ibu… Kenapa ibu tidak tuntut malaikat yang membunuh bapak?”
Ibuku tersenyum. Sesekali sambil melepaskan tawa. Apa begitu cara ibu tidak sedih? Aku tidak tahu. “Ah… Meskipun aku melaporkan ini kepada Tuhan. Itu tidak akan mengembalikan bapakmu, nak. Lagian itu kan tugas malaikat. Perintah Tuhan!”
“Terus, Pak Sukirno yang tinggal di desa sebelah. Dia meninggal karena dibunuh temannya yang mencurigai dirinya selingkuh dengan istrinya. Apa itu juga perintah Tuhan, bu?”
Ibuku terus tertawa. Aku cemberut. Setiap kali aku bertanya, ibu selalu tertawa. “Itu perintah setan, nak. Bukan Tuhan!”
Aku tahu tentang setan. Kata guru ngajiku, setan ialah musuh manusia yang paling nyata. Bisa memasuki tubuh manusia dan berada di dalamnya. Kalau setan itu sudah masuk, bisa bahaya. Setan itu akan melakukan apa saja dengan manusia yang dimasukinya.
Sekarang sudah jelas. Setan itu beda dengan malaikat. Malaikat diperintah Tuhan dan setan tidak. Manusia juga diperintah Tuhan. Sama dengan malaikat. Jadi manusia dan malaikat sama.
Selama perjalanan, ibuku diam. Matanya menatap lurus ke depan. Entah apa yang dipikiran ibu aku tidak tahu. Tapi aku merasakan kalau ibu punya beban. Mungkin karena permintaanku itu.
“Ibu kenapa?”
Pertanyaan pertama tak dijawab. Ibu tetap termenung. Matanya berubah. Aku seperti melihat sungai yang disinari matahari. Pertanyaan kedua, dengan pertanyaan sama aku lontarkan. Wajah ibu memucat. Dia langsung memelukku. Dan mengelus- elus rambutku. Air matanya menetes. Urat yang berwarna hijau, yang kulihat setiap hari di pipinya itu, berubah. Memudar. Berubah menjadi abu-abu karena air matanya membasahi pipi ibu. Aku ikut menangis sampai ibuku berhenti mengeluarkan air mata. Dia terisak pelan. Sambil mendongakkan kepalaku di depan wajahnya yang sedih.
“Ibu ingat bapakmu, nak!”
“Kenapa dengan bapak, bu? Dia orang baik. Dia meninggal gara- gara dibunuh Malaikat. Tuhan pasti ngasih taman dan air yang mengalir. Bukankah begitu bu?”
“Kamu benar nak. Bapakmu orang baik. Tapi ucapanmu itu mengingatkan aku pada bapakmu.”
“Ingat apa bu?”
“Bapakmu pernah mengatakan sesuatu. Waktu dia sakit keras, tepat di ulang tahunnya yang ke- 48, dia menyuruhku memanggil malaikat. Dia ingin memeluk dan berpesan agar bisa menjaga anak dan istrinya. Setahun kemudian, di ulang tahunnya yang ke-49, dia dipanggil Tuhan.”
Ibuku menangis lagi. Aku bingung mau berbuat apa. Pelukan tidak cukup membuat ibu berhenti. Aku usap semua air matanya dengan bajuku.
***
Hari-hari dan berbulan-bulan berlalu. Ibu seperti biasanya merawat dan mengantarku ke sekolah. Dua hari lagi ulang tahunku yang ke-sepuluh. Ibu tampak tenang-tenang saja. Tidak berusaha mencari malaikat yang aku minta untuk ulang tahunku kali ini.
Aku sudah menyiapkan kado untuknya. Sebuah pisau yang siap aku tancapkan di dadanya. Aku sayang bapak dan ibu. Tapi, tidak kepada seorang pembunuh. Malaikat itu harus kubunuh. Biar tidak ada orang-orang yang terbunuh lagi. Diam-diam aku menyembunyikan ini pada ibu. Sehari menjelang ulang tahunku, ibu pamit keluar. Katanya ada tamu penting dari luar kota yang ingin tahu Madura. Bagiku, itu hanya alasan ibu yang ingin mencarikan malaikat untukku.
Malam ini membuatku gigil. Angin datang dengan kencang. Hal itu membuat para penjaga perahu nelayan datang ke tepi pantai untuk menjaga perahu mereka dari ombak besar. Mungkin mereka tidak mau ada perahu yang hancur seperti tiga tahun lalu. Tiba-tiba aku butuh pelukan ibu. Ibu belum juga pulang. Aku jadi khawatir. Ia tidak menelepon di HP milik bapak untuk bilang tidak pulang hari ini.
Aku semakin gelisah. Kegelisahan ini muncul ketika aku teringat dengan malaikat pembunuh itu. Jangan-jangan, ibuku dibunuh malaikat itu.
Satu jam kemudian HP milik bapak berbunyi. Ini dari ibu. Aku angkat telepon itu dan ternyata bukan suara ibu. Aku minta bicara pada ibu. Dia hanya diam tak bersuara. Aku berteriak, “Dasar pembunuh!”. Dia tertawa lepas dan menutup teleponnya.
Keesokan harinya, ibuku terbujur kaku di depan pintu. Aku seperti melihat kata-kata ‘ini kado untukmu’ di matanya. Aku menangis sejadi-jadinya. Ternyata, dugaanku benar. Malaikat itu membunuhnya lebih dulu sebelum ibu membawakannya untukku. Ibuku orang jujur. Sampai-sampai para warga kampung memberikan kepercayaan kepada ibu untuk mengurus perizinan hak tanah yang akan dijadikan pabrik. Apa salah ibu, Tuhan? (M-2)
Zainal A Hanafi ialah penulis yang berasal dari Pamekasan, Madura. Buku perdananya, kumpulan cerpen berbahasa Madura, Esarepo Bencong, telah diterbitkan di Halaman Indonesia pada 2017. Zainal juga pegiat literasi di komunitas Sivitas Kotheka.
[1] Disalin dari karya Zainal A Hanafi
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Media Indonesia” Minggu 30 Desember 2018
The post Meminta Kado Malaikat pada Ibu appeared first on Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara.
via Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara bit.ly/2s32YIq
Langit di pinggiran selatan Jakarta berganti panas-adem-panas sepanjang hari. Mirip suasana rumah Bang Mamat dan Mpok Lela yang saban hari makin kagak puguh lagu.
Tiga bulan menjelang pilpres, Bang Mamat kerap berantem lawan Mpok Lela, meskipun bukan adu jotos, cuma adu mulut. Perkaranya kagak laen kagak bukan: sama-sama ngotot calon tuan presiden pilihan masing-masing paling bener sedunia-akherat.
Lewat pukul lima sore, panas matahari masih nyalang. Gemericik Kali Ciliwung terdengar sayup di kejauhan. Bang Mamat duduk di atas dipan bambu di beranda rumah yang sempit. Ia belum juga mandi. Bau mirip bandot campur apek meruap dari kaus lepek akibat keringat.
Celana pangsi hitam lusuh yang dia pakai saat menyambangi satu rumah gedong ke rumah gedong lain, untuk mencari pohon yang hendak dipangkas atau -rumput yang hendak dicukur rapi, masih membungkus bagian bawah tubuh. Lelaki 40 tahunan itu lesu memandang jalan setapak yang sepi dari langkah kaki tetangga.
Namun di dalam hati ia bersemangat menanti Mpok Lela pulang membabu dari rumah sang majikan. Tak sabar ia menyeruput kopi seduhan istrinya. Apalagi, pagi tadi, sebelum berangkat mengejar mimpi akan kehidupan yang lebih baik, mereka sudah berbaikan. Pucuk dicita ulam tiba. Mata Bang Mamat menyala ketika Mpok Lela muncul dari balik pohon nangka di sisi pengkolan jalan.
Sebersit gairah muncul di dada Bang Mamat saat melihat tubuh perempuan yang tetap demplon, meski telah didera kerja keras dan kesusahan selama mendampinginya bertahuntahun. Namun gairah itu redup ketika sang istri tiba di beranda, meletakkan bungkusan berisi kaus di atas dipan yang dia duduki seraya berkata, “Nih ada kaus dari Bu Meri. Satu buat Lela, satu buat Abang.
Lumayan kan buat pegi-pegi.” Belum sempat Bang Mamat melihat kaus itu, Mpok Lela dengan santai berjalan sambil mengelupas sehelai stiker dan menempelkan di pintu masuk rumah mereka. “Eh, eh, apaan tuh maen templok-templokin aje di pintu?”
Bang Mamat melongo sambil menghardik istrinya, benarbenar telah lupa pada gairah yang meletup di dada. Kesal pula karena sang istri tak segera menggubris keberadaannya. Mpok Lela melirik suaminya. Tangannya tetap sibuk di pintu, mengurut-urut stiker agar menempel kuat dan rata. “Cuman tempelan doang,” Mpok Lela menjawab acuh.
“Iye, gue juga tahu ntu tempelan. Nah, nah… gambar apaan tuh? Muke siape yang lu pasang di situ? Copot kagak! Copot sekarang!” Amarah Bang Mamat makin naik saat paham stiker apa yang sang istri pasang. Namun Mpok Lela tetap pada kelakuannya.
Tanpa menghiraukan Bang Mamat, Mpok Lela masuk setelah mengambil bungkusan kaus yang teronggok di dipan. Hati Bang Mamat makin panas. Ia bangkit. Dia renggut stiker dari pintu, dia remas dan sobek-sobek, meski tak berhasil.
Sontak Mpok Lela urung masuk ke dalam. Ia marah dan mencoba merebut dengan kasar stiker dari tangan sang suami. îMasya Allah, kesambet dedemit mana lu, Lela? Bener-bener lu ye, bukan buru-buru bikin kupi, malah kelakuan demek begitu lu suguhin.
Segitu ngebelanye lu ame tu orang yang kagak danta omongannye ketimbang gue, laki lu? Mau jadi ape lu? Mau durhake lu ame laki!” “Abang yang durhake ame bini!” Suara Mpok Lela tidak kalah keras.
“Udeh tau tuan presiden gacoan Abang tukang bo’ongin rakyat, masih aje Abang maksa Lela milih die. Lela emang perempuan, tapi Bu Meri bilang Lela punya hak milih gacoan Lela sendiri. Lagian, kata Abang, kalau kepilih lagi, rakyat kecil bise sejahtere! Mana buktinye, Bang? Idup kite masih begini-begini aje.
Lela sih ogah milih die lagi. Mending tuan presiden Lela, bisa dipercaye. Bu Meri udeh kasi unjuk bukti poto-poto kalo tuan presiden Lela orang baek. Die demen begaul ame orang kecil, Bang.
Kerjaannye muter-muter nyari di mane orang miskin pade ngumpul, ngajakin ngobrol gimane idup kite, kenape bisa suse. Pemimpin ntu begitu, Bang! Udeh pasti ntar die bakal bener-bener perhatiin kite!”
“Bener-bener dari mane, La? Jelas aje die deketin orang kayak kite. Ni musim kampanye! Jelas aje die baek-baek ame orang kecil. Lu pikir gacoan lu kaga tukang bo’ong? Mane mungkin die bener-bener mau perhatiin kite, babu ame tukang kebon panggilan?
Masak lu percaye die bakal bener-bener naekin gaji babu ame tukang kebon kalo die kepilih? Kalo die naek jadi presiden belon tentu keinget ame janjinye! Mending gacoan Abang nih, udeh kebuktian mimpin kite! Biar kate ngebon ape ngebabu juga, ati kite aman, idup tenterem kagak ade rusuh-rusuh.
Ngarti kagak?” “Kalo Abang bilang kebuktian, harusnye kite udeh kagak melarat. Pan Abang bilang waktu musim kampanye nyang duluan, tuan presiden Abang bakalan ngasih orang-orang kayak kite kerjaan nyang lebih baek, nyang gajinye lebih gede.
Kerja di kantor gitu, ketakketik komputer gitu. Kenyataannye, masih jadi kuli cuci ame ngebon aje kite sampe hari gini. Buat ape belain yang begituan?” teriak Lela tak kalah garang.
“Lah, biasa pegang papan penggilesan kepengen jadi pegawe kantoran!” ujar Bang Mamat naik pitam. “Entar sawan lu liat komputer! Emang susah ngomong ame lu, La. Kagak ngarti pulitik mau omong pulitik.
Baru dikasih stiker ame kaus aje udeh buta mata!” Kesal, Bang Mamat segera merenggut kaus yang dibawa istrinya, lalu sekuat tenaga dia sobek kaus itu hingga jadi perca. “Nih, mending lu jadiin topo ni kaos. Lebih berpaedah!” Mata Mpok Lela terbelalak. Darahnya serasa naik ke ubun-ubun. Mpok Lela menangis keras.
Ia masuk ke dalam rumah lalu kasak-kusuk di kamar. Tak lama kemudian, ia berlari ke luar sambil membawa bungkusan dan tas yang sering dia bawa saat bepergian. Bang Mamat terdiam di depan pintu. Ia tak mencegah atau bertanya ke mana istrinya pergi.
Ia pun masih sangat geram atas kekeraskepalaan Mpok Lela yang memilih calon tuan presiden yang berbeda. Kalau saja azan magrib tak berkumandang, tentu ia masih ingin memperpanjang babak pertengkaran dengan istrinya. Sejak saat itu, Mpok Lela tidak pulang lagi ke rumah petak yang ia tinggali bersama Bang Mamat.
Ia tinggal di rumah majikannya, Bu Meri. Ia merasa sudah tidak cocok hidup bersama Bang Mamat yang sudah dia nikahi hampir 20 tahun itu. Mpok Lela juga merasa Bang Mamat kini telah berubah perangai dan tutur katanya; tak lembut dan jenaka seperti dulu.
Bang Mamat sudah beberapa kali datang ke rumah Bu Meri untuk mengajak Mpok Lela berbaikan. Namun perempuan itu tetap tidak mau pulang ke rumah sampai suaminya bersedia memilih calon tuan presiden jagoannya. Ketika Bang Mamat memaksa Mpok Lela pulang, perempuan itu mengancam akan pulang ke rumah abanya.
Ancaman itu mujarab untuk menghentikan upaya Bang Mamat. Ia lebih takut Mpok Lela pulang ke rumah orang tuanya di Menteng Tenggulun, sebab sang aba, mertuanya yang mantan jawara itu, akan marah besar. Meski sudah tua, aba Mpok Lela masih gagah dan disegani banyak orang.
Untuk marah kepada Bu Meri, yang dia anggap telah meracuni pikiran Mpok Lela sehingga istrinya berani dengan lantang memilih calon tuan presiden, Bang Mamat juga sungkan, sebab Bu Meri dan keluarganya sejak lama telah banyak membantu mereka, termasuk saat Mpok Lela keguguran dan dinyatakan tak bisa lagi memiliki anak.
Jadi Bang Mamat akhirnya membiarkan keinginan istrinya tinggal di rumah Bu Meri. Tak ada jalan lain. Ia pun tak rela dipaksa Mpok Lela melepaskan tuan presiden pilihannya. “Ini soal prinsip!” tegas Bang Mamat berkali-kali dalam hati.
Namun makin hari Bang Mamat merasa kian menderita. Tak ada lagi kopi buatan Mpok Lela. Tak ada senyum manis dan gerak tubuh istrinya yang sering kali menerbitkan gairah pada waktu-waktu tertentu. Bang Mamat rindu pada suara istrinya yang dulu, sebelum-gonjang ganjing pilpres berlangsung.
Keceriaan istrinya sering kali menjadi obat pelipur lelahnya setelah seharian berkeliling kompleks. Kini, pilpres tinggal hitungan hari. Bang Mamat berangkat kerja dengan lesu, pulang dengan lesu. Ia pergi tidur dengan perasaan hampa, terbangun dengan hampa yang sama.
Ketika suatu hari merasa hampir gila karena rindu Mpok Lela, Bang Mamat menangis tersedu-sedu. Jauh dalam lubuk hati ia berharap, calon tuan presiden yang mati-matian ia puja akan datang membela, membantu membawa Mpok Lela pulang ke pelukannya. (28)
Nilla A Asrudian, penulis lepas, berdomisili di Depok, Jawa Barat. Buku cerpennyaWarna Cinta(-mu Apa?) dan Lakon dari Negeri Sengkarut, sedangkan novelnya Aku Adiva.
[1] Disalin dari karya Nilla A Asrudian
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Suara Merdeka” edisi Minggu 3 Februari 2019.
The post Membela Tuan Presiden appeared first on Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara.
via Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara bit.ly/2HO5CN5
Paino duduk sedikit jongkok di mobil bak terbuka yang dipasangi kain terpal penutup bersama enam kawan. Mereka baru pulang dari proyek pembangunan gedung kantor di luar daerah. Sabtu malam ini jatah kawanan kuli bangunan yang masih satu desa itu pulang. Sebelumnya, selama enam hari, mereka tinggal di bangunan semipermanen di area proyek.
Malam ini, hujan turun cukup deras. Walau sudah ditutup terpal, tetap saja air masuk ke bak mobil. Pakaian mereka basah kuyup. Paino juga, meski sudah memakai jaket kulit, tetap saja basah tembus ke kulit. Pria 32 tahun itu duduk di pojokan sambil memeluk tas berisi pakaian kotor. Di sela-sela pakaian, ada sebuah boneka kucing seukuran bayi baru lahir. Mungkin boneka itu basah juga, walaupun sudah dibungkus plastik.
ìBapane, Imah belikan golek ya, yang bagus kayak punya Prapti dan Herni,î kata anak semata wayangnya, pekan lalu, sebelum ia berangkat ke proyek.
Paino berjanji membelikan boneka yang bagus saat pulang. Dia tidak ingin anaknya hanya melihat teman-temannya asyik bermain boneka. Karena itu, setelah mendapat honor setuan dari mandor, ia ambil selembar uang lima puluh ribu dan membeli boneka toko kecil di seberang jalan depan proyek kantornya. Ia melihat- lihat dulu dan akhirnya memilih boneka kucing duduk berwarna putih belang-belang hitam. Meskipun bulunya tidak terlalu lembut dan jahitannya tidak rapi, Paino cukup puas. Dengan uang selembar itu, masih ada kembalian, ia bisa membelikan boneka untuk anak kesayangannya.
Hujan turun deras seperti tak habis-habis. Kilat menyambar membelah langit. Beberapa kali ledakan guntur memecah keheningan, seolah menghantam rongga dada yang penuh asap rokok. Hujan seperti ini mengingatkan Paino pada cerita guru agama waktu ia duduk di bangku SD tentang Nabi Nuh. Hujan yang sangat deras mengguyur dan menjadi pertanda daratan akan menjadi lautan. Waktu itu Paino membayangkan sebesar apa kapal yang dibuat Nabi Nuh. Sebab, seluruh binatang bisa masuk ke dalamnya. Apakah sebesar lapangan bola di belakang balai desa atau mungkin sebesar kapal induk militer yang pernah ia lihat di majalah bekas di pengepul rongsok sebelah rumah?
Namun, ingatan tentang cerita itu tidak sekuat bayangan anak dan istrinya di rumah yang sudah menunggu. Ada rasa cemas tiba-tiba datang dalam hatinya. Tidak tahu mengapa.
***
Selepas lulus di SMP swasta di kota kecamatan, Paino tidak melanjutkan SMA. Ia memutuskan bekerja karena Biyung sudah tak sanggup membiayai sekolah. Bapaknya sudah lama meninggal sejak ia masih duduk di bangku SD karena terjatuh dari pohon kelapa saat menyadap nira. Paino pun kerja serabutan alias kerja jika ada yang memerintah. Badan yang kekar, dengan kemampuan ototnya, ia sering diminta warga sekitar rumah untuk bekerja. Kadang menjadi kuli pengangkut pasir, kadang ngglondong, kadang membangun rumah. Namun yang paling sering diminta menjadi kuli bangunan untuk mengerjakan proyek di kabupaten atau luar kota. Bahkan tak jarang ia pergi ke luar kota untuk menjadi kuli proyek besar seperti membangun apartemen, perkantoran, hingga jalan tol.
Lama membujang, usia 23 tahun ia menikah dengan Darni, gadis hitam manis berperawakan mungil yang rumahnya sekitar seratus meter dari rumah Paino. Keduanya dulu satu kelas di SD. Namun saat Paino sekolah SMP, tidak lagi bersamanya karena Darni tidak melanjutkan sekolah. Gadis itu memilih menjadi buruh bulu mata palsu di plasma di desanya.
Dua tahun menikah, anak pertama lahir. Paino memberi nama Fatimah, dengan harapan, kelak, menjadi gadis berhati mulia, cantik luardalam seperti putri Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Nama itu sebenarnya bukan dia yang memberikan, melainkan atas saran Ustaz Ngalimin. Di rumah, Paino biasa memanggilnya Imah. Saat ini gadis kecilnya baru masuk TK di dusun tetangga.
Paino sangat menyayangi anaknya. Selain istrinya, Imah menjadi pelepas lelah setelah hampir seminggu bekerja berat di proyek. Melihat tingkah polah gadis berponi dan pipi gembil itu, Paino selalu tertawa lepas dan gemas. Dan segala letih pun lepas ke awan. Pernah suatu petang, Paino dipanggil-panggil anaknya untuk menemani bermain riasmerias. Imah menaburkan bedak rata di seluruh wajahnya. Lalu memoles bibir merah merona dengan lipstik dan mleber hingga ke pipi. Kontan, Darni mencak-mencak melihat sang anak mengacak-acak peralatan dandannya. Paino hanya tertawa lebar melihat anak dan istrinya itu.
Paino sangat berharap, anaknya bisa tumbuh besar menjadi perempuan saleh. Menjadi kebanggaan saat ia tua nanti dan selalu mendoakan ia dan istrinya bila sudah berada di kuburan. Karena itu, saban sore, istrinya selalu mengantar Imah ngaji di kediaman Ustaz Ngalimin. Paino sadar betul, ia tidak bisa mengajari anaknya mengaji dengan baik karena pengetahuannya tentang agama mung-mungan.
***
Malam makin larut. Mobil coak yang Paino naiki bersama saudara senasib-seperjuangan sudah masuk ke wilayah perbatasan kecamatan. Dari mana mereka tahu? Bisa ketahuan saat mobil berjalan bergoyang ke sana-kemari. Supir tidak berani memacu dengan kecepatan tinggi. Selain hujan sangat deras, jalanan gelap serta penuh batu karena aspal sudah hancur sejak lama lantaran sering dilewati truk pengangkut pasir yang ditambang di bukit seberang.
Mobil berjalan lebih pelan dengan gigi rendah karena sudah masuk desa tempat Paino tinggal. Ya, rumah Paino memang berada di salah satu lereng bukit di desa ini bersama belasan rumah warga lain. Paling tujuh kilometer lagi sampai di permukiman. Namun karena kondisi jalan dan cuaca ekstrem, perjalanan pun menjadi lama.
Sambil menggigil, Paino terus mendekap tas berisi boneka untuk anaknya. Ada rasa yang tidak biasa berkecamuk di hatinya. Bayangan anak dan istrinya selalu berputar di kepala dengan rambut yang basah tersiram hujan. Dia ingin segera cepat sampai di rumah.
Tiba-tiba, kurang-lebih dua kilometer menjelang permukiman, para penumpang mendengar suara gemuruh keras. ìLongsor! Longsor!î teriak mereka sambil menunjuk ke sisi bukit yang longsor.
Beratus-ratus kubik tanah bercampur batu runtuh dan mengubur mobil dan semua yang naik. Paino tetap erat mendekap boneka untuk anak gadisnya. Hujan makin deras.
Sementara itu, di rumah, Darni memeluk erat Imah dalam selimut hangat. Hujan deras tak membuat mereka terjaga. Keduanya sangat lelap. Imah bermimpi sang ayah pulang membawa boneka kucing untuknya. (28)
Kaki Gunung Slamet, Purbalingga
Catatan
Golek: boneka
Setuan: pembayaran honor buruh bangunan setiap hari sabtu
Biyung: ibu
Ngglondong: buruh tebang dan angkut kayu
Mleber: melebar
Mung-mungan: satu-satunya, hanya itu saja
Coak: bak terbuka
– Ryan Rachman, lahir di Kebumen, 12 Januari 1985. Kini, tinggal di RT 18 RW 9 Bumisari, Bojongsari, Purbalingga, dan bergiat di Komunitas Teater Sastra Perwira (Katasapa) Purbalingga.
[1] Disalin dari karya Ryan Rachman
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Suara Merdeka” edisi Minggu 6 Januari 2019
The post Boneka Kucing appeared first on Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara.
via Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara bit.ly/2GXgZlp
Dua gentong berusia ratusan tahun itu bagai sepasang manusia renta yang tercampakkan. Keduanya duduk muram di sudut kamar paling belakang. Menekur diam. Bibirnya berlumur lelehan pewarna yang pekat dan sudah mengering.
Menatap gentong tua itu tiba-tiba aku seperti melihat bayangan ibumu. Melihat kedua tangannya yang berwarna kerak nasi dan telah menghasilkan lembar-lembar batik gentongan, yang sebagian dijual dan sebagian lagi sudah dipersiapkan untuk pernikahanmu, sebagaimana kewajiban seorang ibu memersembahkan hadiah itu, meskipun sudah pernah kautegaskan bahwa itu tidak perlu!
Dialah perempuan Tanjungbumi yang tak lelah menyunggi tradisi meskipun berkelindan dengan sepi.
***
Lepas hari ketujuh, para tetangga tak lagi bertandang. Tentu mereka kembali sibuk dengan kain mori, lelehen lilin dan gentong, yang sempat ditinggal selama sepekan karena ikut bantu-bantu di sini, di rumahmu.
Sepulang dari pekuburan di penghujung senja, setelah menyirami pusara ibumu dengan air bunga dan doa, aku mampir ke rumahmu. Kunyalakan lampu di teras, di ruang dalam, di kedua sudut belakang rumah dan di pojok halaman. Kutatap tembok bercat putih gading, plafon, lantai mengilap, lemari yang masih baru, pintu kayu berukir, sofa, semua hanya benda-benda asing yang nanti takkan pernah memberi kenangan apa pun padamu! Percayalah!
Tali jemuran yang membentang di tepi halaman, tempat ibumu mengangin-anginkan kain batik yang baru dicelup pada pewarna, juga pohon jambu biji di belakang rumah yang kini mulai menguning daun-daunnya, keduanya akan mengasingkan dirimu, seperti kawan lama yang enggan menyapa.
Hanya pada dua gentong tua itu akan kautemukan bayangan ibumu. Bersama benda peninggalan leluhur itulah ibumu berkarib memilin sepi. Menunggumu pulang dengan kerinduan berkelindan. Dan kini, benda tua itu tampak muram ditinggal pemiliknya. Gelap yang tersisa saat kulongokkan kepala, mengintip ke dalam. Mirip bilik dada ibumu; tak tertebak bagai lorong rahasia yang panjang.
Dalam gentong tua itulah ibumu mencelup dan merendam kain mori yang sudah direngreng dan dipolesi lelehan lilin, untuk mewarnainya, menggunakan pewarna dari kulit mengkudu, kulit mundu campur tawas, daun tarum, kulit pohon jati, dan pewarna-pewarna alami lain.
Kain mori yang sudah direndam sekian lama diangkat, dianginkan, lalu dicelup lagi. Dianginkan lagi, dicelup lagi. Dianginkan lagi. Dicelup lagi. Lalu direndam lagi. Satu lembar kain batik membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk menghasilkan warna yang pekat dan lekat. Sungguh suatu proses panjang dan melelahkan. Aku yakin, dari proses pekerjaan itulah kesabaran serta keteguhan ibumu terlatih. Tangannya sampai berwarna kerak nasi. Bahkan sewaktu kecil kau selalu menolak disuapi menggunakan tangannya yang cokelat kehitaman.
Sempat terlintas di benakku, apakah warna pekat dalam gentong tua itu yang telah menyuramkan kehidupan ibumu, atau justru kelahiranmu yang telah melurup cahaya dalam kehidupannya?
Kata ibumu, kau lahir pada Ahad legi surup hari, ketika beras di dapur tinggal sekenyang burung, dan ayahmu sedang melaut meninggalkan dompet kosong. Ibumu melahirkan dalam kesendirian menjelang gelap malam, di usia kandungan belum genap sembilan bulan. Pertolongan pertama diberikan seorang ibu tetangga terdekat yang mendengar jerit tangis pertamamu, yang tak lain adalah ibuku.
Air susu ibumu yang hanya setetes-duatetes kekuning-kuningan membuatmu menangis lapar siang dan malam. Daun katuk, daun pepaya, tidak banyak membantu kesuburan air susunya. Akhirnya, hasil ayahmu melaut semakin tak mencukupi kebutuhan karena harus membeli susu formula. Apalagi dengan mengasuhmu yang rewel, ibumu tak lagi bisa membatik untuk membantu bergeraknya roda ekonomi keluarga.
Utang terus bertambah demi memenuhi kebutuhan sehari-hari, membuat ibumu tak berani mencegah saat ayahmu meminta izin membuka usaha warung makan di Pasar Blega, mengikuti jejak sepupunya yang sukses membuka usaha di sana.
Dengan menggadaikan sepetak tanah untuk modal dan uang sewa lokasi, ayahmu berangkat setelah menggelar acara timangan di usiamu yang menginjak 40 hari, dan telah menambah tumpukan hutang demi acara itu.
Enam bulan ayahmu bolak-balik Blega-Tanjungbumi, pulang setiap Kamis sore, kembali ke Blega pada jumat pagi. Menginjak bulan ke tujuh, ayahmu mengajak ibumu membantu usahanya yang mulai ramai pelanggan. Kau disuruh titipkan pada bibi, adik kandung ayahmu yang belum dikaruniai keturunan meskipun sudah empat tahun menikah. Apalagi kau memang tidak menyusu. Akan tetapi, ibumu menolak ikut dan meminta cari orang lain untuk membantu pekerjaan ayahmu.
“Dia masih terlalu kecil untuk dititipkan.” Jelas ibumu saat bercerita pagi itu, ketika kau memintaku menemuinya setelah kaukirimkan sejumlah uang untuk merenovasi rumah.
“Kenapa tidak membawanya ikut serta?” tatapku.
“Masalahnya, kalau semua pergi, rumah ini jadi kosong, tidak ada yang menempati dan merawatnya.”
Alasan ibumu, seraya memberi noktah pada hamparan kain mori dengan canting yang baru dicelupkan pada lelehan lilih. Aroma lilin yang didih dalam wajah lebih kukenali sebagai aroma perempuan di kampung ini.
Sekarang baru aku mulai mengerti alasan ibumu tidak sesederhana itu.
Apakah kau masih ingat? Menginjak usia delapan belas tahun, ketika kau meminta izin melanjutkan pendidikan ke luar Madura, wajah ibumu berubah sendu seperti langit tersaput awan kelabu.
“Tidak usah jauh-jauh!”
“Masih di seputar Jawa.”
Sudah biasa kulihat kau merajuk setengah memaksa.
“Keluar dari kampung sendiri namanya tetap jauh. Tidak baik bagi anak perempuan!”
Bukan hanya sekali kudengar pertanyaan bernada protes kau ajukan untuk hal-hal lain, ketika terbentur aturan sebagai anak perempuan. Bahkan sewaktu kecil, ketika ibumu melarang memanjat pohon jambu biji, kau pun menunjukkan protes yang sama. Padahal waktu itu aku yakin, kau bisa memanjat lebih tinggi mengalahkanku. Akibatnya, kau hanya bisa menengadah di bawah seraya mengemis lemparan dariku yang nangkring kegirangan di dahan sambil mengunyah jambu biji yang sudah matang. Kau semakin merengut kesal karena tidak segera kulempari buah jambunya, justru kulit sepahan yang sengaja kusemburkan ke bawah sambil tertawa mengejek. Penuh kemenangan.
Aku yakin hatimu merutuk geram karena terlahir sebagai anak perempuan yang terlalu banyak dikenai aturan!
“Kau bisa melanjutkan sekolah di sini.” Jawab ibumu, setelah diam sesaat.
“Sukdi melanjutkan ke Jogja! Masa aku di Madura terus?” sungutmu.
Untuk ke sekian kali aku tersenyum menang.
“Dia laki-laki!”
Weeeek!
Kujulurkan lidah, mengejekmu seperti biasa.
“Apa bedanya laki-laki dan perempuan? Nilaiku lebih tinggi dari nilainya!” kejarmu tak terima.
Ibumu tidak menyahut.
Kemampuanku memang selalu di bawahmu dalam hal apa pun, termasuk nilai mata pelajaran. Hari libur, waktu yang biasa kau habiskan dengan mengulang pelajaran untuk menghadapi ujian malah kupergunakan untuk membantu ibu menguliti pohon jati dan mengkudu. Kadang aku juga membantu ibumu. Aku beruntung saja karena terlahir sebagai laki-laki yang selalu dianggap lebih istimewa dari anak perempuan.
Saat itu kau tetap berkeras hati mendapatkan kesempatan yang sama sepertiku. Jelas tidak mau sekadar menengadah sebagaimana yang pernah kau lakukan di bawah pohon jambu
Biaya pendidikan kau peroleh dari pemberian ayahmu yang disimpan oleh ibumu. Sejak mendengar ayahmu menikahi perempuan yang telah membantu usaha warung makannya dan hanya sesekali pulang untuk menyerahkan uang, ibumu tidak pernah menggunakan uang itu, kecuali untuk kebutuhanmu jika ia sudah merasa tidak mampu.
Keteguhan hasratmu membuat ibumu kembali terjebak dalam kepentingan dan kebutuhan di luar keinginan dirinya. Ia terpaksa melepasmu pergi dengan hati terkunci, hingga kita tidak bisa membaca apa yang tersimpan di bilik dadanya.
Setelah kuliah kau selesaikan dengan prestasi gemilang, dengan mudah kau memeroleh pekerjaan mapan bergaji besar di tanah rantau, hasrat dan dendammu pun menjulang. Hendak kau buktikan pada kampung halaman bahwa perempuan juga mampu mendulang kesuksesan.
Hal yang sama terulang. Ketika ibumu usai bercerita tentang masa lalu pagi itu, lalu kusampaikan pesanmu, bahwa rumah yang selama ini ditinggali hendak kaurobohkan diganti dengan rumah yang baru tanpa ingin melibatkan sang ayah, sekali lagi ia memilih mengalah memeram desah.
Kau lupa satu hal, bahwa ibumu semakin tersuruk dalam lorong panjang yang kian suram. Tidak ada lagi rumah penyepuh kenangan, dan kau seolah lupa jalan pulang. Bahkan, setelah ibumu tiada pun kau tak sempat mengantarnya ke pekuburan, seolah kabar duka yang kukirim tak pernah sampai.
***
Ketahuilah! Setelah orangtua tiada, hilang rumah bagi anak perantau untuk pulang. Aku telah merasai itu. Setelah ibuku pergi, rumah yang tertinggal bagai tempat asing daalam persinggahan. Tidak punya tetangga. Tidak punya teman dekat. Hidupku terasing di kampung sendiri.
Sejak itu aku mulai mengerti. Rumah, yang pernah dipertahankan ibumu, tak lain adalah lingkungan tempat menjalin ikatan, tempat berbagi kasih sayang, membangun rasa kepedulian, melestarikan jejak warisan, yang seharusnya dirawat oleh sentuhan tangan perempuan.
Akan tetapi, barangkali kesempatan masih bisa kau gapai. Bukankah bagi perempuan Tanjungbumi, selain lingkungan ia masih memiliki gentong tua sebagai rumah pengabdian? Sejauh-jauh melambungkan angan di tanah rantau, pada warisan nenek moyang ia akan menemukan tempat untuk pulang, kecuali selamanya ingin jadi pengembara dan melupakan tanah kelahiran.
Apakah kau masih akan menyesal terlahir sebagai anak perempuan, Sum?
Muna Masyari, lahir 26 Desember 1985, tinggal di Pamekasan, Madura. Peraih Cerpen Terbaik Pilihan Kompas 2017. Muna sehari-hari bekerja sebagai penjahit pakaian untuk orang-orang sekitar desanya. Tahun 2010 sudah mengirim cerpen ke Kompas, tetapi baru tahun 2016 cerpennya “Celurit Warisan” dimuat. Cerpen ini pun kemudian lolos seleksi untuk buku Cerpen Plihan Kompas 2016.
Made Arya Dwita Dedok, lahir 10 Juni 1971 di Denpasar. Kini menetap di Magelang, Jawa Tengah. Menempuh pendidikan di SMSR Denpasar dan kemudian Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Pernah mengikuti residensi seniman di Vermont Studio Center, Johnson, Vermont, Amerika Serikat. Finalis kompetisi seni rupa UOB Bank Jakarta 2011.
[1] Disalin dari karya Muna Masyari
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Kompas” Minggu 23 Desember 2018
The post Gentong Tua appeared first on Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara.
via Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara bit.ly/2rTwPTI
Ketika saya terbangun, pesawat baru saja memasuki wilayah Hongaria, dan pada waktunya nanti pasti akan mendarat di Amsterdam. Inilah pekerjaan saya sebagai penerbit: menerbitkan buku, mengusahakan terjemahan, memasarkan buku di negara-negara Eropa, jual beli hak cipta, dan berbagai negosiasi lain. Dan pekerjaan ini saya lakukan satu tahun sekali, atau, kadang-kadang dua tahun sekali.
Tapi, karena dalam beberapa bulan terakhir saya sering mendengar suara perempuan di bandara-bandara besar, saya berusaha untuk lebih sering bepergian. Kalau saya tidak datang lagi dalam waktu lama, mungkin suara itu akan diganti oleh suara orang lain. Rekaman pengumuman mengenai keberangkatan dan kedatangan pesawat internasional bisa saja sewaktu-waktu diganti.
Pengumuman dalam bahasa Inggris, Jerman, Perancis, Mandarin, dan Jepang, itu biasa. Yang luar biasa, di samping bahasa-bahasa itu, adalah pengumuman dalam bahasa Indonesia, dan juga bahasa etnik Jawa.
Suaranya halus tapi sekaligus keras, lembut tapi juga tegas, dan semua diucapkan dengan diksi dan artikulasi yang sangat meyakinkan. Semua serba pas, seolah-olah semua bahasa itu adalah bahasa ibunya.
Mula-mula saya ragu, tapi kemudian saya yakin, suara itu pasti milik Sandra Liangsi, mahasiswi Jurusan Jerman UNESA, yang tiba-tiba lenyap baik dari rumahnya di Praban, maupun dari Kampus UNESA Ketintang. Kata orang, Sandra melarikan diri, diikuti oleh kedua orang tuanya, entah ke mana.
Dulu saya kuliah di Jurusan Inggris UNESA, dan karena itu saya tahu sedikit banyak mengenai Sandra. Dia cantik, cekatan, berani, dan suka menghina orang lain. Wajahnya lonjong, kalau tersenyum di kedua pipinya tampak cekungan yang membuatnya makin cantik, meskipun senyuman itu memancarkan ejekan, pertanda bahwa dia merasa hebat.
Ketika masih menjadi mahasiswa, Sandra adalah tokoh penting dalam HIMAPALA (Himpunan Mahasiswa Pencinta Alam) UNESA. Tapi maaf, saya mengetahui Sandra dari berbagai organisasi mahasiswa ketika saya sudah masuk ke semester enam, karena sampai dengan semester lima saya bekerja, dan juga pernah cuti tiga semester. Saya pernah membantu penjual sayuran di Pasar Keputran, pernah jualan roti, pernah juga menjadi kernet bis kota, dan akhirnya berhasil menjadi sopir bis kota, bukan sekadar sopir biasa, tapi sopir teladan pada zaman Walikota Dokter Pumomo Kasidi. Karena itulah, selama tiga bulan saya disewa oleh Biro Umroh Natria, menjadi sopir di Saudi Arabia.
Pengalaman paling sengsara terjadi ketika saya harus bekerja di Keputran, pasar khusus sayuran, buka mulai jam enam petang, dan tutup pada jam lima pagi. Mau tidak mau saya selalu mengantuk, dan kalau sampai saya tertidur, Bu Rimpun, seorang dosen yang tampak galak tapi baik hati, melempari wajah saya dengan kapur tulis: “Adlan, wash your face!”
Karena tidak tahan, akhirnya saya memutuskan untuk berjualan roti, mengambil roti dari pabrik roti di Darmo Kali, jam setengah lima pagi. Dengan mengontel sepeda, setiap hari saya menelusuri berbagai kampung, menawarkan dagangan saya.
Akibatnya sama: mengantuk, datang terlambat, kadang-kadang tertidur. Harapan mahasiswa: makin lama saya tertidur makin baik, sebab mereka makin bebas mencuri roti saya. Akibatnya, hampir setiap hari pemilik pabrik roti memaki-maki saya. Di bawah pimpinan Bu Rimpun, dosen-dosen lain mengumpulkan uang untuk mengganti harga roti yang dicuri, disertai dengan maki-makian dan gelak tawa.
Demikianlah, satu per satu pekerjaan saya jalani dengan tawakal, sampai akhirnya saya mempunyai uang untuk merasakan menjadi mahasiswa dalam arti yang sesungguhnya. Pada suatu pagi, ketika sedang lewat dekat Gedung Fakultas Teknik, saya melihat banyak mahasiswa berkumpul, menyaksikan kehebatan Sandra. Tanpa perlengkapan apa-apa, Sandra memanjat pohon tinggi dan rindang, dan setelah sampai puncak, dengan gaya serampangan dia melompat ke puncak pohon lain. Saya langsung mendaftar, bergabung dengan mahasiswa-mahasiswa HIMAPALA.
Sandra memberi latihan-latihan dasar: mengambil napas melalui hidung, membuang napas melalui mulut, melenturkan tubuh dengan berbagai cara, lari ke depan, lari ke belakang, meloncat, berjungkir balik, semua dengan beban berat. Dan yang paling menyengsarakan adalah panjat dinding di Gedung Gema dengan beban berat, harus lebih cepat daripada cecak yang berlari di dinding.
Semua anggota dihardik, tapi tidak pernah digoblok-goblokkan, kecuali saya. Dia suka mengguncang-guncang tubuh saya dengan kasar, dan, pada suatu hari dia berbisik, “Kamu goblok! Makanya saya menamakan kamu ‘Gob’, alias Goblok.”
Tiga bulan kemudian, dia memimpin kami latihan di dataran tinggi Pacet, untuk menghadapi cuaca buruk, hujan, kabut, tanah licin, dan kemungkinan tanah longsor, selama dua malam. Dia mendapat bantuan dua truk besar beroda delapan dari Kodam Brawijaya, dan mulai saat itulah saya gelisah. Semua truk seharusnya dikemudikan oleh tentara, tapi dia memaksa dia mengemudi satu truk, dan dia menyuruh saya untuk menjadi sopir truk kedua untuk mengejek saya, sebab dia yakin saya tidak punya SIM.
Saya bilang saya punya SIM dia tidak percaya, dan ketika dia melihat SIM Intemasional saya, wajahnya merah membara. Sopir truk tentara dan saya tidak setuju, tapi karena dia pandai berbicara, kami kalah. Dua sopir tentara menjadi penumpang, Sandra dan saya menjadi sopir.
Kami berangkat dari Kampus Ketintang ketika hujan sedang deras dan halilintar bersambaran, sementara semua jalan menuju ke tol banjir, hampir-hampir mencapai lutut orang dewasa.
Ketika kami sampai di Pacet, semua pendapat sopir tentara dan saya dibantah. Kami tahu tempat kami parkir bisa mengundang bahaya, tapi dia tidak peduli. Bahkan, dua sopir tentara disuruh pulang, meskipun mereka menolak.
Pada malam pcrtama, ketika hampir semua mahasiswa sudah tidur dan cuaca sedang baik, dia mengajak saya duduk tidak jauh dari jurang, melihat kelip-kelip lampu di kejauhan.
“Gob, saya kaget, ternyata kamu punya SIM Internasional.”
Saya bercerita apa adanya.
“Apa kamu anak yatim piatu?”
Saya tidak menjawab, dan tampaknya dia maklum.
“Kalau kamu perlu uang, akan saya bantu kamu,” katanya.
Saya menolak.
“Gob, apa kamu tidak merasa kehilangan? Saya mencuri buku dari tas kamu.”
“Saya tahu.”
“Ternyata kamu suka Kafka, Gob, Die Verwandlung.”
Itulah judul asli novel Metamorfosis, dan itulah buku yang dicuri.
Percakapan ini menyenangkan, tapi terpaksa diakhiri dengan pertengkaran. Saya minta dia memindahkan truknya, dia ngotot menolak.
Malam berikutnya, terjadilah bencana: sebagian besar mahasiswa sudah tidur, tiba-tiba truk Sandra mundur, merobohkan tenda, dan menggilas mereka yang sedang tidur.
Sejak saat itulah dia menghilang, dan akibatnya, dua sopir tentara dan saya dikerangkeng di penjara Kodam V Brawijaya selama satu bulan.
Andre van Claver sudah menunggu saya di bandara Amsterdam, dan begitu mendengar rekaman suara Sandra dalam bahasa Jawa, dia tcrtawa, lalu berkata:
“Kamu bijaksana, Adlan, memilih penerbangan yang istimewa.”
“Ya. Dulu, 7 September 2004, dalam pesawat GIA 974, pejuang HAM Munir Said Thalib meregang nyawa di wilayah udara Hongaria dalam perjalanan menuju Amsterdam. Dia diracun, demikianlah kata Direktur Institut Forensik Belanda. Ada 460 miligram arsenik, cukup untuk membunuh Munir. Nomor penerbangan saya tadi sama, rutenya juga sama.”
“Kalau kamu berminat menerbitkan kisah Munir, saya bisa mencarikan penulisnya.”
“Saya hanya menerbitkan fiksi, lain tidak.”
“Bisa, kan, kisah Munir dibuat novel?”
“Serahkan ke penerbit buku sejarah. Saya perlu memikir lagi.”
Ketika akan meninggalkan Amsterdam saya datang di bandara pagi hari, khusus untuk mendengar suara Sandra, meskipun pesawat saya akan terbang malam hari.
Di Hamburg saya menyelesaikan transaksi dengan dua penerbit Jerman, dan kebetulan bisa bertemu A. Fuadi, pengarang Negeri Lima Menara, sebab kebetulan dia sedang menyelesaikan disertasinya di Universitas Hamburg. Dia kenal dengan suara bahasa Indonesia di bandara Hamburg, tapi karena waktunya sangat singkat, kami lebih banyak berbicara mengenai kuliner Jerman.
Akhirnya, untuk keperluan pribadi, saya terbang ke Praha, untuk melihat rumah sakit dalam novel Metamorfosis, suasana lingkungan museum bekas rumah Kafka, dan gedung Dr. Faustus, tempat Dr. Faustus menandatangani surat perjanjian dengan iblis Mefistofelis pada Abad Pertengahan. Perjanjian ditulis dengan darah Dr. Faustus: dalam waktu 23 tahun Mefistofelis bersedia menjadi budak Dr. Faustus, dan setelah 23 tahun berlalu, Dr. Faustus menjadi budak abadi Mefistofelis. Dalam dunia gaib sebagai pengendali dunia nyata, Mefistofelis dan Dr. Faustus menebar kejahatan abadi, dilawan Michael, dengan kekuatan abadi untuk menebarkan kebaikan, dan karena itu, kebaikan melawan kejahatan akan terus terjadi di dunia nyata.
Saya ingin masuk ke bekas rumah Kafka, membayangkan ayah Gregor terhadap anaknya, lebih-lebih ketika anaknya sudah berubah menjadi insek. Dalam esai “Brief an den Vater” Kafka bercerita betapa keji ayahnya, dan betapa takut dia menghadapi ayahnya, sebagaimana yang tercermin dalam novel Metamorfosis.
Sebelum melarikan diri, Sandra sempat berkata, pada suatu saat nanti dia akan ke Praha, untuk menabur bunga di makam perempuan gila bernama Felice. Dia heran, mengapa Felice sudi menjadi pacar Kafka, pengarang yang pada waktu itu dianggap gagal, penderita batuk darah, sembelit, bisul berkepanjangan, dan insomnia.
Ketika sedang duduk di kedai kopi tidak jauh dari patung Kafka, saya melihat rombongan turis dari negara-negara Baltik, dikawal oleh dua perempuan, satu di depan, dan satu di belakang. Mereka membawa tongkat dengan tiga bendera digandeng menjadi satu, yaitu Estonia, Latvia, dan Lituania, sambil berteriak-teriak memberi komando kepada turis mereka.
Saya tahu, perempuan di depan itu, tidak lain adalah Sandra, dan pikiran saya langsung melesat ke masa lalu, ketika truk dia menggelinding, merobohkan tenda, dan menggilas teman-teman saya.
Budi Darma, lahir di Rembang, Jawa Tengah, 25 April 1937, sebagai anak pegawai kantor pos. Setelah lulus S-l di Universitas Gadjah Mada, ia menjadi pengajar di IKIP Surabaya (sekarang Universitas Negeri Surabaya/Unesa). Bukunya yang fenomenal novel Olenka dan kumpulan cerpen Orang-orang Blomington. Dua buku ini berisikan kisah-kisah manusia dengan latar di Amerika Serikat, di mana dulu Budi pernah belajar.
Budiyana. lahir di Sleman, Yogyakarta, 29 November 1969. Ia menempuh pendidikan SMSR Yogyakarta tahun 1990 dan mendirikan Kelompok Seniman Pinggiran (Sepi). Sepi pernah pameran bersama di Australia. Budiyana menggelar karya-karyanya secara tunggal di Galeri Hadiparana Jakarta dan Bentara Budaya Yogyakarta tahun 2012.
[1] Disalin dari karya Budi Darma
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Kompas” Minggu 2 Desember 2018
The post Suara di Bandara appeared first on Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara.
via Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara bit.ly/2KReBuS
KETIKA mendengar kabar kematian Nenek Nahadim, tak ada yang cukup membekas dalam ingatan Fatma tentang neneknya itu. Ingatannya tentang Musi Rawas Utara, atau sering disingkat Muratara, hanyalah samar-samar. Seperti sebuah adegan dalam sebuah film lama. Hitam-putih dan dipenuhi bercak hitam di sana-sini.
Belum genap empat tahun umur Fatma ketika ayahnya dipindahtugaskan ke Bengkulu. Lalu, hari ini Bibi Witri datang berkunjung mengabarkan pesta pernikahan Edison, putra keduanya, sekaligus membawa kabar Nenek Nahadim telah berpulang tujuh hari lalu.
Fatma sebenarnya tidak begitu dekat dengan keluarga Lubuklinggau. Namun sebagai satusatunya putri Wenti, dia wajib hadir pada pesta pernikahan Edison bulan depan sekaligus selamatan empat puluh hari meninggalnya Nenek. Mewakili indungnya yang telah lewat selamatan seribu hari itu.
Wenti dan Witri adalah dua putri Nenek Nahadim. Bila Wenti hanya memiliki Fatma sebagai putri tunggal, Bik Wit, demikian Fatma memanggil, dikarunia dua putra dan tiga putri. Edison, yang akan menikah bulan depan, adalah adik Amirudin yang telah lebih dulu menikah dan menetap bersama istrinya di Sarolangun, Jambi.
Setelah Wenti meninggal, hubungan Fatma dan keluarga Lubuklinggau agak renggang. Meski tidak pernah ada selisih paham di antara mereka. Perbedaan bahasa mungkin salah satunya. Fatma yang besar di Bengkulu kurang mengerti bahasa Lembak yang digunakan sebagian besar keluarga Lubuklinggau. Juga Fatma yang berkarier tentu sibuk membagi waktu antara pekerjaan dan rumah tangganya bersama Jaudi. Mungkin kesibukan pulalah yang menyebabkan Fatma keguguran pada kehamilan pertama dulu.
Fatma tinggal di Bengkulu Kota, bersama ayah dan suaminya. Juga seekor kucing oddeye cantik yang dia beri nama Alena. Ayahnya sudah setengah pikun, sering salah menuang sampo ke sikat gigi, atau mengenakan sandal kanan di kaki kiri.
Fatma sedang menyiangi kubis untuk memasak sop sebagai menu makan malam di teras samping rumah ketika Bik Wit datang membawa kabar itu. Fatma tak tahu, apa perlu marah pada Bik Wit atas keabaian mengabarkan kematian Nenek. Bik Wit berkilah susah mencari waktu yang tepat untuk mengabari Fatma tentang meninggalnya Nenek, sebab pada hari Nenenk meninggal, jalur Lubuklinggau-Bengkulu ditutup akibat ada kerusuhan warga.1) Fatma ingin marah, tapi kemarahan tak mengubah apa-apa. Fatma pun memilih diam.
Lalu hari ini, Fatma berangkat ke Linggau sendirian, menggunakan mobil travel. Jaudi akan tetap di rumah, menjaga Ayah. Fatma memilih travel, meski perjalanan Bengkulu- Lubuklinggau bisa ia tempuh dengan sepeda motor hanya kurang dari empat jam. Fatma masih trauma atas kejadian semasa kuliah dulu.
Waktu itu musim liburan. Fatma dan kelima temannya sepakat main ke rumah Puspita di Rupit. Sedang musim duku di sana. Duku rupit terkenal lezat. Buah itu besar lonjong sebesar rambutan dengan daging buah tebal dan manis. Puspita girang bukan kepalang akan dikunjungi teman-temannya. Dia lupa berpesan, jika mengendarai sepeda motor di jalur Bengkulu- Lubuklinggau hendaknya melepas helm ketika memasuki wilayah Palak Curup. Palak Curup yang berbukit-bukit dengan jalan berliku dan banyak perkebunan tanpa permukiman di kanan-kiri jalan membuat wilayah itu rawan kejahatan. Namun ada rahasia sebenarnya, supaya aman jika sudah memasuki daerah perkebunan yang sepi itu. Melepas helm dan menyembunyikannya dari pandangan. Sebab, jika tidak menggunakan helm, para begal berpikir pengendara adalah orang daerah situ saja. Mereka akan berpikir dua kali untuk berbuat jahat.
Rombongan Fatma dan kawan-kawan, yang lupa dipesani supaya melepas helm, dikuntit dua pengendara sepeda motor. Dalam sekejap mata, tas tangan Santris dan Rayola telah berpindah tangan ke penguntit. Bukan tas dan isinya yang raib yang membuat mereka trauma. Namun betapa teror akan sesuatu yang lebih mengerikan yang bisa menimpa keenam gadis di tengah hutan jauh dari permukiman jika berhadapan dengan empat pria yang entah masih manusia atau bukan. Nurmala yang paling histeris di antara mereka berenam bahkan nekat menghentikan setiap pengendara yang lewat supaya mau serempak dengan mereka memasuki wilayah permukiman lagi.
Berbulan lamanya Fatma dicekam trauma. Dia juga ingat ucapan Betri, kawan yang dia bonceng kala itu, bahwa dia akan memilih terjun ke jurang dan mati daripada harus diapa-apain keempat begal itu.
Puspita menyambut mereka tak kalah histeris. Memeluk keenam sahabatnya satu per satu dan tak henti meminta maaf atas kecerobohannya. Sambil masih bergandengan, Puspita mengajak mereka masuk ke rumah yang bergaya panggung. Ibu Puspita menyambut dengan senyum ramah dan ucapan permintaan maaf sekali lagi atas kecerobohan putrinya.
Menambahkan, ayah Puspita belum pulang dari menakil karet di kebun. Keramahan dan kehangatan rumah Puspita mampu sedikit meredakan kepanikan Fatma dan kawan-kawan.
Di lantai rumah dari papan, Puspita menggelar tikar untuk mereka. Lalu tanpa basa-basi Puspita dan ibunya menyiapkan makan bersama.
“Kalian pasti lapar,” celetuk ibu Puspita.
Ibu Puspita menyajikan ikan masak pindang. “Pindang rupit,” ujar Puspita bangga. “Ayahku yang menangkap ikan-ikan ini di Sungai Rupit kemarin sore.”
Kenangan beberapa tahun silam itu masih teringat jelas di benak Fatma. Lalu hari ini, Fatma akan melalui kembali jalur horor itu.Rencananya, Fatma akan menginap di salah satu penginapan di Jalan Yos Sudarso, karena resepsi pesta Edison akan dilangsungkan di rumah mempelai wanita. Calon mertua Edison pemilik rumah makan yang menyediakan pindang rupit sebagai menu andalan, di samping kantor Bupati Lubuk Linggau. Di sanalah besok pagi digelar acara persedekahan atau duduk pengantin, dilanjutkan mandi kasai2) sore hari.
Fatma sampai di penginapan sebelum azan zuhur. Setelah merapikan barang bawaan di penginapan, Fatma menyempatkan diri berjalan kaki menyusuri Jalan Yos Sudarso yang terik siang itu. Fatma melihat sebuah rumah makan yang khusus menjual martabak. Fatma ingat, di Palembang ada martabak ala India yang sangat terkenal. Itulah martabak HAR. Dikenal juga sebagai martabak India karena yang menjual keturunan India.
Fatma penasaran ingin mencoba. Ternyata bahan dan cara membuatnya sama dengan martabak HAR, tetapi bumbunya sama sekali berbeda. Martabak HAR menggunakan bumbu kari kentang, di sini Fatma menjumpai saus bumbu agak asam. Ketika Fatma tanyakan pada ibu yang menjual, ibu itu mengatakan bumbunya dari ketan dan kentang. Ketika Fatma menanyakan alasannya, secara sederhana ibu itu mengatakan tidak tahu cara membuat saus bumbu kari seperti martabak HAR. Sangat polos dan jujur.
Sehabis menyantap martabak, Fatma berjalan kaki sedikit lagi ke arah kanan, dan sampailah di warung model 3) yang sejak awal adalah tujuan utama dia berjalan kaki dari penginapan. Model gandum. Perbedaan model gandum di Palembang dan Lubuklinggau pada ukuran. Di Palembang, ukuran model gandum bisa satu setengah kali bola tenis lapangan. Di Lubuklinggau, ukurannya lebih-kurang sebesar bola tenis meja. Cara penyajian sama saja, dipotong-potong kecil, disirami kuah bening beraroma rempah yang sangat kuat, khususnya biji cengkih serta irisan kecil daging sapi.
Setelah menambahkan sambal ke mangkuk model, Fatma memeriksa gawai. “Aku sudah di warung model gandum,” pesan yang dia kirim belum terbalas. Pesan itu terkirim untuk Tarsin Agani, mantan pacarnya semasa kuliah dulu. Tarsin adalah alasan sesungguhnya bagi Fatma berkeras menginap di penginapan, selain tak mau merepotkan keluarga Bik Wit yang ia jawabkan pada semua orang. Termasuk Jaudi, sang suami. (28)
Catatan:
1) Jalan lintas Bengkulu-Lubuklinggau rawan kejahatan dari perampokan, pembunuhan, sampai penjarahan hasil bumi. Kerusuhan bersamaan dengan meninggalnya Nenek Nahadim terjadi di Desa Blitar, Kecamatan Binduriang. Warga memblokade jalan lintas yang menghubungkan Bengkulu dan Sumatera Selatan setelah penembakan seorang warga hingga tewas oleh polisi. Penembakan berawal saat mobil patroli Kepolisian Resor Rejang Lebong mengawal truk bermuatan barang pada pukul 02.00. Saat melintasi Desa Blitar, sejumlah orang melempari mobil polisi. Polisi langsung mengejar pelaku dan menembak salah seorang pelempar hingga tewas.
2) Upacara adat mandi kasai di Lubuklinggau telah berlangsung sejak abad ke-14. Mandi kasai adalah mandi pengantin pada sore hari seusai persedekahan atau duduk pengantin. Kedua mempelai dimandikan seorang tetua di alam terbuka, diiringi pemberian nasihat dari keluarga kedua mempelai. Seusai dimandikan, orang-orang yang hadir simburmenyimbur air hingga semua basah kuyup.
3) Model adalah makanan khas Sumatra Selatan. Mirip pempek, tetapi disajikan dengan kuah bening seperti bakso.
– Majenis Panggar Besi menulis buku kumpulan cerita pendek termutakhir Tentang Seseorang yang Gemar Meminta Ciuman (2018).
[1]Disalin dari karya Majenis Panggar Besi
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Suara Merdeka” Minggu 21 Oktober 2018
The post Fatma dan Lidahnya appeared first on Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara.
via Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara bit.ly/2OE2SEV
Sebelum meninggal, ibu kerap berpesan agar aku selalu menjaga hubungan baik dengan semua saudara tiriku. Dan setiap ibu menyampaikan pesannya itu, aku selalu menganggukkan kepala sebagai tanda mengiyakan kata ibu.
Tapi aku tidak tahu, apakah ibu juga pernah menyampaikannya kepada masing-masing saudara tiriku perihal pesan itu. Sebab, setahuku, ibu tidak pernah mengucapkan pesan itu di depan kami.
Ibu memiliki anak tiga. Aku yang tertua dari dua saudaraku yang berbeda ayah itu. Kata ibu, ayahku adalah seorang pelaut. Kata ibu lagi, ayah juga pemabuk dan suka main judi. Ayah pergi meninggalkan ibu di saat aku baru berusia lima tahun. Kabar yang ibu dapatkan selanjutnya dari pelaut lainya adalah bahwa ayahku telah kawin lagi dengan seorang janda muda di pulau seberang.
Aku sendiri luput mengingat wajah ayahku sendiri serupa apa. Usiaku terlalu kecil untuk mampu mengingat kenangan bersama ayah. Apalagi memang ayah kuingat jarang pulang. Di dalam rumah kami yang sederhana, tak satu pun terpajang foto ayahku. Sampai usiaku dewasa, di rumah itu, yang terpajang hanya tiga bingkai foto, yang pertama foto ibu, lalu foto aku dan dua saudaraku dengan latar halaman rumah, dan yang ketiga foto ayah tiriku.
Di masa sepeninggal ayah, ibu mengurusiku seorang diri. Untuk mencukupi kebutuhan ekonomi, ibu berjualan sarapan pagi di depan rumah kami. Para pelanggan ibu kebanyakan para lelaki yang bekerja sebagai pelaut dan penjual ikan. Bila pagi hari, aku sering kali mendengar para lelaki tertawa-tawa di kedai ibu dengan maksud yang tidak kupahami. Sebagian lagi berbicara dengan intonasi tinggi bila mereka berkomunikasi dengan lawan bicaranya. Terkadang bila dagangan ibu telah habis, beberapa pelaut bermain batu domino di kedai ibu.
Aku cukup terhibur dengan kehadiran para pelanggan ibu yang mayoritas kaum laki-laki itu. Tidak hanya candaan yang mereka berikan. Aku pun sering diberikan permen atau makanan ringan untuk seusiaku. Yang paling sering memberikan aku permen adalah Uda Bahar.
Uda Bahar orangnya baik. Bila ada yang mengusili hingga aku menangis, ia akan memarahi orang itu dan lantas menggendong tubuhku, lalu diberikannya aku pada ibu. Pada masa-masa itu, dari semua para pelanggan ibu, hanya Uda Bahar yang sangat memperhatikanku.
Aku ingat, ketika duduk di kelas 1 sekolah dasar, ibu menikah dengan Uda Bahar. Ada pesta pernikahan. Ibu dan Uda Bahar duduk di pelaminan, sedangkan aku tidak pernah beranjak duduk pula di samping ibu. Ibu sering kali tersenyum kepada para tamu yang hadir pada pesta pernikahan di rumah kami. Aku yakin ibu sangat senang sekali saat itu.
Aku pun sangat bahagia dan senang pada pernikahan ibu. Sejak kehadiran Uda Bahar, suasana rumah kami menjadi riang. Malam hari menjadi ceria.
Malam hari juga tidak lagi menjadi kecemasan ibu karena lingkungan rumah yang sunyi.
Aku pun merasa terlindungi dengan kehadiran Uda Bahar di rumah. Bukan hanya merasa terlindungi, melainkan aku juga seperti menemukan tempat mengadu. Di kampung yang terletak di pesisir pantai itu, sering kali kawan-kawanku mengejek karena aku tak punya ayah. Dan sejak kehadiran Uda Bahar, tak satu pun dari mereka yang berani lagi mengejekku.
Aku merasa begitu beruntung karena ibu telah menikah lagi. Sebab, dengan begitu, aku memiliki seorang ayah. Namun, harus kuakui, pada mulanya aku terkadang masih begitu canggung bila memanggil Uda Bahar dengan panggilan ayah. Namun, Uda Bahar dengan sabar menyuruhku agar belajar terus memanggilnya dengan sebutan ayah.
“Ya, anak kecil, mulai sekarang kamu harus terus membiasakan diri agar memanggil ayah, ya,” kata Uda Bahar kepadaku, waktu itu.
Dan kuingat ibu tersenyum melihat kegugupanku. Dan tidak lama kemudian kepalanya mengangguk-angguk kepadaku.
Di hari-hari berikutnya, aku terkadang masih salah juga memanggilnya dengan sebutan ayah. Sering aku memanggilnya dengan sebutan Uda Bahar. Berulang kali pula ibu dan Uda Bahar kembali menasihatiku. Dan sampai satu bulan kemudian aku baru mahir memanggilnya dengan ayah.
Satu tahun kemudian, ibu melahirkan adikku yang pertama. Ia berjenis kelamin laki-laki. Kulitnya hitam. Rambutnya hitan. Ia mirip wajah ayah. Dan ayah memberinya nama Samsir.
Ibu dan ayah sangat senang karena kehadiran Samsir. Ibu sangat telaten merawatnya. Ayahku sangat perhatian sekali pada adikku. Jika adikku menangis, ayah akan dengan cepat menyuruh ibu agar menyusuinya. Atau ayah akan memarahi ibu jika adikku terus menangis.
Ketika adikku itu telah berumur tiga tahun, ia sering kali membuat ibu berada dalam masalah. Sering ia terjatuh di rumah karena kenakalannya Memecahkan perabotan rumah. Dan ibu sering jadi sebabnya karena dianggap lalai menjaga adikku itu. Tidak hanya ibu, aku pun mulai jadi sasaran ayah jika ia menangis sehabis bermain denganku.
Kehadiran adikku semakin lama membuat ibu dan ayah mulai sering bertengkar. Ibu tidak suka jika ayah memarahiku. Apalagi jika ibu melihat ayah menarik kupingku hingga aku menangis.
“Jangan pernah kau mengasari anakku,” kuingat ibu bersuara keras kepada ayah suatu malam yang herhujan.
“Kenapa memangnya? Aku yang memberi makannya. Sudah pantas ia kumarahi jika ia menjengkelkanku.”
“Tanpa kamu beri, aku tetap bisa memberi makannya. Kamu harus tahu itu,” kata ibu dengan suara yang semakin tinggi.
“Maksudmu apa?”
“Maksudku, jika kamu ingin pergi, aku tetap bisa memberi makan anakku. Paham?”
Peristiwa itu adalah pertengkaran ayah dan ibu yang terakhir setelah adikku yang kedua lahir. Adikku yang kedua perempuan. Ayah memberinya nama Diva. Sama seperti kelahiran adikku yang pertama, ibu dan ayah juga sangat senang pada kehadiran adikku ini.
Namun, kebahagiaan di rumah kami kurasakan tidak berlangsung lama. Pertengkaran-pertengkaran antara ibu dan ayah mulai kembali terjadi. Pemicunya karena ayah sering kali menganggap ibu tidak mampu mengurus dua adikku. Dan juga tentang ayah yang sering membedakan aku dengan dua adikku.
Kehadiran dua adikku membuat ayah memang tidak peduli lagi kepadaku. Sikap ayah sangat berubah setelah kehadiran mereka. Tidak jarang ayah lebih mendahulukan mereka daripada aku. Jika ayah membeli makanan ringan, misalnya, ayah tak pernah memberikannya kepadaku. Ayah juga hanya mengajak dua adikku ke pantai pada hari Minggu. Aku merasa bahwa ayah benar-benar mengucilkanku dari dua adikku. Dan perlakuan ayah itu membuat aku begitu sedih.
Dalam kesedihan, aku melamun. Dan berpikir mengapa ayah berubah.
“Ibu harap kamu jangan bersedih jika ayahmu kurang memperhatikanmu,” kuingat kata ibu dulu.
Aku tidak menyahut kata-kata ibu itu selain dua mataku semakin berair. Lalu ibu menghapus air mataku dengan tangannya. Pada masa itu, aku sudah duduk di kelas VI sekolah dasar.
Namun, apa yang kualami pada hari-hari berikutnya tetap tidak pernah berubah, ayah masih saja menyayangi dua adikku dan mengesampingkanku. Dua adikku juga mulai tidak suka kepadaku. Mereka sering menghindar dan seperti tidak menganggap lagi aku sebagai kakaknya.
“Kata ayah, uda bukan kakak kandung kami, jadi jangan coba-coba melarang-larang kami, ya,” kata itu diucapkan Samsir ketika aku pernah melarangnya bermain di pantai pada sore hari.
“Iya, ayah bilang begitu. Nanti kami lapor ayah baru tahu,” si kecil ikut pula menimpalinya saat itu.
Saat itu, aku benar-benar bersedih. Mereka tidak menyukaiku dan tidak menghormatiku. Padahal, aku sangat menyayangi mereka.
Mungkin ibu sudah tidak tahan melihat aku dikucilkan oleh ayah dan dua adikku. Sebab, suatu hari ibu begitu marahnya kepada ayah.
“Jika kamu tidak suka pada Dika, bagiku tak ada masalah. Tapi, yang tidak aku suka jika kamu menghasut adik-adiknya untuk membencinya.”
Aku tidak mendengar ayah menyahut kata-kata ibu di malam itu. Aku begitu bersyukur karena ayah diam saja sehingga tidak terjadi pertengkaran. Tapi, paginya, sesuatu yang mengejutkanku terjadi juga. Ayah pergi membawa pakaiannya yang cukup banyak. Bagiku tak lazim jika ayah pergi ke laut dengan membawa pakaian begitu banyak.
Kuingat ayah membawa satu tas pakaian ditambah dua bungkus plastik berukuran besar dengan pakaiannya yang berantakan. Pasti sesuatu terjadi pada ayah. Dan kecurigaanku semakin bertambah ketika ibu berujar di depan pintu rumah dengan nada marah, “Pergilah jika itu maumu, dan kupastikan aku bisa membesarkan anak-anakku.”
Lalu ayah terus berlalu tanpa melihat ke belakang. Dia hanya sejenak melihatku. Pagi itu hanya ada aku dan ibu. Dua adikku masih tertidur pulas di kamar.
Satu minggu setelah kepergian ayah, ibu kembali berjualan nasi pagi di rumah kami. Seperti beberapa tahun yang lalu, para pelanggan ibu kebanyakan dari pelaut dan pedagang ikan. Rumah kami kembali riuh oleh suara dan tawa para lelaki. Sesekali, mereka mencandai ibu. Mencubit lengan ibu.
Lalu, apakah dua adikku menyayangiku setelah ayah pergi dan tidak pernah pulang? Bagiku sungguh celaka, ketidakpulangan ayah menurut adikku adalah karena aku. Samsir dan Diva terus membenciku sampai ia remaja. Ibu berulang kali pula menghiburku dengan mengatakan bahwa mereka masih remaja dan belum berpikir dewasa. Namun, aku sungguh tidak tahan hidup dalam pusaran kebencian dua saudaraku itu. Aku sering bersedih. Aku sering menangis.
Ibu meninggal pada suatu pagi. Sebelumnva, ia hanya bisa terbaring dengan tubuh agak panas. Dua adikku menyalahkanku kenapa ibu bisa sakit dan meninggal. Aku sungguh marah dan sedih pada mereka. Tapi, kesedihan lebih kuat bergayut di hatiku.
Dua minggu setelah ibu dimakamkan, aku pergi meninggalkan rumah. Seperti kebanyakan lelaki di kampungku, aku berpikir pilihan merantau adalah solusi mengatasi masalah. Rantau bagiku adalah pilihan. Dan aku memilih merantau. Dan di rantau ini, kata-kata ibu sering kali terngiang di telingaku, “Kamu harus terus menjaga hubungan baik dengan saudaramu, Nak.”
“Ah, ibu.”
Farizal Sikumbang lahir di Padang. Bekerja sebagai pengajar di daerah pedalaman Kabupaten Aceh Besar. Tinggal di Kota Banda Aceh. Cerpennya dipublikasikan di media nasional dan daerah. Kumpulan cerpennya Kupu-Kupu Orang Mati (2017).
Ketut Endrawan lahir di Klungkung, 12 Maret 1974. Menyelesaikan studi seni rupa murni di PSSRD Universitas Udayana (sekarang ISI Denpasar) tahun 1999. Selain sebagai perupa, ia juga pengajar. Karya-karyanya menjadi finalis Indofood Art Awards 2003 dan Jakarta Art Awards 2008.
[1] Disalin dari karya Farizal Sikumbang
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Kompas” Minggu 06 Januari 2019
The post Tali Darah Ibu appeared first on Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara.
via Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara bit.ly/2TCMgvb