View allAll Photos Tagged obrolan
Pemandangan aktivitas manusia merupakan pemandangan dengan "warna" yang berbeda. Setiap manusia adalah makhluk sosial dengan aktivitasnya untuk bersosialisasi, termasuk memulai obrolan
Date taken : 26th August 2018
Bandung, West Java, Indonesia
LGBT, akronim dari lesbian, gay, biseksual, dan transgender mendadak mencuri perhatian publik dan menjadi bahan obrolan di manamana, mulai dari tayangan media, obrolan warung kopi, sampai obrolan melalui grup WhatsApp.
Topik ini semakin menyita atensi publik tatkala beredar informasi bahwa ada kucuran dana ratusan miliar rupiah dari UNDP dan USAID untuk mendukung aktivitas komunitas LGBT di beberapa negara Asia, termasukIndonesia. Hal yang tentu saja mulai mengindikasikan bahwa LGBT telah menjadi sebuah gerakan yang diorganisasi secara sistematis; organized movement. Sasarannya pun tak main-main, mahasiswa dan akademisi kampus.
Tujuannya jelas, untuk memperjuangkan hak-hak pengidap LGBT agar diakui secara sah oleh hukum sehingga dengan sendirinya bisa melakukan perkawinan sesama jenis kelamin di Indonesia. Publik pun dihadapkan pada sebuah pertanyaan besar, apakah LGBT merupakan sebuah penyakit yang berkaitan dengan penyimpangan perilaku seksual yang harus diobati?
Ataukah, merupakan perilaku seksual yang wajar dan normal di masyarakat sehingga harus diperlakukan sama dengan warga negara lainnya, termasuk bisa melaksanakan pernikahan sesama jenis?
LGBT dan Plastisitas Otak
Terdapat beragam pandangan tentang LGBT, apakah merupakan perilaku seksual menyimpang yang ditularkan melalui lingkungan, pergaulan, pengalaman, dan kebiasaan hidup?
Sehingga, lambat laun mengubah struktur otak mereka layaknya fenomena kecanduan yang sifatnya adiktif lainnya? Ataukah, merupakan gejalapsikologisorientasiseksual lain karena faktor genetik yang menyebabkan ada perbedaan struktur otak sejak lahir dengan orang lain pada umumnya yang heteroseksual? Sehingga, menjadi sebuah keniscayaan bahwa menjadi LGBT bukanlah pilihan bebas yang merdeka, melainkan merupakan kondisi bawaan yang sifatnya deterministik?
Yang oleh karena itu harus kita akomodasi hak-hak mereka sebagai manusia normal yang merdeka, termasuk diperbolehkan untuk melakukan pernikahan sesama jenis kelamin? Saya secara pribadi lebih sependapat dengan pandangan yang menyatakan bahwa ada perbedaan struktur otak antara kaum LGBT (homoseksual) dan heteroseksual diakibatkan oleh rangsangan terus-menerus terhadap otak sebagai akibat ada perubahan perilaku seksual dalam rentang waktu yang lama dan terus-menerus.
Pandangan ini diperkuat dengan ada teori tentang plastisitas otak yang menyatakan bahwa struktur otak bisa berubah melalui pengaruh kebiasaan, pengalaman, gaya hidup, dan lingkungan. Artinya, LGBT bisa ditularkan seperti penyakit menular lainnya yang sifatnya infeksius.
Candu LGBT-ers
Kita mungkin bertanya, apa kaitan LGBT dengan dopamin dan nucleus accumbens dalam otak manusia? Seperti yang telah dijelaskan, LGBT merupakan sebuah perilaku menyimpang yang sifatnya infeksius, bisa ditularkan. Sasaran penularannya tak main-main, langsung ke otak manusia yang merupakan hardware pengatur perilaku melalui candu kenikmatan atas hubungan seksual sesama jenis.
Aktivitas ini selanjutnya akan menstimulasi otak melepaskan dopamin–-yang merupakan zat pemicu kenikmatan-– di nucleus accumbens yang terdapat pada bagian otak tengah. Dalam jangka waktu yang lama, jika tidak dicegah, lambat laun akan mengakibatkan terjadi perubahan struktur otak berkaitan dengan penguatan aktivitas di nucleus accumbens . Yang perlu digarisbawahi adalah, penguatan aktivitas nucleus accumbens oleh ketergantungan seks (sex addict), persis seperti penguatan aktivitas nucleus acumbens akibat pelepasan dopamin pada kasus kecanduan obat-obatan narkotik dan kecanduan berjudi.
Sederhananya, kecanduan para kaum LGBT terhadap melakukan hubungan seksual sesama jenis sama kuatnya dengan mereka yang mengalami kecanduan obat-obatan narkotik dan judi. Kecanduanyangdidasari olehkeinginan kuat untuk mendapatkan kenikmatan yang sama.
Sialnya, otak tidak bisa memberikan respons yang berbeda antara pelepasan dopamin di nucleus accumbens yang disebabkan oleh kecanduan obatobatan narkotika, kecanduan judi berat, dan kecanduan seks. Ketiga-tiganya direspons sama oleh otak. Karena itu, pilihan bijaknya adalah memperlakukan para kaum LGBT seperti para korban pencandu narkoba dan judi.
Melawan Organized LGBT
Sudah dijelaskan di atas bahwa LGBT adalah perilaku penyimpangan seksual dan juga penyakit sosial yang menular di masyarakat, sama halnya pada kasus narkoba dan perjudian. Untukitu, demimenyelamatkan masa depan anak bangsa, penyebaran dan penularan LGBT harus kita lawan.
Termasuk melawan berdirinya komunitas LGBT sebagai sebuah gerakan resmi yang terorganisasi. Kehadiran komunitas resmi LGBT sekali lagi harus kita lawan agar tidak semakin meluas menjangkiti anak bangsa. Lantas apa perlakuan kita terhadap mereka yang merupakan pengidap LGBT? Kita harus berempati, merangkul, dan menunjukkan kasih sayang untuk menyembuhkan mereka.
Apakah melalui panti rehabilitasi persis para korban pencandu narkoba ataukah melalui alternatif penyembuhan lainnya. Prinsipnya kita harus berani berbesar hati untuk membantu mereka agar sembuh dan kembalimenjalaniaktivitaskehidupan yang normal dan sesuai dengan nilai kesusilaan serta aturan agama.
Fikri Suadu
Dosen Neuroscience dan Peneliti pada Indonesia Brain Research Center (IBRC) Surya University
www.koran-sindo.com/news.php?r=1&n=1&date=2016-02-19 heniputra.my.id/infeksi-lgbt-dan-plastisitas-otak
Sekilas obrolan saja.
CC 205 adalah lokomotive terbaru dengan tenaga baru dan semangat baru bisa sendirian menarik rangkaian KKBW sebanyak 40 gerbong...niih effective, bila menggunakan CC202 dengan rangkaian 40 gerbong so pasti harus dua lok untuk menarik...tanggung.
Bila pemesanan loko besar tersebut sudah terpenuhi jumlahnya...ndak tahu berapa, dengan sendirinya CC 201 mudah2an cepat di tarik lagi ke habitatnya di P.Jawa.
Mekaten...suwun.
2nd Day Tour in Cambodia : Angkor Wat Complex ~ Siem Reap
"Her name is Chintya, tuorist from Hongkong. She with her husband, try to take some picture together. But it seem like they didn't understand to use lighting as fill-in because that time the sun was shining bright already. And I gave tips how to photograph when against the sunlight so the foreground and the background still captured well. Then the conversation went to an idea from me to make silhouette photo like this. Then we both made Chintya as silhouette model Angkor Wat background. I think this was a great introduction and sharing."
Dia bernama Chintya, turis asal Hongkong. Dia bersama suaminya berusaha membuat beberapa foto bersama. Tapi sepertinya mereka belum mengerti menggunakan lighting sebagai fill-in karena saat itu matahari sudah bersinar terang. Dan saya memberikan beberapa tips cara memotret disaat melawan cahaya matahari agar forground dan background terlihat jelas. Lalu obrolan itu berlanjut dengan sebuah ide dari saya untuk membuat foto silhouette seperti ini. Lalu kami berdua menjadikan Chintya sebagai model silhouette dengan latar belakang Angkor Wat. Saya rasa ini adalah sebuah perkenalan dan kerjasama yang baik.
Please don't use this image on websites, blogs or other media without my explicit permission.
© All rights reserved
Saudaraku, jangan terburu-buru untuk sedih dan putus asa ketika orang tua tak kunjung paham. Mungkin memang belum sekarang Allah berikan hidayah kepada mereka. Tugas kita berbakti dan sebatas menyampaikan. Saudaraku, jangan pernah merasa bebanmu terlalu berat. Barangkali ada saudaramu yang jauh lebih berat memperoleh ujian. Keluarga yang semestinya beri dukungan tapi malah berikan permusuhan. Memang tak gampang, tapi apapun alasannya sunnah harus dipegang. Untuk saudaraku yang dikarunai keluarga yg mengenal sunnah, maka berbahagialah!. Bantulah saudaramu yang saat ini masih terseok-seok memperjuangkan sunnah dalam keluarganya. Jangan terburu-buru untuk memusuhinya bila ada syariat yang belum istiqomah ia jalankan. Berikanlah pengertian, ia butuh dukungan. . . . Terinspirasi dari obrolan ikhwah ba'da ta'im di Masjid Agung Cimahi, kemarin 3 Rajab 1437 © @happyislamcom Tags: #inspirasi #cerita #sabar #istiqomah #manhaj #salaf #salafy #ahlussunnah #ilmu #islam #quran #sunnah #bandung #cimahi #keluarga #semangat #minggu #pagi via Instagram ift.tt/1VIuwvt
Dalam sebuah obrolan, ada seorang bapak-bapak setengah abad yang bertanya pada saya.
“Mas, saya ini masih punya ibu, yang sudah sangat tua. Beliau sering sakit-sakitan. Saya sering menangis pada Alloh ketika sholat malam, saya sangat ingin berbakti kepada beliau. Ingin rasanya ikut...
Kereta tiba. Aku melangkah malas ke dalam ular besi. Mencari kursi di gerbong yang masih kosong. Langit mulai menua. Mendung menambah sepuh cuaca. Gerimis mulai berjatuhan di luar jendela. Bayangan kamu berkelebatan di dalam kaca jendela kereta yang kusam karena jarang dibersihkan.
Kereta mulai bergerak maju. Memburu ruang dan waktu yang bersekutu. Aku ajak mereka bersekutu, untuk mencari-cari kamu yang menghilang tiba-tiba karena putus asa.
Hujan menderas di luar jendela. Bayangan kamu perlahan memudar. Luntur dihajar air langit. Rumah-rumah penduduk yang bersolek dengan cahaya lampu tak lagi terlihat cantik. Suara gesekan roda kereta dan ayunan gerbong berebut dan berdesakan menggedor-gedor gendang telinga.
Ini adalah tahun ketiga aku pulang pergi saban akhir bulan naik kereta. Menemui istri yang kutitipkan dengan berbekal setia.
Tahun pertama pernikahan bagiku sulit. Apalagi akses ke rumah kamu jauh. Aku harus melewati puluhan kilometer dengan perjalanan panjang untuk menjengukmu. Tapi yang tak kuinginkan terjadi.
Setelah 36 perjumpaan singkat, malapetaka itu datang. Kamu enggan ikut aku banting tulang di ibu kota dan memilih bertahan di kampung halaman sejak ijab kabul. Kukira biasa. Awalnya. Tapi, kecurigaan itu semakin nyata. Tanpa kabar aku memutuskan pulang lebih awal. Tidak seperti jadwal bulanan.
“Kenapa tidak beri kabar jika mau pulang,” katamu sembari gelagapan ketika melihatku sudah berdiri di depan kamar.
“Kenapa?” tanyaku singkat. Mencoba menerka alasan yang keluar dari bibirmu yang jarang aku kecup.
“Karena aku putus asa,” jawabmu singkat.
Tubuhku kaku. Aku yang biasanya tidak peduli dengan ucapan orang kini seperti orang gila yang punya alamnya sendiri. Sejak itu aku putuskan untuk berpisah dunia denganmu. Beruntung belum ada malaikat kecil dalam kehidupan aneh yang kita jalani selama 1.095 hari.
***
Dua tahun sudah aku menggelandang di ibu kota. Nebeng tidur dan numpang makan di rumah kerabat. Satu ketika, ada seorang guru mengaji yang menawarkan tempat berteduh. “Setidaknya sampai kamu punya rumah,” kata dia.
Abah, begitu aku memanggilnya dan orang-orang di lingkungan rumahnya. Ia peranakan Arab Betawi. Disegani karena pandai mengaji. Abah tidak punya pesantren. Hanya langgar kecil tempatnya sehari-hari menghadiahkan ilmu yang diwarisinya dari ayahanda.
“Nak, kamu mau menikah dengan kemenakan Abah?” tanya Abah tiba-tiba di suatu sore jelang berbuka puasa Senin-Kamis. Aku tidak bisa menolak. Pernikahan pun digelar. Hanum nama kemenakan Abah. Cantik layaknya perempuan keturunan Timur Tengah. Kerudung merah yang tidak sempurna menutupi wajah tirusnya. Sayangnya belum tumbuh cinta di hatiku yang hampir mati meski ijab kabul sudah digelar.
Setelah tujuh bulan bersama, baru aku tahu jika Hanum ternyata primadona di kampung. Tak sedikit pemuda kampungnya yang berebut memiliki pesona Hanum. “Kamu beruntung bisa menikahi Hanum,” kata pengojek sepeda yang kutumpangi saat berangkat kerja.
Kukulum senyum. Ah, apa aku benar-benar beruntung, tanyaku kepada hati.
Tiga tahun aku menyulam rumah tangga. Tapi buah hati yang kunanti tidak kunjung tiba. Tak ada tanda-tanda dari Hanum. Sampai suatu ketika seorang kemenakanku berkunjung ke rumahku yang sederhana. “Paman kenapa murung?” tanya dia menerka.
“Paman ingin punya anak, punya keturunan. Tapi bibi kamu belum hamil-hamil.”
“Sabar, Paman. Mungkin belum waktunya.”
Obrolan ringan yang didengar Hanum itu ternyata berdampak besar. Sejak itu perangai Hanum berubah. Ia sering marah tak jelas.
Melayani sehari-hari seperti sekadar membuatkan kopi pun tak pernah lagi dilakukannya. Perubahan perangainya membuatku bingung. Sampai satu hari aku menemui satu lembar obat berwarna merah muda dari dalam tasnya. Ukurannya lebih kecil dari kancing baju anak sekolah. Pil KB.
Rupanya selama ini dia sengaja minum pil tersebut agar tidak hamil setiap kali berhubungan. Dan yang lebih menyakitkan, aku baru tahu ternyata dia tidak menginginkanku jadi suaminya.
Dia menudingku ingin menikah lagi. Di hadapan keluarganya dan Abah, ia memaksa aku menjatuhkan talak. Alasannya sederhana, aku ingin menikah lagi karena Hanum tidak bisa memberikan keturunan.
Batinku hendak berontak, tapi aku tahan. Kegagalan lagi-lagi berada di depan mata. Rapat keluarga itu pun berakhir ricuh. Tapi hanya Hanum saja yang ricuh. Abah tetap bijak. Ia juga baru tahu kemenakannya ternyata diam-diam sudah punya kekasih sebelum menikah denganku.
Dulu Hanum menerima pinangan Abah karena rasa segan. Tapi Hanum tidak menyangka akan dinikahkan dengan pria asing yang tidak pernah ia kenal sebelumnya.
“Semua keputusan ada di tanganmu, Nak,” ucap Abah bijak. “Putuskan yang menurutmu baik. Shalat istikharah bila perlu.”
Beberapa bulan sebelum peristiwa Malari meledak, aku putuskan untuk melepas Hanum.
***
Cinta kini bagiku hanya legenda. Seperti cerita Sangkuriang yang menendang perahu lalu menjelma menjadi gunung. Atau seperti kisah Jaka Tarub yang berhasil menikahi bidadari, setelah melakukan perbuatan tak terpuji.
Mengintip bidadari mandi di air terjun tempat pelangi mendaratkan ekornya. Mengintip gadis manusia mandi saja sudah terkutuk, apalagi dia yang mengintip lalu menyita selendang bidadari. Mahluk suci dari kahyangan. Parah sekali kelakuan Jaka Tarub itu.
Imajinasi di kepalaku menerka-nerka seberapa cantik wajah Dewi Nawang Wulan yang membuat Jaka Tarub kehilangan akal sehat. Bentuk wajahnya, mata, hidung, bibir, lalu mahkota di atas rambutnya. Terlebih bentuk tubuhnya. Mungkin lebih aduhai dari Diana Nasution, penyanyi yang sedang digandrungi pria seantero Indonesia.
Ku susun baik-baik sketsa wajah Dewi Nawang Wulan yang kata orang-orang amat sangat teramat cantik. Ketika goresan sketsa itu hampir rampung, bahuku tersenggol secara tak sengaja. Lamunanku buyar. Aku saat itu duduk di pinggir bangku kereta menuju Jakarta. Tidak dekat jendela. Dan yang menyenggol bahuku tersenyum.
“Maaf,” katanya singkat. “Bangku aku di sini. Boleh aku duduk di dekat jendela.”
Detik itu aku seperti tahu bagaimana rasanya Malin Kundang menjadi batu saat dikutuk ibunya. Kaku. Sketsa dalam kepalaku kini berbicara. Sketsa bidadari yang kugambar dalam imajinasi kini hidup dan berdiri anggun di hadapanku. Sketsa Dewi Nawang Wulan. Bidadari itu bukan di kahyangan, tapi di dalam kereta.
“Silakan,” kataku sembari berdiri memberi ruang untuknya.
Kursi kereta yang kutumpangi kali ini seperti menjelma menjadi tumpukan bebatuan. Di ujung kanan dan kiri berbagai jenis pepohonan rimbun bergelantungan. Sementara di ujung lintasan mataku ada seorang bidadari yang sedang asyik duduk bermain di bawah guyuran air terjun. Dia sendirian, tidak ditemani enam saudaranya yang lain.
Ternyata begini sensasi jadi Jaka Tarub. Diam-diam menikmati kecantikan Dewi Nawang Wulan yang mungkin saat masih cetak biru di surga saja sudah cantik. Teramat cantik. Rasanya menyesal pernah mengutuki Jaka Tarub, pemuda dalam legenda yang aku cap berengsek karena mengintip bidadari mandi.
Kini aku seolah menjadi Jaka Tarub. Aku menjadi pengintip. Ekor mataku berkali-kali menoleh ke wajah gadis yang duduk anggun memakai gaun putih berkerah dengan salur garis hitam tipis. Kulitnya putih. Wajahnya membulat. Pipinya gembil. Hidungnya mungil, dan ia membiarkan rambut sebahu terurai. Bibir tipisnya terus mengatup. Hingga aku memberanikan diri memulai pembicaraan.
“Kenalkan, aku Nursi,” kataku dengan gesture percaya diri sembari menyodorkan tangan.
Dia menoleh. Gerakan kepalanya yang perlahan semakin membuatnya kian gemulai. Wajahnya kaku tanpa senyum. Tapi ia tetap cantik.
Mati aku. Dia tidak membalas uluran tanganku, batinku berbisik.
Tiga detik yang mematikan itu berubah, saat otot bibirnya tertarik hingga membuat pipi gembilnya semakin kenyal. Sepertinya. “Sarah,” ujar dia sembari mengulurkan tangan.
Pembicaraan pun mengalir. Tak hanya wajahnya yang teduh, sikapnya juga ramah. Kami berbicara banyak. Dari pembicaraan itu mencerminkan kecerdasan pikirannya. Cantik, ramah, cerdas. Aku jadi membayangkan Dewi Nawang Wulan yang saban hari menemani Jaka Tarub.
Empat setengah jam perjalanan di dalam kereta kami lahap dengan perbincangan tanpa jeda. Hingga kereta bergebong tua memasuki stasiun legenda, Jatinegara.
“Boleh aku tahu alamat rumahmu?” kususun kalimat tanya itu hati-hati. Perlahan-lahan, agar jangan sampai permintaan gilaku tertolak mentah-mentah.
“Jatinegara, dekat Pasar Mester,” ucap Sarah sembari mencoretkan alamat lengkap di selembar kertas bekas dan memberikannya kepadaku. Kuraih dan kusimpan di kantong jaket.
“Kamu dijemput siapa?” tanyaku ketika kami berdiri di dekat pintu keluar stasiun.
Sarah tidak menjawab dengan kata-kata. Telunjuknya menunjuk seseorang berpakaian militer. Perwira menengah sepertinya.
“Mas,” teriaknya sembari melambaikan tangan. Sebelum pergi, Sarah pamit ke padaku. Kami bersalaman, lalu ia melayang ringan seperti angin musim semi.
Aku kembali menjadi Malin Kundang. Mematung. Di ujung sana kulihat Sarah memeluk pria itu. Sarah mencium tangannya. Takzim. Tak hanya sekali, tapi dua kali. Punggung tangan lalu telapaknya. Pria itu kemudian menghujani pipi Sarah dengan ciuman. Tanpa malu di depan banyak orang. Harapanku hilang sudah. Pupus. Kisah Jaka Tarub memang hanya legenda.
***
Satu pekan sudah aku berpisah dengan Dewi Nawang Wulan yang turun dari kereta. Bau harum minyak wanginya masih tersisa di ujung hidungku. Aku berkencan dengan ingatan. Setangkup rindu merambat pelan merambat ke dalam dada. Setidaknya matahari lebih paham cara berpamitan. Membiarkan pengagumnya menikmati keindahannya perlahan-lahan di batas perpisahan. Ah mengapa aku ini. Aku jatuh cinta kepada perempuan yang hanya kutemui empat setengah jam di atas kereta. Gilanya perempuan itu memiliki pasangan. Entah kekasih, atau mungkin suami.
Adakah pekerjaan yang paling puitis selain berlari mengejar-ngejar rindu? Jawabnya ada, yaitu mengingat lesung pipi saat Sarah tersenyum. Aku raba kantong jaket katun biru dongker yang selalu kupakai ketika berpergian. Jemari tanganku menemukan sesuatu. Selembar kertas bekas. Kubuka, lalu untaian huruf-huruf membentuk sebuah kata yang bersalin menjadi kalimat, lalu menjelma menjadi alamat. Alamat rumah. Rumah Sarah.
Kini aku kembali merasakan girangnya menjadi Jaka Tarub. Kertas itu bagaikan selendang Dewi Nawang Wulan yang disimpan Jaka Tarub diam-diam. Kertas itu bagai minyak kesturi yang disuntikkan ke dalam lampu minyak yang nyala apinya hampir padam. Api harapan.
Batinku berperang. Tetap simpan alamat itu, atau buang ke dalam Sungai Ciliwung yang kini ada di hadapannya. Sarah sudah berpasangan. Tapi tak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Kemungkinan selalu ada, meski sangat kecil peluangnya. Aku harus memastikan siapa pria itu.
Nekat, kupacu sepeda kumbang pinjaman dari kakakku. Alamat yang ditulis Sarah tidak jauh dari tempat aku kini berdiri. Hari Ahad. Semoga Sarah ada di rumah, gumamku sembari berharap.
Sepeda kumbang merek Gazelle itu kukayuh perlahan. Pasar Mester terlewati. Aku hafal betul jalan itu karena saban hari aku melewati untuk pergi ke kantor. Setelah perempatan jalan, aku belokkan sepeda ke kanan. Lalu gang ketiga atau keempat setelah perempatan itu adalah gang rumah Sarah. Aku menerka-nerka. Akhirnya ketemu.
Kereta angin buatan Belanda aku parkir di depan rumah Sarah. Rumah sederhana. Pagar besi beralur tombak, kokoh membentengi rumah dengan atap asbes. Jam tangan otomatis merek Titus di pergelanganku berhenti di angka empat. Sudah sore. Tapi belum terlalu petang untuk bertamu, pikirku.
“Assalamualaikum… Permisi,” kataku di depan pintu pagar. Kuulangi sampai dua kali. Seperkian menit kemudian, pria bertubuh tegap keluar dari dalam rumah yang pintunya tidak tertutup. Pria dengan wajah yang sama saat menjemput Sarah di Stasiun Jatinegara. Gagah, layaknya tubuh tentara. Wajahnya seperti aktor Abdul Hamid Arief.
“Mau cari siapa, Mas?” suara baritonnya membuat lamunanku buyar. Pria itu berjalan mendekat ke pagar. Kini kami berdiri berhadapan dan hanya dibatasi pintu besi.
“Oh maaf, Pak. Saya Nursi. Saya mencari Sarah. Boleh saya bertemu?” tanya saya dengan hati-hati. Sedikit terbata.
Raut wajah pria itu berubah. Ia kaget. Sudah barang tentu. Itu semua terlihat dari alis matanya yang naik dan kulit keningnya yang mengkerut. Mungkin ia berpikir, siapa laki-laki yang nekat dan berani-beraninya mendatangi istri seorang tentara ke rumah. Tapi ia membukakan pintu pagar yang ternyata tidak terkunci. Aku dipersilakan masuk.
“Temannya Sarah? Silakan masuk. Saya Yatmo,” kata dia sembari menjabat tanganku. Genggamannya keras.
Baru tiga langkah aku menginjak pekarangan rumah itu, dua anak kecil yang kutaksir berusia enam dan sembilan tahun menghampiri pria itu. “Panggil ibu kalian, suruh buatkan minum. Ada tamu,” katanya. Perintah pria itu membuat dadaku berdekup. Mati aku.
Dua anak kecil itu menggeret tangan seorang perempuan dari dalam ruang tengah. Sarah keluar dari dalam ruangan yang tersekat lemari pajangan berbahan kayu. Sarah sore itu memakai blus warna biru di bawah lutut. Ayu. Wajahnya beringsut terkejut saat mengetahui siapa tamu yang datang. Tapi tak lama ia tersenyum.
“Kamu. Nur..Nursi.”
Bersamaan dengan itu, seseorang di belakang Sarah yang membawa dua buang cangkir putih susu di atas nampan datang dengan tersenyum.
Penulis adalah wartawan Republika. Bisa dihubungi lewat akun Instagram: @kartaraharjaucu.
[1] Disalin dari karya Karta Raharja Ucu
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Republika” edisi Minggu 17 Maret 2019
The post Nawang Wulan dalam Pelukan appeared first on Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara.
via Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara bit.ly/2JuvUEJ
Dekade 90-an tenggelam dan dasawarsa selanjutnya naik ke permukaan. Perkembangan teknologi bergerak perlahan, kemudian semakin cepat. Penemuan baru hampir tiap tahun hadir di sisi kehidupan, tidak seperti sebelumnya yang membutuhkan waktu lebih lama. Kertas bertintakan kabar-kabar berbalas mulai tak menemukan ruang di masa ini. Bentuk perhatian seakan menyesuaikan perubahan zaman.
Di pinggir jalan raya, telepon umum memang masih terjamah pelanggan setianya. Akan tetapi, sentuhan teknologi memermak perangkat telepon menjadi lebih mungil, serta-merta nyaman dalam genggaman dan dapat terselip di saku celana. Jarak bisa dipangkas entah dari mana saja. Segenap manusia berhak memiliki, tak terkecuali Aida.
Kebutuhan tengah mengembang dalam kehidupan Aida. Tatkala ia harus menerima atau memberi kabar sesegera mungkin. Itulah sebabnya ia harus sering mampir ke sebuah penyedia layanan pulsa elektrik untuk memenuhi syarat sebagai pelaku informasi melalui ponselnya. Tanpa ia terka, Tuhan menyediakan ruang pertemuan tanpa hiasan janji-janji sebelumnya. Bahkan, perkiraan terlalu jauh dari pikiran mereka.
“Halo, apa kabar?” Sapaan seorang lelaki yang baru saja datang dan mendahului pembicaraan pada siang itu. Ia menyeret satu kursi duduk lalu meletakkannya di sebelah Aida.
Aida mengangkat kepala yang sebelumnya tertuju pada layar mini seluler, memastikan saldo pulsa sudah terisi. “Hai Fahrie, kabarku baik, kau sendiri bagaimana?” jawab Aida semringah sembari memperhatikan raut wajah Fahrie.
Mereka sudah lama tak mengadu tatapan sejak lulus dari sekolah menengah. Memang tak ada yang berubah dari paras Fahrie, hanya panjang kakinya yang telah melebihi dirinya.
“Kalau kau baik, berarti aku juga baiklah hahaha. Kau sudah lulus kuliah?” jawab Fahrie diselingi tawa. Fahrie sempat menanyakan perihal Aida kepada seorang teman.
Jadi, meskipun baru dipertemukan, ia bisa memapah pembicaraan ke arah mana saja dengan bekal keterangan yang telah ia himpun.
Saat pertemuan dengan Fahrie di usianya yang menginjak dua puluh tiga ini, Aida telah lulus dari dunia perkuliahan dan tak lama menganggur. Ia berkesempatan mengajar di sekolah swasta bernuansa religius. Setiap hari ia bertemu dengan anak-anak yang menggemaskan.
Mereka pun hanyut menikmati tanya jawab yang terlempar kepada satu sama lain. Selayaknya teman sejawat melepas rindu, yang juga mengenang masa lalu. Semua perihal yang telah berlalu terasa lucu untuk diingat, sekalipun menyakitkan di masa itu. Sekelumit canda yang merebak di antara mereka, mengundang tawa terbahak-bahak. Setelah waktu lampau sudah memuaskan, pokok bahasan mulai mengacu pada kenyataan, masa kini.
“Tak terasa ya, kita telah berada di usia sekarang. Aku yakin beberapa teman kita sudah menikah. Lalu, apa kau akan segera menikah dalam waktu dekat?” kata Fahrie diiringi berbagai dugaannya.
“Doakan untuk segera. Sekarang belum ada calonnya hehe. Kau mau mendahuluiku?” balas Aida terkekeh berlanjut mengintimidasi.
“Haha aku pun belum punya pasangan untuk diajak ke sana. Bukannya teman dekatmu se-abreg ya, apa tak ada yang memenuhi kriteriamu?” kata Fahrie mengelak yang diteruskan tanya yang menggoda.
Masih terukir jelas dalam kepala Fahrie, bahwasanya Aida merupakan dambaan setiap lelaki di masa sekolah menengah. Tak heran jika beberapa di antaranya pernah mengisi harinya. Hal itu juga berlaku ketika berada di lingkungan tempat tinggalnya. ‘Kembang Desa’ bahkan patut disematkan dalam julukannya. Barang kali ia masih menyandang nama itu hingga saat ini, pikir Fahrie.
“Belum ada yang berani serius. Kau sebagai lelaki bisa santailah, tak dikoyak oleh usia. Kalau wanita sudah masuk usia dua puluh lima dan belum ada calonnya bisa ketar-ketir,” jawab Aida yang mulai memakai sudut pandang gendernya.
“Bukannya takdir itu masing-masing? Jadi, ya kita tak perlu menyesuaikan waktu kita untuk sama dengan waktu mereka,” sahut Fahrie beserta pendapatnya mengemuka.
Perdebatan kecil menyeruap di sela pembicaraan mereka berdua. Mulai dari kehidupan secara garis besar, hingga mengerucut pada perihal waktu yang ideal untuk menikah. Pelanggan di warung elektrik itu silih berganti datang dan pergi, tetapi hanya sedikit memengaruhi keintiman mereka.
Berselang kesempatan, Fahrie mengambil papan kayu pengapit kertas yang tergeletak di meja pesanan. Kertas berisi puluhan nomor pelanggan itu disingkirkan, kemudian Fahrie menggoresnya dengan pulpen di cengkeraman jemarinya. Sembari menerangkan gagasan yang terlintas di pikirannya dengan cakap, sesekali Fahrie meminta Aida untuk menengok ke papan agar keduanya mencapai kesepahaman.
Aida memang sering kali menggunakan papan bor untuk memperjelas penyampaiannya kepada murid kesayangan. Namun, kali ini Aida harus bertukar posisi, ia bukan sebagai guru ketika berada di tengah penjelasan Fahrie.
“Kalau misalnya seperti ini, bagaimana?” tanya Fahrie meminta pendapat.
Senyuman bergurat dari wajah Aida karena tak mampu menahannya. Ia meringis gemas melihat Fahrie yang sok imajinatif mengubah papan kayu seolah menjadi surat perjanjian. Meskipun, dua kali anggukan kepala Aida ialah gestur yang menyiratkan persetujuan di antara mereka.
Sore kala terasa terik, benda-benda bersama bayangannya di sebelah timur tampak kala ditembak sinar surya. Tak terasa obrolan bisa berlangsung selama hitungan jam. Mereka pulang setelah pembicaraan santai cukup untuk mengisi waktu senggang di hari itu. Entah bagaimana pun juga, inti dari percakapan tadi hanyalah gurauan pengusik penat masing-masing.
***
Waktu berjalan lekas, cepat menggilas dua tahun berlalu. Tak ada perubahan mendalam pada masa ini selain anak band yang mulai mendominasi blantika musik Tanah Air. Mereka kerap memenuhi layar kaca stasiun televisi lokal di waktu tertentu. Kaset pita mulai tergantikan dengan piringan. Karya musisi beredar dan bisa ditemukan di titik keramaian dengan status bajakan.
Pagi hingga siang Aida mengajar. Malam hari merupakan sela waktu baginya untuk membaca bermacam jenis buku, seraya mendengar lagu kesukaannya. Ia berusaha memperdalam ilmu demi menjadi guru yang baik. Kesibukan lainnya tak lain ialah mengoreksi tugas murid-muridnya, memberi nilai yang sesuai serta menyiapkan materi keesokan harinya.
Sudah dua kali ia menyaksikan anak didiknya lulus melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah. Bangga sekaligus sedih dirasakan saat melepas mereka, menyisakan kenangan indah yang telah melekat dalam ingatan. Ia harus terbiasa. Momentum seperti itu akan terus terulang dalam kurun waktu pengabdiannya sebagai pendidik.
Beberapa kali ragam pertanyaan seputar pernikahan atau sejenisnya dilayangkan kepada Aida. Sebanyak itu pula permintaan doa ia sematkan di akhir kalimat sebagai jawaban. Bukan berarti tak ada ikhtiar, seorang pria dari perantara bahkan pernah mengisi hatinya dalam dua tahun ini. Namun, kecocokan tak sekadar memiliki hobi yang sama atau kemampuan finansial. Menurutnya, menjalin hubungan suci pun tak lepas dari lika-liku meskipun cinta telah menjadi landasannya. Dan, Tuhan belum membiarkan Aida bersua dengan takdirnya, mungkin di lain hari nantinya.
***
Dua kalender sudah ditanggalkan. Fahrie menjelma seorang pekerja yang tidak bisa jauh dari sepeda motor. Ia tidak mendiami satu tempat seharian, tetapi berpindah-pindah untuk meliput beragam kejadian. Tatkala jam istirahat pun ditinggalkan kala panggilan telepon menghendakinya untuk pergi. Dalam sehari, ia harus mengirimkan beberapa tulisan untuk melengkapi konten media cetak yang terbit harian. Ia sangat menikmati kehidupannya yang selalu dikejar tenggat waktu.
Pekerjaan Fahrie memungkinkan ia untuk bertemu dengan orang-orang baru dalam hidupnya. Penggalian informasi dilakukan kepada narasumber dengan berbagai macam karakter. Tak jarang jika Fahrie mendapatkan perlakuan atau sekadar perkataan yang kurang berkenan di hati. Untungnya ia sudah kebal. Hanya kebaikan yang akan diingat olehnya. Namun, ia masih belum sempat memikirkan cinta.
Empat jam menuju pergantian hari, pertanda bagi Fahrie untuk bergegas pulang dari kantor. Waktu itu ia sedang bebas. Pekerjaan sudah terselesaikan dan tak ada kencan dengan teman seperti biasanya. Namun, ia harus mampir mengisi saldo pulsa untuk selulernya. Semenjak menjadi pekerja, ia lebih sering menggunakan telepon layaknya suatu kebutuhan bagi dirinya.
Sesampai di tempat yang ia tuju dan memastikan sepeda motornya tertata semestinya, Fahrie memperhatikan perempuan dengan penutup mulut dan pria yang duduk di sebelahnya. Tak butuh waktu lama untuk menerka, dari lilitan kain jilbab yang khas dikenakan, ia pun mengetahui siapa pemilik wajah di balik masker itu.
“Hai Aida, selamat malam untukmu,” kata sapa Fahrie menghampiri dan masih berdiri.
Perubahan tak luput dari bangunan tempat ini. Warna cat semakin memerah disertai model iklan yang melekat pada satu sebelah dinding. Sejumlah kursi berjajar di depan meja kaca tembus pandang. Tersisa satu dua pelanggan pada jam-jam malam, berbeda dengan beberapa waktu sebelumnya. Penyedia layanan serupa kian merajalela, dapat ditemui dalam setiap kilometer jalan raya. Itu sebabnya tempat ini tak seramai dahulu kala.
“Iya selamat malam juga. Kok kamu bisa tau kalau aku?” kata Aida heran yang sedang tak menampakkan seluruh parasnya.
“Iyalah, sorot matamu hanya satu-satunya di dunia ini,” bual Fahrie menggombal.
“Dan, selamat malam untuk Mas tampan ini. Calonnya Aida ya pasti?” lanjut Fahrie yang hendak menjalin perkenalan dengan lelaki di samping Aida.
“Waduh.. bukan Mas, saya ke sini beli pulsa aja dan tidak saling kenal dengan Mbak ini,” sambut lelaki menerangkan yang sesungguhnya.
Seorang lelaki yang duduk di sebelah Aida hanyalah pelanggan di lapak pengisian pulsa elektrik itu. Setiap orang memungkinkan untuk dipertemukan pada waktu yang sama di tempat itu. Aida mematung, mendapati sikap Fahrie yang tak berubah selama mereka tak bersemuka. Prasangka, praduga, segala perkiraan tetap liar dalam dirinya. Kendati Aida terkadang menganggapnya sebagai ulah jenaka yang memicu gelak tawa.
Seusai transaksi menuai keberhasilan, lelaki yang tak sesuai persangkaan Fahrie ini pun beranjak pamit dan pergi entah ke mana. Kursi kosong yang ditinggalkan segera diisi oleh Fahrie. Perbincangan perihal kabar tak terelakkan sembari mereka memenuhi keperluannya masing-masing.
“Lalu, bagaimana tentang asmaramu?” celetuk Fahrie yang sudah mulai menjurus.
“Belum dipertemukan dengan yang semestinya. Doakan untuk segera. Kau sendiri?” sahut Aida menyelipkan permintaan doa.
“Hahaha bahkan aku tak sempat memikirkan hal itu,” jawab Fahrie berleha-leha.
Sambil berceloteh, Fahrie tersadar jika kemungkinan sebuah papan kayu pengapit kertas berada dalam cengkeramannya sedari tadi. Kala menemukan jeda di sela pembicaraan, Fahrie pun membalikkan kertasnya dan mengeja setiap kalimat dilengkapi bagan penjelasnya di papan kayu yang tak lagi mulus. Meskipun demikian, tinta masih membekas samar dan bisa diterjemahkan oleh Fahrie. Ia pun memperlihatkannya kepada Aida.
“Jika di usia dua puluh lima masing-masing dari kita belum menemukan pasangan, maka kita akan bersama. Dengan catatan, perjanjian ini dibatalkan jika salah satu dari kita telah menikah sebelum menginjak usia yang telah disebutkan.”
Sebuah paragraf tersebut tak sukar untuk diingat oleh Aida. Janji yang tercetus dari gagasan absurd Fahrie dua tahun terlampau. Aida pun tak mengasa jika pada akhirnya papan kayu itu menjadi awal ke terikatan dirinya terhadap Fahrie dalam jalinan yang serius. Tuhan mempersatukan mereka di luar sudut dugaan Aida, beriringan dengan cinta yang mulai bersemi di hatinya.
***
Kamar di rumah kontrakan berukuran 4 X 3 meter lengang ketika langit hitam membungkus hari. Sudah sebulan mereka menjalani hubungan layaknya suami istri, menikmati perduaan di ranjang yang sama. Namun, cinta bukan pangkal ikatan, melainkan sebuah janji.
Fahrie terbiasa mengajukan pertanyaan kepada seseorang dalam pekerjaannya, tetapi tidak untuk perihal isi hati Aida, ia masih menyimpannya rapat-rapat. Ia hanya berharap Tuhan menaburkan benih cinta dalam hati mereka.
Pada suatu malam mereka terenyak dalam lamunan masing-masing, sebelum menutup mata dengan doa. Baru saja terpejam, suara khas membangunkan Fahrie sebaliknya Aida sudah terlelap. Sumber bunyi itu berasal dari ponsel yang tergeletak tak jauh dari ranjang mereka. Fahrie menghampiri untuk memungutnya dan membuka pesan dari nomor tak bernama, serta-merta mengeja teks yang tertulis pada layar kecil itu “Selamat malam, mimpi indah Aida!”
Berjarak beberapa spasi, tertera nama seseorang. Seingat Fahrie, nama itu ialah salah satu mantan kekasih Aida semasa sekolah menengah. Fahrie pun terdiam memaknai nyeri yang sekejap hinggap di dadanya. Tak lama berselang ia telah mengartikannya, cinta mulai tumbuh menjulang dan mengarah pada teman sekamarnya ini. ■
Muhammad Nur Iskandar. Penulis aktif menghasilkan cerita pendek dan puisi. Karyanya dimuat di sejumlah media massa.
[1] Disalin dari karya Muhammad Nur Iskandar
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Republika” edisi Minggu 09 Desember 2018
The post Arti Sesak di Dada Fahrie appeared first on Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara.
via Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara bit.ly/2PAyG9h
Seharusnya Sabtu pagi itu menjadi hari yang cerah dan tenang bagi Helene. Pukul sembilan ia akan membuka toko dan menata karangan-karangan bunga sesuai rangkaian ciamik hasil kreasi tangannya.
Lalu, ia akan membikin segelas teh lemon yang ditambahi sedikit gula – entah mengapa ia paling tidak bisa menghabiskan teh tawar sejak kecil – meletakkannya di salah satu meja di dalam toko. Tak perlu ada tambahan biskuit atau kudapan ringan untuk menemani ritual minum teh paginya. Ia tak ingin tubuhnya menjadi gembrot. Meski tak mungkin lagi jatuh cinta dan atau bercinta, Helene tetap ingin menjaga tubuhnya tetap ramping.
Namun, dering telepon pagi itu membuyarkan segala rutinitas akhir pekan yang cerah dan menyenangkan. Seseorang di seberang sana memesan karangan bunga untuk kematian. Gangguan semacam ini tak pernah menjadi masalah bagi Helene karena untuk itulah ia membuka toko bunganya; menyediakan bunga baik untuk kegembiraan seperti pernikahan, pesta ulang tahun, lamaran, dan juga untuk berita duka seperti barusan.
“Baik, satu karangan bunga untuk…” Helene mencatat setiap pesanan dengan teliti. Ia membacakannya sekali lagi untuk memastikan. Ada perasaan aneh saat ia menyebut, “Tulip dan white acacia untuk hand bouquet.”
“Itulah satu-satunya pesan yang aneh yang diminta oleh mendiang suamiku,” suara di seberang menjelaskan, seolah-olah bisa merasakan ketidakmengertian Helene.
“Oh ya, baiklah,” jawab Helene. Ia tak pernah menolak setiap jenis dan rangkaian bunga apa pun yang diminta pelanggannya. Pelanggan adalah raja, ya kaan…?!
Namun, keanehan kali ini bukanlah tentang hand bouquet untuk seseorang yang sudah mati. Tapi, lebih pada jenis bunga yang dipilih; tulip dan white acacia. Mantan suami Helene yang telah bercerai dengannya belasan tahun yang lalu sangat menyukai jenis bunga tersebut.
Helene memeriksa nama dan alamat tujuan. Namanya persis seperti nama mantan suaminya. Ah, paling hanya kebetulan, perempuan paruh baya itu mencoba berpikiran positif dan tak ambil pusing. Ia segera menyiapkan pesanan dibantu salah seorang pegawainya. Saat karangan bunga sudah jadi, ia memutuskan untuk mengantarnya langsung ke alamat. Tak menggunakan jasa antar yang telah menjadi langganan mereka seperti biasanya.
“Hanya karangan bunga kecil,” katanya beralasan. “Aku juga ingin berkeliling sambil melemaskan kaki. Kau jaga toko baik-baik, ya.”
Pegawai toko bunga milik Helene mengangguk dan segera masuk kembali.
Helene mengantarkan karangan bunga ke alamat pemesan. Selepas berpisah dengan mantan suaminya, P-J, ia tak lagi mengikuti kabar laki-laki itu. Sempat ia diberi tahu oleh seorang kawan bahwa laki-laki itu menikah lagi. Tapi, menikah dengan siapa, kemudian tinggal di mana, dan apakah akhirnya laki-laki itu mau punya anak atau tidak, Helene tak peduli dan tak mau tahu.
***
Tiba di alamat tujuan, Helene segera menurunkan rangkaian bunga dan menatanya sesuai dengan petunjuk Maria, seorang istri yang sedang berduka. Perempuan itu mengenakan gaun berwarna hitam dengan kalung mutiara – entah asli atau sekadar tiruan – sederhana. Tampangnya terlihat sedih, matanya sembab bekas menangis.
“Anda membawakan hand bouquet tulip dan white acacia itu?” tanya Maria.
Helene menyerahkan bungkusan kertas cokelat berisi rangkaian bunga pesanan. Maria menerimanya sembari menghela napas. “Pilihan yang aneh, bukan? Lagian, untuk apa, sih, kau sudah mati tapi masih menenteng-nenteng buket bunga meski cuma diletakkan di dalam peti?”
Helene tak menjawab. Ia hanya mengamati Maria yang melangkah pelan-pelan ke arah peti. Maria terlihat begitu muda dan rapuh. Bibirnya mungil dan berwarna merah muda. Kulitnya putih pucat agak kemerahan.
Sosok laki-laki itu terbaring tenang di dalam peti. Seperti sedang tertidur pulas dengan kedua telapak tangan diletakkan tepat di tengah. Helene melongok. Meski sudah banyak berubah ia masih bisa mengenali; ya, itu P-J, mantan suaminya.
Maria menghenyakkan buket bunga ke dalam peti begitu saja. Tatapannya letih dan setengah jengkel. “Akhirnya mati juga. Dasar laki-laki bangkotan.”
Helene menoleh saat jemari Maria menyentuh lengannya. “Kau masih tampak cantik, Ma’am. Dan, aku juga mengerti kenapa akhirnya kau memilih berpisah dengan….” perempuan yang sedang dalam pakaian berduka itu menunjuk ke dalam peti menggunakan dagu, “Mantan suamimu.”
Helene memerhatikan lagi paras pucat nan dingin yang sedang terbaring di dalam peti. Laki-laki yang kerap berkata dan berperilaku kasar. Dan, tak pernah menganggap memiliki anak dalam sebuah perkawinan adalah ide yang menarik. Helene merasa pernikahannya sudah tak sehat manakala mereka kerap cekcok. Pertamanya, mereka bertengkar mengenai prinsip hidup yang tak lagi sepaham. Berikutnya, mereka bertengkar mengenai hal-hal sepele yang sebenarnya tak patut untuk dijadikan sumber masalah.
Maria menyentuh lengan Helene sekali lagi. Tatapannya seperti tertarik, namun hanya sekejap. Ia segera berlalu untuk menyambut tamu-tamu yang berdatangan. Helene mengamati sosok PJ yang terbujur kaku sekali lagi sebelum kemudian pamit.
***
Seharusnya Selasa pagi itu menjadi hari yang cerah dan tenang bagi Helene. Pukul sembilan ia akan membuka toko dan menata karangan-karangan bunga dengan rangkaian ciamik hasil kreasi tangannya. Lalu, ia akan membikin secangkir teh lemon yang ditambahi sedikit gula – entah mengapa ia paling tidak bisa menghabiskan teh tawar sejak masih kecil. Tak perlu ada tambahan biskuit atau kudapan ringan sebagai teman minum teh. Helene tak suka lingkar pinggangnya bertambah sekian inci.
Bel di pintu berkelinting ketika Helene baru saja meletakkan nampan teh hangat untuk ia nikmati sendiri. Pegawai yang bekerja di toko segera menyambut dan menanyakan keperluan pelanggan yang baru datang.
“Aku ingin bertemu bu Helene. Apa ia ada?”
Helene mengenali suara Maria. Senyum Maria segera mengembang ketika melihat si pemilik toko ternyata berada di ruang yang sama. Perempuan itu semestinya masih dalam masa berduka tapi ia mengenakan pakaian warna cerah.
Helene menyilakan Maria duduk dan ngeteh bersama. Pelayan toko mengambilkan satu cangkir kosong. Maria lebih senang teh tawar. Ia menyeruput perlahan, tampak begitu menikmati tehnya.
“P-J benar-benar laki-laki kasar, ya,” katanya saat meletakkan cangkir tehnya.
Helene tak kaget dengan kenyataan bahwa mantan suaminya adalah laki-laki tak berperilaku halus. Ia hanya kaget dengan kehadiran Maria dan kalimat pembuka obrolan mereka.
“Ia tak pernah setuju kami punya anak.” Maria memain-mainkan cangkir tehnya. “Saat aku berkeras ingin punya anak, ia menyebut nama Anda dan mengatakan banyak hal yang buruk.”
“Oh,” tanggap Helene pendek. Ia sudah tak ada perasaan dan takkan ambil pusing dengan segala perkataan mendiang P-J.
“Aku penasaran dengan Anda. Aku mencari tahu dan senang mendapati bahwa Anda juga menyukai bunga – bahkan punya toko bunga,” kata Maria. “Aku jadi menyangsikan perkataan P-J tentang Anda yang katanya perempuan berhati keras dan dingin. Seseorang yang menyukai bunga tentunya berhati lembut, kan?”
Helene hanya mengangkat bahu. Ia tak mengiyakan atau menolak karena bibirnya sedang sibuk menyeruput minuman.
“Aku sering mengamati Anda. Aku juga sering membayangkan betapa harum tubuh Anda, Ma’am Helene. Harum wewangian bunga-bungaan. Aku penasaran bagaimana rasanya tidur dalam pelukan Anda.” Maria menghela napas. “P-J tak lagi tidur memelukku sejak aku berkeras ingin punya anak darinya.”
“Ia memang tak pernah menyukai ide tentang memiliki anak,” kata Helene.
“Sejak melihatmu kupikir ide memiliki anak itu tak lagi penting.” Maria mengikih malu. “Suatu malam P-J tersedak makanannya. Aku membiarkannya selama beberapa saat. Ia jatuh pingsan dan barulah aku menghubungi dokter keluarga kami. Nyawa P-J tak bisa diselamatkan. Aku berpura-pura menangis begitu sedih. Keesokan pagi, aku menghubungi Anda. Kupesan karangan bunga kematian dan hand bouquet berisi jenis kembang yang aneh.”
Maria mencondongkan tubuhnya mendekat ke arah Helene.
“Aku hanya berbekal googling saat mencari nama bunga itu; tulip dan white acacia. Semua kulakukan supaya aku bisa bertemu dan bertegur sapa dengan Anda, Ma’am.” Wajah Maria memerah.
Helene tak yakin P-J tak pernah menyebut jenis bunga kesukaannya pada Maria. Apa yang diceritakan Maria barusan mengindikasikan dua hal; gadis itu berbohong atau hanya sedang mengarang-ngarang untuk diceritakan saat bertandang ke toko bunga dan bertemu dengan pemiliknya.
Maria kembali tersenyum malu. “Kuberanikan diri datang ke mari. Anda benar-benar cantik.”
Helene merasakan wajahnya menghangat. Ia ingin bangkit untuk mengaca dan memeriksa apakah wajahnya menjadi kemerahan – tapi ia menahan diri.
“Aku penasaran….,” sorot mata Maria berubah. “Apakah Anda… juga… terasa wangi… saat ku… cium….”
Helene diam sejenak sebelum kemudian ia tertawa. Maria menatap bingung.
“Wangi bukan rasa, Sayang. Wangi adalah aroma,” jelas Helene.
Gadis muda berambut merah keriting itu menyadari kesalahannya. Ia mengikih malu. “Maaf. Beginilah kalau seorang janda yang masih dalam masa berkabung malah keluyuran.” Ia kemudian berpamitan.
“Terima kasih atas waktunya, Ma’am. Kuharap kau tak keberatan bila aku mampir lagi kapan-kapan.”
Helene tersenyum. Ia bangkit hendak mengantar Maria ke pintu. “Mampirlah kapan pun kau mau.”
Maria yang sudah berdiri tiba-tiba berbalik. Kedua tangannya merengkuh bahu Helene. Bibirnya yang merah muda dan kenyal mengecup bibir Helene. Mereka berciuman, lidah mereka bersentuhan, begitu ringan, begitu tanpa paksaan.
Maria menarik kepalanya ke belakang dengan lembut. “Anda terasa manis, Ma’am. Ada sedikit kecut… Anda mencampur lemon dalam teh Anda, ya kan? Aku suka.”
Wajah Helene kembali meruap hangat.
Maria kembali berpamitan. “Au revoir.”
Bel di pintu toko berkelinting. “Au revoir,” balas Helene lirih. Jari tangannya menelusuri bibirnya, merasakan kembali betapa lembut ciuman Maria di sana.
Desi Puspitasari, kini tinggal di Yogyakarta. Sebagai cerpenis, cerpen-cerpennya telah dipublikasikan oleh beberapa media lokal dan nasional. Sementara sebagai novelis, lebih dari 10 buku karyanya telah diterbitkan. Tiga tahun terakhir, karya tulisnya juga merambah ke naskah-lakon, di antaranya adalah “Toilet Blues” (2018), “Sekar Murka” (2017), dan “Menjaring Malaikat” (2016) yang merupakan adaptasi dari cerpen karya Danarto; “Mereka Toh Tidak Mungkin Menjaring Malaikat”.
Edi Sunaryo, pelukis dan pegrafis tinggal di Yogyakarta. Dosen Seni Murni di Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta dan Pascasarjana ISI Surakarta. Sangat giat mengikuti berbagai pameran di tingkat nasional dan internasional.
[1] Disalin dari karya Desi Puspitasari
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Kompas” Minggu 30 Desember 2018
The post Karangan Bunga appeared first on Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara.
via Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara bit.ly/2BSdR4o
Karena sudah tiga hari berturut-turut mendapatkan mimpi yang sama, Mek memutuskan untuk bercerita perihal mimpi tersebut pada sang suami. Tentang lelaki berpakaian putih-putih yang mengatakan bahwa Mek akan jadi tukang urut, kemudia menyentuh bahu kanan Mek. Pagi harinya, saat sang suami sudah duduk di kursi reyot, lelaki dengan tubuh ringkih itu hanya manggut-manggut mendengarkan cerita Mek. Menarik napas dalam-dalam. Lalu kembali menyeruput kopi.
“Bagaimana, Pak?” Mek mengejar.
“Apanya yang bagaimana?”
“Mimpiku itu, lho.”
“Ya sudah. Namanya juga mimpi.”
“Tapi sudah tiga kali, Pak.”
Suami Mek menghela napas panjang.
“Pak?!”
“Apa sih, Bu? Itu kan mimpi. Kenyataannya aku sudah tiga kali ditolak kerja di tempat orang. Garap lahan Pak Minto juga sudah tidak bisa lagi. Kamu malah bahas mimpi.”
Mek diam. Menatap lantai rumah.
***
Hingga tiga bulan lalu, suami Mek masih bisa menggarap lahan Pak Minto. Lahan itu sebelumnya hanya lahan mati dengan rumput ilalang setinggi orang dewasa. Setelah Mek dan suaminya datang sebagai keluarga jauh yang merantau, Pak Minto mengizinkan keduanya memanfaatkan lahan itu untuk cocok tanam. Daripada jadi lahan tak terurus, begitu kata Pak Minto.
Dari lahan yang sebenarnya tidak terlalu luas itu, Mek dan suami mengerahkan semua kemampuan. Mereka berhasil menanam beberapa tanaman. Hasilnya, sebagian dimakan sendiri dan sebagian lain bisa dibawa ke pasar untuk dijual. Tentu saja tidak banyak, tapi cukup. Cukup untuk makan mereka dan anak-anak yang kemudian lahir tiga kali beruntun. Pendek kata, cukup untuk hidup tidak mewah.
Tentu saja, selama kurang lebih dua belas tahun di sela-sela hidup hemat mereka, Mek dan suami masih menyisihkan uang untuk menabung. Hanya saja sering kali tabungan itu harus terpakai untuk kehidupan sehari-hari dan keperluan lain. Bahkan, tak jarang, mereka justru harus berutang ke Pak Minto atau yang lain untuk kebutuhan-kebutuhan mendadak, seperti biaya melahirkan. Namun, sekuat apa pun mereka menabung, tabungan itu tak cukup untuk mempersiapkan jika suatu waktu lahan itu tak bisa lagi digarap. Dan itulah yang terjadi.
Saat mereka sedang senang-senangnya karena tampaknya panen akan cukup berlimpah tahun ini, Pak Minto datang mengetuk pintu rumah kontrakan mereka yang berada di sekitar tiga kilometer dari lahan
garapan. Mek dan suami sama sekali tak menyangka bahwa setelah senyum, salam, dan ramah-tamah yang menyenangkan, Pak Minto menyampaikan,
“Lahan itu sudah dijual. Ada orang yang mau membangun minimarket waralaba di sana. Kabarnya satu atau dua bulan lagi pembangunan akan dimulai.”
Kalimatnya tidak persis seperti itu karena disampaikan dengan berbelit-belit dan sangat berhati-hati agar tidak melukai siapa pun. Hanya saja, sehalus apa pun penyampaiannya, memang kenyataan itu pahit dan tidak ada manis-manisnya.
Panen yang sudah dibayangkan oleh Mek dan suami seketika harus menguap. Sebelum pulang, Pak Minto memberikan sebuah amplop yang berisi uang. Pak Minto sudah menyampaikan soal tanaman yang akan segera panen dan pemilik tanah yang baru setuju untuk membayar ganti rugi. Setelah dihitung, Mek dan suami memang benar-benar rugi.
Setelah Pak Minto pulang, ada tiga puluh menit yang habis di dalam keheningan yang pekat. Baik Mek maupun suami tak bersuara. Meskipun begitu, ada kericuhan dan kegaduhan dalam benak masing-masing. Kericuhan yang begitu rumit dan sangat sulit untuk disalurkan sampai tak ada kata yang keluar dari mulut keduanya.
“Bagaimana, Pak?” ucap Mek setelah tiga puluh menit dalam kerapuhan yang memutusasakan.
“Ya mau bagaimana lagi. Kita cari penghasilan lain, Bu.”
Tapi rupanya mencari sumber penghasilan lain bagi kedua orang itu tidaklah mudah. Tangan mereka telah terbiasa mencangkul, memupuk, dan menyiangi. Sementara lahan semakin sempit dan kebun orang lain sudah punya penggarapnya sendiri.
Sebenarnya Mek dan suami takjub juga dengan perkembangan minimarket waralaba. Bisa-bisanya ia menjangkau titik di kampung yang letaknya ratusan kilometer dari kota provinsi. Apalagi, sebulan dari sana, dijual pula tanah di samping lahan garapan mereka yang selama ini aktif ditanami padi untuk kepentingan pembangunan minimarket waralaba pesaing.
Mek tahu persis bahwa petak kecil sawah itu digarap oleh tetangganya. Karena merasa senasib, didatanginyalah tetangga itu dan menanyakan apa yang akan mereka lakukan untuk menyambung hidup setelah tanah itu dijual. Jawaban mereka adalah, “Merantau ke kota. Cari kerja di sana. Di sini sudah tidak ada lagi yang bisa dikerjakan.”
Langkah itu akhirnya dilakukan juga oleh Mek, suami, dan anak-anak. Berbekal uang ganti rugi dari pemilik baru lahan garapan ditambahi dengan sedikit tabungan mereka, kelima anak-beranak itu nekat pergi ke kota provinsi. Mencari kerja apa saja.
***
Di kota mereka mengontrak petak kecil di sudut gang kumuh. Tak perlu deskripsi mendetail soal kondisi rumah kontrakan baru mereka. Anda tentu pernah membaca di berbagai cerpen dan novel mengenai jenis-jenis rumah di tempat seperti itu. Atau, paling tidak, pernah melihatnya di sinetron dan acara televisi yang mengeksploitasi kemiskinan. Kurang lebih, seperti itulah kondisi kontrakan mereka yang terbaru.
Kelanjutannya, seperti yang sudah diketahui, suami Mek ditolak bekerja di tiga tempat yang berbeda. Mek sendiri mengalami mimpi yang sama tiga kali berturut-turut. Di hari-hari berikutnya, Mek juga memimpikan hal yang sama.
Ia selalu menolak. Tidak mau menjadi tukang urut. Ia lebih memilih menjadi buruh cuci harian ketimbang menjadi tukang urut. Sekarang, sekali menunggu suaminya mendapatkan pekerjaan, ia sudah menjadi buruh cuci di tiga rumah berbeda. Baginya itu lebih berwibawa. Namun, semakin ia menolak, ia justru merasa bahu kanannya –bagian yang disentuh oleh lelaki dalam mimpi — terasa semakin sakit.
Berita baik muncul seminggu kemudian. Suaminya diterima untuk jadi buruh bangunan dalam sebuah proyek pembangunan jembatan layang. Dua sejoli itu bisa tersenyum sedikit lega. Menjadi buruh bangunan dan buruh cuci di kota tentu lebih baik ketimbang tidak mengerjakan apa pun di desa.
Kecuali mimpi yang terus sama setiap hari dan bahu kanan yang semakin hari semakin sakit, tidak ada problem berarti di rumah tangga mereka. Sampai akhirnya, seorang wanita muda dengan riasan yang sederhana namun memancarkan pesona sesungguhnya, datang mengetuk pintu kontrakan mereka.
“Aku datang ke sini karena mimpi yang berkali-kali,” ujarnya. Mek dan suami terpana. Belum selesai keterkejutan keduanya, wanita itu melanjutkan, “Bahuku sakit sekali. Aku perlu tukang pijit.”
“Tidak ada yang bisa memijit di rumah ini. Anda mungkin salah alamat,” tukas suami Mek.
Perempuan itu menggeleng. Keras dan penuh keyakinan. “Mek namamu, bukan? Marsini nama asli? Kau yang disebut oleh lelaki di mimpiku sebagai satu-satunnya orang yang bisa menyembuhkan sakit di bahuku. Tolonglah aku.”
Demi mendengar nama aslinya disebut, Mek terperanjat. Mungkin dirinya sendiri sudah lupa dengan nama asli yang tak pernah diucapkan itu. Sementara itu, sang suami teringat dengan mimpi yang pernah diceritakan istrinya.
“Tolonglah. Aku akan bayar lebih mahal ketimang rumah spa langgananku. Sembuhkanlah bahuku, Mek,” wanita itu bertutur lancar.
“Masalahnya, aku tak bisa memijit dan benar-benar tidak pernah.”
“Cobalah dulu, Mek. Kumohon.”
Mek diam. Menoleh pada suaminya yang kemudian mengangkat kedua bahu dan berjalan keluar rumah. Di dalam, wanita muda itu mengeluarkan dua lembar kertas berwarna merah. Memberikannya pada Mek.
“Ambil uang itu, Mek. Sebagai uang muka. Kalau benar bahuku sehat setelah kau pijit, akan kutambahi lagi. Kalau tidak, ambil saja uang ini sebagai rasa terima kasihku karena setidaknya kau telah mencoba. Aku sungguh tak tahan. Sungguh. Bahu ini sudah sakit lebih dari sebulan.”
Mek menarik napas panjang. Dipersilakannya sang wanita untuk rebah di satu-satunnya kasur tipis yang ada di rumah. Wanita itu mengerti dan membuka baju kemeja yang ia kenakan dengan kesulitan karena bahu kanannya tak bisa bergerak dengan leluasa.
Tangan Mek menyentuh bahu itu dan dengan cara yang sulit dijelaskan, ia bisa merasa bahwa ada satu urat kecil yang tidak berada pada tempatnya. Urat itulah yang membuat wanita di depannya merasa sakit. Saat Mek mencoba “meluruskan” urat itu, ia merasa sakit di bahunya sendiri juga ikut terobati. Mek benar-benar terpana dengan perasaan yang baru ia alami ini.
Rupanya wanita muda yang dipijit Mek juga merasakan keajaiban itu. Ia berjanji akan mempromosikan kemampuan Mek pada semua orang yang dikenalnya. Juga meyakinkan Mek bahwa Mek akan bisa hidup jauh lebih layak dengan kemampuannya memijit. Mek tersenyum.
Dan mungkin karena memang sifatnya yang supel, ia mulai menceritakan detail mimpinya pada Mek. Dua wanita berbeda usia itu sepakat bahwa mereka telah didatangi orang yang sama. Sama-sama tak jelas siapa. Obrolan mereka jadi cair setelah menceritakan mimpi aneh tersebut.
Mek sudah merasa bahwa tak lama lagi urat yang tadi salah tempat akan segera ada di posisinya semula, saat sang wanita muda bercerita dengan lancar bahwa ia adalah istri seorang pebisnis muda yang sukses. Suaminya baru saja membangun sebuah minimarket waralaba di salah satu pelosok kampung di provinsi itu, sebuah ekspansi.
“Suamiku mengalami negosiasi yang cukup panjang dengan Pak Minto, pemilik tanah, karena ia memikirkan nasib penggarap lahannya. Tapi berkat harga yang pas, Pak Minto pun rela melepas tanahnya. Tanah yang benar-benar strategis.”
Tinggal satu usapan jempol lagi, Mek yakin, dan urat yang salah tempat itu akan benar-benar kembali ke tempatnya. Namun, demi mendengar ucapan terakhir sang wanita muda, Mek merasa dirinya harus mencoba untuk memijit.
Rizqi Turama, dosen di Universitas Sriwijaya. Pernah mengikuti Kelas Cerpen Kompas yang dipandu oleh Putu Fajar Arcana dan Joko Pinurbo, November 2016 di Borobudur Writer and Cultural Festival. Aktif di Sanggar EKS dan Komunitas Kota Kata Palembang. Buku terbarunya berjudul Teriakan dalam Bungkam.
Bayu Wardhana, lulusan Desain Komunikasi Visual Institut Seni Indonesia Yogyakarta, tapi lebih dikenal sebagai perupa impresionis. Tinggal di Yogyakarta.
[1] Disalin dari karya Rizqi Turama
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Kompas” Minggu 10 Februari 2019
The post Mek Mencoba Menolak Memijit appeared first on Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara.
via Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara bit.ly/2TM1Xkw
“SIAPA yang njerat?”
“Den Sukrojendra. Pakai dadung sapi, leher dijerat, ditarik sekuat tenaga dengan satu kaki disetumpukan di kuduknya—talinya disentakkan. ‘Kamu itu pengen dikawini anakku? Ndak bisa, ia akan kawin dengan Maksaiti, anak perempuan Silitijo, cucunya Kucurbasi,’ katanya. Mereka membungkus tubuhnya dengan seprai, mengangkat serta menyimpannya di kandang—Mbok Tenan disuruhnya mengganti seprai. Membungkus sarung bantal dan guling, jarit, dan kebaya, sandal dan tas. Memasukkannya ke dalam goni dan dibakar di kebun bersama daun kering, sisa kotoran, serta sampah kandang. Lepas tengah malam, aku, Glugu Kepruk, dan Blandar Setan menggotong mayatnya ke tegalan di kanan jembatan kereta Balung Kere, setelah bakda Isya Gondo Blesur diam-diam menggali lubang di pinggir Bengawan Jayanem.”
Tepat di mana pohon kiara diam-diam ditanam dan tumbuh perkasa—kata Mbok Tenan—, dan pohon itu sengaja ditanam Sukrojendra setelah mayat si wanita itu digali lagi—serta dipindahkan. Benarkah? Ke mana? Tak ada yang tahu. Meski ada si orang kampung yang bersumpah kalau penggalian itu memang ada—oleh orang-orang asing yang datang senja serta pulang pagi di Tinggrantul. Sekaligus memaksa orang kampung untuk percaya bahwa di tegalan itu mungkin pernah ada makam wanita misterius pacar Gegrasana, yang pelan diiyakan oleh semua orang kampung—yang nafkah hidupnya bergantung kemurahan Sukrojendra, pemilik sawah dan ladang tak terukur itu.
***
KARENA tak bisa melacaknya, semua orang kampung pun memilih cerita bahwa si wanita misterius itu dikuburkan di sana, masih terkubur di kanan jembatan kereta api Balung Kere. Dan kalau sisa tubuhnya telah dipindahkan, rohnya pasti kekal menghuni peritanda kubur yang berujud pohon kiara. Pohon wingit tumbuh subur, merimbun di tepi Bengawan Jayanem, menaungi pangkal palung dangkal seberang jembatan kereta, merentang sepanjang tujuh puluh tujuh meter—melampaui kolong jembatan mobil. Di mana ikan-ikan liar hidup bebas tanpa seorang pun yang berani menangkapnya. Karena semua orang kampung percaya bahwa ikan-ikan itu—bahkan ular itu—mainan si wanita yang entah bernama siapa dan entah berasal dari mana. Dianggap harus tetap anonim, tak bernama dan tak punya asal usul, tak peduli beberapa orang tahu dan berkeras ada mengabarkan bahwa si wanita itu bernama Ayulia atau Ayu Titing.
Kemisteriusannya tetap dipertahankan—dan tegalan sepanjang tujuh puluh meter dan selebar dua puluh lima meter itu jadi liar ditumbuhi semak, dan katanya menjadi sarang ular. Tak pernah diinjak serta didatangi orang. Meski beberapa tahun kemudian si beberapa orang yang senang melakukan olah batin kejawen menyempatkan diri buat bertapa di bawah pohon kiara itu dan bilang: Di sana tidak ada apa dan siapa. Kosong seperti pohon turi pinggir sawah atau pisang di ladang belakang rumah. Melompong. Tapi, tak ada orang kampung yang percaya. Dan karena si wanita misterius itu—yang disebut dengan panggilan Mbah Nganu yang tinggal di bawah kiara jembatan Balung Kere—tetap disebut bersama leluhur lain di tiap doa saat ritual slametan dan kenduren diselenggarakan. Bahkan tetap disebut ketika doa menjelang awal puasa—lalu khusus diselenggarakan acara pendak tahun kematiannya.
“Ya,” kata Katok Blentong—adik Blandar Setan—, “di sana memang tak ada apa-apa. Tapi, apakah itu penting bila kami percaya Mbah Nganu masih di sana.” Menurut beberapa orang yang bisa dipercaya, di lima malam setelah pemakaman itu, dari bakda Isya sampai tengah malam: Kuburan itu digali lagi. Lalu, mayat si wanita misterius itu dikeluarkan dan diam-diam dibawa pergi. Mula-mula digotong, lalu dinaikkan ke atas truk dan dibawa ke selatan, ke Ngiwa Purwa.
Dan, katanya, sejak saat itu diam-diam Sukrojendra menyelenggakan slametan tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, setahun, dua tahun, seribu hari, empat tahun, lima, enam, dan seterusnya—di tegal kanan jembatan kereta Balung Kere. Seperti menandaskan bahwa di sana—kemudian di bawah kiara itu—dikuburkan seorang wanita tanpa nama. Nun. Tapi, dibawa ke mana mayat wanita itu? Kenapa dipindah? Ada apa?
Tidak ada yang tahu. Sejak malam itu—seusai mengantarkan surat ke rumahnya kamituwa Wana Lambe, Gegrasana tak pernah ada terlihat lagi di Tinggrantul, di Desa Jakra, dan bahkan di Kecamatan Sarwa Doyong. Bahkan, di tujuh minggu kemudian, keluarga Sukrojendra pindah ke rumah warisan Nyi Mas Tibaniah di Ngiwa Purwa—nun di selatan, berbeda kabupaten. Alasannya ingin tetirah, meski ia dan istrinya tidak pernah sakit apa-apa.
Tapi, mereka tak pernah kembali ke Tinggrantul. Seluruh sawah dan ladang—kecuali tegal di kanan jembatan kereta Balung Kere, yang dipusokan itu—digarap penduduk dalam sistem paro. Dan kalau panen, semua bagiannya Sukrojendra disuruh disetor ke Babah A Hiuk, yang akan mengirimkan semua duit pembeliannya lewat bank. Tentu saja—setahun sekali—uang buat slametan bagi pendak tahun langsung diserahterimakan oleh Babah A Hiuk. Apa arti semua itu?
Apa yang sebenarnya terjadi?
***
BERTAHUN kemudian, kata si beberapa orang: Di RSJ Jiwan Dawa, di Nglama, ada paviliun khusus yang dibangun secara pribadi di halaman belakang RSJ itu—lebih tepatnya di tanah yang dibeli khusus dan tepat ada di balik tembok halaman belakang. Daerah eksklusif yang dikeliling tembok dengan taman yang terawat—sehingga tidak sembarang orang leluasa mendatanginya, meski tidak dijaga sangat ketat. Katanya, itu bangunan tambahan untuk pasien privat khusus, yang keluarganya merupakan donatur yang menyubsidi separo biaya operasional setahun RSJ Jiwan Dawa. Pasien yang tak pernah terdaftar dan yang tidak pernah diketahui siapa dan dari mana. Pasien yang tak pernah dijenguk keluarga, pasien yang hanya terlongo sepanjang siang tapi selalu ada bercakap sendiri sepanjang malam—dan berkali-kali selalu mengerang orgasme.
Lima puluh tahun ia dirawat di sana. Sampai meninggal normal dan diam-diam dijemput keluarganya, dan lewat jalan belakang dibawa ke Ngiwa Purwa lewat Mbojang. Dan bertahun kemudian Raksesiani—mengutip apa yang dituturkan Mbok Junub, pembantu kepercayaan Nyi Mas Tibaniah—bilang itu Gegrasana. Dan ia dikuburkan diam-diam selepas tengah malam. Dikuburkan di sebuah makam tua yang tidak diberi nisan—tidak bertanda nama dan saat kematian atau sekadar kelahiran—, lahad tua yang diam-diam kembali digali. Lantas, Gegrasana yang telah dimandikan dan dikafani itu disandingkan di sisi sosok mayat wanita yang utuh membatu—kafannya melapuk dan karena itu dimandikan dan dikafani lagi—, meskipun telah terkubur lima puluh tahun. Kemudian, liang lahad itu ditimbun dan diberi nisan—tetenger yang berbunyi: Gegrasana-Nunukrawu—tidak terpisahkan ajal.
Tapi, benarkah wanita itu bernama Nunukrawu—bukannya Ayulia seperti yang dihebohkan banyak orang di Sarwa Doyong, dan terutama di Tinggrantul, serta lebih terutama di Balung Kere. Meski begitu, nisan itu tetap tanpa titimangsa. Meski—kata Raksesiani—, di setiap malam dari kuburan yang dinaungi pohon kiara kawak itu selalu terdengar suara orang bercakap, bercumbu, serta cekikikan suara kenikmatan perempuan di antara suara erang orgasme lelaki. Meski tak seorang pun yang berani mengecek, sekadar ingin tahu dengan mengecek apakah memang di belakang rumah keluarga Nyi Mas Tibaniah itu ada kuburan angker semacam itu. Tak ada seorang pun di seantero Ngiwa Purwa yang tahu akan hal itu, bahkan kalau di sana pernah ada satu prosesi pemakaman misterius seperti itu—mungkin karena si yang melakukan prosesi pemakaman rahasia tersebut cuma keluarga.
Begitu kata Raksesiani. Dan dikutip semua orang kampung di Sarwa Doyong, di Tinggrantul, dan Balung Kere, meski itu kini hanya seperti obrolan iseng di warung kopi atau ketika jaga malam—tidak banyak yang tahu persis akan si peristiwa awalnya. Tapi, apa memang ada peristiwa seperti itu? Yang terjadi di tahun 1952 serta berakhir lima puluhan tahun kemudian? Sayang, orang-orang yang terlibat dalam peristiwa itu telah meninggal, tinggal keturunannya, si generasi kedua yang mengatakan cerita dari ingatan samar tentang semua detail yang pernah didengar dari cerita orang tuanya. Dan terkadang justru si pihak luar yang punya banyak cerita, tapi semuanya didapatkan dari cerita si orang lain. Samar. Kabur. Tidak bisa diverifikasi. Ataukah, dicoba untuk ada ditelusuri secara mistik dengan ritual memanggil roh. Apa ceritanya valid? Tapi, untuk apa sebuah kesahihan bila peristiwa itu telah terjadi lima puluh tahun lalu? Kata orang, fakta mengabur—dan titik postulat hanya berkah bagi sastrawan. (*/habis)
Beni Setia, pengarang.
Catatan:
dadung: tali, biasanya dari jalinan ijuk yang dipilin;
sentir: lampu minyak
wingit: angker, dianggap berpenghuni setan
jarit: kain panjang perlengkapan busana wanita;
paro: menggarap lahan orang lain dengan sistem bagi hasil 50:50
kawak: tua
[1] Disalin dari karya Beni Setia
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Jawa Pos” Minggu 4 November 2018
The post Balung Kere (Bagian 2-Habis) appeared first on Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara.
via Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara bit.ly/2PruP3k
Aku tak butuh banyak teman, aku tak butuh banyak penggemar, aku tak butuh banyak orang yang menyayangiku, apabila mereka menyayangiku tidak setulus hati mereka. Lebih baik mempunyai sahabat, yang bisa menjadi keluarga baru bagiku, walaupun hanya dalam hitungan jari :)
Indahnya dan asiknya melihat mereka berdua mengobrol, meski diantara keramaian
Apa artinya membusungkan dada, bagaikan orang menjual obrolan, pada orang yang sedang santai berkumpul, merasa dirinyalah yang paling pandai, tak mengetahui kebodohannya telah tersebar.
Adapun yang menyanjungnya, karena sudah muak menyaksikan tingkahnya, tidak dirasakan makna sanjungan itu, makna sindiran bagi orang jahil, pendapatnya bahwa itu kalah.
Lalu menyombongkan diri, duduk bersila dengan sikap sombong dan besar mulut, kata-katanya hanya menirukan tetapi merasa serba tahu, segala macam ilmu tipuan, pengetahuan sendiri ditinggalkannya.
Mana yang akan disebut Maha Luhur, Mana yang akan disebut Maha Gaib, Mana yang akan disebut Maha Berkuasa, Mana yang akan disebut Maha Rahasia, Mana yang akan disebut Maha Kekal, Mana yang akan disebut Maha Halus.
Mana lagi yang akan disebut (konsep) Maha Cerdas,Ujung-ujungnya etika moral juga akan rusak,Apabila Maha Kekal ( Al-Baqa’: Bhs. Arab) menjadi Walaka (Bhs. Sanskerta, yang artinya umum, lumrah, remeh), Bakalan bubar tanpa benih, Padahal Tuhan Yang Sesungguhnya,Tidak bisa dibuat obrolan biasa/sembarangan.
Bagaimanapun dia sudah menganggap lelaki tua tak itu dikenal sebagai orang tuanya. Bukan tanpa alasan Rose memiliki perasaan itu. Dia, lelaki tua buta itu, satu-satunya manusia hidup di dunia ini yang masih mau, benar-benar mau, mendengar segala keluh-kesah Rose. Berbeda dari puluhan lelaki yang menjadi teman tidurnya setiap malam, yang sekadar mau mendengar keluhkesah Rose, lalu menjadi lebih perhatian, tentu dengan imbalan servis plus-plus dari perempuan itu.
Lelaki itu berbeda. Lelaki tua buta itu sangat berbeda. Dia pendengar yang baik, penasihat ulung, dan mampu melihat takdir seseorang. Seperti soal kematian.
Rose terkadang heran jika berbicara dengan lelaki tua itu. Dia percaya lelaki tua itu mampu melihat takdir seseorang. Keheranan Rose bukan tanpa alasan. Dia memercayai penglihatan takdir seorang lelaki tua buta, yang bermata putih, seputih susu. Namun dari sanalah Rose sering kali menemukan hal-hal ajaib. Seperti awan selembut kapas berwarna merah muda, puluhan laron berwarna biru mengelilingi keremangan lampu jalan, kilat cahaya oranye di tubuh kunangkunang. Baginya, mata seputih susu itu mata yang ajaib, mata yang mampu menerjemahkan sedih menjadi bahagia.
Rose tidak pernah kesulitan menemukan lelaki tua itu. Ketika dia pulang kerja, lelaki tua itu pasti duduk di sebuah bangku panjang taman kota. Rose dan temantemannya terbiasa mangkal tidak jauh dari sana. Di jembatan, tak jauh dari taman, di bawah keremangan lampu jalan, Rose dan beberapa teman berjejer di sepanjang trotoar jalan, menjajakan diri.
Selanjutnya, jika mendapatkan pelanggan, mereka tak perlu repot-repot mencari hotel. Di belakang taman kota itu berjejer beberapa hotel mewah. Kalaupun pelanggan agak pelit, Rose dan teman-teman akan membawa ke losmen di seberang sungai yang terbelah jembatan.
Semua mengenal dia; lelaki tua buta itu penjual koran. Sebelum pagi lahir, tongkat kayu akan menuntun lelaki tua itu ke perempatan Kedai Starcoffe. Itulah kafe mewah yang jadi andalan orang kantoran untuk obral obrolan perihal kepedihan kehidupan. Lalu jika malam telah berangkat kerja, lelaki tua itu akan duduk di salah satu bangku taman kota sambil memainkan harmonika, kemudian bersenandung bersama malam.
“Kematian itu begitu unik, Nak. Dia berbau manis seperti cokelat. Namun ada sedikit anyir di pangkal. Sangat nikmat disertai sedikit bumbu kepedihan.”
“Ha-ha-ha… Memang ada ya cokelat rasa anyir darah, Kek?”
“Lalu warnanya….”
“Putih kelam, mendekati abuabu kan, Kek?”
“Iya! Benar, Nak. Memiliki ekor di pangkal yang terhubung dengan tubuh jasmaninya.”
Sudah berulang kali lelaki tua itu bercerita soal warna kematian. Putih kelam mendekati abu-abu dan memiliki ekor di pangkal yang terhubung dengan tubuh jasmaninya. Seperti itulah lelaki tua itu mengilustrasikan kematian, sambil meraba-raba pegangan tongkat kayunya yang berbentuk kepala naga. Mata putihnya akan berkeliling setiap kali dia berbicara. Ke kiri, kanan, kiri, dan kanan.
“Lihatlah, Nak…. Di lampu jalan dekat jembatan itu, sekumpulan laron berwarna biru. Sangat indah. Mereka selalu datang dalam kelahiran yang bahagia, meski Tuhan memberikan hidup hanya sekejap. Lihatlah…, betapa hidup harus dirayakan dengan sukacita. Kesedihan hanyalah debu yang sangat kecil di samudra kehidupan manusia. Berbahagialah, Nak, kau masih diberi hidup.”
“Mana ada laron berwarna biru, Kek?” Rose tersenyum dan seketika air matanya malam itu berhenti.
Lelaki tua itu memiliki sepasang mata putih yang indah, sangat murni, tak ada noda sama sekali.
“Wa-ha-ha-haÖ, kau tak akan paham, Nak. Penglihatanku mampu menangkap warna kehidupan semua makhluk. Dan warna kehidupanmuÖ.”
“Kuning cerah dengan kelopak mata ekspresif. Penuh kebohongan pada banyak orang, tetapi tidak padamu kan, Kek?”
“Iya, Nak.” Lelaki tua itu tersenyum.
Rose mengingat betul apa yang pernah dia sampaikan ketika kali pertama mereka bertemu.
Malam yang muram mengantar Rose menyusuri trotoar jalan. Hari itu ada yang berbeda. Dia begitu rindu pada lelaki tua buta itu. Sebelum berangkat kerja, sambil membawa sekotak makanan, dia berniat mengunjungi lelaki tua itu. Namun bukanlah sambutan baik yang dia terima. Lelaki tua itu malah menyuruh dia pulang.
“Alangkah baik kau pulang saja, Nak. Kau tak seharusnya bekerja malam ini,” ucap lelaki tua itu sebelum Rose duduk di bangku yang ia duduki.
Rose hanya tersenyum, lalu memberikan sekotak makanan dari rumah, kemudian beranjak pergi. Namun ketika perempuan itu hendak beranjak pergi, lelaki tua itu menahan tangannya.
“Pulanglah, Nak. Aku melihat kematian menggantung di atas kepalamu. Dia berwarna cokelat pekat.” Lelaki tua itu menggenggam tangan Rose begitu kuat.
“Bukankah pernah kukatakan, Kek, hidup dan matiku adalah suratan takdir? Ingatkah kau dengan pesanmu, Kek, hidup harus dirayakan dengan sukacita. Kesedihan hanyalah debu kecil di samudra kehidupan manusia,” ucap Rose sambil perlahan melepas genggaman tangan lelaki tua itu.
Matanya masih berkeliling, ke kiri, kanan, kiri, dan kanan. Ada yang tertahan di bibir yang membuat Rose tak tega meninggalkannya malam itu. Namun dia harus tetap berangkat kerja untuk menyambung hidup.
Malam yang kelam bagi lelaki tua buta itu. Sebuah malam yang tak dia inginkan, juga bagi Rose. Sebelum malam memuncak, suara sirine polisi berkejaran di telinga. Beberapa kali terdengar teriakan perempuan. Namun dari sekian teriakan, ada sebuah suara yang dia hafal, suara yang kerap kali terngiang- ngiang pada malam panjangnya.
Memori lelaki tua itu merekam jelas: di atas jembatan, di bawah kemerangan lampu jalan, Rose dan beberapa teman yang mangkal terciduk Satpol PP. Perempuan malang itu tak sempat melarikan diri. Tubuh indahnya dengan cepat dipaksa masuk ke atas mobil. Ada beberapa luka legam di wajahnya.
Tanpa sadar, mata putih lelaki tua itu meneteskan air mata. Tangannya masih tetap merabaraba ujung tongkat. Dia tak bisa apa-apa. Dia hanyalah loper koran tua buta dan lemah tak berdaya. Berkali-kali lelaki tua itu berusaha menutup mata sambil memalingkan muka. Namun tetap, mata seputih susu itu tetap merekam. Ingatannya tetap melihat dengan gamblang: Rose dan beberapa teman diangkut paksa dari jalanan. Beberapa di antara mereka menerima tamparan.
***
Malam ketiga, sejak Rose diangkut paksa, lelaki tua itu masih tetap berada di bangku taman. Di sebelahnya ada sebungkus makanan. Mata putihnya berkeliling, ke kiri, kanan, kiri, dan kanan. Sangat sepi. Sesekali ada beberapa pasangan muda-mudi berlalulalang. Namun hingga malam ketiga, tidak dia temukan kabar dari perempuan itu.
Pada satu waktu, pada kesepian dia malam itu, lelaki tua itu menoleh pada seorang perempuan yang berjalan menunduk melewatinya. “Nak, kemari, mendekatlah. Aku melihat kebahagiaan menggantung di atas kepalamu,” ucap lelaki tua itu. (28)
Surakarta, 23 Mei 2018
– Sapta Arif Nur Wahyudin, aktif di GMB-Indonesia dan baru saja menjadi juara I Sayembara Sastra Bunga Tunjung Biru kategori cerita pendek.
[1] Disalin dari karya Sapta Arif Nur Wahyudin
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Suara Merdeka” edisi Minggu 10 Februari 2019.
The post Lelaki Tua Bermata Seputih Susu appeared first on Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara.
via Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara bit.ly/2SGZjz0
2nd Day Tour in Cambodia : Angkor Wat Complex ~ Siem Reap
"Her name is Chintya, tuorist from Hongkong. She with her husband, try to take some picture together. But it seem like they didn't understand to use lighting as fill-in because that time the sun was shining bright already. And I gave tips how to photograph when against the sunlight so the foreground and the background still captured well. Then the conversation went to an idea from me to make silhouette photo like this. Then we both made Chintya as silhouette model Angkor Wat background. I think this was a great introduction and sharing."
Dia bernama Chintya, turis asal Hongkong. Dia bersama suaminya berusaha membuat beberapa foto bersama. Tapi sepertinya mereka belum mengerti menggunakan lighting sebagai fill-in karena saat itu matahari sudah bersinar terang. Dan saya memberikan beberapa tips cara memotret disaat melawan cahaya matahari agar forground dan background terlihat jelas. Lalu obrolan itu berlanjut dengan sebuah ide dari saya untuk membuat foto silhouette seperti ini. Lalu kami berdua menjadikan Chintya sebagai model silhouette dengan latar belakang Angkor Wat. Saya rasa ini adalah sebuah perkenalan dan kerjasama yang baik.
Please don't use this image on websites, blogs or other media without my explicit permission.
© All rights reserved
Pada tanggal 5 Maret 2011, hari Sabtu. Temen ogut seperjuangan di YES Selection dari Samarinda yang bernama Yudhis sudah bikin janji dengan saya untuk jalan sama-sama keliling Jakarta siang hari mengisi waktu sebelum Java Jazz... Plis, gue aja yang anak Megapolitan kagak nonton Java Jazz, nah diaa?! Aduuuuuuuh enaknya, mana nonton Santana dan George Benson.... *nangis*
Kemudian, dia bilang bahwa mendingan ajak temen lagi, sebenernya anak Jakarta sudah ogut ajakin semua tapi yang dateng (lagi-lagi) hanya Vio. Setelah ogut jalan bertigaan sama Vio dan Arwan dari Bogor, berarti kami jalan bertiga lagi, tapi sekarang sama Yudhis bukan sama Arwan. Yah, beginilah peserta seleksi YES memang terlalu keren jadi pada sibuk gitu...
Perjalanan berawal jam 11. Gue sampe di Hotel Sheraton Media yang super keren gila-gilaan, waktu masuk, jujur, gue nganga, "***jrit ini hotel... Keren..." gitu dalam hati. Akhirnya ogut ketemu Yudhis diantar oleh ortunya yang sedang ingin pergi juga.
Gue ngajak Yudhis ke @america dan maen ke Pacific Place, coba kalo bawa duit lebih, gue ajakin ke Kidzania (tapi pasti ditolak petugasnya juga). Main iPad dan nonton Akeelah and The Bee. Pokoknya, hari itu adalah hari busway, kemana-mana kami naik busway. Sebagian besar hari itu adalah di busway, kami mengobrol lebih buanyak di busway ketimbang di tempat lain. Yah obrolan kita nggak lepas dari masalah anak YES dan daily life. Balik lagi, waktu di @america, Yudhis BBMan sama anak YES Jogja (yang gue sempet kesengsem berat sama dia karena ganteng dan pinter setengah mati dan ternyata udah punya pacar ANAK JAKARTA *nangis darah*) begini sneak peaknya:
Dia: Yud, lo lagi di Jakarta?
Yudhis: Iya, lo di Jakarta juga?
Dia: Iya nih, di rumah pacar di Cinere
Yudhis: Wah, dateng kapan lo?
Dia: Tadi pagi...
Yudhis: Pulangnya kapan?
Dia: Ntar sore hehe
"Wah boker duit!" kata gue, "Ke Jakarta sehari cuma buat ngapel?! Hebat," lanjut gue lagi. Padahal dalam hati "Mau doooooongg cowok kayak gitu, unyu banget!" HAHAHAHAHAH lanjut.
Vio yang (katanya) lagi imunisasi kami suruh nyusul ke D'Cost Gajahmada Plaza. Kami makan duluan di situ. Sebenernya, tujuan ogut milih GM adalah supaya lebih deket dan cepet kalo ni anak mau langsung ke Kemayoran atau ke hotel dan memang tidak salah. Yudhis dengan sangat baik hati sekali mentraktir, sebenernya ogut juga traktir doi, tapi cuma tiket busway ^____^ waktu selesai makan, kami sibuk ngomongin soal YES dan AFS lagi. Dia bilang anak Samarinda udah ketauan 5 orang AFS, tapi kita simpen dulu ceritanya, kami lalu menelfon dua kawan sesama Jojoga (Jomblo-Jomblo Galau) YES, pertama Adli, ngangkat, terus langsung mati, kesel, (diketahui kemudian Adli lagi nyetir mobil pas angkat telfon) lalu telfon Tanto, ngobrol ampe 8 menit dan dia lagi di Pangandaran (lebih enak!) lagi libur panjang -,- lalu, Yudhis yang masih penasaran dengan hasil AFS lalu telfon kakak chapternya, sementara ogut hubungi Vio. Kemudian Yudhis stres... ogut kaget dan panik, wah anak orang nih gimana kalo pingsan, ditengah telfon, muncul Vio dengan lengan diplester dan kaku, lalu kenalan sama Yudhis lalu Yudhis lanjutin telfonnya. Pas tutup telfon... berita buruk, Yudhis nggak dapet AFS. Tapi semua langsung kecover sama obrolan hangat dengan Vio, tapi salahnya Vio dia dateng pas kami sudah selesai makan, so dia makan sendiri dah tuh.. Dan singkat sekali, dia selesai makan langsung kita capcus!
Habis itu kami bertiga ke Harmoni. Nunggu busway Ancol buat balik lagi ke Gunung Sahari dan buat nganter Yudhis ke JiExpo. Yudhis panik karena hari makin sore dan bus belom datang. Vio selow. Sementara Yudhis tidak, lalu melampiaskannya ke gue dengan nyubit lengan, parah, sakit abis! Fyi, itu cubitan sakitnya baru ilang total 2 hari yang lalu! Umur cubitan: 1 minggu... Gila!
Waktu udah mau sampe hotel, di busway, waktu rem mendadak, ogut udah berdiri sementara pas ogut nengok ke belakang, Vio dan Yudhis yang masih duduk ternyata saling bertahan agar tidak jatoh pas bus ngerem, yang bikin terus teringat adalah Yudhis yang ndut yang malah pegangan sama Vio yang gak ndut, megang telunjuknya doang lagi, apa gak mau copot tuh telunjuk HAHAHAHA (peace yud ^___^v)
Sebelum mengakhiri perjalanan selamanya, kami masih sempet FOTO-FOTO DULU DI JEMBATAN PENYEBRANGAN hahahaha untung sepi total jadi bebasssss. Oh ya dan foto di atas adalah candid, di jembatan penyebrangan, yg kiri Vio dan yang heboh Yudhis.
Yah gitu lah, hari yang seru dan semoga tidak membosankan bagi mereka, karena bagi gue hari itu adalah salah satu hari menyenangkan gue :) Thanks Yudhis, kapan-kapan kalo gue ke Samarinda elo yang guide ya (Y)!!
MINGGU lalu, ada bangkai anjing tergeletak di pinggir jalan dekat pematang. Dan hari ini lagi, tapi bukan anjing. Mayat seorang laki-laki ditemukan mengambang di sungai dengan tangan dan kaki terikat. Awalnya mungkin mengerikan. Namun, di tempat ini, karena begitu banyak mayat tergeletak begitu saja hampir setiap minggu, kejadian ini pun akhirnya dianggap biasa.
“Mayat manusia ternyata…”
“Lagi?”
“Ya.”
Begitu kiranya obrolan orang-orang. Singkat dan sederhana. Wajah mereka datar, tidak menggambarkan simpati dan kengerian. Barangkali di tempat lain orang-orang bakal heboh, dan akan timbul dugaan macam-macam. Polisi bakal langsung melakukan penyidikan. Tapi itu tidak terjadi di tempat ini. Biasa saja, bahkan polisi hanya mendeham dan menggeleng-gelengkan kepala.
“Tuan-tuan dan Nyonya tidak perlu risau, kita sedang bekerja keras mengatasi ini semua. Jadi tenang, semua cukup tenang saja. Minggu depan semoga tak ada mayat lagi karena sejujurnya kuburan di tempat kita ini juga mulai penuh. Jadi sebisa mungkin jaga diri Tuan-tuan dan Nyonya, dan satu lagi; banyaklah berdoa dan jangan lupa makan.”
Ya, begitulah kata pejabat di kota ini melalui radio.
Namun ternyata kejadiannya tak sesederhana itu. Karena hampir setiap minggu selalu ditemukan mayat, entah itu manusia atau makhluk lainnya, tempat ini akhirnya jarang dikunjungi orang-orang dari luar. Banyak perusahaan bangkrut dan sebagian orang mesti jerih payah berkebun untuk bisa makan. Dan akhirnya begitulah, terembus kabar bahwa tempat ini dinamai Kota Mayat oleh orang-orang luar.
Mayat, mayat, ada mayat mengapung… mayat tidur di jalanan. Orang-orang lapar jadi mayat, anjing menggigit manusia, kucing berbusa, anak kurus curi ayam, bayi dijual. Mayat, mayat….
Namun, seperti baik dan buruk yang selalu ada, kejadian di tempat ini juga demikian. Banyak mayat tergeletak tak mesti menyebabkan keburukan. Baiknya adalah setiap orang-orang kelaparan mendadak menjadi manusia yang paling baik. Persaudaraan terjalin karena mereka merasakan hal yang sama. Meskipun miskin dan sering lapar, mereka tak pernah lupa saling berbagi satu sama lain. Bukan apa, karena tak akan ada yang tahu mayat siapa besok yang bakal tergeletak. Barangkali mayatku, mayatmu, atau entah mayat siapa.
***
“Ada mayat lagi di selokan.”
“Manusia?”
“Entah, tapi besar. Barangkali sapi, atau babi.”
“Manusia juga bisa.”
“Tidak, tidak, yang ini besar. Orang-orang di sini kurus semua.”
“Tidak semua, kamu tahu ada mereka, kan?”
“Justru tidak mungkin kalau bagian dari mereka.”
“Lantas?”
“Entah, siapa peduli memang? Toh, itu cuma mayat.”
“Benar juga. Biarkan polisi yang cari tahu, kita cukup cari makan.”
“Nah…”
Ditemukan mayat lagi hari ini. Cukup besar juga, dan ternyata setelah polisi mendeham dan menggeleng, mereka memastikan bahwa itu mayat manusia, tergeletak begitu saja di selokan dengan mulut tersumpal karung beras.
“Mayat manusia ternyata…”
“Ya. Tapi besar juga ya.”
“Bahaya.”
“Ya.”
Selanjutnya, tak seperti hari-hari biasa saat ditemukan seonggok mayat. Hari ini lain, beberapa orang di kota kami mendadak sibuk dan pandangannya itu, pandangan tajam seperti menaruh curiga saat memandang. Berarti kejadian ini mulai dianggap serius, pejabat tak lagi sekadar menenangkan lewat radio, polisi tak lagi sekadar mendeham dan menggeleng-gelengkan kepala. Semua mendadak sibuk mencari tahu. Karena mayat yang ditemukan hari ini adalah bagian dari mereka. Sebelumnya ini tak pernah terjadi, mayat besar baru ditemukan kali ini.
Mayat, mayat, ada mayat besar mengapung… mayat besar tidur di jalanan. Orang-orang kenyang jadi mayat, anjing menggigit manusia, kucing berbusa, anak gemuk kekenyangan, bayi dibeli. Mayat, mayat….
Mayat yang ditemukan hari ini begitu penting. Semua orang mesti berduka dan berkabung tidak terkecuali. Semua kegiatan cari makan harus dihentikan, semua mesti datang ke rumah duka untuk berduka.
Maka berbondong orang-orang di kota menuju rumah duka. Semua tampak mengerikan seperti barisan mayat berjalan yang sedang diawasi malaikat pencabut nyawa dan burung pemakan bangkai. Begitu kurus, mata orang-orang itu sayu, pakaian compang-camping, dan mereka semua diarahkan berbaris rapi selayaknya orang-orang normal.
“Semua mesti berduka tidak terkecuali! Dan selepas ini, jangan harap kami bakal memberi jatah beras lebih untuk kalian. Semua jatah bahan pokok akan kita potong karena kalian sudah berani memberontak.”
Apa maksudnya?
“Saya tahu, satu di antara kalian atau bahkan kalian semua adalah pembunuh!”
Ooo, jadi begitu. Orang-orang kurus-yang seperti mayat berjalan-itu dicurigai sebagai pembunuh mayat yang ditemukan hari ini.
“Tapi sekarang, berkabung dulu!”
Mereka-orang-orang kurus itu-hanya menurut, berbaris macam ular dan semua wajah menggambarkan kesedihan. Wajah sedih itu memang tidak dibuat-buat, barangkali mereka memang benar-benar sedih. Bukan perkara soal mayat yang ditemukan hari ini, itu tidak perlu, yang lebih penting adalah soal nasib dan perut mereka. Hari ini mesti berkabung dan artinya satu hari penuh mereka bakal lebih lapar.
Kota mendadak sepi, semua orang berada di rumah duka itu. Tangis pecah, tangis yang dibuat-buat. Tapi tidak semua, mereka—orang-orang berperut besar—mungkin menangis sungguhan. Terutama keluarga yang ditinggalkan. Apalagi rumah duka ini sangat besar, halaman seluas lapangan sepak bola dan bertingkat empat. Barangkali mereka juga sedih karena rumah besar ini berkurang satu penghuninya. Dan tentu, akan terasa lebih sepi dan sunyi dari biasanya. Tapi baiknya, pejabat di kota ini sepakat akan memberi tunjangan besar kepada keluarga yang ditinggalkan, juga sebagai permohonan maaf karena sebuah kelalaian.
“Tolong, secepatnya ini diusut. Saya ingin tahu segera siapa yang membunuh suami saya,” kata istri mayat yang ditemukan hari ini itu. Ia berkata sambil berkacak pinggang di hadapan banyak pejabat lain. Tubuhnya juga gemuk dan perhiasan miliknya berkilauan memantulkan cahaya lampu.
“Tentu, Nyonya. Segera, masalah ini akan segera kami selesaikan, supaya tidak terulang. Selepas ini kami akan menanyai mereka, bila perlu akan kami gunakan ketegasan supaya ada yang mengaku. Nyonya tenang saja.”
Pimpinan pejabat di kota segera keluar dari ruang tamu menuju luar rumah. Di halaman, orang-orang kurus itu tetap saja berbaris dan pura-pura menangis. Pimpinan pejabat itu lantas berbicara lantang di hadapan mereka semua.
“Siapa!? Siapa pembunuh itu!? Cepat mengaku! Kalau tidak, besok dan seterusnya tak akan ada lagi jatah beras! Biar semua mati kelaparan. Mayat harus dibayar mayat! Pemberontak harus mati atas nama hukum!”
Dalam barisan, orang-orang kurus itu saling pandang satu sama lain. Mereka masih saja diam meskipun atas nama hukum telah dilontarkan.
“Baik, kalau tidak ada yang mau mengaku, saya akan berikan ketegasan saya!” ujarnya geram.
Tiba-tiba ada satu orang kurus yang mengacungkan jari. Semua memandangnya, menunggu.
“Atas nama hukum juga, kita mesti bayar mayat dengan mayat, lapar dengan lapar, tidak boleh tidak! Inilah saatnya! Gunakan sisa lapar terakhir kita!” orang itu bersorak, diikuti oleh seluruh orang kurus yang sebelumnya berbaris rapi. Dari balik baju, mereka mengeluarkan berbagai macam senjata tajam: arit, golok, pisau dapur karatan, dan banyak lagi.
Dan begitulah, hari ini akan menjadi penentu, apakah esok dan seterusnya mayat yang ditemukan adalah mayat besar atau mayat kecil, mayat kurus, atau mayat gemuk. Atau bisa jadi keduanya, dan nama Kota Mayat akan selalu melekat selamanya.
Mayat, mayat, ada mayat mengapung… mayat tidur di jalanan. Orang-orang lapar jadi mayat, anjing menggigit manusia, kucing berbusa, anak kurus curi ayam, bayi dijual. Mayat, mayat. Mayat dibayar mayat, orang-orang lapar marah menuntut kebiadaban mati jadi mayat….
Haryo Pamungkas, lahir di Jember, Jawa Timur. Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jember. Cerpennya telah dimuat di berbagai media cetak dan daring.
[1] Disalin dari karya Haryo Pamungkas
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Koran Tempo” edisi Akhir Pekan 27-28 Oktober 2018
The post Kota Mayat appeared first on Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara.
via Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara bit.ly/2CRMEBc
e-wonosobo – Puluhan Pemuda Suporter Panser Biru, Viking Persib, Aremania dan Jackmania asal Wonosobo kemarin (29/1) mendesak kepada Pengurus dan Jajaran Manajemen Persatuan Sepakbola Indonesia Wonosobo (PSIW) untuk lebih serius dalam mengelola klub kebanggaan kota dingin itu. Sebab selama ini tidak ada pengelolaan yang serius sehingga PSIW miskin prestasi.
Desakan perwakilan gabungan suporter ini dilakukan di Obrolan Warung Kopi (OWK) Jalan Kauman Wonosobo. Dalam pertemuan tersebut, puluhan suporter dari masing-masing organisasi suporter tersebut menandatangani pernyataan sekaligus menyampaikan aspirasi kepada Ketua KONI Wonosobo Imam Darmadi didampingi Koordinator Humas KONI Agus Wibowo. Sayangnya, dalam pertemuan ini Ketua PSIW Wonosobo tidak hadir.
Sabar Riyadi menandaskan, bahwa empat organisasi suporter tersebut berkomitmen untuk tetap melakukan kegiatan sebagai suporter klub sepak bola kebanggaan mereka dengan damai atau tidak ada aksi saling bermusuhan meski klub sepak bola yang didukung berbeda. Menurutnya, para pemuda Wonosobo pecinta bola ini memilih jadi klub seperi PSIS, Persija, Arema atau Persib karena selama ini PSIW sebagai klub Sepak Bola Wonosobo tidak jelas pengelolaanya.
“ Sampai hari ini saja kita tidak tahu siapa pemain PSIW, hal ini yang mendorong kita menjadi suporter klub kota lain,”katanya.
Untuk itu, kata dia, empat organisasi suporter itu bersama-sama membuat pernyataan mendesak kepada manajemen PSIW melakukan pembenahan. Karena selama ini keberadaan PSIW tidak pernah diketahui warga Wonosobo sendiri. Bahkan jadwal pertandingan tidak pernah dipublikasikan.
“ Kalau memang PSIW serius dikelola, tentu kita akan melakukan dukungan. Bahkan akan lebih semangat karena merupakan klub milik sendiri,”katanya.
Kepada Pengurus KONI, Riyadi menegaskan agar mendesak manajemen PSIW berbenah dengan cara memberikan informasi seluas-luasnya dalam proses seleksi pemain hingga manajemen latihan dan keuangan. Selain itu, membuat media informasi tiap bertanding sehingga pemuda Wonosobo bisa memberikan dukungan.
“ Kabupaten tetangga kita saja banyak yang sudah masuk defisi utama, masak kita ketinggalan,”katanya.
Menanggapi hal tersebut, Agus Wibowo Humas KONI Wonosobo menegaskan bahwa masukan dari gabungan suporter ini akan menjadi bekal bagi KONI untuk mendorong PSIW agar tahun ini melakukan kerja secara maksimal. Sebab, pada tahun ini direncanakan akan dibangun Gelanggang Olahraga (GOR) harapannya akan meningkatkan semua atlet cabang olaharaga di Wonosobo.
“ Dorongan dari kawan-kawan muda ini akan segera kita sampaikan kepada manajemen PSIW,”katanya.
Sambil menunggu perbaikan manajemen, Agus menyarankan kepada gabungan organisasi klub sepak bola ini melakukan kegiatan produktif melalui sepak bola persahabatan agar tubuh keakraban.(rase)
”Assalamualaikum......” salam diseberang sana menyapaku ramah,
”Wa’alaikum salam, apa kabar Ham? Lagi di mana?”
”Alhamdulillah, lagi makan siang ning omah ki... bareng istri”
”wah, enak betul kamu gak ngantor ya?”
”ngantor si.. tapi kan bisa makan siang di rumah, he...he... btw kok tumben telpon fidz”
”aku lagi di solo ki, pulang kampung critane.. kapan kamu ada waktu ham, ketemuan yok.. ”
”sore ini kayaknya aku gak begitu crowded deh, ntar aku ke kantor bentar nge-claim bon habis itu kayaknya free, piye?”
”sipp, aku boring ki mulih gak ono kancane, iso ketemuan ning ndi?”
”di solo square ada pameran fotografi lho... kayake kamu bakalan suka deh piye yen mengko janjian disana?”
”o...ya....? wah asik tu, yo wis kutunggu di sana ya, kabarin yen wis tekan”
“ok cu there, wassalamualaikum”
“wa’alaikum salam”
Tuuttt………
Segera kupacu sepeda motor menuju solo square, satu mall di kotaku yg akupun belum pernah kesana. Pandanganku langsung tertuju pada papan pengumuman, “pameran foto solo pos lantai 2” dan ternyata sepi… Cuma ada dua orang pengunjung, ternyata memang di luar dugaanku, hanya ada puluhan foto yang dipajang, Tema pameran diangkat dari tragedy yang menimpa kota ini beberapa tahun silam di bulan yang sama. Reformasi menarik massa ke jalan, anarkisme yang diabadikan dalam kamera mengisi tiap bingkainya. Kuambil beberapa gambar dari kameraku dan tak sampai 15 menit aku sudah mulai bosan. Gramedia menjadi tujuanku berikutnya, karena kurasa menjadi tempat yang paling nyaman untuk menunggu. Lumayan dapet bacaan gratis.
Setengah jam berlalu akhirnya tiba juga sahabat yang kunanti. Ilham... sosok yang tampak lebih gemuk (padahal sebelumnya sudah gemuk) dengan senyum khasnya menjabat tanganku. Beberapa saat aku tersenyum melihatnya, dan gak banyak berubah masih ”jayus” grogian dan apa adanya, sedikit berubah mungkin pertama kita bertemu setelah dia menikah, ajakanku untuk mencari tempat yang nyaman untuk barbagi cerita langsung di”iya”kannya dengan embel2 ”aku yang traktir”. Obrolan yang nyaman bersama saudara seukhwah yang kini mulai jarang kurasakan. sesekali dia bertelefon dengan rekan kerjanya, jepret sini-situ, bercerita seputar pekerjaannya, dan juga keluarganya, menasehati, dan juga ”mengen2i” he...he..
Waktu ashar mengharuskan kami untuk meninggalkan tempat ini, kami melangkah menuju satu masjid di belakang solo square, berjama’ah bersamanya mengingatkan masa2 waktu kita masih belajar di jogja dulu bersama 5 teman kami lainya.
”bar iki rencana ning ndi ham?”
”yen kowe gelem aku iso ngancani sampe sebelum maghrib, kowe pengen ning ndi?”
“yang baru di solo opo yo? Aku wis suwe gak mubeng2 je”
“wis tau ning kampung laweyan, aku wingi liputan ning kono, ceritanya mengangkat kembali potensi kampung batik di solo?”
“wah boleh juga tuh, yok”
Kampung laweyan? Dulunya adalah tempat saudagar2 batik ternama di solo, sempat tertutup popularitasnya selama beberapa dasawarsa, belakangan pemda mengangkatnya kembali menjadi potensi wisata di solo, puluhan kios yang sekaligus rumah produksi berderet di setiap gank. plakat2, lampu hias, dan beberapa halte semakin mengajak kita kembali ke tempo dulu, mengundangku untuk mengambil beberapa gambar. Ilham yang notabene wartawan media cetak juga tertarik mengambil setiap moment. Perjalanan kami akhiri di sudut jembatan sambil bernostalgia dan bercerita ringan.
Note : Thanks ham, kapan ku balik solo lagi ntar ku hubungi ya
Kelezatan dunia ini tinggal tersisa 3 perkara: qiyamul layl, berjumpa dengan saudara seiman, dan sholat berjama’ah
Ibnul Munkadir (Tazkiyatun Nafs)
"Sam Po Kong" temple, Semarang of Central Java.
On 23-24 July, I was invited to join XL Net Rally 2011, a service preparation by PT XL Axiata, one of main cellular providers in Indonesia, for Ramadan and Eid ul-Fitr great holiday. The rally was held on the train, Jakarta to Semarang, Central Java, for network monitoring; a night at Semarang attending Obrolan Langsat (Obsat), a talkshow exposing XL and police department's Traffic Management Center (TMC)'s readiness on Eid ul-Fitr's great holiday trip; and ended on Sunday morning for city sightseeing on two main tourist venues at Semarang.
While at the day before, similar event had been carried out to a group of journalists, I was invited as blogger, among about twenty others.
On 23-24 July, I was invited to join XL Net Rally 2011, a service preparation by PT XL Axiata, one of main cellular providers in Indonesia, for Ramadan and Eid ul-Fitr great holiday. The rally was held on the train, Jakarta to Semarang, Central Java, for network monitoring; a night at Semarang attending Obrolan Langsat (Obsat), a talkshow exposing XL and police department's Traffic Management Center (TMC)'s readiness on Eid ul-Fitr's great holiday trip; and ended on Sunday morning for city sightseeing on two main tourist venues at Semarang.
While at the day before, similar event had been carried out to a group of journalists, I was invited as blogger, among about twenty others.
On 23-24 July, I was invited to join XL Net Rally 2011, a service preparation by PT XL Axiata, one of main cellular providers in Indonesia, for Ramadan and Eid ul-Fitr great holiday. The rally was held on the train, Jakarta to Semarang, Central Java, for network monitoring; a night at Semarang attending Obrolan Langsat (Obsat), a talkshow exposing XL and police department's Traffic Management Center (TMC)'s readiness on Eid ul-Fitr's great holiday trip; and ended on Sunday morning for city sightseeing on two main tourist venues at Semarang.
While at the day before, similar event had been carried out to a group of journalists, I was invited as blogger, among about twenty others.
Berbincang bersama sahabat sambil menikmati kopi malam dengan obrolan bermutu menambah hangat tali persaudaraan kita.
Hanya kepada Allah, Aku meminta jodoh. . . Menikah. Siapa tak bahagia bisa menikah? Menemukan jodoh sesuai dg harapan dan bersedia mengayuh bersama dalam mengarungi samudera kehidupan. Sadar, bila kesendirian itu butuh perjuangan yg sering melelahkan. Alhamdulillah ada teman, pengalaman, kenalan dan channel istrinya menjadi peluang. "Cariin ana istri dong akh.." ... hmm.. Bukan larangan, tapi jangan sampai kita berpasrah diri pada ikhwan yg mempunyai banyak kenalan (ikhwan) di berbagai tempat dg harapan mendapat akhwat yg bisa di rekomendasikan untuknya. "Jodoh mah tenang, toh akh X sering wara-wiri antar kota, nanti tinggal minta bantu cariin" Statement seperti ini sangat berbahaya, khawatir jatuh kepada kesyirikan. Bantuan seorang teman hanyalah sebab dan Allah sajalah yg Maha Pemberi karunia berupa istri yg insya Allah shalihah. Mohon saja kepada Allah serta yakin doa akan terkabul sembari meningkatkan kualitas diri. Allahu a'lam.. Menasehati diri, Bandung, 29 Rabiul Ula 1437 NB. Catatan ini berlaku jika kita tidak pacaran dan berusaha utk menikah melalui tahap2 yg syar'i. Semoga Allah mudahkan #tauhid #syirik #jodoh #faedah #nasehat #renungan #notes #ikhwan #akhwat #obrolan #teman #muhasabah via Instagram ift.tt/1kV6AGb
Pantura, north coastal of Java Island.
On 23-24 July, I was invited to join XL Net Rally 2011, a service preparation by PT XL Axiata, one of main cellular providers in Indonesia, for Ramadan and Eid ul-Fitr great holiday. The rally was held on the train, Jakarta to Semarang, Central Java, for network monitoring; a night at Semarang attending Obrolan Langsat (Obsat), a talkshow exposing XL and police department's Traffic Management Center (TMC)'s readiness on Eid ul-Fitr's great holiday trip; and ended on Sunday morning for city sightseeing on two main tourist venues at Semarang.
While at the day before, similar event had been carried out to a group of journalists, I was invited as blogger, among about twenty others.
Assalammualaikum Wr.Wb.
Dalam menyambut Hari Raya Idul Adha 1431 H, saya Insya Alloh dapat membantu Anda dalam menunaikan ibadah berQurban tsb. berupa memberikan penawaran menarik dengan menyediakan pilihan hewan Qurban berupa domba & kambing yang sehat & terjamin kualitasnya.
Penawaran hewan Qurban mulai dari Rp. 888.000, untuk lebih jelasnya dapat dicek di attachment Email ini yang terlampir brosur penawaran hewan Qurban dan profil UKM Warung Ternak, untuk memberikan gambaran Anda atas penawaran ini. Lalu harga tercantum di brosur yaitu harga ternak di kandang, sehingga tinggal ditambah ongkos kirim Rp. 20.000 s/d Rp. 30.000 perternak hewan yang bervariasi tergantung lokasi antaran seJabotabek.
FYI Alhamdulillah yang cukup laku untuk Domba Gibas Paket A & Kambing Jawa Paket A, dimana dari obrolan konsumen, kata mereka karena faktor kualitas ternak, harga, & kepuasan qurban tahun lalu.
Silahkan kontak saya biar afdol, jika mau konsultasi lebih lanjut. Semoga penawaran ini bermanfaat bagi Anda & dapat membantu Anda dalam menunaikan ibadah di Idul Adha tahun ini, serta lebih & kurangnya mohon maaf jika tidak berkenan.
Untuk melihat Profil Singkat Warung Ternak cek di => flic.kr/p/8NJWmJ
Wassalam. & Terimakasih
Ardika Percha
0856 807 2348
Warung Ternak : Solusi Ternak Sehat Terjamin
On 23-24 July, I was invited to join XL Net Rally 2011, a service preparation by PT XL Axiata, one of main cellular providers in Indonesia, for Ramadan and Eid ul-Fitr great holiday. The rally was held on the train, Jakarta to Semarang, Central Java, for network monitoring; a night at Semarang attending Obrolan Langsat (Obsat), a talkshow exposing XL and police department's Traffic Management Center (TMC)'s readiness on Eid ul-Fitr's great holiday trip; and ended on Sunday morning for city sightseeing on two main tourist venues at Semarang.
While at the day before, similar event had been carried out to a group of journalists, I was invited as blogger, among about twenty others.
On 23-24 July, I was invited to join XL Net Rally 2011, a service preparation by PT XL Axiata, one of main cellular providers in Indonesia, for Ramadan and Eid ul-Fitr great holiday. The rally was held on the train, Jakarta to Semarang, Central Java, for network monitoring; a night at Semarang attending Obrolan Langsat (Obsat), a talkshow exposing XL and police department's Traffic Management Center (TMC)'s readiness on Eid ul-Fitr's great holiday trip; and ended on Sunday morning for city sightseeing on two main tourist venues at Semarang.
While at the day before, similar event had been carried out to a group of journalists, I was invited as blogger, among about twenty others.
Semarang of Central Java's Culture Park.
On 23-24 July, I was invited to join XL Net Rally 2011, a service preparation by PT XL Axiata, one of main cellular providers in Indonesia, for Ramadan and Eid ul-Fitr great holiday. The rally was held on the train, Jakarta to Semarang, Central Java, for network monitoring; a night at Semarang attending Obrolan Langsat (Obsat), a talkshow exposing XL and police department's Traffic Management Center (TMC)'s readiness on Eid ul-Fitr's great holiday trip; and ended on Sunday morning for city sightseeing on two main tourist venues at Semarang.
While at the day before, similar event had been carried out to a group of journalists, I was invited as blogger, among about twenty others.
On 23-24 July, I was invited to join XL Net Rally 2011, a service preparation by PT XL Axiata, one of main cellular providers in Indonesia, for Ramadan and Eid ul-Fitr great holiday. The rally was held on the train, Jakarta to Semarang, Central Java, for network monitoring; a night at Semarang attending Obrolan Langsat (Obsat), a talkshow exposing XL and police department's Traffic Management Center (TMC)'s readiness on Eid ul-Fitr's great holiday trip; and ended on Sunday morning for city sightseeing on two main tourist venues at Semarang.
While at the day before, similar event had been carried out to a group of journalists, I was invited as blogger, among about twenty others.
"Sam Po Kong" temple, Semarang of Central Java.
On 23-24 July, I was invited to join XL Net Rally 2011, a service preparation by PT XL Axiata, one of main cellular providers in Indonesia, for Ramadan and Eid ul-Fitr great holiday. The rally was held on the train, Jakarta to Semarang, Central Java, for network monitoring; a night at Semarang attending Obrolan Langsat (Obsat), a talkshow exposing XL and police department's Traffic Management Center (TMC)'s readiness on Eid ul-Fitr's great holiday trip; and ended on Sunday morning for city sightseeing on two main tourist venues at Semarang.
While at the day before, similar event had been carried out to a group of journalists, I was invited as blogger, among about twenty others.
Assalammualaikum Wr.Wb.
Dalam menyambut Hari Raya Idul Adha 1431 H, saya Insya Alloh dapat membantu Anda dalam menunaikan ibadah berQurban tsb. berupa memberikan penawaran menarik dengan menyediakan pilihan hewan Qurban berupa domba & kambing yang sehat & terjamin kualitasnya.
Penawaran hewan Qurban mulai dari Rp. 888.000, untuk lebih jelasnya dapat dicek di attachment Email ini yang terlampir brosur penawaran hewan Qurban dan profil UKM Warung Ternak, untuk memberikan gambaran Anda atas penawaran ini. Lalu harga tercantum di brosur yaitu harga ternak di kandang, sehingga tinggal ditambah ongkos kirim Rp. 20.000 s/d Rp. 30.000 perternak hewan yang bervariasi tergantung lokasi antaran seJabotabek.
FYI Alhamdulillah yang cukup laku untuk Domba Gibas Paket A & Kambing Jawa Paket A, dimana dari obrolan konsumen, kata mereka karena faktor kualitas ternak, harga, & kepuasan qurban tahun lalu.
Silahkan kontak saya biar afdol, jika mau konsultasi lebih lanjut. Semoga penawaran ini bermanfaat bagi Anda & dapat membantu Anda dalam menunaikan ibadah di Idul Adha tahun ini, serta lebih & kurangnya mohon maaf jika tidak berkenan.
Untuk melihat penawaran menarik kami dalam menyambut Hari Raya Idul Adha,
cek di flic.kr/p/8NKosw
Wassalam. & Terimakasih
Ardika Percha
0856 807 2348
Warung Ternak : Solusi Ternak Sehat Terjamin
"Sam Po Kong" temple, Semarang of Central Java.
On 23-24 July, I was invited to join XL Net Rally 2011, a service preparation by PT XL Axiata, one of main cellular providers in Indonesia, for Ramadan and Eid ul-Fitr great holiday. The rally was held on the train, Jakarta to Semarang, Central Java, for network monitoring; a night at Semarang attending Obrolan Langsat (Obsat), a talkshow exposing XL and police department's Traffic Management Center (TMC)'s readiness on Eid ul-Fitr's great holiday trip; and ended on Sunday morning for city sightseeing on two main tourist venues at Semarang.
While at the day before, similar event had been carried out to a group of journalists, I was invited as blogger, among about twenty others.
"Gi ngopi 'ma temen"
Begitu jawaban pesan pendek tak lama setelah terkirim.
Berkali-kali dan berulang.
Sore kadang malam.
Selalu...
Sedapnya, pikir gue.
Terbayang pekat hitam aroma kafein dari asap tipis yang mengepul.
Teman?
Wah...
jangan-jangan selama ini gue bukan satu diantaranya?
Sebab tak pernah singgah ajakan menikmati "kemewahan" itu
meski dengan cangkir & takaran masing-masing atau sekedar basa-basi tawaran,
sembari duduk dengan obrolan basi sekalipun, huehehe......
Kini, tak perlu lagi-lah jauh-jauh melanglang,
jika duduk dihalaman belakang dengan secangkir kopi ternyata sudah membuat gue nyaman.
Meski tanpa teman.
Begitukah, sobat?
Words by Busan
On 23-24 July, I was invited to join XL Net Rally 2011, a service preparation by PT XL Axiata, one of main cellular providers in Indonesia, for Ramadan and Eid ul-Fitr great holiday. The rally was held on the train, Jakarta to Semarang, Central Java, for network monitoring; a night at Semarang attending Obrolan Langsat (Obsat), a talkshow exposing XL and police department's Traffic Management Center (TMC)'s readiness on Eid ul-Fitr's great holiday trip; and ended on Sunday morning for city sightseeing on two main tourist venues at Semarang.
While at the day before, similar event had been carried out to a group of journalists, I was invited as blogger, among about twenty others.
On 23-24 July, I was invited to join XL Net Rally 2011, a service preparation by PT XL Axiata, one of main cellular providers in Indonesia, for Ramadan and Eid ul-Fitr great holiday. The rally was held on the train, Jakarta to Semarang, Central Java, for network monitoring; a night at Semarang attending Obrolan Langsat (Obsat), a talkshow exposing XL and police department's Traffic Management Center (TMC)'s readiness on Eid ul-Fitr's great holiday trip; and ended on Sunday morning for city sightseeing on two main tourist venues at Semarang.
While at the day before, similar event had been carried out to a group of journalists, I was invited as blogger, among about twenty others.
On 23-24 July, I was invited to join XL Net Rally 2011, a service preparation by PT XL Axiata, one of main cellular providers in Indonesia, for Ramadan and Eid ul-Fitr great holiday. The rally was held on the train, Jakarta to Semarang, Central Java, for network monitoring; a night at Semarang attending Obrolan Langsat (Obsat), a talkshow exposing XL and police department's Traffic Management Center (TMC)'s readiness on Eid ul-Fitr's great holiday trip; and ended on Sunday morning for city sightseeing on two main tourist venues at Semarang.
While at the day before, similar event had been carried out to a group of journalists, I was invited as blogger, among about twenty others.
On 23-24 July, I was invited to join XL Net Rally 2011, a service preparation by PT XL Axiata, one of main cellular providers in Indonesia, for Ramadan and Eid ul-Fitr great holiday. The rally was held on the train, Jakarta to Semarang, Central Java, for network monitoring; a night at Semarang attending Obrolan Langsat (Obsat), a talkshow exposing XL and police department's Traffic Management Center (TMC)'s readiness on Eid ul-Fitr's great holiday trip; and ended on Sunday morning for city sightseeing on two main tourist venues at Semarang.
While at the day before, similar event had been carried out to a group of journalists, I was invited as blogger, among about twenty others.