View allAll Photos Tagged SENDU

Telah kudengar lagu itu berkali-kali...

lagu yang sama, yang terdengar semakin sendu...

lagu yang sama yang terdengar kian sepi..

lagu yang sama yang terdengar kian merintih

 

Seperti nyanyian sebuah hati yang berselimut keheningan yang beralaskan kesunyian

Seperti nyanyian sebuah hati yang merindu kedamaian...

yang mendamba kehangatan, serta sebuah senyuman darinya...

dan sebuah pertemuan dengannya...

 

Seolah dunia telah berhenti...

seolah waktu tak bererti, terpaku pada sebuah penantian, bilakah semua ini berakhir?

Christopher Artenato

Northern lights at Thingvellir national park

 

Update on 2009-12-24: Replaced with a 2/3 ratio version.

 

Prentanir

Þessa mynd geturðu keypt prentaða og upplímda á foam plötu á góðu verði.

Sendu póst á steinar@steinar.is ef þú hefur áhuga.

Aurora Borealis (Northern lights) at Thingvellir national park.

 

Prentanir

Þessa mynd geturðu keypt prentaða og upplímda á foam plötu á góðu verði.

Sendu póst á steinar@steinar.is ef þú hefur áhuga.

 

After looking at the Aurora forecast I spoke to a few fellow photographers. Couple of days later eight of us geared up and took of to experience probably the most amazing auroras I've ever seen.

Although beautiful, this wasn't completely painless. The temperature was around -20°C and as you know controlling a camera in thick gloves is literally impossible. Otherwise very well dressed we survived by keeping on the move, only stopping for a few shots at each spot.

Strangely this was my first "Aurora hunting" trip but certainly not the last one.

 

Other team members: Halli HHH, Lárus, Sissi, Indriði, Eyþór

Some of them have already posted their photos

 

Check out my portfolio: Steinar Hugi ljósmyndari

Shutter Speed: 1/40 sec

Aperture : F/ 8

Focal length : 72mm

ISO :100

   

PURNAMA MALAM

Mentari pagi sinari

perlu apa lagi?

 

Malam menanti bulan

bulan pelita temankan

kejora dan awan di dada langit

cahaya setia

 

Bahkan ada tersirat rahsia

hati pilu butuhkan rembulan jua

untuk mengubat rindu

untuk menerangi gelap

untuk jadi luahan sendu

untuk didodoi lena

 

kerna aku tahu

dibumi ini

berjuta hati turut

menanti-nanti

purnama malam

penuh syahdu

 

Na das hat richtig Arbeit gemacht....:-)))

Hiermit beendne ich meine kleine Dokumetation über die Künstlerin SHIOTA....VG HORST !

Hier nochmal der Link zu ihr und ihrer Arbeit

ist interessant...:-)

  

www.hr-fernsehen.de/sendungen-a-z/hauptsache-kultur/sendu...

Prentanir

Þessa mynd geturðu keypt prentaða og upplímda á foam plötu á góðu verði.

Sendu póst á steinar@steinar.is ef þú hefur áhuga.

Northern lights at Thingvellir national park shot from the cemetery showing Valholl in the background.

 

Prentanir

Þessa mynd geturðu keypt prentaða og upplímda á foam plötu á góðu verði.

Sendu póst á steinar@steinar.is ef þú hefur áhuga.

 

Check out my portfolio: Steinar Hugi ljósmyndari

Northern lights at Thingvellir national park

 

Prentanir

Þessa mynd geturðu keypt prentaða og upplímda á foam plötu á góðu verði.

Sendu póst á steinar@steinar.is ef þú hefur áhuga.

Gloomy monday.

Sejuk juga sendu.

"srir astu swasti prajabyah"

Selamat Hari Jadi Ke - 1267 Kota Salatiga.

.

Canonet ql17 GIII-Agfa vista 200

.

.

.

www.instagram.com/gregoriusseptianfktheo/

lakolakokhatulistiwa.blogspot.co.id/

Sometimes if you're lucky, someone comes into your life who'll take up a place in your heart that no one else can fill, someone who's tighter than a twin, more with you than your own shadow, who gets deeper under your skin than your own blood and bones.

 

=======================

 

-----------------------------------

 

Suamiku…

Usah gusar

Bila melalui jalan sukar

Kerana kita harus sedar

Hidup tidakkan mudah

Jika semangat kita lemah…

 

Suamiku…

Usah membisu

Jika ada rasa terbuku

Bukankah kita ditakdirkan bersatu

Berkongsi rindu dan sendu

Kerana kita harus tahu

Beratnya beban menanggung pilu…

 

Suamiku…

Memang tidak mudah

Untuk memulakan alam baru ini

Tetapi kita tongkah dengan seribu tabah

Dan…semusim sudah kita bersama

Semua yang pahit jadi indah

Bila haluan kita searah…

 

Suamiku…

Menjelang malam ini

Ingin kupinjam cahaya bintang

Biar ia menyinar

Hingga ke siang

Kerana kilaunya adalah

….KASIH SAYANG ISTERIMU

 

apa memang karena kuping melayu

suka yang sendu-sendu

 

#efekrumahkaca

#Gosip Top :Simak Agnes Monica Bawakan Lagu Sendu 'Sebuah Rasa'0

  

Dua gentong berusia ratusan tahun itu bagai sepasang manusia renta yang tercampakkan. Keduanya duduk muram di sudut kamar paling belakang. Menekur diam. Bibirnya berlumur lelehan pewarna yang pekat dan sudah mengering.

 

Menatap gentong tua itu tiba-tiba aku seperti melihat bayangan ibumu. Melihat kedua tangannya yang berwarna kerak nasi dan telah menghasilkan lembar-lembar batik gentongan, yang sebagian dijual dan sebagian lagi sudah dipersiapkan untuk pernikahanmu, sebagaimana kewajiban seorang ibu memersembahkan hadiah itu, meskipun sudah pernah kautegaskan bahwa itu tidak perlu!

 

Dialah perempuan Tanjungbumi yang tak lelah menyunggi tradisi meskipun berkelindan dengan sepi.

 

***

 

Lepas hari ketujuh, para tetangga tak lagi bertandang. Tentu mereka kembali sibuk dengan kain mori, lelehen lilin dan gentong, yang sempat ditinggal selama sepekan karena ikut bantu-bantu di sini, di rumahmu.

 

Sepulang dari pekuburan di penghujung senja, setelah menyirami pusara ibumu dengan air bunga dan doa, aku mampir ke rumahmu. Kunyalakan lampu di teras, di ruang dalam, di kedua sudut belakang rumah dan di pojok halaman. Kutatap tembok bercat putih gading, plafon, lantai mengilap, lemari yang masih baru, pintu kayu berukir, sofa, semua hanya benda-benda asing yang nanti takkan pernah memberi kenangan apa pun padamu! Percayalah!

 

Tali jemuran yang membentang di tepi halaman, tempat ibumu mengangin-anginkan kain batik yang baru dicelup pada pewarna, juga pohon jambu biji di belakang rumah yang kini mulai menguning daun-daunnya, keduanya akan mengasingkan dirimu, seperti kawan lama yang enggan menyapa.

 

Hanya pada dua gentong tua itu akan kautemukan bayangan ibumu. Bersama benda peninggalan leluhur itulah ibumu berkarib memilin sepi. Menunggumu pulang dengan kerinduan berkelindan. Dan kini, benda tua itu tampak muram ditinggal pemiliknya. Gelap yang tersisa saat kulongokkan kepala, mengintip ke dalam. Mirip bilik dada ibumu; tak tertebak bagai lorong rahasia yang panjang.

 

Dalam gentong tua itulah ibumu mencelup dan merendam kain mori yang sudah direngreng dan dipolesi lelehan lilin, untuk mewarnainya, menggunakan pewarna dari kulit mengkudu, kulit mundu campur tawas, daun tarum, kulit pohon jati, dan pewarna-pewarna alami lain.

 

Kain mori yang sudah direndam sekian lama diangkat, dianginkan, lalu dicelup lagi. Dianginkan lagi, dicelup lagi. Dianginkan lagi. Dicelup lagi. Lalu direndam lagi. Satu lembar kain batik membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk menghasilkan warna yang pekat dan lekat. Sungguh suatu proses panjang dan melelahkan. Aku yakin, dari proses pekerjaan itulah kesabaran serta keteguhan ibumu terlatih. Tangannya sampai berwarna kerak nasi. Bahkan sewaktu kecil kau selalu menolak disuapi menggunakan tangannya yang cokelat kehitaman.

 

Sempat terlintas di benakku, apakah warna pekat dalam gentong tua itu yang telah menyuramkan kehidupan ibumu, atau justru kelahiranmu yang telah melurup cahaya dalam kehidupannya?

 

Kata ibumu, kau lahir pada Ahad legi surup hari, ketika beras di dapur tinggal sekenyang burung, dan ayahmu sedang melaut meninggalkan dompet kosong. Ibumu melahirkan dalam kesendirian menjelang gelap malam, di usia kandungan belum genap sembilan bulan. Pertolongan pertama diberikan seorang ibu tetangga terdekat yang mendengar jerit tangis pertamamu, yang tak lain adalah ibuku.

 

Air susu ibumu yang hanya setetes-duatetes kekuning-kuningan membuatmu menangis lapar siang dan malam. Daun katuk, daun pepaya, tidak banyak membantu kesuburan air susunya. Akhirnya, hasil ayahmu melaut semakin tak mencukupi kebutuhan karena harus membeli susu formula. Apalagi dengan mengasuhmu yang rewel, ibumu tak lagi bisa membatik untuk membantu bergeraknya roda ekonomi keluarga.

 

Utang terus bertambah demi memenuhi kebutuhan sehari-hari, membuat ibumu tak berani mencegah saat ayahmu meminta izin membuka usaha warung makan di Pasar Blega, mengikuti jejak sepupunya yang sukses membuka usaha di sana.

 

Dengan menggadaikan sepetak tanah untuk modal dan uang sewa lokasi, ayahmu berangkat setelah menggelar acara timangan di usiamu yang menginjak 40 hari, dan telah menambah tumpukan hutang demi acara itu.

 

Enam bulan ayahmu bolak-balik Blega-Tanjungbumi, pulang setiap Kamis sore, kembali ke Blega pada jumat pagi. Menginjak bulan ke tujuh, ayahmu mengajak ibumu membantu usahanya yang mulai ramai pelanggan. Kau disuruh titipkan pada bibi, adik kandung ayahmu yang belum dikaruniai keturunan meskipun sudah empat tahun menikah. Apalagi kau memang tidak menyusu. Akan tetapi, ibumu menolak ikut dan meminta cari orang lain untuk membantu pekerjaan ayahmu.

 

“Dia masih terlalu kecil untuk dititipkan.” Jelas ibumu saat bercerita pagi itu, ketika kau memintaku menemuinya setelah kaukirimkan sejumlah uang untuk merenovasi rumah.

 

“Kenapa tidak membawanya ikut serta?” tatapku.

 

“Masalahnya, kalau semua pergi, rumah ini jadi kosong, tidak ada yang menempati dan merawatnya.”

 

Alasan ibumu, seraya memberi noktah pada hamparan kain mori dengan canting yang baru dicelupkan pada lelehan lilih. Aroma lilin yang didih dalam wajah lebih kukenali sebagai aroma perempuan di kampung ini.

 

Sekarang baru aku mulai mengerti alasan ibumu tidak sesederhana itu.

 

Apakah kau masih ingat? Menginjak usia delapan belas tahun, ketika kau meminta izin melanjutkan pendidikan ke luar Madura, wajah ibumu berubah sendu seperti langit tersaput awan kelabu.

 

“Tidak usah jauh-jauh!”

 

“Masih di seputar Jawa.”

 

Sudah biasa kulihat kau merajuk setengah memaksa.

 

“Keluar dari kampung sendiri namanya tetap jauh. Tidak baik bagi anak perempuan!”

 

Bukan hanya sekali kudengar pertanyaan bernada protes kau ajukan untuk hal-hal lain, ketika terbentur aturan sebagai anak perempuan. Bahkan sewaktu kecil, ketika ibumu melarang memanjat pohon jambu biji, kau pun menunjukkan protes yang sama. Padahal waktu itu aku yakin, kau bisa memanjat lebih tinggi mengalahkanku. Akibatnya, kau hanya bisa menengadah di bawah seraya mengemis lemparan dariku yang nangkring kegirangan di dahan sambil mengunyah jambu biji yang sudah matang. Kau semakin merengut kesal karena tidak segera kulempari buah jambunya, justru kulit sepahan yang sengaja kusemburkan ke bawah sambil tertawa mengejek. Penuh kemenangan.

 

Aku yakin hatimu merutuk geram karena terlahir sebagai anak perempuan yang terlalu banyak dikenai aturan!

 

“Kau bisa melanjutkan sekolah di sini.” Jawab ibumu, setelah diam sesaat.

 

“Sukdi melanjutkan ke Jogja! Masa aku di Madura terus?” sungutmu.

 

Untuk ke sekian kali aku tersenyum menang.

 

“Dia laki-laki!”

 

Weeeek!

 

Kujulurkan lidah, mengejekmu seperti biasa.

 

“Apa bedanya laki-laki dan perempuan? Nilaiku lebih tinggi dari nilainya!” kejarmu tak terima.

 

Ibumu tidak menyahut.

 

Kemampuanku memang selalu di bawahmu dalam hal apa pun, termasuk nilai mata pelajaran. Hari libur, waktu yang biasa kau habiskan dengan mengulang pelajaran untuk menghadapi ujian malah kupergunakan untuk membantu ibu menguliti pohon jati dan mengkudu. Kadang aku juga membantu ibumu. Aku beruntung saja karena terlahir sebagai laki-laki yang selalu dianggap lebih istimewa dari anak perempuan.

 

Saat itu kau tetap berkeras hati mendapatkan kesempatan yang sama sepertiku. Jelas tidak mau sekadar menengadah sebagaimana yang pernah kau lakukan di bawah pohon jambu

 

Biaya pendidikan kau peroleh dari pemberian ayahmu yang disimpan oleh ibumu. Sejak mendengar ayahmu menikahi perempuan yang telah membantu usaha warung makannya dan hanya sesekali pulang untuk menyerahkan uang, ibumu tidak pernah menggunakan uang itu, kecuali untuk kebutuhanmu jika ia sudah merasa tidak mampu.

 

Keteguhan hasratmu membuat ibumu kembali terjebak dalam kepentingan dan kebutuhan di luar keinginan dirinya. Ia terpaksa melepasmu pergi dengan hati terkunci, hingga kita tidak bisa membaca apa yang tersimpan di bilik dadanya.

 

Setelah kuliah kau selesaikan dengan prestasi gemilang, dengan mudah kau memeroleh pekerjaan mapan bergaji besar di tanah rantau, hasrat dan dendammu pun menjulang. Hendak kau buktikan pada kampung halaman bahwa perempuan juga mampu mendulang kesuksesan.

 

Hal yang sama terulang. Ketika ibumu usai bercerita tentang masa lalu pagi itu, lalu kusampaikan pesanmu, bahwa rumah yang selama ini ditinggali hendak kaurobohkan diganti dengan rumah yang baru tanpa ingin melibatkan sang ayah, sekali lagi ia memilih mengalah memeram desah.

 

Kau lupa satu hal, bahwa ibumu semakin tersuruk dalam lorong panjang yang kian suram. Tidak ada lagi rumah penyepuh kenangan, dan kau seolah lupa jalan pulang. Bahkan, setelah ibumu tiada pun kau tak sempat mengantarnya ke pekuburan, seolah kabar duka yang kukirim tak pernah sampai.

 

***

 

Ketahuilah! Setelah orangtua tiada, hilang rumah bagi anak perantau untuk pulang. Aku telah merasai itu. Setelah ibuku pergi, rumah yang tertinggal bagai tempat asing daalam persinggahan. Tidak punya tetangga. Tidak punya teman dekat. Hidupku terasing di kampung sendiri.

 

Sejak itu aku mulai mengerti. Rumah, yang pernah dipertahankan ibumu, tak lain adalah lingkungan tempat menjalin ikatan, tempat berbagi kasih sayang, membangun rasa kepedulian, melestarikan jejak warisan, yang seharusnya dirawat oleh sentuhan tangan perempuan.

 

Akan tetapi, barangkali kesempatan masih bisa kau gapai. Bukankah bagi perempuan Tanjungbumi, selain lingkungan ia masih memiliki gentong tua sebagai rumah pengabdian? Sejauh-jauh melambungkan angan di tanah rantau, pada warisan nenek moyang ia akan menemukan tempat untuk pulang, kecuali selamanya ingin jadi pengembara dan melupakan tanah kelahiran.

 

Apakah kau masih akan menyesal terlahir sebagai anak perempuan, Sum?

 

Muna Masyari, lahir 26 Desember 1985, tinggal di Pamekasan, Madura. Peraih Cerpen Terbaik Pilihan Kompas 2017. Muna sehari-hari bekerja sebagai penjahit pakaian untuk orang-orang sekitar desanya. Tahun 2010 sudah mengirim cerpen ke Kompas, tetapi baru tahun 2016 cerpennya “Celurit Warisan” dimuat. Cerpen ini pun kemudian lolos seleksi untuk buku Cerpen Plihan Kompas 2016.

 

Made Arya Dwita Dedok, lahir 10 Juni 1971 di Denpasar. Kini menetap di Magelang, Jawa Tengah. Menempuh pendidikan di SMSR Denpasar dan kemudian Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Pernah mengikuti residensi seniman di Vermont Studio Center, Johnson, Vermont, Amerika Serikat. Finalis kompetisi seni rupa UOB Bank Jakarta 2011.

 

[1] Disalin dari karya Muna Masyari

[2] Pernah tersiar di surat kabar “Kompas” Minggu 23 Desember 2018

 

The post Gentong Tua appeared first on Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara.

 

via Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara bit.ly/2rTwPTI

Pancolar 50mm f1.8

  

Pohon jambu di depan saya, di halaman rumah sahabat yang mati disembelih dua tahun lalu, seperti sedang mengajak bicara. Tentu saya tidak paham bahasa pohon, namun mengira ia berusaha bicara. Tentang apa, saya tidak tahu. Daun-daun jambu itu bergesekan seperti orang berbisik. Kalau benar apa dugaan saya, ia jelas membisiki saya sesuatu bernuansa purba dan ganjil. Sesuatu tentang kematian.

 

Mila, pacar saya, tidak terlalu percaya kata-kata itu. Padahal saya ceritakan sepenuh semangat bahwa saya merasa pohon jambu itu berbisik.

 

Memang saya tidak bisa buktikan atau paling tidak menirukan ucapan pohon itu, tetapi saya yakin apa yang saya rasakan tidak salah.

 

“Kebanyakan melamun kamu,” celetuk Mila pendek.

 

Saya tidak bisa membela diri. Lagi pula, laki-laki — menurut Mila — adalah sumber kebohongan dan perempuan selalu benar. Saya tidak tahu apa semua perempuan di muka bumi berpikir demikian ataukah cuma segelintir kecil atau sebagian besar. Saya tak tahu jumlah tepatnya pendukung opini tersebut. Tapi yang pasti, Mila termasuk di dalamnya sehingga saya rasa percuma bercerita menggebugebu soal pohon jambu yang bisa berbisik. Toh, ia juga tidak bakal percaya. Ia hanya akan percaya pada hal-hal yang membikinnya bahagia.

 

Saya sebenarnya tidak mau cerita ke siapa-siapa soal pohon ajaib ini. Sering, setiap mampir ke rumah almarhum sahabat itu — sekadar mengirim puding cokelat kesukaan sang ibu yang kini sebatang kara dan membuat saya sangat iba — bila hendak pulang dan memakai sepatu di undakan teras, pohon itu seperti memandangi saya entah dengan cara apa.

 

Pohon memang tidak bermata tetapi saya merasa ia mulai berkembang dari sekadar berbibir serupa manusia, meski sebatas untuk berbisik dan entah bagaimana pula bentuk bibir itu, hingga memiliki mata yang saya juga tidak tahu bagaimana bentuk dan di mana letaknya.

 

Yang satu ini memang sulit dan mustahil kedengaran; barangkali cuma saya saja yang merasa dipandangi oleh pohon, padahal aslinya ia tidak melakukan itu.

 

Tapi, entah kenapa, saat berusaha menepis pikiran itu dan saya mulai jalan ke mobil yang terparkir sejarak tujuh meter dari pohon jambu tersebut, saya seperti sedang diintai maut.

 

Kali ini saya tidak bisa menahan diri untuk tidak memaksa Mila percaya.

 

“Kamu gila, ya?” justru itu yang saya dengar.

 

Saya tidak gila, kata saya marah. Itu dia kenapa saya mau ajak kamu ke sana, ke rumah almarhum sahabat saya itu, yang mati disembelih dua tahun lalu.

 

Mila marah dan menganggap saya menjejalkan kebohongan demi kebohongan ke kepalanya agar suatu saat saya bisa selingkuh tanpa ketahuan — atau paling tidak, tanpa membuatnya protes.

 

Akhirnya kami putus. Dan pohon itu tetap membisiki saya sesuatu yang purba dan ganjil, serta memandangi saya di berbagai kesempatan kunjungan yang saya lakukan pada ibu almarhum sahabat saya.

 

Saya, tentu saja, merasa terganggu dan tidak nyaman. Tidur tidak nyenyak, makan tidak kenyang, bahkan buang hajat pun saya lakukan dengan tergesa-gesa, seolah saya sedang dikejar sesuatu, tetapi tidak tahu apa sesuatu itu. Padahal pohon jambu itu juga masih berdiri di halaman depan rumah orang yang dulu pernah jadi sahabat saya. Ia tidak berkaki — pastilah. Tak terbayang kalau pohon ajaib itu mendadak menggeliat dan menarik seluruh akarnya yang tertanam di tanah dan menampilkan wujud baru dari sebatang pohon: berkaki. Ia akan kejar saya ke mana-mana dan membisiki saya sesuatu yang mengerikan terkait kematian dengan bahasa yang bukan bahasa manusia. Ia juga memandangi saya kapan pun dan di mana pun; di tempat tidur, di mobil — sementara ia berlari menyetarai laju mobil saya, di kantor, di mini market, di rumah Mila (saya masih suka diamdiam mengupingnya dari luar jendela, sedang bernyanyi lagu sendu karena rindu memiliki kekasih yang baik).

 

Namun, jangan berpikir saya akan kembali mengajak perempuan itu pacaran; saya sibuk dengan urusan menghindari pikiran jelek soal si pohon dan mungkin merancang rencana penyelamatan diri bila kelak diperlukan. Segala kemungkinan bisa saja terjadi, bukan? Saya sendiri tidak tahu bagaimana mulanya pohon itu berbisik. Apa hanya saya seorang yang tahu ia begitu, atau adakah orang lain yang juga tahu namun merahasiakan pengetahuannya soal ini?

 

Kepada ibunda almarhum sahabat saya, tentu saja saya tidak cerita. Mungkin saja beliau sedih dan mengira itu anaknya. Maksud saya, pohon itu dirasuki arwah anaknya yang penasaran karena penyembelihan itu tidak jelas dilakukan oleh siapa. Saya tahu bagaimana sahabat saya itu pada suatu malam kelihatan gusar. Lalu kira-kira seminggu kemudian dia diseret beberapa lelaki dan besok paginya saya tahu dia mati. Kepalanya diangkat ke sana kemari oleh orang-orang yang saya ketahui sebagai teman saya juga, tetapi di sana sangat banyak manusia dan mereka rata-rata berteriak girang.

 

Saya tidak ingin menyalahkan siapa-siapa terkait kematian sahabat saya itu. Saya juga tak ingin mengungkit-ungkit masalah itu. Biarlah kisah itu hilang, karena toh saya tahu percuma mencari tahu pelaku penyembelihan di antara sekian banyak orang, yang juga melakukan hal serupa ke orang-orang bernasib malang lainnya. Sungguh sesuatu yang mengerikan bila peristiwa itu menjadikan arwah iaósahabat baik saya ituótidak tenang, sehingga merasa perlu merasuki sebatang pohon jambu demi menyampaikan suatu pesan.

 

Kematian, cuma itu yang ada di kepala saya berhari-hari, berminggu-minggu, usai mendengar bisikan si pohon serta merasa yakin dipandangi olehnya selama saya berada dalam jarak jangkau pandangnya. Lalu saya putar ulang rutinitas berkunjung ke rumah itu yang dimulai setahun setelah sahabat saya mati. Seingat saya, tidak ada gejala itu; tidak ada bisikan dan tatapan pohon. Atau ketika itu saya belum menyadarinya?

 

Saya baru tahu kalau ibu almarhum sahahat saya menyimpan ketakutan yang sama. Beliau bilang, “Hawa buruk melingkupi rumah ini. Maut sewaktu-waktu dapat datang, walaupun saya sedang makan puding cokelat.”

 

Puding itu saya pesan pada seorang pembantu di rumah seorang jenderal, yang juga sahabat saya, yang biasa memberi hadiah puding untuk anak-anaknya. Saya bayar pembantu itu atas jasanya memasak puding cokelat dan saya berikan pada ibu almarhum sahabat saya yang mati disembelih dua tahun lalu, untuk kami makan berdua. Di tengah kenikmatan makan puding, kadang-kadang ibu sahabat saya bicara soal kematian, atau di lain waktu bicara soal surga dan neraka.

 

“Sebenarnya sudah terlalu lama kita hidup di surga, walau terasa seperti neraka.”

 

Saya tidak tahu maksudnya dan malah lagilagi membayangkan pohon itu berkaki, lalu bertangan, dan akhirnya bermulut sehingga bisa mengejar dan menerkam saya. Ia pun membuat saya bermimpi buruk mati ditelan bulat-bulat oleh sebatang pohon jambu. Sangat mengerikan. Apa ini yang disebut surga? Saya tidak yakin. Surga harusnya dipenuhi hal menyenangkan seperti pohon yang dapat bernyanyi dan tidak mengejar dirimu, apalagi memangsamu.

 

Di kunjungan terakhir saya, ibu almarhum sahabat saya itu mulai menginterogasi saya soal sesuatu yang lain, “Kamu jebak anak saya, ya?”

 

Saya makin bingung. Saya bilang saya tidak menjebak siapa-siapa dan saya tidak tahu apa-apa soal penculikan beberapa warga yang akhirnya disembelih ramai-ramai.

 

Saya sendiri kehilangan sahabat, tetapi tidak bisa melakukan apa-apa kecuali membuat perempuan tua itu merasa tidak sebatang kara di hari tuanya.

 

Tapi penjelasan saya dianggap bohong. Saya ingat bagaimana Mila menuduh saya sinting dan pembohong, lalu kami putus. Waktu itu saya merasa sangat terhina dan sakit hati. Tetapi kalau dibandingkan dengan perasaan saya sewaktu mendengar tuduhan ibu almarhum sahabat saya, jelas kalah telak. Di sini, di meja makan ini, di hadapan dua piring puding cokelat, saya bukan lagi merasa hina dan sakit, tetapi juga berdosa.

 

Saya bayangkan sebatang pohon jambu mengejar-ngejar saya. Dan ia meludah tiga kali berupa darah amis pekat ke sekujur tubuh dan seragam militer saya. Pada saat itu, sembari berusaha tidak tertangkap, saya bisa mencium kehadiran malaikat maut di dekat saya; sesuatu yang purba dan ganjil. Lalu tubuh saya dirubungi belatung-belatung serta mulai menampakkan luka-luka menganga yang sangat menjijikkan.

 

Saya sulit dikejar karena fisik saya amat terlatih dan bugar. Maka saya terus berlari sampai berhari-hari, berminggu-minggu, berbulanbulan, bertahun-tahun, hingga nyaris setengah abad saya terus berlari menghindari kejaran pohon jambu yang dirasuki arwah sahabat saya yang tidak terima dituduh macam-macam lalu akhirnya mati disembelih. Sesekali saya beristirahat dengan mampir di rumah-rumah gedong para kolega. Di situ saya membalut luka dan menghalau belatung-belatung tadi sekadarnya, lalu kembali berlari. Sesekali mampir ke kelab malam yang pelanggannya pria-pria berambut blonde, lalu kembali berlari. Begitulah.

 

Saya tidak tahu sampai kapan saya harus berlari karena pohon jambu itu memang benarbenar sudah keluar dari tempatnya berpijak selama beberapa tahun. Dan kini, hari ini, ia jelas sudah bermulut dan siap sewaktu-waktu menelan saya bulat-bulat, lengkap dengan berbagai atribut yang saya kenakan, sesuatu yang juga tidak pernah saya lupa di masa lalu, ketika melihat orang-orang melempar tubuh-tubuh itu ke lubang besar dalam kondisi tanpa kepala.

 

Bagaimana kabar Mila? Saya dengar dia sudah kawin dengan seorang petani dan punya banyak cucu. Kemarin lusa dia mati karena penyakit liver dalam usia tujuh puluh. Dan dia dikubur tidak jauh dari tempat kami pacaran, tempat yang tidak terlalu jauh dari kuburan almarhum sahabat saya. (28)

 

Gempol, 2015-2018

 

– Ken Hanggara lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya Museum Anomali (2016), Babi- Babi Tak Bisa Memanjat (2017), Negeri yang Dilanda Huru-Hara (2018),dan Dosa di Hutan Terlarang (2018).

   

[1] Disalin dari karya Ken Hanggara

[2] Pernah tersiar di surat kabar “Suara Merdeka” edisi Minggu 23 Desember 2018

 

The post Pohon Berbisik appeared first on Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara.

 

via Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara bit.ly/2LwETTs

Terkadang nyayian penderitaan negeri terungkap dalam nada-nada sendu tanpa lirik, dan Tuhan dapat dijangkau tanpa kata

SURABAJA

 

tiap kita djumpa

surabaja

aku selalu remadja

gembira kepada kerdja

pasti kepada harapan

surabaja

laut dan kota

rata

 

surabaja bau keringat

bau kerdja

ketegarannja harum semerbak

dan malamnja malam bertjinta

deritanja

terisak-isak

dalam dengus napas

darah bergelora

tjemara bersiut

meliut semampai

wilo merunduk

merenung sungai

besok ke laut

dia akan sampai

 

tapi ini!

malam pelaut

buih hidup

jang menggapai!

surabaja

lebih remadja

dalam bantingan usia

 

kutjinta surabaja

sebab dia kota kelasi

kurindukan surabaja

sebab trem berlari-lari

(djakarta? Term diganti impala!)

kusukai surabaja

sebab betja dan taman

ditepi kali

kubanggakan surabaja

sebab dia kota berani

kusenangi surabaja

sebab kedjantanan bernjanji

kepahlawanan bergolak

dari kantjah-kantjah jang menggelegak

dan tahun-tahun kenangan

jang diwariskan

mogok pertama

buruh kereta api

zeven provincien

buruh pelabuhan dan pelaut

bersatu hari

disiram hudjan peluru

dan dentjing belenggu

rantai besi, bendera pertama

internasionalisme proletar

dipantjangkan

proklamasi ? sitiga-warna diturunkan

dan dalam pelukan sang saka

dipandjatkan kepuntjak perlawanan

kemudian

diantara serpihan bom

jang mengojak

dan kota jang terbakar

terbakarlah semangat pertempuran

njalanja

tak terpadamkan

hingga kini

nanti

dan kapanpun

njalanja panas menempa

badja kemerdekaan

badja kehidupan

ketika kita tidak lagi bertanja

pilih njala atau pilih badjanja?

dan kita merebut

kedua-duanja!

djauh mengatasi segala

pekik pilu dan djerit sendu

ratapan kehilangan dan erang kesakitan

adalah bagai ibu jang melahirkan baji

jang kemudian memeluk dan menjusui

serta mengusap-usapnja dengan kesajangan kebahagiaan

disitu Hari Pahlawan

dilahirkan

kko pesiar

menunggu trotoar

kelasi-kelasi

melambaikan dasi

jang bernama “kesenangan” memperpandjang umurnja

maka itu djadi terlambat

tapi bus dan truk tidak menunggu

ajo, pulang djalan kaki!

tjinta sudah ketinggalan

ditembok-tembok kota

o, ketika kapal merapat lego djangkar

pelabuhan mengulurkan tangannja

dan lampu kota mengerdipkan matanja

dan bus-bus kadet menderu

megah

dan di tundjungan sikadet melangkah

gagah

putih-putih

dan gadisnja dua

jang satu pedang jang satu wanita

dan si gadis punja mata kedjut pelita

dan si pedang punja mata gelegak darah mudah

si kadet djua permata dari lautan

bukan main!

namun adakah permata berkilau

tanpa sebersit tjahja mentjekau?

dan tiadalah angkatan perang

tak bertulang-punggung

kukuh

merekalah

kelasi dan pradjurit

darat laut udara

polisi

milisia dari rakjat pekerdja

tangan-tangan badja jang keras menghentam

tidak perduli bom nuklir

tapi tangan!

tangan jang menentukan

jang menghajunkan pedang kemenangan

selama di djantungnja

debur-mendebur

gelora repolusi

mengabdi rakjat pekerdja

sokoguru

buruh

tani

matahari tenggelam

di djembatan wonokromo

surabaja berdandan

bagi malam berdesau

tjemara

tjadar kota

jang disingkapkan

surabaja

napas merdeka

jang dipertaruhkan

pahlawan-pahlawan lahir

pada djamannja dan diukur

oleh pengabdiannja

kepada rakjat

dan hari depannja

djaman lampaupun berlalu

djaman baru datang

melahirkan pahlawan baru

namun pahlawan sebenarnja

hanja tumbuh dalam lumpur dan debu

pembesar-pembesar boleh bermatian

orang-orang besar boleh berlahiran

tenaga segar dari kepahlawanan

djuga sekarang

djika muda-mudi berperasaan

merasakan hidup sampai ke tulang-sumsumnja

dan jang tua-tua teguh

membatu karang oleh hempasan gelora

merekalah orangnja

dan kebanjakannja

tak bernama

merekalah petani jang dirampas tanahnja

kembali merebutnja dari setan-setan desa

mereka jang berdjuang membebaskan dirinja

dari belenggu perbudakan tanah

dan buruh-buruh pelabuhan buruh pabrik

jang beruntun-rutun pagi hari

berkilat-kilat oleh keringat

dan hitam oleh matahari

pengangkut pasir jang menunggu

perahu menghajut ke gunung sari

betja jang berkerumun di lubuk djalanraya

kko – kelasi – pradjurit

jang ingat kepada asalnja

pegawai-pegawai jang sadar kepada klasnja

(bukan pemabok “karyawan jang mengingkari “makan-gadji”)

si miskin-kota jang kehilangan desanja

dan mengisi sudut-sudut gelap kota

dengan kerdap-kerdip pelita

petani-petani jang dirampok panennja

dan tepat menghidjaukan bumi, memerahkan tanah

pemuda peladjar mahasiswa jang membakar buku USIS*

dan mengusir setan-setan ilmu dari amerika imperialis

untuk mematahkan belenggu kebodohan

ratjun kemerdekaan jang berbungkus kenikmatan hampa

dan surabaja

berderap dalam tempik-sorak

meski bau tengik dan sarang malaria

sama banjak njamuk dan lalat dimana saja

tunggu! suatu hari pernjataan perang

djuga kepadamu!

disini ketegaran berkata sederhana

keras dan langsung kehulu-hatimu

jang sudah mati, ja sudah!

jang hidup sekarang, menjiapkan repolusi

dimana masing-masing beri djanji

merdeka atau mati!

bagi keringat kaum buruh

bagi tanah-tanah petani

bagi kepertjajaan kepada harapan

MANUSIA

ja, sekarang kita bertanja

sudahkan tanah bagi petani?

sudahkan keringat bagi kaum buruh?

jang sudah – sedikit!

jang belum – banjak!

menteri-menteri tetaplah turun naik

jang belum, kepingin djadi menterei

jang djelek, tak mau turun

jang baik, masih di podium

dan rakjat tetap menuntut: kabinet nasakom!

dan kabir-kabir main sunglap dengan peluru, wang, dan senjum

dengan tuantanah dan imperialis?

seketurunan! satu medja-makan dan sama-sama minum dan pemimpin-pemimpin munafik menghamburkan budi ikut berteriak “ganjang malaysia! Berdiri di atas kaki sendiri!”

kemak-kemik pantjasila, manipol, djarek, sukarnoisme

tapi main mata dengan modal monopoli

gudang ratjun komunisto-phobi

buruh phobi

tani phobi

partai phobi

imperialisme amerika? Tunggu dulu!

dan sardjana-sardjana membalik-balik bukunja

tapi tak mengenal aspirasi tanahairnya sendiri

dan seniman memabokkan diri dengan kepuasan murah

tak tahu kemelaratan dan kebangkitan rakjatnja sendiri

dan politikus mentjatut teori dengan “ala indonesia”

munafik-munafik ini mau melupakan sumbangan dunia

kepada sedjarah dan perdjuangan klas

sungguh, kekerdilan yang memalukan dan hina

adalah mereka jang mau menutup laut dengan telapak tangannja

laut daripada kebenaran perdjuangan klas

o, sudahkah keringat bagi kaum buruh?

sudahkah tanah bagi kaum tani?

jang menggarap!

jang menggarap!

jang menggarap!

betapa berbelit-belit

plintat-plintut

tapi adakah jang lebih tegas dari kebenaran?

sebab dia tak dapat digeser dari relnja repolusi?

abad-abad telah menjumbangkan lokomotip-lokomotip raksasa

jang menderu kentjang menembus belantara kegelapan

dengan perdjuangan klas dan repolusi

dengan marx, engels, dan lenin

dengan mau tje-tung, bung karno, dan aidit

dengan diri sendiri; rakjat tertindas

antara sabang dan sukarna-pura

di seluruh dunia dimana sadja

 

o, djanganlah hanja membaca hurup-hurup

tapi tak menangkap hakekat dan arti

o, djanganlah sungai lupa kepada laut

dan kemerdekaan tinggal abu tanpa api

sebab kami

surabaja

sudah banjak mati

 

sebab kepahlawanan sehari-hari

tidak pada jang sudah mati

berkata pemimpin besar repolusi

djaman ini djaman konfrontasi

pemimpin tengahan bitjara lain lagi

katanja: perdamaian universil dan konsepsi

 

dan perdamaian djadilah dewi ketjantikan

dan pedang kemerdekaan ditumpulkan

 

maka konsepsipun berlahiran diatas kertas

dan kertas-kertas berhamburan setjepat inflasi

mereka jang bekerdja dilaparkan oleh djandji

mereka jang malas berpikir tanpa batas

 

jang tak tahu ekonomi politik

mau bikin ekonomi politik

maka begitu naik djadi menteri

harga beras melambung tinggi

maka berkatalah rakjat suatu hari

bisa sekarang bisa nanti

stop!

mau konsepsi apa lagi?

kami sudah banting kemudi ke u.u.d empatlima

kami sudah bikin manipol dan nasakom

land reform dan dekon

ajo, konfrontasi

melawan tudjuh setan-desa

imperialis amerika

atau

sebelum roda ini melindas

minggir!

 

kami mau repolusi

kami mau buku dan pedang ditangan

kami mau tanah dan bedil dibidikkan

kami mau palu dan meriam didentumkan

kami mau pukat dan kapal-selam berkeliaran

kami mau indonesia dan rakjatnya jang gesit berlawan

bagi repolusinya dan bagi dunianya

bagi dunia dan bagi repolusinya

 

dan surabaja

senatiasa remadja

dalam bantingan usia

berdjuang

beladjar

kerdja

 

kutjinta surabaja

dia kota kelasi

kurindukan surabaja

sebab trem berlari-lari

kusukai surabaja

betja dan taman ditepi kali

kubanggakan surabaja

kota berani mati

kusenangi surabaja

kedjantanan jang bernjanji

 

surabaja

menghadang pukulan

menghantam

bertubi-tubi

disini tjemara bersiut

meliuk semampai

dan wilo merunduk

merenung sungai

 

kelasi, djika besok kelaut

djangan lupa kepada pantai

   

::: HAPPY BIRTHDAY SURABAYA :::

May 31th, 2013

Poem :: Agam Wispi

  

LAPANGAN tempat pembakaran mayat itu telah senyap. Sebentar lalu, suara gemeretak kayu yang membakar jasadnya masih terdengar riuh. Kini, tubuhnya telah habis dilalap api, meninggalkan abu dan segenggam sisa tulang-belulang yang tak bisa lebur dimakan bara. Tak lama setelahnya, dia melihat sisa tubuhnya dibawa pergi seorang kawan lama. Di dalam kendi yang dicat serupa emas itu, sisa tubuhnya disemayamkan. Entah mau dibawa ke mana sisa dirinya itu, ia tak peduli.

 

Senja kala yang ditingkahi mendung telah melahirkan malam jauh lebih gegas. Dia tak juga beringsut dari tempatnya berdiri sejak tadi. Tempatnya untuk melihat upacara pembakaran mayat. Pembakaran dirinya sendiri. Di bawah naungan pokok mahoni, dia seperti patung yang baru saja selesai dipahat. Bergeming tanpa adanya nafsu untuk beranjak dari tempatnya berdiam. Sampai akhirnya dia sedikit terperanjat, saat telapak tangannya yang telah mati dan dingin itu dijilati benda lunak yang basah.

 

Seekor lembu berwarna hitam berada di sampingnya. Entah dari mana lembu itu datang, ia tak tahu. Lembu itu menggoyang-goyangkan ekornya. Dengusnya terdengar memburu, seolah ingin mengajak perempuan yang sepucat pualam itu beranjak pergi. Sesekali lidah lembu itu masih menjilati telapak tangannya.

 

“Dari mana kau datang?” bisik perempuan itu sembari mengelus kepala si lembu.

 

Tak ada jawaban. Hanya lenguhan pendek yang terdengar.

 

“Kau lihat, di tengah lapangan itu, masih ada sisa gosong bekas pembakaran mayatku. Kau tak takut denganku? Kini aku tak lebih dari sesosok hantu,” perempuan itu tersenyum simpul.

 

Lagi, ekor lembu itu bergoyang-goyang. Lenguhannya terdengar perlahan namun tidak lemah. Seolah-olah dia sedang menjawab pertanyaan perempuan di hadapannya. Dia seekor lembu, yang tak mengenal takut apalagi pada sesosok hantu perempuan.

 

Perempuan itu tak lagi mengeluarkan kata-kata. Dia kembali ke posisinya awal. Bergeming. Matanya hanya menatap lurus. Malam mulai merambat. Senyap dan gelap kawin menjadi kekasih kelam yang sedikit menakutkan. Dari balik pohon yang tak jauh dari tempatnya berdiri, perempuan yang tubuhnya telah habis dibakar api itu melihat sesosok tubuh kecil melompat ke tengah lapangan. Tubuh gadis kecil berumur tak kurang dua belas tahun. Gadis kecil itu, tak lain adalah dirinya sendiri. Kini, gadis kecil bayangan dirinya itu melakukan hal sama. Gadis bertubuh kurus dengan dua kepang di kepalanya itu sedang mengamati sisa pembakaran jasadnya. Meski tak lama setelahnya, dia lesap dibawa angin yang berembus secara perlahan.

 

Perempuan itu masih terdiam. Meski lembu yang sedari tadi berada di sampingnya melenguh beberapa kali.

 

“Kau tahu, di tubuh gadis kecil itulah kali pertama aku melakukan pengembaraan sebagai perempuan yang selalu meneguk luka. Mungkin kau belum tahu itu,” ucap perempuan itu sembari menatap mata si lembu.

 

***

 

Api di tungku bergoyang-goyang terkena udara dari tiupan ibu. Meminang malam tanpa makanan di tengah dingin yang menusuk-nusuk tulang, gadis kecil berkepang dua itu lebih memilih berdiang di depan perapian bersama ibunya. Ibunya, seorang wanita yang sejatinya masih cukup muda. Namun gelombang hidupnya yang kerap pasang seakan membawa dirinya dalam kerentaan yang lebih cepat dari semestinya. Rambutnya telah berwarna dua. Wajahnya yang belum berlumur banyak kerutan itu terlihat senantiasa lesu. Tubuhnya begitu ringkih dan menyedihkan di ambang umur empat puluh tahun.

 

Gadis kecil berkepang dua yang belum genap dua belas tahun umurnya itu hanya menggerak-gerakan kedua telapak tangannya di bibir perapian. Ibu telah lama kehabisan beras. Singkong yang bisa mereka makan telah habis direbus tadi pagi. Siang sampai malam ini, mereka tak makan apa pun. Air putih saja yang mereka teguk untuk mengisi perut yang semakin melilit diterkam rasa lapar.

 

Suara pintu depan yang berdebam itu membuat mereka terperanjat. Gigil lantaran lapar menyilih menjadi gigil lantaran ketakutan. Suara langkah kaki yang berat namun memburu itu terdengar. Sebentar lagi manusia menakutkan itu akan muncul di pintu dapur. Benar saja, lelaki itu berdiri dengan sedikit limbung. Matanya yang merah menyala bagai sepasang mata milik lampor yang kerap merampas kedamaian malam kanak-kanak.

 

“Kau punya uang? Aku minta uang. Bajingan Sulaman itu mengalahkanku di meja judi hari ini,” suara berat itu terdengar. Basah dan serak. Aroma tuak yang membuat pening kepala menguar dari mulutnya yang busuk itu.

 

“Tidak ada uang, Bang. Bahkan beras habis. Singkong saja tak terbeli,” jawab perempuan yang merenta lebih cepat itu dengan rasa takut.

 

Lalu pukulan menghantam kepalanya. Perempuan itu terjerembap. Tangisnya tertahan. Tak lama lelaki pemabuk yang gila judi itu menghilang ke dalam gelap. Entah mau ke mana dia, mungkin mencari pinjaman uang ke kenalan untuk kembali berjudi. Gadis kecil berkepang dua hanya melihat ibunya dari sudut dapur. Dia menggigil sembari menangis. Tak lama gigilnya menjadi gemetar yang hebat tatkala dia melihat ibunya mengakhiri semuanya dengan pisau dapur yang memutus urat nadi di leher. Kali pertama dalam hidupnya, gadis kecil itu melihat seseorang membunuh diri. Ibunya sendiri.

 

***

 

Lelaki bermulut busuk yang kerap mabuk tuak itu menyimpan pura-pura dalam dukanya. Selepas pelayat pulang, di bergegas ke tempat judi. Uang dari pelayat dalam sekejap amblas di meja judi. Dengan badan sempoyongan, dia kembali ke rumah. Kali ini dia pulang dengan seorang lelaki asing.

 

“Dia anakku satu-satunya. Sudah mulai remaja, sebentar lagi dewasa dan matang. Kau bisa membawanya. Tentu saja dengan ketentuanku tadi,” ujar pria pemabuk itu dengan lelaki asing yang dibawanya.

 

Tak lama, gadis berkepang dua telah berpindah tangan. Dari tangan ayahnya yang kerap mabuk dan gemar berjudi ke tangan lelaki asing yang bahkan kali pertama ini dia lihat. Di tangan orang baru itu, dia diajak berkeliling ke tempat-tempat asing. Dari meja judi satu ke tempat meja judi lain, gadis berkepang dua selalu dibawa.

 

Waktu seakan cepat sekali berlalu. Bulan demi bulan berganti, bahkan tahun baru seakan cepat bertandang. Gadis kecil berkepang dua telah menjadi seorang perempuan muda yang mengembara. Selama bertahun-tahun mengikuti lelaki asing, dia merasa ada yang berbeda dari lelaki yang memeliharanya. Lelaki itu, yang ahli di meja judi, tak pernah menyentuhnya sebagai mana layaknya seorang lelaki kepada seorang perempuan. Dia hanya menjadikan perempuan muda itu tak ubahnya pesuruh dalam hal-hal tertentu. Padahal, di hati kecil perempuan muda itu telah tumbuh rasa yang begitu purba bagi manusia. Cinta kepada lelaki asing yang selama ini menjadi tuannya.

 

“Aku tak bisa menyentuh seorang perempuan. Aku tak bisa jatuh cinta, kepada seorang wanita,” ujar lelaki asing itu suatu hari tatkala perempuan muda memberanikan diri bertanya, mengapa lelaki yang selalu bersamanya sama sekali tak menyentuhnya.

 

Tak lama setelahnya, lelaki asing membawa perempuan muda pengembara itu ke kota asing. Di sana, dia menyerahkan perempuan muda itu kepada seorang perempuan tua. Seorang induk semang.

 

“Aku tak menjualmu. Hanya menitipkanmu kepadanya. Sebentar lagi aku akan mati. Sayang jika kau kubiarkan hidup sendiri.”

 

Ucapan lelaki itu menerbitkan sendu di dada perempuan muda. Hari itu juga, dia tinggal di kota yang terlahir di jantung kota besar. Tumbuh di dalam kota yang menua dengan degup yang berbeda. Kota yang sesak dengan rumah-rumah petak. Di kota ini, perempuan-perempuan muda tak perlu memiliki malu. Mereka kerap meneguk bergelas-gelas bir layaknya meminum sari buah. Got-got aliran air di kota kecil yang kerap dihujani kutukan itu kerap mampat lantaran karet-karet alat kontrasepsi dibuang ke dalamnya. Jorok dan penuh dengan hal-hal bedebah.

 

Perempuan muda yang dulu kerap mengembara dari meja judi satu ke meja judi lain, kini mengembara ke satu tubuh lelaki ke tubuh lain. Luka demi luka dia reguk saban waktu. Tangisnya tak lagi terdengar. Bukankah hidupnya sudah menderita sejak dalam kandungan? Ayah durhaka telah melahirkan luka di usianya yang masih begitu muda. Ibunya yang tak berdaya menerbitkan duka panjang bagi dirinya. Lalu lelaki asing yang dicintainya, melemparkan dirinya ke kota yang sarat dengan hal-hal celaka.

 

“Ada yang ingin aku lakukan sebentar lagi. Mimpi yang kujadikan kembang tidur saban malam,” ucap perempuan muda itu kepada kawan lama yang kebetulan hari itu bertandang.

 

Kawan lama, seorang lelaki setengah baya. Kawan karib lelaki asing yang dulu kerap mengajaknya mengembara. Malam itu, mereka bercakap-cakap layaknya dua manusia yang selama ini memendam rindu untuk bertemu. Tentu saja, setelah perempuan muda itu memberikan kepuasan di atas tilam untuk kawan lama yang baru saja bersua.

 

“Memangnya apa mimpimu itu?” tanya kawan lama sembari mengusir kantuk yang tiba-tiba melanda kedua matanya.

 

“Kematian,” ucap perempuan muda itu datar.

 

Mata kawan lama urung memicing. Dia menoleh dengan kaget. Dan keterkejutannya bertambah tatkala perempuan muda itu kehilangan napasnya. Entah bagaimana mulanya, dia tak tahu. Ajal itu datang secara tiba-tiba. Seakan alam menjawab mimpi perempuan muda yang dulu dikenalnya sebagai pengembara. Kematian itu datang, bahkan sebelum mereka beringsut dari atas tilam di kota kecil yang sarat dengan hal-hal celaka.

 

Lembu itu mengeluh. Suaranya terdengar tak sabar. Kali ini perempuan itu beranjak dari tempatnya. Dielusnya kepala si lembu. Di atas punggung lembu yang hitam kelam itu, dia duduk dengan khidmat.

 

“Ajaklah aku pergi dari sini. Tapi aku tak ingin kau ajak terbang ke langit. Aku belum hendak pergi ke nirwana. Bawalah aku keliling dunia. Jika kita temui perempuan sepertiku, ajaklah ia turut menunggangi punggungmu ini, karena menjadi perempuan dengan nasib buruk sepertiku adalah luka di atas luka,” ujar perempuan itu perlahan.[]

 

Salatiga, 25 Desember 2017

 

Artie Ahmad lahir di Salatiga, 21 November 1994. Beberapa cerita pendeknya tersiar di sejumlah surat kabar. Selain menulis cerita pendek, dia menulis novel. Saat ini berdomisili di Salatiga.

 

[1] Disalin dari karya Artie Ahmad

[2] Pernah tersiar di surat kabar “Koran Tempo” edisi akhir pekan 29 – 30 September 2018

 

The post Perempuan Pengembara yang Menunggangi Seekor Lembu appeared first on Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara.

 

via Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara bit.ly/2Nib6Nw

ɨo¬ýCýËogÿÐŤD1»Ç±SA¾õþÎqÂTzåÇ'!ÐøæÈd)Uc¼¤#zJ»®

Ó²õúÈaÊ!ÄþÐ;î»íî1²´jA§¨öë¿oíÇ÷'w­úÄ@£íߦøñ#

±mÓqµEU·®Ûxci\·íJ8«l¾ç¥>xx8Jþqü@qØàâÂT5+ÙΰÈ#ã!Ü}¾YVi¦Q¾O>Õt{ëRï[øÜ¤RßihPüAsº!2M3ù±þ³]g¡­]ÜåÒåhÐÔ

^\8-û9N<sºÿ9¶¬#µMÌsÃ5²Ù;@¬ácâì¼²\bDïYFê<½ K¤Ok;//ôi¤I&,uYÖÉ8Ñ÷Ëd$eÒ!G¨{Ãénc7çnt<zÆ´ëñec×{»=ê¶|«ùa´óÕàÞdg=

£°5¡#«ª |mÔ

ÜVìħ¨çÌòâiáËþ%«æâ²Ï/ZÛ5Ô7zd·D$`J<!Áa~<köø}Èê2X¯éSTñFd~]-êOfÊ5ë2ÀÐóWxë¸ÝÏÁöífòÞ?Tþ9DòÿÍ@20Æ#Ée2SécmÓßµa´145¡ÂÅ©\;ÚI

¨O!1*°b¤ÔÚ¨Í:ɺ^U¡iw)ç]6=Qd­Ô¤zÀ¹OIìÿ²äS?WðýLÉá2@Xy¯¿,ßMÖí¥Ó$ú½

ĦHÊ%R

â*yÔÿ.ÜU¿ÉÍ^«³â%ÅLܹ0϶èYïu{]dZËxòÃ

`¤MèòçûÏ¥¾ÉoösS©ÑIéâ2ÕnAµ <Õ¬èÏggo¤<·E

Å%üpÍñáêÉÌb&Wú?àoÿÑêE¼ê¸L©pLKckK½a¾C2­ÄÄGêHç!Gøñ-ñW-(8ZÈÕ0tÍô4é;hºQipßX°(U©þt|@ÿEÄEhZ>¹¥ÝÆnã3éò·ºµ"x,hK nÿ7: Häôkû¶V_Xsq

&â'ôɪÑÃãûY¨ÏÂ#¿õã®>f¬øºÿ­Ç!>N>~ÿÒãrÝèv£g|Pî.)B+Üy£>N¢B3Ò­7=NYliÞ6´×§­!îîÖ2í9ÿu¢

³µ+Ävûò²m,÷¯pRÎÞi§R¿·nX_hÓáÊÌçt:i$ZÌwí¨]Jÿ¥Ìs±z#â+N\¡­Ëìäáa&gé©cÓ'h¦+æ+h÷%õåH,2¹|%_¥xþÆkõzhK~¾ÿæÿEº,̾f¸½Ö,mnm¾¯b&®~.mÁäjÆÂ¼¿ÕÌhê|cÁ1éþß«øxTãáoZÚÚÍuØlç½´i¤]BïÀzoW)Æ^,yræ¹nlpâ®!üßáÿJË2Ûé`vvz®§4·6ñ©²ó£(%É

(×rxæ»Â2]?re06/ÿÒëio­çéPGÓKÂ`´¶#ÆÕpUÂ<mi¿O­$þfóFå»®êRp¼G-à!'¶p óëßÏï-åK{[pñ;ï¹`h3& J$w¹QÒHEù§ÞZ »p\40VR}'ãñÛ5}Q.G.¼6óß'±5Ô¡üGÌÝc?ÓùW&/ߦGñøþkTàD¹1{&Æöí [­RÔýY[ôäô'ûÕ§5§ÙÌ=¼;¦áhÇí~ÎY+©×|y{»g

ÛÙÈNQÈx²­IB°ìíd´Ó&^ö6¶o1BÖÖÑêÖ¢c#¤¸÷5d¥+ÀS^TdÁU&¤#(¦0×4Z.¡V³¸Ýã {yhV ¨×âÿW1øâ9?Åô¶pß5mkúV­k4.aRh¶òÆëFaËQ{ð̽.I"QhÍæö{;.ã2CËØR§î gC\ý,¢ng··½Q%U+hÇd Kq5¥Å

0ªÆõ'öû?

;æSÚ9wá<#øï4zR2D°ý/Ìo«ÝÚJ¯sv®ë*ÕTìJ/Ors+I«25¾I¹uzB3#´î}6íã+!á=ÃB±ô;k·LÛw¸¤&qõeu^~S¤yãYÔ,n­.ì#_þìZ+?!0ZÕ ,Meû?üY©;þ?Üñ3ÛÏ|Ãæ

vöÓë7Ôaâñ4ðËÊ2À

ÖTgR¼¤Uäcíf¿QUJ§Ð}?é[±ïµòc¾bÕ-ï<»eäºc2ÇÀUdUaôJïûMüÙ319_ÓÅÿl×Ivdu;MJm

_ªilmsr%ªÇpU"婼ßäsøøæØú¢DOæÿÒ,jãrÿÿÓì¡3tèÅWÆÖÆÖà´ÒïOM%þaÕítMïT¹þêÖ6~#«6QîÇ!h×$¿ÖZ8äOJ8ÊÆ¢¿kZñëÍŹvXôâ2Ë(­ìHÚ¸m¥Éµ¹¶ïSF[˯#eÊ6 ù{`´Ð,ûò¾ÃRóåîy=Å´v1³¸[uHØÉðbÊTÈ8þËeñÀ2Ä]ÄCéuùâ vzeäw-þ¨¼÷<áìÔ ZQ/æÌ¨éà"ls3vÕ¿-¼wiÐHgYàcõÄXÙËrÜ}ø2|#*L.cÏʶ¶©p÷kmTúÄ$D)Fþ\æ»B\xb}ìóêÎH××EçÊ5T

ê|_ex¥:Áqx<7Rj/ÎÜm­UBÄÆrwØõlæFÜÝW$óË×Í«$ÌÁ-­RÕàøÃÓø¾,pÄ/ú¿é&2Ü'¦·åyáFêX\eVz

¹

ðòË9Ø

ùý-¢½(mJÁùGìÌÕn5âkÄ}¬²p"'qþå

QäC óÃêR<§`@HØïÛ²æaË~rgXóöFÉ/6¢£½n t=s?¤Ä7{üÓc®i¦ã·ºZÕµ ÍÆ^Õ_òe£"7ß6ü[0b·zFb°YýF<Xìñ#?åõsJu9Oó¥Ý<07áâÿtñÝkFд­Wú;µ×¢pbZ_R©AÉxFwý¯ÚËý$âô¿Òº ¼ÿQÕ-#´M»íÂè6Ë8àGÃûÎ

ÿLf2¯®ßÙ^Cü^ÍVÞÎ?%d»XÇrfo±Ø£Ã`Ëú_÷­ßÿÔì¶²³"¬Å}f©â«Jôµïæéx{b<¢ðZix¦ñµ¦Äx-4óßÎ+¸ôû+hí[VËpû%àõjC0õr4;íG=^%æ3d±[7¦%EefSÈ|A¾_ösc Ĭ<Û©½ÇèÀDѤÎÑ,e.

·Ã!çJv¶¬z«dêlCÊ»¢@î*M+@ÛO#îM"¸!®.Úb§Ôã°ýçâUâ'òñ}Qùiú**Zɦ¤¨;¥nLÆ¡Yk@YXµ<¹SzS%ÆÕÀóïÎ&Ôô­2×Yµ.±BþÉ@ÌêéµÚuáþÏ(ÍYc@þPëñk:&©q<0¥ã¢sWU(J~ÈåÈ.h5Æçc¨wÝýÝ6HÏ¥? ­çZcjvàþ5ÈáÜݪ¤¾k¼¿mmøiéÉÁh

)A×,wÝÓ3ÏË/-i:µ

忣;Á¬ì±§6 ?Ê

¯û,ÉÁ¹-¸»dZòµ¯a¿¹¼°K-#O

¬¨wpí1øz}·ÿ`¹dË7¹äÆ|Óå}O·M6er*ÿÛö'ùi#uÔcɤêS[=ãZûɸýÅGÇþ6ÌyCbm×^ô¼ÝÝKÆæJ°)#©ø´ q«8#!Ë«YÉ^mÖ4Rf©¦ì§í]¸ød±f8åw³FÓ¯2ëWW×rGo=êïáÇz¼b¿ùJrêL§Ä¢"wå\éþÖ8øýZòXÙhJ*®ÅMC3rÊ2H.÷³?»#¸²

#òÞ×Ì~búæªô­,·þÛJ4jÙUøy¿Úý

ÌÝ6##è(¸ºÜcÅ'ÜεmòóFÒ§¹Ô¬´í7Ok5ÄÅPçE<¼7å2Ò#ÒMä̯&^yÂçËúv¹ë1ǦA5´éêÄ«ÊIBÖMïÅ^y,=løMÓ0ÕX&¢fýܨĨµk2Õ_ô¹ÇêÒÿXßæWô»)®4ËÛq©Äåew;TÝq­s?Y.q§/öAóe^äèõxÈÈ|ÞÄåãRV°°Õ4ë>íÖ÷(c)Ëcµp*E°?!y¼×ð©â»Ô¤)éñôéñÓ*¯ûK\3;ÏÆQü5'üàë>KI71MéÊ}ÙY_|ÅÓsóÇÒùßEÒ.Há«ÛÀàüÞ¬°¯Ó"E§LÍtAXDöþUJ·¸Iç·sspöì$Bd§F ä«ÄþË/Ç~!A0m*ûÍ0Z¾£¤7nÞß÷`txŹ}¯õ²¢jNÛÇJZ¼¾4­ÞâV×a½Yb¹âÜBª¹+Tò5jdg3Kb'ú,Ñ/ìmãDÚj¼Á¨»

ý5aü²'MlCÍvWZ¨Õnu;Kk{r˧=ÁáÈ;·ÃÄlÎÀz)Ê·7÷ª"Ê.ÙäUÉØ7ÃþQ¦]

ÿ5*½´×®'Ä5eyn)oF(ªW»/úÙLtÓ«#IYÇäðÇFÔìg»úâ9Ä¥`æcÈüIû+zñ»^Í"@lÏ-îç­á­ôûn;DX3<¾Ù_Ùª§Úø?/ÒÌðWqs3c±Ì<ãó«òæÏÌñk}ýÁ¹·âÏe4Ìðl(Z.mÆ)ÏfXËÞÓàâÁ|`×6úqGs«1¬îR0.b=6^hµÇþnʤðÅÖë/­íÞ_¹³Ô¼¥gixÍ.¡4Ò[Ot«æÄ°¬`|YÒ¥dz¯ñ;@&1ÿFÅuû-:ìau½µB±Nº®À×í|C'¼å_>åñ±­@§|ÊödÿÿÖïRKqQîWq×çub(ÅD#méïá5ê[Àº¤+oзAôäLé4«£n¤Zm¾ã$µÐÍ©@Åô¦!v袧M.R

à´ìùóO²Ò|ÿ­è²@>§¨Nn,Y¶PT7=è[·í.`egq¡ËGóbùy,omï _NV{sû>§zôn8øei쫨,q¹ Ót4¼®&¹K+~TõXf§P)_ø¤çª~YyË:²ýJFÎDîåäi%Ö¡O¤)h¿ï?Ø|YvdòpuPã¨Äz¿Ø½_Hó«Bd³½K¡Wp ÿ!§^£lÌêrÞá6P)E¥=²LPZ²£¡¯IFk»L^0{¤çöq¬Eæ_ö/'5r¬æDôçU£©nöÿÍ^»¶Êð«O+X¤ºEºZÁqqv:rqÇä¬ýdzörèfâSÏLóEØê²G.ªÊ(Z1Ç$`þñ Ûã§ùY²¶söÏÇ&å}cXó×Zq¸ÊÞÖ[ôÊÆÆd/ÄÝMö²­

ìê³=ïaòn¡ªi:b\ijjFÍt,Ë%+ RñvírÊ¢j6>ìt_O¹ùÊ:ç|Ïs§Ú§Õ¬ìe)¨Þ´pª1þiZì|Oûö}çÊO-Ûiì4FYõKn\㬦)F§Ù¦Xp(7þZÇÃmm®ä

ÙEbdSñ!$$kÄå&Èq¢ÿÿ×êù b[xçyñZ áЩø¹PÒ½²éêb6uÔJP<Êc;m

ò®Åó×äX»ýß"Þ5*?g5óÎ@¬rùÜ^¯ô»²¤ù¡ìcÔdÔ^ÞË!1Üüd)åÇüv\rÆñ)Hý_÷ªS-þ`´dØ8bBàr4$ôj¿hº:ø¤D®ºóF¢¼V«±¨ú ²¹dF¯øsdØ­äè¼ãåxÍíºÃ¬ÚúÇ9`Ím`+EäÉÆOæãË%3ALYæómVÚâÆI-nÐ¥ÄGªÝA¬=/#tO´¬Orŵ°Öº§SÈñDü¶ÿ

VÄÈËfG~l.-?Ùc΢/úÄT¿Ë"Féd[Ûø/â°EÀrxþÆß

¯ú¸¾íã)F¢xó¿Ú¾³ug©Ú̲G$×Râ4û%ÈÅçÇùs"Öé%\ùþ=L«ÉúÕΡ$¿R×î4ËÊHXúi¿ÃR+J}f.n,bÁ<-2l~§ èWm[]CXý#dâ&Q

ÃW¯ìæ]\§·o #¼éËå-O©_F@»QS÷ex¨;£bóÉß$\yî

À6¶1¿XO¶êÆ

÷û\ÉÍ.!ÍÕÇHȽ~XyÓJÔd¶v¬7LîfY:ÓÉË¿uàßåd¦\cwËeX4?9Ãqm¢¶²*סàôÿ%Ĺ3êéó¥ôZúÃ=EÄþ°w¥M}ÁFn)sF¦vÆ-gK·ºõMôäàjKWáý"¿k1'TáÌÉuåÇnÍ?Q9Z 1 µð¥[e1"´Ó*4©ñsÓñËC

¾I}wnE*7Eãû+ñuÂqñCíß#èpùÉ6®Wë/¸¾l^ygbáGù9*;F¶cÍùñäm?Qm?Sì¥Uf&¡ãPàô'ÇÉÁÚù»ÊzÄ!Õ¬DLS^ü¥üµ¾¼}bL¾àRKYHËPßo¡<²Øã8ÑdqñóM·¬¤o.éö¤sHÆòB¥äÍhMXíû\sãô'cßÂ

ü¹²òºeÓ¼

ªÍ±

uΨÿQòÓÌú¥ý«@¬ã×ù¤ä¯û¨óv@ùåA¡ê©¨ÙÛ«Ø^JEÚq©Fý°iÑ^_g1ób2Üsqu8¿ÿÿÐ/òÿíuËSI¢U

§RxÔÔ

øæQ#w%7¾xX&æëUÇ¡'âÛýü8­xHHîæHÒL$J8

ÈÖTWµróh«O3y°µÔ6v·2$¼Ì)R.zÃáÿ[#,Q­ÈøY-§æ³§Gk6$qWyGÁÄÛ§Ã'ckÀmù;Ê÷ì¯5/7µ¼(·Óc»\KàÌÂ5X׿Úgû?gífiðF{ôquY¼!æ¡æ?ÍýnûNx®tëh´ôF§eñ+3PuSɵ10^YN5*V·G£ÝÒHëñòCN\:¯ü.BqgDl­æÍVÏ[¸Èié鳯FZl~yÂbõ:

`Ë}qÿd·ÊVÒéSsÂýÃ0éðGPµúydïg:¨Ò*ùL~¯ÕúïÛ!ÄÜ#l{_ó!P nïÄÙÛ²ÿ*.yrquyÆ!ß4QÕ¢oPTÅ7¡êaóBÙlE<¼å)Èí?RÓÑ{v"`Êca×=

äùóqÌHäúÈ^q]²òÈ£P¢xø

ºÓi

?Ùm}Ncä6.û³sñÌ_Õ̵U}#PZ,ÀáéÙJNQCÐÌlùGXµÑü

£É¥{íP5àj¨­?E3rFî¼nÆN¿y¦]Ý[Ü?!pÌÓÐ;oí°ñÍø`K[á³\3BÍØÐs_À0ÉáîkÔmºUåïKT±}ýyrB¿r|Wm6(¦?63ùÿGÔcIçeB:r(ÉMÇ.RÿUs^%@ôpå{d¿ßÔâ4¶@¢DδÔ9¬ñêZøP~WyÞQ%,NÁÊÃávO_æ¤Çüùäï,hW¹»³ÓÃFÈÎXîÙùzÓP

@yî©ùãùm¤

=dýUÑÉo0A°_P[

¾.Y¸8¢Ù²/Õ/5ëºÔfyîí<½h ámWX±y¢GOõý¯öG¤¹fÙVç_/\[}PÄÖSF8Ëe"pt>HÈ

Á1ß]Ç©[Ê÷ÂÝ5$íÞÂv³Mc(O(i¾nÐ595-?HH¯ÑÉXÐHµª¹fqĨ'ö2[ò?$é¦cÍ<ÅåÝ»ZÜ#px$§ H­vÛ¸ÂìOÿÑ¿/þLhº<Þ£»

÷o_£Ó^)Mÿ495?ͦ5IÑü½´ùÏ1*ÑUU(dûä¢~LÉMí¼£¢[-cW&ÈÞ´*'½

cOð«û+Z/Ð*2$T0¨uà

É$

sFä@ïY o

æ5aÆ7±v·I¯ÃµG±Ît#-êÖºu)­ÝÓиWEs¸¶«¬jjШ@=cÈÓ×@ZRÕítØ¢{Wð·»7ôÊÀ2Ø.£8Ã#¹y½õïMìY'?ð+Ðjf\E

yØç92æ­ZÄJ¿iv¡ðíÿpQ©SZ}ËYZqxçæp°Éf~YÕumN+,-̸éNê}í`4[4§,£bÚ5o=Ú\ùêê'vSêóZ×âV}

õ_¼:cç¯Ë÷~Ry®MNM+P&Ä5O¦Ýd

Of¨n?ëfÒq¸ØuØåR¢ÉüÍoõkÏ®Fæk+ÀÔ;Ðüòï³GW~k§«åÛyÔ[]#WÙո徦@¸°-7P»ãQËè̤4M*Ý)Ë·!È8ñ/@ü°?1-%?ÉäG%bÁê>ÖbëG?^HÓé ñ!Eê~¶Í_.æ»UiÁ®ÔxÖ'$xcÏêÿÅ/`_i=ϯLJ+Å3Pîr?ð'2tY¿zP('ËÓıüJÔn}È®né

½þq÷ò

{Reó5°:%£ôû@e¸¹É"ÑþÁþò_øÇA{§ü]óOÌ?/ÇåkÒÚkÍ>®{iÆ­Z:È~.5øHø,Ù_4Â×Ìúf¨úl0ê*Üá£D7b«°RGÚøS&Aݯ>8ðXû%j÷{o4sʨéOÄdç0Zñcz¿ÿÒ-ÕÑ

®Ûý}üsIcÆV9rÔvbĵO¿ dµh¥EPa×mÿdm®&)A5ö¼ßAcò¶åØ5Ë{egúÓR5.x:

ÄvZý¬è¤n6<Þ=®y{¦a\ýmníüA+â;á-îEùt%æ­õþ1Fß`ÌiOö?@ìÇfBä¢Ë æ'

]ß1¦ôXÃüÆn7úqþ@H§?ÙÀ6.§´ÍÌè±ø®#¼¶hÚaºûá:}éÖ³I'¢dG3päÝb*Ôÿ'¾FgfÙiêrü60G©ùtJö±¥nì9jVHUoñGÿü¹¯Òê¦G¯ó£¦û$ú¶PÁéÄn{ïrÝÚiñǨQ¦Çk}XOFä±®Wd9

ó5¯-^[ê«m$!CÉR7ý^Jß˲láçÃ(îõ.ÜéÚþÐ@õæ1si^ªí/Í«Îâ\¬2Î<ñ¦Èú§`â²ÄDQüÑBvN2Ücé!ä+{X-¼ªG]ì|Fdà

z'åtÝÌvá¤0òBê-¿Êùea#

<ßP[_Û\ª\Û2½´Êv¨§Z×|Ñd;ï±j2r»æDÓ¤Ôukik¥Xÿ**Õû*£%7hôùÇóËþaµ»Ñü¿gs¨Iq$×n¢ÞIPªÿ©1H¤µN»Ò?ʯ3y{˾bKÍCO]BÊÖNBÜ=PnB!cñ¿ûëófí­ô¼Ãu§Í÷t³6ìÑ·T©:uVçêSòÿÂ;Û#*%ºónä½-*èÌ¿WÔ«j

¸?!^!¨rø?Öø²þ\Ú¢N´/ü½{58½Kë÷ZÛÄãN·à <BOÀóvBQ0z³?%þlZ^²ÚýtLÑ*¨ ·JoB¯â8ñÿ+12i»SÒOR´Ô¬5;9-nBMèVHÛueaCóÌ3³'kþ[Õ¬Ïk;k¥@vã_OøÛ¶

g\üͼ¼¾òåõ×`®§_ÓâG¿ÿÓ·%QW=hí_~yÈZ­íâq¿"íÛÛîÂ"̬!TâÇ®ôð;áCi¶îíNâ¿Eq÷¨U/JT«éÓ·àè²Çb榣=¾²ó¤¤Yj1S`ê:7é,w=TËÆoíѲøÀ#-¦DrJf

4cò­$6ÂdÙo4[Ð¥ÕJÖ;©Û;*µú[Q#Ñé{?C½5¨Â½;¢NÒ,/Ïú.ªwéÆÔê9U²Ü\7hËîÕbFÎê$cc¹Ú¹s¯3³I¬nµß0ÙÚGñÓfVTFÇ~<&5ä³§Á«K6·'ÕÍ+]È;íPÃoÙÍÜlæB@îyÌZ¢ío¦9Hßb-#o¿¦CÜ0E1}

y|³©GfÛÁ$¦[XÏÙRûÉÿÿm?ÊËãr®

ëÚf«iò)nPRd$

cÆT\¹FÞ?¬~CëOlÚnbÕ-$ÙWÓ?òwÛü!°J!

3Ì«¨h

.]^e@5FZziþOÙÌ-N0¥&¿ù}æ=Ì"{xîRYi=¤´ee>ÝÁÍ

:ReZGå÷´éfÎØÀ.+Z4®öéÄ×÷QÂ:ÿnÐjßÿÔ,Ò,bÈì=ç%Í®éÒIðñ"ª)Z

v4­2Øè¢Õá·¸"«"í¹Zþ}2Èã=!ª¨ÁøÓÞ¸@£»1¹Îª¬ÌOíT~ì´íÐ6SÏ?1Ùîå{y´Ñ«ÂÊMH-_Y?ØæçI;yÍ|HÊ^ftëûV(º÷þÜÊ2-|£CúHtòÅåÜv¾ õ¤4âxìO¶@ä×dõKý+ÒtßѶéK&öÀªxm¹öô #ÒêÓ¨®Ç YçÇ2k²b5@ÿV¹¤Öÿz}Á âPéÌUCíÐå!dþD×"òÿôýEHkHäã5v¬RO­¡êeÓ®ÄZÜhe©ØT·òÀói:Â9=

ï_Õï4ǵÔu)$eã$R(Ȧââo~MÃO´dÕNI@»³÷P²¤`rZ

l¹Ç¤ûÎ{

æxö·°òU(£

2ð·ídf[ LM±þO~rX_h2i×ò¼·.Y³;35M>

S#.NlgÆlýO8üñó\¶ú-Ü^©çSs°¯Ãþ¯Â¹FËfIðÏö²Ët¾§Ä%fàën¸Yæi-á_ÖÞFËPCÆ¿

ÙðñSÁì³ùTòI>aÓçQêP²ZNRIc$i+"H%øìüY!©Ù><Þ¦ù'òl°ßEå/2áf¸¸gäz%×}~Äø@tûXïÿ,üªIe¥kQ)ýÉôÊ3nPäßKÅn-¶`:?å41Ûjzv­ÃIn¢H¢m&AZÃf6B%Ѻ2!ëúÿæMï´èÛLÓ.õ;Â(ÌS»(Ûq«%ÿÕ 7©V,A";ä@6ÆÕ%SÈÓí|;~5É

*¬8¤ ü=7ßaÂÒ«ªêSjS|OêG¬qLT·GCß ¯Ë2±á<ÈÿLË

þd¬¾¨YÛ°H%á!qÄ:¶ühÙqÍ\oúN¿W3Ç(L[kÒ12ÐÁ ÖðK2¡ö5`¿ì³&Ü®8O2¼hJ¸x°4jßi ÌwàòZ@ù´©u«}d$ÑTaËsEøM~m4Ì,eÆ-KU»>ÜRÝßc$ªH`¾4Øe9Mì1¯Qä©ç;ùzãE¿²Sõ»ûý5

*±ïöè8õÂ#BÊVl°ß-þXyÓ]%¾ÐÚÈ

ÕÑ0ÇQÐmô& ×LûGÿ|ÔP'×u«hg¥V±Ø×f.òl¸Y¿?(ômæ¢Ô%½¿¨

*Y(«kû|×"VÅåUðT®ÇP1Á[Øûbe¿åÖ§MA_¸qSþµOãªËùu(£Ë;oôîòÓP¯(.£Cü¤·»4¯ÿÖ<ÑD

Í* *Z£}»ôþPsð'.ÔH

^ÄôXáU¨ýáAµw2Ï1©oýRxÑv©}$ÏEPXU=·{cïaĶQK¼Ñ9¹'Ò %cöqâ|wø²CRk8Aæ­n«J3êY*±õß§¾Vg+lï¯ÞÏAúìTõm¦H

ϯòÌÎÎß-y´¦F/^e¡%ê 9ib¤éíèÝØÚ»ôHÿUW\uI3û·èGºãÜ[=êF5f5¯sòÈÀú©

 

³»}

$ÔÀaI,2LDòUIämälzSúó*rvMª-ʬ«û+özû 0ðÉWè"åÅcõ

×Vû',¦èÄæa%ªÄ®Ò°P7åµV¼ÊÉÞË[²O.hoËpyÎFäô/ë·*dk* ¢õñÊÌÛÄnf,¤óÈÛ0F¹ú¼æSE«ãóÀ·L§ËXÜ$Ú

ì^®oDKbJX}FëVê.J²Ó¨Ì"(sz¿ç!uMê+lmJ-¥¼"Ü"tø$}ùypË!üÆüµò'æ¿äó};/2,dÇs]À¯£rö½í§ìþÒåFâÚ/î㻵ºÎê3Õ³´3ÄÔªº7SNài8Òtû©­cG¢Ä¬Z»Ó¥[§ùX

=Ý©ù{ä¿Ê¡qmrº¦£õ E³E%¨

-×`üðHôÛá<KËÿv­ùKOèÈ3QõmäU÷©¨Ðü2ß"ù`\Ýêúü¢µò·e«rU£×Ä×ìäÀA/K¯±Àê1WTxâ®Å_ÿ×%bôªqø

woò³3ã5dµÐCÁ{¿'÷f ×°cá¹å@íîE£ ¹-¥|âjqP`2bô¤

3©:»0PJìT)è

~\¿*E!§ÕäHÛîä

Ü×µV§$ÊGçd¾òuÇÕX¸Ê@`<·¥E9S6]ÍÅíwæÓÄZúîÅe·ÏÄÌÛ{ß«7ó{¨ÓÌØ0¾ ËB[$g*5UÓãCºr­TbäÆFïg¢Õx©m5Fá­©S$¬h± ,Íò*·6ráß,þRkþt

=õôZeMT£Ë)=A<JªýíÂád&~ä¿+àЧ{v¸*7õÏ

hIðÉ4 ÔÛnµÉÄ´N}V9#T)Pª*´`ùò|-D&Þ¯Ö¥N;|ddIoÇ÷²~Yéþ_Õc¼Ò5xúåZÚáM%BSÿ

ùI;Aw¼7u#®·6r|V÷Ô²ÃÌJ0}_X²µKrôPjIÆÐvCXZÛê*ñj\ª-¼q7£â9lbãä$û

õø·UF¶,pðØ1¯Äí֮;\8S¶9xÒ\IêÅ©ðÅf_\óDQÉ5tûÖ]%jo²ãåòH4R¯Í¯ ßkwwz å\Æò>µ(Ák×·L­¸]Ï^W·

µÍêÚCf

+4&»¿

Ñ4xcõKøbò߼ǩ}t¦vð]Ê$8¤`XÀ ýíÙ5Ò-<çsr÷_TFê~(ê«VçþÇ ÚôM2óLÒm¬n.þ¹qpyXq,+°êyPmñ|YYdK£$g´p²V´qD'üå8¥ù;YòÖ§µ½Þ«µýÃsÍäPñl¥

hi¾Hѧd±ùEþïV½'õ:òcàdî?$H¾I?¸¼·zôõ6 âÀÂaPKwN°¹öb1¨ù±õ4ó^µº¸ñ?÷¢ÏsÿÐ8iÒ%e?ºeý¨Öµyg%ySõ@Üê^¼Ïô°

íöj [kZ1W%áÙÞy«R»]?§PGÀÃu`O£-n&RÍ?ÍÞdÔ'-5âE£Øq* ý¾Uü_ÆZHÀo³¢ZÑÍ$V©V¡¤em^nÖγUW¡fµNØxÂøe3ëWÒåýÅ«Ç)?¼0Á©²7¦Ó<íæ9TFÈìç/2Ø1U

2d]ªþX^y`[Üj¤ïr¼á\JþR@¢¶N3F³õL¼¹p:ô¥êÉ#Z$iê9`·Å·O³Ë.û¸×¤$ó%µlL#»Ù\{x5{²ÜJHnâвäý¶6´Çå¸ú¼i)U<

A¨ÀȾùCÏzNS¼fãP´Xíorxdã!

xÔõÛ*1'¦ÉJä8£üÖ9æÌ_1µõͬc\³õk[ËRqeÉ5â_ìþï1ÿ)ßeÝäí£pÇÈ^¶Ó´ò.Vé¤v"¤lX,ª¨Æ¼h¹x§EbR')ó:Ââ^6ñNÂ5Ø÷äkákºEÌMÚ5h6;¥$oÜÿµ»³ºE¸Q·Ú|²$$µäÿ)ëe¥ÕtË[ ýt"vÛíý®ßdäLraª@£ô±=Wò£Ê6ãèȽÿ¹Æúê­ðà¦øvÇ"òÛ@·P 7Ä5)

ÔÊ}¹a1¶ÏåeÕ¬eè¸ÿÉåqCªäí1DE/ÓóÕH:êCsIcHÈ»rRoÆ>ú1âAͬzÑ,tbÕØGnÃÛ¦HCv\JÚ^©¨Ù³ýZv9@!ßè*+¶3Æ%ÍéuäÒúÝx¿f9_I*~=Ïl#ȤշõØ>¶

ml~Ë]V t§1Ìÿ±LÊÇDÕ1&

²¿'[*y÷ÊÖ·f6ÉéË2Ö("GF£|6Y.8èý@p£J¾¯×µ;x4«b)Æú3\K·wcÚO¬dÓÖ!d]ð8ȶx;Úç]#$Çâ?¯+-/8ó㸹p)4jöÄEf:¼ÎCsõɰ)]ËÔ#$òDÀòêOo1%Uo¤'î×±í"Òï;ÚÛÈÉ´ZLÿI˺ÂDPò%Ô¡¤Âr©¯Å°S-ÅG`@R»»ÙÕÔ(u<û±ò¿òÆ&mÅ-þ²#y­-eêöpýu¬Ê¾©4<kös/(§Sk~lÔ. G¸eyhª?0+Åhæ]òp2;µåèȸöâòHï-eK¨n³FA

ytnGìe9c³U+îzæ¡çë}SNY¡=µÈ©âkÂEødCNêÃ5î,ÅfADQóî¸9¯$¦ssfÝ/¯ÛëHHÿ_ÙÆÖÿÓá¡äÌß^7¡7³|¿üB:[Üpø \^3ÛQl§&ìX,º8¢Þ±ÞæDHÒb@Iå]¶ÎZOE«9Ò'#wÙýYY

üh1I!WÄW13Jî(<Ù÷åßü¥vï7Ùï~×SýÏüYü$Ñzo÷iÓ¨ùÿ²Ê)syççüutOøÈÿkìvºÿ+Ç.Ãõ0Éô°­¬ÝõÿwËOþòëýåþùÿ¿þÿ¯oø×ü¢Máyýèÿu}÷_Ìý¬B:½?Ý}ÚÁ&È'¯þò/_°¼þó§|Ç.púXÊõí¸Hû+ÓíצÑý¤tùägÿå&±ÿy¿¼_÷³ýçûCíÿÆ¿åäÚåÉêÑ|½:½z¹"ÆúÆ5?î5_³Ñ½þïöá±,R;oøåÚÿyþô'_î:?÷ßï¿òydK8¤¾jÿ}÷ï=¿ûÃýß÷þJ?ü]êdBXEÇûÃkö:Éö~×Qö½ü1d9¾ÿWÿ¯HûÝÝü¾Ééþ^?Â×üoOÿ¬ÿoHû_ïoo³ýÓõ÷ðÊ˦ú6IýÒÿ­ü;ä±sF¯£?üÿ×ûÍýË}¿÷§ªÿwþGódæáGÔSûÄû_cö² ÜT/¿Þéöítëû?åby sC/ûÈ:ôý¯AÜwÚûgìõè:dK(¢O÷× ëö¾ò²Lýé_õ_¯Oö_äà<Ò9)·Ø=~&eÏÛïþÏçÛÿÙ8BIM%ÿâXICC_PROFILEHLinomntrRGB XYZ Î1acspMSFTIEC sRGBöÖÓ-HP cprtP3desclwtptðbkptrXYZgXYZ,bXYZ@dmndTpdmddÄvuedLviewÔ$lumiømeas$tech0rTRC<gTRC<bTRCELRY`gnu|¡©±¹ÁÉÑÙáéòú&/8AKT]gqz¢¬¶ÁËÕàëõ!-8COZfr~¢®ºÇÓàìù -;HUcq~¨¶ÄÓáðþ

+:IXgw¦µÅÕåö'7HYj{¯ÀÑãõ+=Oat¬¿Òåø2FZnª¾Òçû%:Ody¤ºÏåû

 

'

=

T

j

  

®

Å

Ü

ó"9Qi°Èáù*C\u§ÀÙó

  

&

@

Z

t

 

©

Ã

Þ

ø.Id¶Òî%A^z³Ïì&Ca~¹×õ1OmªÉè&Ed£Ãã#Cc¤Åå'Ij­Îð4Vx½à&Il²ÖúAe®Ò÷@e¯Õú Ek·Ý*QwÅì;c²Ú*R{£ÌõGpÃì@j¾é>i¿ê A l Ä ð!!H!u!¡!Î!û"'"U""¯"Ý#

#8#f##Â#ð$$M$|$«$Ú%%8%h%%Ç%÷&'&W&&·&è''I'z'«'Ü(

(?(q(¢(Ô))8)k))Ð**5*h**Ï++6+i++Ñ,,9,n,¢,×--A-v-«-á..L..·.î/$/Z//Ç/þ050l0¤0Û11J11º1ò2*2c22Ô3

3F33¸3ñ4+4e44Ø55M55Â5ý676r6®6é7$7`77×88P88È99B99¼9ù:6:t:²:ï;-;k;ª;è<'<e<¤ >`> >à?!?a?¢?â@#@d@¦@çA)AjA¬AîB0BrBµB÷C:C}CÀDDGDDÎEEUEEÞF"FgF«FðG5G{GÀHHKHH×IIcI©IðJ7J}JÄKKSKKâL*LrLºMMJMMÜN%NnN·OOIOOÝP'PqP»QQPQQæR1R|RÇSS_SªSöTBTTÛU(UuUÂVV\V©V÷WDWWàX/X}XËYYiY¸ZZVZ¦Zõ[E[[å\Ö]']x]É^^l^½__a_³``W`ª`üaOa¢aõbIbbðcCccëd@ddée=eeçf=ffèg=ggéh?hhìiCiiñjHjj÷kOk§kÿlWl¯mm`m¹nnknÄooxoÑp+ppàq:qqðrKr¦ss]s¸ttptÌu(u

uáv>vvøwVw³xxnxÌy*yyçzFz¥{{c{Â|!||á}A}¡~~b~Â#åG¨

kÍ0ôWºã

G

«r×;iÎ3þdÊ0ücÊ1ÿfÎ6nÖ?¨zãM¶ ô_É4

uàL¸$ühÕB¯÷dÒ@®ú i Ø¡G¡¶¢&¢££v£æ¤V¤Ç¥8¥©¦¦¦ý§n§à¨R¨Ä©7©©ªª««u«é¬\¬Ð­D­¸®-®¡¯¯°°u°ê±`±Ö²K²Â³8³®´%´µµ¶¶y¶ð·h·à¸Y¸Ñ¹J¹Âº;ºµ».»§¼!¼½½¾

¾¾ÿ¿z¿õÀpÀìÁgÁãÂ_ÂÛÃXÃÔÄQÄÎÅKÅÈÆFÆÃÇAÇ¿È=ȼÉ:ɹÊ8Ê·Ë6˶Ì5̵Í5͵Î6ζÏ7ϸÐ9кÑ<ѾÒ?ÒÁÓDÓÆÔIÔËÕNÕÑÖUÖØ×\×àØdØèÙlÙñÚvÚûÛÜÜÝÝÞÞ¢ß)߯à6à½áDáÌâSâÛãcãëäsäüåæ

æçç©è2è¼éFéÐê[êåëpëûìííî(î´ï@ïÌðXðåñrñÿòóó§ô4ôÂõPõÞömöû÷øø¨ù8ùÇúWúçûwüüý)ýºþKþÜÿmÿÿÿá#õhttp://ns.adobe.com/xap/1.0/

     

400

     

0, 0

32, 22

64, 56

128, 128

192, 196

255, 255

                                              

ÿîAdobed@ÿÛÿÀ ÀÿÝÿÄ¢

 

u!"1A2#QBa$3Rqb%C¡±ð&4r

ÁÑ5'áS6ñ¢DTsEF7Gc(UVW²ÂÒâòdte£³ÃÓã)8fóu*9:HIJXYZghijvwxyz

¤¥¦§¨©ª´µ¶·¸¹ºÄÅÆÇÈÉÊÔÕÖרÙÚäåæçèéêôõö÷øùúm!1"AQ2aqB#R¡b3±$ÁÑCrðá4%ScDñ¢²&5T6Ed'

sFtÂÒâòUeuV7

£³ÃÓãó)¤´ÄÔäô¥µÅÕåõ(GWf8v¦¶ÆÖæögw§·Ç×ç÷HXhx¨¸ÈØèø9IYiy©¹ÉÙéù*:JZjzªºÊÚêúÿÚ?:ñÕ)ô¸>RúR3pnÐÛúÿ_} ÔõÎ%¦>]g T¸,.̰^ìxò7úZ÷6·[{«W­u"4ÑuU DZR.?puMD

·¤>XëMQËI+ýЧÀ±úî+aø>÷\úuB*)Çüñ}edpHÌRhÒmj¨²DÄ^ÌA$qÇçÞUe#"©j#bÐE_´X¸²Ìí#HÒ[êMÿ?áî;WAª/çס

HîªÏS:ÅÕ.J

77<GÔþ}ØÀuhÖ ÄS©%½gX×ÈÍÝK%üa路çSz¾·µýÔð¡êáu/\TÍ}H±}L¶ef$}Eí¯ïÄz±

¹k"G*êÒXÃ'ó~.=îhÔg©r`RFÕ8Pü0bE¹6"Æßáí±ÇìéÓ ñë2Gê$É ±ÝôiEØý_[Qóë,E.C%<jxþ+ù÷ãN´®z±nPé:A1ÿòkéþI÷£ÕøÓ®@3Hñéf}!.5+(a3XêüXßëôýåÕNOú¿oRb$:R¬¨úDGH)ê$Ϥ_ñôçÝXc]xç¯ÐºTÄxÞ?Ü:ÙÀ¡&äߥ½ú½X0:Ϊ)YM"1]K¦5ëÄ×§ ®kà¨:o+"}A¹ Yí¥­ôÜÈ÷júõZgy[`eªPX*µ£úy¶ýooǺ0ÏVS¤H#S.§a¬§:RBØR×p>¢ä{Щ§Wjyõà¦OaN±kƨ> ÇkÁ÷oZ­qÖHfUe1y&Äú×JftSm,GÛëïG:ðë*¤Å0dJC)СçM°×[ÿýÔÄ8uï*¹[@ÖÒ_ÔXj¿®Öµ­ïÇתå×6@n¦Ú½|éÒ¤Æ>¢EÀãÏ¿TÕ@ õ$0Ìd#;1ÈbÕq«ÆÊHºãÇøûõGWþ.²[Iø{ÂÖ³(Ö·¹çêoÀ÷ïV¥G^ñYj¹$\ªRH òlMï~>õªzÙë1ÐNtu0{

Ô$µ¿Û{®z¶þ߾ν繭ô¨t%µ­©$bé

H±?ìoïǯ[׬Ñþ­q<CKL4L£ðH:x<z¸õëz©ë¿¨³«FaeUP÷åÖ¹(-a®Ië`Jqv`#1±ä7"ÃÝONõæú,?h

(ºB¸]ÿ}7b9÷¡ëëÖ¾^rÒHuõHUñDdζªj¹æ×úûðãÖ¸¼âËô°7,ÀxË&Í£9>ì:ñÀëÂ3¤ª¡e2,

Üvc ñÁâçý=è·åAÖUÓ`ÍÈIUcêbËÅÞÊ/nmÈ>ë¶:ì-fIIeËkÛÕÏÐ{ѯN-^C©!iJÓJ³Ãóp8ü}Úx^¸Åaãu+«Q&Aa ýL§r@?ÓÞÏ¡ëØã×$ÒuÕ*NRàóÉ'ñïGª½­(¿íܤ]tj"ÿR\}O½Ðý½T3×J`Þ ·¦ìtªÐû÷Zû:í¦O ÕªÌT°²Ü¸ýBâä[=ì`Tuî8ë2ÇbC$°1ú*F/ÆûoǺ|ºÝ]³õ ¸`[¦ë· ¨·,=ø^¼iÄuÁ=@HCØÄ_×Bðxr?Ö÷³éשë²FrÅRÛRW[À¸?ÖÿÔ{ö|ºÑ´ë¥®Uº

¥ oªæÅ¾ß³ç׺ä}HHRÀñoû

[=ëë~UëËêb

&À.¤[XÁ% _ê}ïìëÃçå×#}ÜÝ[Ø

:­e^m¤0ý6¶xu®¡Ê/«Ò,²Ùnl`ñïÃzñôp$i ÝKI`ÊTM­r/ø÷aÕO]rÈ÷.l43)+W¾ ½ÅÁú{÷ÙÕNpzÈ4ô A rá#@ÿ¤þXØÿ­îµÏ[ë¥ñ­­½H0X½lO

£ëÏsþ?{Ï[Ç\j ~,ËëQ,>°ÿoï@ׯ®1®¼w¾¤bÈK)ÄýGÖß}=ì´£¬d!MMÉÄÂú¨\r9úóï\GVá¼ÁX*Ad¤dSG¤-ìH7½ÿØ}}ì`õ²j)Ö2ÀòLk`,.¶2²}_íŽ۪Ö[tÔ]|Iq©@ã¥Å¾ý?"Þ÷:ñ¯\È ¨mVj$Ù_HnM¯ï^Xë~yëÞ=

̩pT

Fº}+ÈþÍÁà¯ïUÎzÝ1Q×NB96òG"«WÓ©[J>¶÷aÕI§]BÇú *.[~¦×°ÿ_ß§Z"½tSëAô¹ ]l¤\ZÖþüO^óë Q¡$y[Ô.THâÀý~ëÇ#§;zæ.u2¨RÞ¢¡A[ªþØò ?¤]¬Ç¿cëyû:ÆAÒP.\Ý

£ëq{ß§»^ª}:íUX

`Éä¸W.ÆãÐXñoö÷âOZuØý"Âú

´t>«sôaÈãî¾yê½p:nïãÔìZä^ÇI6½6oÈ>÷µç×l

©g[©]*X­¬u{ɸü{ð¡ëÇ]H¶¾¢A1Üèré¾ÂõÜÇÓëïcÐu£»

UhÅ´Eê-bIkúoϽ¼

zìú´­ÊP¾2àUaq /À$}ëVã×DZâ0ʧ[ÈM1¶CQôÇçß«ëÖË®e¸fÖ­ûQ(ÒÊåÁtÒmþ¥mn9ãß¾]xõÛi

eI%´ªÈÌ@°$úÐÚÇýzù­^»`.SG(

·VT³_\B5ý½|ºñõóë¥Ï­HkcëSùæüÛ߸pëÃ8=xƬÈírÀ9«u¼d(K\I ÛßPPu²*jzòF£S:Ðm`é:¿µ~·ãÞÉÍz­*:ëÆ(oJ[êZúî?ûõ|ú÷Ë®Z61;S"Úþ©RúØaÏ?O ÷²j*:¯CÔ¤ébtFÿÚ`ª>$û®z·ÙÖ1ê#Ô

AV,5pÓÞ:ØÏ\Øk:¸´!Ð,ÅUµ$Koõ'úóÏ¿ëG\=CRé: 'û$1P ÜÏ×Þúѯ] ?ØF1U$)¹QÉfrA

9æÿáo~ã׾ι

D«¤'­Ð³ÛI¹@?ì}ëìëb¼zâ} Ùt-rHú

xæçýv{\®B$ñ¨Sr=WS{ÇÓý·½ucÃb³s!

eut!Z=W¹,MÿÖú{¸àiÓG|úç¨"µô­TÙD¬¥Ï EÍÇѯÓÞ©^·Ã¯(]¨)Zé(U®¼¯"í{ÿôk^¶YLE pLBªÿ]ì?QoÏÓñîµ®iÕ´ÓõÄ#Wc«R©ÔäØZu

\}8>÷PE:Õ

k×b{°Ô.d(VÖo©gãèHüÏãÝ#S=vR,Ü%

À7+oX[l8½­ozó§^+רVÄXIG'+ªÌ[ÿ@G½z¥^7%G

¥T±3A7ãI÷î½×1Ó2A°å

âäþ/ϺÔWåÕÀ$|úåêk"Ñg»jõ­}oþÞ¾}\WöuWW¯ä*êõvUõæÜw­1ÕHóë« ©K0\èbÅJCn×ôrkÖÆ][X¿O§ûß¿AÖ«×"ImB÷MQ¡¯¬]G"ü¸÷±ÕÁë̺/ûfFpĤª©6ÒÇè

¿'ß«CëÖȨôë ¿GþÒirAä[§ÞþÞª8ׯDaybáÓnnÃK~óôúû×[®)×lU@õ#6«ZÓfðãü=û­yuí JkHåË[óÏÓÞúßË®:˪¥Ð.ìáARU_ à_~Ï­Q×lWÒÎå=G

O!]v`'õ_ú[ÞúÖ<úæÂʬÎmõÐ\²ýY/v'ý·½|º÷Ï®¥<Jè°*¡Qm¨¨1!V¹#ëôüû­xÓnvñÊ@âྺX+²kþ¸¹}}ø2úõ¢­×Ou ©õ+/¦?¨ ÿ6ÕÍÿß

)ªxõHVÑÙ

°¢,[P¿¹`E½ÕÏ\;&ªHÉê¬up/oñ·×zÅkÖÉ4§XÈ6¸Ç¤

¯qäPÚ?Öÿxãß«A­Ç=2g'Yª¡IY8AÔ·òéä~}ow©#¨RF4\t׳÷hª£©zÚ:©KÊаÐsÂýn?ÂÖ·¸e9Þî-×ée8¡®×³LûyÖµÇQóÛ÷ÈIr«

$ûiDK3KǰWòÄõö?­Õfjè¹ÚÜÛ\

H­ùý*0ÙH³1,ñ² &C¾¶Èê£À>ÆÖ·iqȯZHåWûzuyÒ±{¯GrT8a{nµã^Àë!XY0õÜX®·

PÜÓÏ q§·@ôé¢}z÷¥Ò«"2«(V.dQôúÿfÞ¢>ôjz¯±ÿté2´ÒÒV§ËAY¤Ò X$e·Ôc{þxöÝ·cPHíVÈø×ÈÌÞgll¢ÇÒHÑS¡¤Dt!D#IcÉ?é¾æï·«øuîèbÑ-ÜK©à:©Î²Ée·|Írsn9k2F(Õñ(@Þ°©áG:PÓ{ûÇ{ÖnecVÿ/RÏËÖÖaâz4;¢ZêüâÇTc<øø£®ejµf@¤#]lX½¿éÊûò;´s9ãùôÍÎÝ<L|JõP=¥ÖÍxàgÇ)¡¤iáIiµ,UU¹V{(B ^Ŭ2µµÍ¼É®#ѨKY­¦OJ­G:wNîÎÁM]Y§!NËÕ^EiqN

n ª£ñÜåÇ0ÚØäù.ß-f qèíÎËËÇÚ)]\)M*»3QCIT%®xào¡võµ»³ºE¸Q·Ú|²$$µäÿ)ëe¥ÕtË[ ýt"vÛíý®ßdäLraª@£ô±=Wò£Ê6ãèȽÿ¹Æúê­ðà¦øvÇ"òÛ@·P 7Ä5)

ÔÊ}¹a1¶ÏåeÕ¬eè¸ÿÉåqCªäí1DE/ÓóÕH:êCsIcHÈ»rRoÆ>ú1âAͬzÑ,tbÕØGnÃÛ¦HCv\JÚ^©¨Ù³ýZv9@!ßè*+¶3Æ%ÍéuäÒúÝx¿f9_I*~=Ïl#ȤշõØ>¶

ml~Ë]V t§1Ìÿ±LÊÇDÕ1&

²¿'[*y÷ÊÖ·f6ÉéË2Ö("GF£|6Y.8èý@p£J¾¯×µ;x4«b)Æú3\K·wcÚO¬dÓÖ!d]ð8ȶx;Úç]#$Çâ?¯+-/8ó㸹p)4jöÄEf:¼ÎCsõɰ)]ËÔ#$òDÀòêOo1%Uo¤'î×±í"Òï;ÚÛÈÉ´ZLÿI˺ÂDPò%Ô¡¤Âr©¯Å°S-ÅG`@R»»ÙÕÔ(u<û±ò¿òÆ&mÅ-þ²#y­-eêöpýu¬Ê¾©4<kös/(§Sk~lÔ. G¸eyhª?0+Åhæ]òp2;µåèȸöâòHï-eK¨n³FA

ytnGìe9c³U+îzæ¡çë}SNY¡=µÈ©âkÂEødCNêÃ5î,ÅfADQóî¸9¯$¦ssfÝ/¯ÛëHHÿ_ÙÆÖÿÓá¡äÌß^7¡7³|¿üB:[Üpø \^3ÛQl§&ìX,º8¢Þ±ÞæDHÒb@Iå]¶ÎZOE«9Ò'#wÙýYY

üh1I!WÄW13Jî(<Ù÷åßü¥vï7Ùï~×SýÏüYü$Ñzo÷iÓ¨ùÿ²Ê)syççüutOøÈÿkìvºÿ+Ç.Ãõ0Éô°­¬ÝõÿwËOþòëýåþùÿ¿þÿ¯oø×ü¢Máyýèÿu}÷_Ìý¬B:½?Ý}ÚÁ&È'¯þò/_°¼þó§|Ç.púXÊõí¸Hû+ÓíצÑý¤tùägÿå&±ÿy¿¼_÷³ýçûCíÿÆ¿åäÚåÉêÑ|½:½z¹"ÆúÆ5?î5_³Ñ½þïöá±,R;oøåÚÿyþô'_î:?÷ßï¿òydK8¤¾jÿ}÷ï=¿ûÃýß÷þJ?ü]êdBXEÇûÃkö:Éö~×Qö½ü1d9¾ÿWÿ¯HûÝÝü¾Ééþ^?Â×üoOÿ¬ÿoHû_ïoo³ýÓõ÷ðÊ˦ú6IýÒÿ­ü;ä±sF¯£?üÿ×ûÍýË}¿÷§ªÿwþGódæáGÔSûÄû_cö² ÜT/¿Þéöítëû?åby sC/ûÈ:ôý¯AÜwÚûgìõè:dK(¢O÷× ëö¾ò²Lýé_õ_¯Oö_äà<Ò9)·Ø=~&eÏÛïþÏçÛÿÙ8BIM%ÿâXICC_PROFILEHLinomntrRGB XYZ Î1acspMSFTIEC sRGBöÖÓ-HP cprtP3desclwtptðbkptrXYZgXYZ,bXYZ@dmndTpdmddÄvuedLviewÔ$lumiømeas$tech0rTRC<gTRC<bTRCELRY`gnu|¡©±¹ÁÉÑÙáéòú&/8AKT]gqz¢¬¶ÁËÕàëõ!-8COZfr~¢®ºÇÓàìù -;HUcq~¨¶ÄÓáðþ

+:IXgw¦µÅÕåö'7HYj{¯ÀÑãõ+=Oat¬¿Òåø2FZnª¾Òçû%:Ody¤ºÏåû

 

'

=

T

j

  

®

Å

Ü

ó"9Qi°Èáù*C\u§ÀÙó

  

&

@

Z

t

 

©

Ã

Þ

ø.Id¶Òî%A^z³Ïì&Ca~¹×õ1OmªÉè&Ed£Ãã#Cc¤Åå'Ij­Îð4Vx½à&Il²ÖúAe®Ò÷@e¯Õú Ek·Ý*QwÅì;c²Ú*R{£ÌõGpÃì@j¾é>i¿ê A l Ä ð!!H!u!¡!Î!û"'"U""¯"Ý#

#8#f##Â#ð$$M$|$«$Ú%%8%h%%Ç%÷&'&W&&·&è''I'z'«'Ü(

(?(q(¢(Ô))8)k))Ð**5*h**Ï++6+i++Ñ,,9,n,¢,×--A-v-«-á..L..·.î/$/Z//Ç/þ050l0¤0Û11J11º1ò2*2c22Ô3

3F33¸3ñ4+4e44Ø55M55Â5ý676r6®6é7$7`77×88P88È99B99¼9ù:6:t:²:ï;-;k;ª;è<'<e<¤ >`> >à?!?a?¢?â@#@d@¦@çA)AjA¬AîB0BrBµB÷C:C}CÀDDGDDÎEEUEEÞF"FgF«FðG5G{GÀHHKHH×IIcI©IðJ7J}JÄKKSKKâL*LrLºMMJMMÜN%NnN·OOIOOÝP'PqP»QQPQQæR1R|RÇSS_SªSöTBTTÛU(UuUÂVV\V©V÷WDWWàX/X}XËYYiY¸ZZVZ¦Zõ[E[[å\5\\Ö]']x]É^^l^½__a_³``W`ª`üaOa¢aõbIbbðcCccëd@ddée=eeçf=ffèg=ggéh?hhìiCiiñjHjj÷kOk§kÿlWl¯mm`m¹nnknÄooxoÑp+ppàq:qqðrKr¦ss]s¸ttptÌu(u

uáv>vvøwVw³xxnxÌy*yyçzFz¥{{c{Â|!||á}A}¡~~b~Â#åG¨

kÍ0ôWºã

G

«r×;iÎ3þdÊ0ücÊ1ÿfÎ6nÖ?¨zãM¶ ô_É4

uàL¸$ühÕB¯÷dÒ@®ú i Ø¡G¡¶¢&¢££v£æ¤V¤Ç¥8¥©¦¦¦ý§n§à¨R¨Ä©7©©ªª««u«é¬\¬Ð­D­¸®-®¡¯¯°°u°ê±`±Ö²K²Â³8³®´%´µµ¶¶y¶ð·h·à¸Y¸Ñ¹J¹Âº;ºµ».»§¼!¼½½¾

¾¾ÿ¿z¿õÀpÀìÁgÁãÂ_ÂÛÃXÃÔÄQÄÎÅKÅÈÆFÆÃÇAÇ¿È=ȼÉ:ɹÊ8Ê·Ë6˶Ì5̵Í5͵Î6ζÏ7ϸÐ9кÑ<ѾÒ?ÒÁÓDÓÆÔIÔËÕNÕÑÖUÖØ×\×àØdØèÙlÙñÚvÚûÛÜÜÝÝÞÞ¢ß)߯à6à½áDáÌâSâÛãcãëäsäüåæ

æçç©è2è¼éFéÐê[êåëpëûìííî(î´ï@ïÌðXðåñrñÿòóó§ô4ôÂõPõÞömöû÷øø¨ù8ùÇúWúçûwüüý)ýºþKþÜÿmÿÿÿá#õhttp://ns.adobe.com/xap/1.0/

     

400

     

0, 0

32, 22

64, 56

128, 128

192, 196

255, 255

                                              

ÿîAdobed@ÿÛÿÀ ÀÿÝÿÄ¢

 

u!"1A2#QBa$3Rqb%C¡±ð&4r

ÁÑ5'áS6ñ¢DTsEF7Gc(UVW²ÂÒâòdte£³ÃÓã)8fóu*9:HIJXYZghijvwxyz

¤¥¦§¨©ª´µ¶·¸¹ºÄÅÆÇÈÉÊÔÕÖרÙÚäåæçèéêôõö÷øùúm!1"AQ2aqB#R¡b3±$ÁÑCrðá4%ScDñ¢²&5T6Ed'

sFtÂÒâòUeuV7

£³ÃÓãó)¤´ÄÔäô¥µÅÕåõ(GWf8v¦¶ÆÖæögw§·Ç×ç÷HXhx¨¸ÈØèø9IYiy©¹ÉÙéù*:JZjzªºÊÚêúÿÚ?:ñÕ)ô¸>RúR3pnÐÛúÿ_} ÔõÎ%¦>]g T¸,.̰^ìxò7úZ÷6·[{«W­u"4ÑuU DZR.?puMD

·¤>XëMQËI+ýЧÀ±úî+aø>÷\úuB*)Çüñ}edpHÌRhÒmj¨²DÄ^ÌA$qÇçÞUe#"©j#bÐE_´X¸²Ìí#HÒ[êMÿ?áî;WAª/çס

HîªÏS:ÅÕ.J

77<GÔþ}ØÀuhÖ ÄS©%½gX×ÈÍÝK%üa路çSz¾·µýÔð¡êáu/\TÍ}H±}L¶ef$}Eí¯ïÄz±

¹k"G*êÒXÃ'ó~.=îhÔg©r`RFÕ8Pü0bE¹6"Æßáí±ÇìéÓ ñë2Gê$É ±ÝôiEØý_[Qóë,E.C%<jxþ+ù÷ãN´®z±nPé:A1ÿòkéþI÷£ÕøÓ®@3Hñéf}!.5+(a3XêüXßëôýåÕNOú¿oRb$:R¬¨úDGH)ê$Ϥ_ñôçÝXc]xç¯ÐºTÄxÞ?Ü:ÙÀ¡&äߥ½ú½X0:Ϊ)YM"1]K¦5ëÄ×§ ®kà¨:o+"}A¹ Yí¥­ôÜÈ÷júõZgy[`eªPX*µ£úy¶ýooǺ0ÏVS¤H#S.§a¬§:RBØR×p>¢ä{Щ§Wjyõà¦OaN±kƨ> ÇkÁ÷oZ­qÖHfUe1y&Äú×JftSm,GÛëïG:ðë*¤Å0dJC)СçM°×[ÿýÔÄ8uï*¹[@ÖÒ_ÔXj¿®Öµ­ïÇתå×6@n¦Ú½|éÒ¤Æ>¢EÀãÏ¿TÕ@ õ$0Ìd#;1ÈbÕq«ÆÊHºãÇøûõGWþ.²[Iø{ÂÖ³(Ö·¹çêoÀ÷ïV¥G^ñYj¹$\ªRH òlMï~>õªzÙë1ÐNtu0{

Ô$µ¿Û{®z¶þ߾ν繭ô¨t%µ­©$bé

H±?ìoïǯ[׬Ñþ­q<CKL4L£ðH:x<z¸õëz©ë¿¨³«FaeUP÷åÖ¹(-a®Ië`Jqv`#1±ä7"ÃÝONõæú,?h

(ºB¸]ÿ}7b9÷¡ëëÖ¾^rÒHuõHUñDdζªj¹æ×úûðãÖ¸¼âËô°7,ÀxË&Í£9>ì:ñÀëÂ3¤ª¡e2,

Üvc ñÁâçý=è·åAÖUÓ`ÍÈIUcêbËÅÞÊ/nmÈ>ë¶:ì-fIIeËkÛÕÏÐ{ѯN-^C©!iJÓJ³Ãóp8ü}Úx^¸Åaãu+«Q&Aa ýL§r@?ÓÞÏ¡ëØã×$ÒuÕ*NRàóÉ'ñïGª½­(¿íܤ]tj"ÿR\}O½Ðý½T3×J`Þ ·¦ìtªÐû÷Zû:í¦O ÕªÌT°²Ü¸ýBâä[=ì`Tuî8ë2ÇbC$°1ú*F/ÆûoǺ|ºÝ]³õ ¸`[¦ë· ¨·,=ø^¼iÄuÁ=@HCØÄ_×Bðxr?Ö÷³éשë²FrÅRÛRW[À¸?ÖÿÔ{ö|ºÑ´ë¥®Uº

¥ oªæÅ¾ß³ç׺ä}HHRÀñoû

[=ëë~UëËêb\2

&À.¤[XÁ% _ê}ïìëÃçå×#}ÜÝ[Ø

:­e^m¤0ý6¶xu®¡Ê/«Ò,²Ùnl`ñïÃzñôp$i ÝKI`ÊTM­r/ø÷aÕO]rÈ÷.l43)+W¾ ½ÅÁú{÷ÙÕNpzÈ4ô A rá#@ÿ¤þXØÿ­îµÏ[ë¥ñ­­½H0X½lO

£ëÏsþ?{Ï[Ç\j ~,ËëQ,>°ÿoï@ׯ®1®¼w¾¤bÈK)ÄýGÖß}=ì´£¬d!MMÉÄÂú¨\r9úóï\GVá¼ÁX*Ad¤dSG¤-ìH7½ÿØ}}ì`õ²j)Ö2ÀòLk`,.¶2²}_íŽ۪Ö[tÔ]|Iq©@ã¥Å¾ý?"Þ÷:ñ¯\È ¨mVj$Ù_HnM¯ï^Xë~yëÞ=

̩pT

Fº}+ÈþÍÁà¯ïUÎzÝ1Q×NB96òG"«WÓ©[J>¶÷aÕI§]BÇú *.[~¦×°ÿ_ß§Z"½tSëAô¹ ]l¤\ZÖþüO^óë Q¡$y[Ô.THâÀý~ëÇ#§;zæ.u2¨RÞ¢¡A[ªþØò ?¤]¬Ç¿cëyû:ÆAÒP.\Ý

£ëq{ß§»^ª}:íUX

`Éä¸W.ÆãÐXñoö÷âOZuØý"Âú

´t>«sôaÈãî¾yê½p:nïãÔìZä^ÇI6½6oÈ>÷µç×l

©g[©]*X­¬u{ɸü{ð¡ëÇ]H¶¾¢A1Üèré¾ÂõÜÇÓëïcÐu£»

UhÅ´Eê-bIkúoϽ¼

zìú´­ÊP¾2àUaq /À$}ëVã×DZâ0ʧ[ÈM1¶CQôÇçß«ëÖË®e¸fÖ­ûQ(ÒÊåÁtÒmþ¥mn9ãß¾]xõÛi

eI%´ªÈÌ@°$úÐÚÇýzù­^»`.SG(

·VT³_\B5ý½|ºñõóë¥Ï­HkcëSùæüÛ߸pëÃ8=xƬÈírÀ9«u¼d(K\I ÛßPPu²*jzòF£S:Ðm`é:¿µ~·ãÞÉÍz­*:ëÆ(oJ[êZúî?ûõ|ú÷Ë®Z61;S"Úþ©RúØaÏ?O ÷²j*:¯CÔ¤ébtFÿÚ`ª>$û®z·ÙÖ1ê#Ô

AV,5pÓÞ:ØÏ\Øk:¸´!Ð,ÅUµ$Koõ'úóÏ¿ëG\=CRé: 'û$1P ÜÏ×Þúѯ] ?ØF1U$)¹QÉfrA

9æÿáo~ã׾ι

D«¤'­Ð³ÛI¹@?ì}ëìëb¼zâ} Ùt-rHú

xæçýv{\®B$ñ¨Sr=WS{ÇÓý·½ucÃb³s!

eut!Z=W¹,MÿÖú{¸àiÓG|úç¨"µô­TÙD¬¥Ï EÍÇѯÓÞ©^·Ã¯(]¨)Zé(U®¼¯"í{ÿôk^¶YLE pLBªÿ]ì?QoÏÓñîµ®iÕ´ÓõÄ#Wc«R©ÔäØZu

\}8>÷PE:Õ

k×b{°Ô.d(VÖo©gãèHüÏãÝ#S=vR,Ü%

À7+oX[l8½­ozó§^+רVÄXIG'+ªÌ[ÿ@G½z¥^7%G

¥T±3A7ãI÷î½×1Ó2A°å

âäþ/ϺÔWåÕÀ$|úåêk"Ñg»jõ­}oþÞ¾}\WöuWW¯ä*êõvUõæÜw­1ÕHóë« ©K0\èbÅJCn×ôrkÖÆ][X¿O§ûß¿AÖ«×"ImB÷MQ¡¯¬]G"ü¸÷±ÕÁë̺/ûfFpĤª©6ÒÇè

¿'ß«CëÖȨôë ¿GþÒirAä[§ÞþÞª8ׯDaybáÓnnÃK~óôúû×[®)×lU@õ#6«ZÓfðãü=û­yuí JkHåË[óÏÓÞúßË®:˪¥Ð.ìáARU_ à_~Ï­Q×lWÒÎå=G

O!]v`'õ_ú[ÞúÖ<úæÂʬÎmõÐ\²ýY/v'ý·½|º÷Ï®¥<Jè°*¡Qm¨¨1!V¹#ëôüû­xÓnvñÊ@âྺX+²kþ¸¹}}ø2úõ¢­×Ou ©õ+/¦?¨ ÿ6ÕÍÿß

)ªxõHVÑÙ

°¢,[P¿¹`E½ÕÏ\;&ªHÉê¬up/oñ·×zÅkÖÉ4§XÈ6¸Ç¤

¯qäPÚ?Öÿxãß«A­Ç=2g'Yª¡IY8AÔ·òéä~}ow©#¨RF4\t׳÷hª£©zÚ:©KÊаÐsÂýn?ÂÖ·¸e9Þî-×ée8¡®×³LûyÖµÇQóÛ÷ÈIr«

$ûiDK3KǰWòÄõö?­Õfjè¹ÚÜÛ\

H­ùý*0ÙH³1,ñ² &C¾¶Èê£À>ÆÖ·iqȯZHåWûzuyÒ±{¯GrT8a{nµã^Àë!XY0õÜX®·

PÜÓÏ q§·@ôé¢}z÷¥Ò«"2«(V.dQôúÿfÞ¢>ôjz¯±ÿté2´ÒÒV§ËAY¤Ò X$e·Ôc{þxöÝ·cPHíVÈø×ÈÌÞgll¢ÇÒHÑS¡¤Dt!D#IcÉ?é¾æï·«øuîèbÑ-ÜK©à:©Î²Ée·|Írsn9k2F(Õñ(@Þ°©áG:PÓ{ûÇ{ÖnecVÿ/RÏËÖÖaâz4;¢ZêüâÇTc<øø£®ejµf@¤#]lX½¿éÊûò;´s9ãùôÍÎÝ<L|JõP=¥ÖÍxàgÇ)¡¤iáIiµ,UU¹V{(B ^Ŭ2µµÍ¼É®#ѨKY­¦OJ­G:wNîÎÁM]Y§!NËÕ^EiqN

n ª£ñÜåÇ0ÚØäù.ß-f qèíÎËËÇÚ)]\)M*»3QCIT%®xào¡võ\0°ÓÙ;öî¶")É8é­¯mvàÓD½Ù=]Nü¹L6.\Kä)Hü*üsÔxã9:wÐt³I,}IåWl36ív¶ääãÓ×¢9®¹÷(LcÏ?g@wËhsäkJÄx²eç4±Ï2Çâb¼\ä19µ¬tûw^Qh6¯¨W¨#<=:ªïmi¹9Tê~ççÐWÐúϬųÖÍÃÊÆðãÖ9dxü¢i# iYiòMSùãÞ{ï}·mÏ®H¼µw$·Êx?ÃþN¡¸ñS`

)¦E«¡J¥ó$`KãhcôÉ&¤Õsù÷íÍß/ÓáÔ.Öó Ðx^Â?Íz¨ð³´i§Q³©§f

cÕèUýCqídrÅ.¥¶öæ|FJ¢¢ª\OBtKERÑÚĨU¾»­¹÷¨¶-¾üXÅ=zjÿoµ×éçÏDê

,^²x7Úr¾d"(@zy³@¼qì)Í0\L [4/Nm;vÝ"QÖL­MuRÒèuÀÓÊêÊúuàÝ­vdöRÜÀêÉÒ:S2ðºÈÛë1#

.67

úL}\ÔÕaXdUi½Ý¹o©?OuÜöË]Å

ÌmRçÑ

.¿@?>ÈÍswkà£íé¸vÝÂ)5Jôíá[³^²:8ÕéXªUcõK)·FK2~üØý}»¶r©ÛæîÏûz8y¼&;_®)XÐDÂI!DÇ<Ò!ðÇ_ã[Vúo¯±Z%íÍÒ¢á|ý~]øéS{Õm

Õ'ÝJò5$RÓ¬m<.dYLîÂÀ´MkµÅÅéîTå6ÛçYfÈÇE×V¢ò2(êÁú$áûW`&¿tA¸Ãß³e%h)æY§zU@¢ÊÄ1¸lóöÊ×cÜö62""¬|ú¯î6ËÈE(Ö|Æiþ¯³¥Ç,o_ǬÅMSKIIVTëU!0êI¤¾¸Ô

cÈpßß[.cdRÙû:9os·¾¶XmÒùt`º'¢3fk³WE!/­fý¡ú®Pª¨º}\L1od-UÐÕCy,"1#°ÏI®ìêZª\ºËuÔ²=CSAçµ\éúRmLñ«9ÑÁ\~{k¾(<)0¾¢Ûoe:þôVdpm-ÍF´Ù¨)å©Ôø:ÉuaPë8iÃ÷,\?HU­ì®ÿeÛ77Y¢HÁóëwVvNåâ?C¾µh+35ùñ¬h$§¶xDpyýØÒ±kX¨qǰĶMd

Ë¢ÏKS©rGòç®ö¾Ã[55J²±§¤JÃÃã«Ån¯nnôog·¼ä«T)?· þáÍ;Ae³Ñ¤Áî/ï&Ù\¤T´~<µUQÉR­$Uk§ÏsOÔá¹þƧaeOy×£ÈonÖÈO9¡§©ämE^ñÞpa67ßÖѽQ­«¤¤yB

gUlYËÔõØ\·ÎX¶WçÕyzËpÝw_ÙÄüú(zß%XkqCQáih種³ø2+"ß_DZÝÑH!¨"¾HWH-@IøðèlÊ|JÞyn¼¥¯Zu%G¦ÞZÄiä§ToláÅîu}H6ãpC8Cw$µ*ê¸÷ÏRnM¿ÉÓg&ª)NZcÒÀ©.¡êÔ£[×RÜȶ÷m¶«ÆFAa@FzÔûΣhæ¢JÚv¾¥¦ûQ:âýÏeºH|K4«|º¿ïe?>7É.ÆÃï\(±ä¼ïMTðC!§FC¦XæÂHÓ­.àµô6Ä\«´ÝDÎ4éPâq%ìèèJ=«UlEjxñMW k«©Xܸ¤«XO:I7³ríIjGÃÔtb$Ǻe¢>;å¦ðøý+Sõþè³mVä%À3"XL!Jéué2Àé¶«)æÀû,²C44òò=ùnmÖ`vé#òáÐcÚ*·od$¹

íóNçݸ»U

ax2%óÁÂ0j °Ôö_ ,=yÿÞ;RmÅAK¶«-ò7;¡$ôqq9

 

Ê:ÊQÓU41ÿ½4J*E¡Nv*×¥]$¤SÇSε4êºA:²ñ­ýZ^Çt¾Óþ+M-tPcÃWä÷1ÏWdâÅRWÖiQ&K$-"ÅSÀjÒJEïaìïo5¹FqÃl°"ëÒ[µj8TCöP"SH-D´Òy(,^OUH¶£kûÚ@zHÈÉXötë¡MÝ·âËäZI÷¯S<d¨êELl©ªÅOaÈúûzÅ|F&Ç[émS'¡O´ëvµf%Ò¹pô5í¥¸¯UÖ%Á;wÇ¥r-hGBEOvPRFhñWB¤,ªÌô°¸qi*uXé¸u¿ä{j*ªÂ½&ÂIN¡QÒw¨«Üõ5ÓTXHñ³Uø$> av²

à}@û]fá4"¸µ

@W£ñ§ª*{+|4T:kd Ô"y"v4Ô"«v°AªÖR@&Âä{U~µ2©Çøz[µÚ%ÉýRêÖ&ÙÍÕðE\( î)â

!24s<e¥Fi×[·âæ-Þà^x'^y

Ctf~Oá38ª­¾¦aÅSXÕ3ÚX¦(d9"¦×¥0Ïé·7<{vÆ}^··òÜÊÐtTâìÕ&Rl¾2S[È¥¦v¼q\²UB±¦À®å¯ôS§Ù]ÿ)n1«IÙÏFZNmÀ-Fùt»Å|Åæ+©0yJê))!OÊV£ü0d1rzx]-qõ)øömË;

ÔÕI¸¨é)¼¹³àz3»[»:÷

ñÓÇ

Ç-$í"©©B¬@X\.#5É7ö5±Ù;¤ô_¹os[$JY½:}ÉwEMN9h+#AD-#Ô¬ÊÒ&ò*éü_Ü-ü6vÊ#ò:E¸\^Ý£(:«Ã¦©»ðb¥oµÜ3V¬³ÌîÒ°ýÂÈeÈé"¨i¾µm {K¸$JÐÖdýÍÿØï¯¬£z|N%Þq=5>DôÍÔWÓ6«qóè©nýÁºwM&WE$µóx)DªH ¨kPÊjmjÅK\P·¹öxû

ÛzUrq¶­kª«zÇ¿:»cÁŹê(Z7G1z¨ÞYh«êñ¶éY

k)·Õ¹"

ûìeÙÚÔPtx9n0Þ(aAÇ=sCº6ÎòÃT4uUKA^µt©M$kBÍ÷´ø.?ªÖØ{}¸gÝ9£oþgüǦ÷KXê¼3Ñçën ù&Õ¬¾w4Ûs[ù

äsW$òëìáe

ä¥"fMÅÈÃí­©5¼bO:Ó«òï¶Ìå÷h:N÷7Â9~6ä©wVÖÌÕdpõNd4¹5+W*EæyUQJÛõ"à/k>õZ©.º

:ó3lîBíçù¤/Znø7fN*ú,|Â9r&!+5L°´æ¹iäº:*Su7>«Dòï¥ÉjרîÊ«> ª]É6ö­J]¶`¯GYòUQ¬tôâhüh¡æä=ÈckY

ÇÐ{í<g»Yù¸¨Çív¼_DÏ?Ú9m¬¦Îê2Õ Å¤":EDS2¯^«{Ȱã·räËí¿åhZæË¡

íqD«È^ý]ØuYîʦ)òµUuQÊdz©`¤§u¹¶»o\5:ÁÛ+AN­¸ml&çÀÅ%U]sA5ȯ%Öç

#&ß>ØÝ kCQ^rMªb³W¤ÞW w9óY¤G%-u?ùÄ7]1X16`=k~GÔó3·ÓøvëNÏmn"

§KÝ©Ûx}£

¿ÕUÒÀ«Yý¸¦´Ó¥ªF

Ê ôÆÓЦ:6hrãõÍ­U)Y&Z)=1_XHÆÐ-e`É?ílOSëÑÜ{yðÁ&>`r9ÝÈÈðÇ&:fíëYÝÑD³xªÞ¤ &êAöÊm!¼WÓ¢ÝÓlCZñ§P7¿tÉ4grÈ1RÇo^Ó@ðº|nÑX[&Ë{{2³·6í¥:*µµÎ]asÒ÷¥·Î?;¹jðÚº\¼5Å55jE>Z¢6¡4qj,ÀêÒª>õ¾L¶öfcÄt"¶¼V

GC²>-é ª­íåj

8bòd*¦ pXMØÇê,/î+Ÿ Ðê?ìt5¶º±H·st²øñ3b`èr­QBÕõÕuñÒ(ê(¯P*QYd

\³'áM¹¸Î=ÆïpÛ\e½OIï9ÖÙ¾5º4=»Ó{GUüElæ8⦧E

Y8º°'ÒyûoK¶`ÜOúE÷;ÌèËA¼5Y

]»66IiPÔÅü6\Ç4F¨ï*ÈÇQV=66ñûuæP׿y§

Ò?Ô}½OÙè»#{?¹i6ýé|JIo+ÌRO·óH¬À©` Üð£Õ|cæÆ·r?CJt'Û7

µ`q1îèw'!×»®nÒ½4µËY"ReÕ@HêKi.ºÁpxúÇ»A·²n¢4øFz

nÃ:9ÝoÚ"¨¨0k£ì+»D¤²Ð

íz[§Ð¡¿6ÂnM¯På!§jøéé±Ôèy$ªfuª/E

Âõ&ÖàXmö³ÛdóêÖ0ÙNÇÄ"¿V

ðw¥6°ÂÒa·J7Ç@óæ2IÚ{~\

jt¿{_£I¦cӢñ~^nx·]5}#éje¥$ËTRzð®l­ÃÜ5OBæýÝýf.²¢Jõ¨ÇÏ\vClËLµ/(°N#ÅɲÞëÿNO¹s9êÒê+XÆ:OsÎ7-îõ^´»é¹´j)n¶®aM¨ÄjI_?Õfù³(©©Ûïké±ï"½)éhS¼j#ZÈ®4ºì­ªÖc\æ6óÇöPWËçǨ{?­Ón+>ßkFcP3èý´¢U½{â

ç¿qffÇd!3}Íu4B9éi1ÑUÏ

­w>CuÒ²[ØCrÝ-'»:HÉêRåxw{}¿ë/#zÓìãþ£ûÇeäzêhÎ.©M234îf¬§E(ª£P$sø÷ó¯2MÞ9+OCÐÃa榼£e#:rþnÞ|LË9_%dÆ\òV·ÚN «¹Ãk§Cpì5,ý*?$û.÷{кíÉzcºßrb6Я3SËᮢÝ"f²S;çP/uI'Õort¼·íöº©¥kÕíÂÜSQÇIÚÝÓÆÖSÖ·ÂÓò¶+ÎË­U,Dà6æëÆî2ʸ¼KFÄÀ2lD²#X³?¬±:MÆ4û6å½úÇ"ç÷+

ÜútevÈ}ÑÛ8J´ÂÃdjd

i©TJòM 5O 5æÒo{#ÞFì{¼ÄJ!8@»~Í4÷

/$Ò­êûGJxpºlÖ+3¥w¯§¨Z|66hÑ`®¶6

Úz&1BÄrGà[Ù×-'Q!óèIºlmñ,°°cÕôBÕÖÔÅ»²íevJ´ÕäiéÖ$Ôª¬¡¢ }o¯±ZÝÀÑhãÑBmó-Ħµ èøoÚ|Ö¹M-i

oð¼PIòªuw?kñî÷búÎIi¨Ðÿ¡íë=t©¥8uO½£Ú½Í»ÍQöÒPUxqôТ¼·hâ31+xïkX0Ó`/|U½ß£Û`ÀñôèÚÂìÞήWÏ¢ÅÙ9¦¦ii±ô×ÔM¨E+h*4Æ$ -Ûvõ(ý\sî?èÞêZÿ¡Ú IáѬéÞ¸£ÉõÍN`¨®ËÓÐN#«¬§aKNäþúµÓnTü{ÔµK]m´ðZ¼E3qL»{?SÈÇXòä䢼u

XÑÉ#JºyRäÇïϸ"mÊãÂQRÆuëOª8¨ê7÷ß=W¾RÍ

êcX`3Ö)oö

D3

GIäñϳîXä»­¢õ/îjÿ>ûÛ4å£ÉZ_Çn¹Äom»Nnè*ZB>òä?ñT

U~\2óï¤ÐïQíR£÷¹¿²¸o¨SAþÏF|hØñSUÇK¦¦zñ¬"2Z/

U)Ô?¨·¹âKÑpµòYwÁ'éH0ßoJ

×)³²ÉE°&I8Iü^1©Æ²§@²ÿAsí;L

 

S ÖßÝËqJäô?¤b5e±$%µ®nÀ¼þÃÛlAÇN¨Û®3Õñ^fk«3U{)`öHv

¢äzä½­À×®¯ù½k¯Oêkhr¥þ¿K"ãÞôA=v )áth¾¥¨UäOúÜûÕ~}ztbá¼jCòÊÒ4lm&n¿Ã{Ö)Ç­zaÜUTØüM|ÏWøéÝRI_ÆÁàffP¿:ÇÇô÷Z± ÓÑħW§E[§û]3ûÏ+jåªHdfWSf!,Bú7>ý)M4Ot

³½1¶¸¯øz8®Ð*<Dq°îÆÆÌ4Gâ¶£þ¸ëÍ´ëjаqUáÖX1XfIa*9(¬Iq{·ÐÜêyönÍÈÏÏ¥B].iÐ{¸w±¦®¢§1ù?Ûé

)fÒHc¹`¦æú­b?ÆØÕî÷¸SòAú k?Øèi³ØÉx7JôößgîÚO·ðαÏPñË$ñÏ4E GóO<ÓÓô°Ò\¨ßÞ'nïßsµêØÚ3¨Ôß/õ|ú9»ÚZÚ&XûO¯Rvwfý:ãYf®0ÅÔº"¤F2DPJi¢}U¬?as/íþèìü·F÷²Ó§çÐJkçÒ¹ôÿ`t/KÙ8,¶ßI(êÕu#];FXÄE^Í)}Zmfü[mokùï

jÛ_Y½FgåÑÖÕËÑÌ?YN¯°ÿ Oº;ºjZºäÇc¢Ð´óÊÍWfB¦à4CýPÛ7ï|ù×·ilmKGªj&²³¡ÎϰíÖ²VðáÃöôóEÛ»F8äâ,«<

fõA¬§$}½%×û_1ÏÍAFóÉT?Êbxá«`ȱy)=¯Â𸱷3Å·m0â.+þ½ºóÞ@w}¾}=VůYYM¤iH1í"¼PS¼FGȹt

ÃÊþªÐ§?óüÖöE"R3éåÐiÛÛt°a{ÝU4ûiÐñ[äVüÂuÒ­UÑaq°ÓëõVÎ0<Ïܧý?@.=Êßnö{ÆÌ3Q¨)üºÆ«Î[æKÒ[m¿à.Æç%¿Ø<)åNt|ÍììÞ/ÔiAĺÕÎtH³F˨ÒH¥ÅÊ6´cÆpÀO8óÜ»6åôVC 1Ðógöãu%¹æW¬

C 5ÿWÏÒ}ZßÁ_u»3jåwæÜyL¥]\QÏ@rUOÜ£Y|XkËÈ6¹=Ã÷;uØiÏRç${WÈLͧ׬û©sYnÈÍÒRnǨ>ê:hæò'îʱ¢*zTÜaÁõ/°÷$nÓÌt¸¸¹}xÒçùBí-xϼ6oSíܽ&CsÑAYü>XhfÍMNË8hÊ:¤nC1eIêàþûÈí»|i%Á<:Aw¶myÍWåÖµ=±ßUx~ÃÏå6îïhj

§\wjzúÔpÏFÍ¥Y~Üî4æúMÚè¬@^vnEÛ¤nÌ!M)Zg¢û¶ñï^ÀÇaýuÙJØZxR4Æ5dP*Uf6X{ØìWÖâ¶+,ÿ#Ô$ö<»i®c¥G_G?åñcg|øçÅãqôÄkèá¬Ïäĵù#×$ [MRßO¯²^eåfØ/]&ëܵºÁzÍs*z/¿Ì§}mÌñÂQääÑNþÃ¥=¼uw&öõÓ¨³É°ã¯¶]ÇyçÛF·Fxcnêö:s÷ Ö¯bEDgaïí¿^ÐO.j#AQ¤¥ªÇdijÈ8h ¨Xg³&âÂ÷Xut`¹Ûv¾%x{F)òArm+{YTijý£ÃìÍ·±KVÒR¤Õ

@¬Zª Râ*¬äÚHúÞÃÜ¡·sÞª%ªè´ìóÙ~¤æ¼iÕ{w§zàð»¹ë¨Ò²«û¶¨¥vU"h£Grt.ãÔHb@U¿nÛ®Ýl·J

ÀãötËr©ß!¤PJæwZ|ÁÙyle2T×èi¦û$72Þ'{:,+r/m÷nÂßÐ}ĵE*ªR"+(ÄèàLI],ŸÿSÅÉÈ^Cä·-V[ÕçqRXW=&ÜýƼÜX2Ub)ÑùwC±úg²håÂÖQ+!®h`§O JxåEjjÔHHͤr@± aor.6Ä¿Jª«°áÒû]þÿq³¤,ÅTçìè0Ú[Çzw®w±vËM

!ÎS¡aCÆ7hh$bgãÆHoÒ#m³×·HÕjrÔáN70ßíV­<ÏAR¨©û?ËÕ®Ô|sÚ½QÑ5dh©Z¢²9ªKıT½DeÐÉ7ê,­4ÁYUÁ±ºßÞSìö6\½µ+8ÀUZpâ~}ïy¢åï¤o§Á¾ºmíÃ=-<0BP­72ÃÌÊÕ

}OèßOoÜLLyôÚ/nï®å»ªÎØ?è°ÓÙ;öî¶")É8é­¯mvàÓD½Ù=]Nü¹L6.\Kä)Hü*üsÔxã9:wÐt³I,}IåWl36ív¶ääãÓ×¢9®¹÷(LcÏ?g@wËhsäkJÄx²eç4±Ï2Çâb¼\ä19µ¬tûw^Qh6¯¨W¨#<=:ªïmi¹9Tê~ççÐWÐúϬųÖÍÃÊÆðãÖ9dxü¢i# iYiòMSùãÞ{ï}·mÏ®H¼µw$·Êx?ÃþN¡¸ñS`

)¦E«¡J¥ó$`KãhcôÉ&¤Õsù÷íÍß/ÓáÔ.Öó Ðx^Â?Íz¨ð³´i§Q³©§f

cÕèUýCqídrÅ.¥¶öæ|FJ¢¢ª\OBtKERÑÚĨU¾»­¹÷¨¶-¾üXÅ=zjÿoµ×éçÏDê

,^²x7Úr¾d"(@zy³@¼qì)Í0\L [4/Nm;vÝ"QÖL­MuRÒèuÀÓÊêÊúuàÝ­vdöRÜÀêÉÒ:S2ðºÈÛë1#

.67

úL}\ÔÕaXdUi½Ý¹o©?OuÜöË]Å

ÌmRçÑ

.¿@?>ÈÍswkà£íé¸vÝÂ)5Jôíá[³^²:8ÕéXªUcõK)·FK2~üØý}»¶r©ÛæîÏûz8y¼&;_®)XÐDÂI!DÇ<Ò!ðÇ_ã[Vúo¯±Z%íÍÒ¢á|ý~]øéS{Õm

Õ'ÝJò5$RÓ¬m<.dYLîÂÀ´MkµÅÅéîTå6ÛçYfÈÇE×V¢ò2(êÁú$áûW`&¿tA¸Ãß³e%h)æY§zU@¢ÊÄ1¸lóöÊ×cÜö62""¬|ú¯î6ËÈE(Ö|Æiþ¯³¥Ç,o_ǬÅMSKIIVTëU!0êI¤¾¸Ô

cÈpßß[.cdRÙû:9os·¾¶XmÒùt`º'¢3fk³WE!/­fý¡ú®Pª¨º}\L1od-UÐÕCy,"1#°ÏI®ìêZª\ºËuÔ²=CSAçµ\éúRmLñ«9ÑÁ\~{k¾(<)0¾¢Ûoe:þôVdpm-ÍF´Ù¨)å©Ôø:ÉuaPë8iÃ÷,\?HU­ì®ÿeÛ77Y¢HÁóëwVvNåâ?C¾µh+35ùñ¬h$§¶xDpyýØÒ±kX¨qǰĶMd

Ë¢ÏKS©rGòç®ö¾Ã[55J²±§¤JÃÃã«Ån¯nnôog·¼ä«T)?· þáÍ;Ae³Ñ¤Áî/ï&Ù\¤T´~<µUQÉR­$Uk§ÏsOÔá¹þƧaeOy×£ÈonÖÈO9¡§©ämE^ñÞpa67ßÖѽQ­«¤¤yB

gUlYËÔõØ\·ÎX¶WçÕyzËpÝw_ÙÄüú(zß%XkqCQáih種³ø2+"ß_DZÝÑH!¨"¾HWH-@IøðèlÊ|JÞyn¼¥¯Zu%G¦ÞZÄiä§ToláÅîu}H6ãpC8Cw$µ*ê¸÷ÏRnM¿ÉÓg&ª)NZcÒÀ©.¡êÔ£[×RÜȶ÷m¶«ÆFAa@FzÔûΣhæ¢JÚv¾¥¦ûQ:âýÏeºH|K4«|º¿ïe?>7É.ÆÃï\(±ä¼ïMTðC!§FC¦XæÂHÓ­.àµô6Ä\«´ÝDÎ4éPâq%ìèèJ=«UlEjxñMW k«©Xܸ¤«XO:I7³ríIjGÃÔtb$Ǻe¢>;å¦ðøý+Sõþè³mVä%À3"XL!Jéué2Àé¶«)æÀû,²C44òò=ùnmÖ`vé#òáÐcÚ*·od$¹

íóNçݸ»U

ax2%óÁÂ0j °Ôö_ ,=yÿÞ;RmÅAK¶«-ò7;¡$ôqq9

 

Ê:ÊQÓU41ÿ½4J*E¡Nv*×¥]$¤SÇSε4êºA:²ñ­ýZ^Çt¾Óþ+M-tPcÃWä÷1ÏWdâÅRWÖiQ&K$-"ÅSÀjÒJEïaìïo5¹FqÃl°"ëÒ[µj8TCöP"SH-D´Òy(,^OUH¶£kûÚ@zHÈÉXötë¡MÝ·âËäZI÷¯S<d¨êELl©ªÅOaÈúûzÅ|F&Ç[émS'¡O´ëvµf%Ò¹pô5í¥¸¯UÖ%Á;wÇ¥r-hGBEOvPRFhñWB¤,ªÌô°¸qi*uXé¸u¿ä{j*ªÂ½&ÂIN¡QÒw¨«Üõ5ÓTXHñ³Uø$> av²

à}@û]fá4"¸µ

@W£ñ§ª*{+|4T:kd Ô"y"v4Ô"«v°AªÖR@&Âä{U~µ2©Çøz[µÚ%ÉýRêÖ&ÙÍÕðE\( î)â

!24s<e¥Fi×[·âæ-Þà^x'^y

Ctf~Oá38ª­¾¦aÅSXÕ3ÚX¦(d9"¦×¥0Ïé·7<{vÆ}^··òÜÊÐtTâìÕ&Rl¾2S[È¥¦v¼q\²UB±¦À®å¯ôS§Ù]ÿ)n1«IÙÏFZNmÀ-Fùt»Å|Åæ+©0yJê))!OÊV£ü0d1rzx]-qõ)øömË;

ÔÕI¸¨é)¼¹³àz3»[»:÷

ñÓÇ

Ç-$í"©©B¬@X\.#5É7ö5±Ù;¤ô_¹os[$JY½:}ÉwEMN9h+#AD-#Ô¬ÊÒ&ò*éü_Ü-ü6vÊ#ò:E¸\^Ý£(:«Ã¦©»ðb¥oµÜ3V¬³ÌîÒ°ýÂÈeÈé"¨i¾µm {K¸$JÐÖdýÍÿØï¯¬£z|N%Þq=5>DôÍÔWÓ6«qóè©nýÁºwM&WE$µóx)DªH ¨kPÊjmjÅK\P·¹öxû

ÛzUrq¶­kª«zÇ¿:»cÁŹê(Z7G1z¨ÞYh«êñ¶éY

k)·Õ¹"

ûìeÙÚÔPtx9n0Þ(aAÇ=sCº6ÎòÃT4uUKA^µt©M$kBÍ÷´ø.?ªÖØ{}¸gÝ9£oþgüǦ÷KXê¼3Ñçën ù&Õ¬¾w4Ûs[ù

äsW$òëìáe

ä¥"fMÅÈÃí­©5¼bO:Ó«òï¶Ìå÷h:N÷7Â9~6ä©wVÖÌÕdpõNd4¹5+W*EæyUQJÛõ"à/k>õZ©.º

:ó3lîBíçù¤/Znø7fN*ú,|Â9r&!+5L°´æ¹iäº:*Su7>«Dòï¥ÉjרîÊ«> ª]É6ö­J]¶`¯GYòUQ¬tôâhüh¡æä=ÈckY

ÇÐ{í<g»Yù¸¨Çív¼_DÏ?Ú9m¬¦Îê2Õ Å¤":EDS2¯^«{Ȱã·räËí¿åhZæË¡

íqD«È^ý]ØuYîʦ)òµUuQÊdz©`¤§u¹¶»o:ÁÛ+AN­¸ml&çÀÅ%U]sA5ȯ%Öç

#&ß>ØÝ kCQ^rMªb³W¤ÞW w9óY¤G%-u?ùÄ7]1X16`=k~GÔó3·ÓøvëNÏmn"

§KÝ©Ûx}£

¿ÕUÒÀ«Yý¸¦´Ó¥ªF

Ê ôÆÓЦ:6hrãõÍ­U)Y&Z)=1_XHÆÐ-e`É?ílOSëÑÜ{yðÁ&>`r9ÝÈÈðÇ&:fíëYÝÑD³xªÞ¤ &êAöÊm!¼WÓ¢ÝÓlCZñ§P7¿tÉ4grÈ1RÇo^Ó@ðº|nÑX[&Ë{{2³·6í¥:*µµÎ]asÒ÷¥·Î?;¹jðÚº\¼5Å55jE>Z¢6¡4qj,ÀêÒª>õ¾L¶öfcÄt"¶¼V

GC²>-é ª­íåj

8bòd*¦ pXMØÇê,/î+Ÿ Ðê?ìt5¶º±H·st²øñ3b`èr­QBÕõÕuñÒ(ê(¯P*QYd

\³'áM¹¸Î=ÆïpÛ\e½OIï9ÖÙ¾5º4=»Ó{GUüElæ8⦧E

Y8º°'ÒyûoK¶`ÜOúE÷;ÌèËA¼5Y

]»66IiPÔÅü6\Ç4F¨ï*ÈÇQV=66ñûuæP׿y§

Ò?Ô}½OÙè»#{?¹i6ýé|JIo+ÌRO·óH¬À©` Üð£Õ|cæÆ·r?CJt'Û7

µ`q1îèw'!×»®nÒ½4µËY"ReÕ@HêKi.ºÁpxúÇ»A·²n¢4øFz

nÃ:9ÝoÚ"¨¨0k£ì+»D¤²Ð

íz[§Ð¡¿6ÂnM¯På!§jøéé±Ôèy$ªfuª/E

Âõ&ÖàXmö³ÛdóêÖ0ÙNÇÄ"¿V

ðw¥6°ÂÒa·J7Ç@óæ2IÚ{~\

jt¿{_£I¦cӢñ~^nx·]5}#éje¥$ËTRzð®l­ÃÜ5OBæýÝýf.²¢Jõ¨ÇÏ\vClËLµ/(°N#ÅɲÞëÿNO¹s9êÒê+XÆ:OsÎ7-îõ^´»é¹´j)n¶®aM¨ÄjI_?Õfù³(©©Ûïké±ï"½)éhS¼j#ZÈ®4ºì­ªÖc\æ6óÇöPWËçǨ{?­Ón+>ßkFcP3èý´¢U½{â

ç¿qffÇd!3}Íu4B9éi1ÑUÏ

­w>CuÒ²[ØCrÝ-'»:HÉêRåxw{}¿ë/#zÓìãþ£ûÇeäzêhÎ.©M234îf¬§E(ª£P$sø÷ó¯2MÞ9+OCÐÃa榼£e#:rþnÞ|LË9_%dÆ\òV·ÚN «¹Ãk§Cpì5,ý*?$û.÷{кíÉzcºßrb6Я3SËᮢÝ"f²S;çP/uI'Õort¼·íöº©¥kÕíÂÜSQÇIÚÝÓÆÖSÖ·ÂÓò¶+ÎË­U,Dà6æëÆî2ʸ¼KFÄÀ2lD²#X³?¬±:MÆ4û6å½úÇ"ç÷+

ÜútevÈ}ÑÛ8J´ÂÃdjd

i©TJòM 5O 5æÒo{#ÞFì{¼ÄJ!8@»~Í4÷

/$Ò­êûGJxpºlÖ+3¥w¯§¨Z|66hÑ`®¶6

Úz&1BÄrGà[Ù×-'Q!óèIºlmñ,°°cÕôBÕÖÔÅ»²íevJ´ÕäiéÖ$Ôª¬¡¢ }o¯±ZÝÀÑhãÑBmó-Ħµ èøoÚ|Ö¹M-i

oð¼PIòªuw?kñî÷búÎIi¨Ðÿ¡íë=t©¥8uO½£Ú½Í»ÍQöÒPUxqôТ¼·hâ31+xïkX0Ó`/|U½ß£Û`ÀñôèÚÂìÞήWÏ¢ÅÙ9¦¦ii±ô×ÔM¨E+h*4Æ$ -Ûvõ(ý\sî?èÞêZÿ¡Ú IáѬéÞ¸£ÉõÍN`¨®ËÓÐN#«¬§aKNäþúµÓnTü{ÔµK]m´ðZ¼E3qL»{?SÈÇXòä䢼u

XÑÉ#JºyRäÇïϸ"mÊãÂQRÆuëOª8¨ê7÷ß=W¾RÍ

êcX`3Ö)oö

D3

GIäñϳîXä»­¢õ/îjÿ>ûÛ4å£ÉZ_Çn¹Äom»Nnè*ZB>òä?ñT

U~óï¤ÐïQíR£÷¹¿²¸o¨SAþÏF|hØñSUÇK¦¦zñ¬"2Z/

U)Ô?¨·¹âKÑpµòYwÁ'éH0ßoJ

×)³²ÉE°&I8Iü^1©Æ²§@²ÿAsí;L

 

S ÖßÝËqJäô?¤b5e±$%µ®nÀ¼þÃÛlAÇN¨Û®3Õñ^fk«3U{)`öHv

¢äzä½­À×®¯ù½k¯Oêkhr¥þ¿K"ãÞôA=v )áth¾¥¨UäOúÜûÕ~}ztbá¼jCòÊÒ4lm&n¿Ã{Ö)Ç­zaÜUTØüM|ÏWøéÝRI_ÆÁàffP¿:ÇÇô÷Z± ÓÑħW§E[§û]3ûÏ+jåªHdfWSf!,Bú7>ý)M4Ot

³½1¶¸¯øz8®Ð*<Dq°îÆÆÌ4Gâ¶£þ¸ëÍ´ëjаqUáÖX1XfIa*9(¬Iq{·ÐÜêyönÍÈÏÏ¥B].iÐ{¸w±¦®¢§1ù?Ûé

)fÒHc¹`¦æú­b?ÆØÕî÷¸SòAú k?Øèi³ØÉx7JôößgîÚO·ðαÏPñË$ñÏ4E GóO<ÓÓô°Ò\¨ßÞ'nïßsµêØÚ3¨Ôß/õ|ú9»ÚZÚ&XûO¯Rvwfý:ãYf®0ÅÔº"¤F2DPJi¢}U¬?as/íþèìü·F÷²Ó§çÐJkçÒ¹ôÿ`t/KÙ8,¶ßI(êÕu#];FXÄE^Í)}Zmfü[mokùï

jÛ_Y½FgåÑÖÕËÑÌ?YN¯°ÿ Oº;ºjZºäÇc¢Ð´óÊÍWfB¦à4CýPÛ7ï|ù×·ilmKGªj&²³¡ÎϰíÖ²VðáÃöôóEÛ»F8äâ,«<

fõA¬§$}½%×û_1ÏÍAFóÉT?Êbxá«`ȱy)=¯Â𸱷3Å·m0â.+þ½ºóÞ@w}¾}=VůYYM¤iH1í"¼PS¼FGȹt

ÃÊþªÐ§?óüÖöE"R3éåÐiÛÛt°a{ÝU4ûiÐñ[äVüÂuÒ­UÑaq°ÓëõVÎ0<Ïܧý?@.=Êßnö{ÆÌ3Q¨)üºÆ«Î[æKÒ[m¿à.Æç%¿Ø<)åNt|ÍììÞ/ÔiAĺÕÎtH³F˨ÒH¥ÅÊ6´cÆpÀO8óÜ»6åôVC 1Ðógöãu%¹æW¬

C 5ÿWÏÒ}ZßÁ_u»3jåwæÜyL¥]\QÏ@rUOÜ£Y|XkËÈ6¹=Ã÷;uØiÏRç${WÈLͧ׬û©sYnÈÍÒRnǨ>ê:hæò'îʱ¢*zTÜaÁõ/°÷$nÓÌt¸¸¹}xÒçùBí-xϼ6oSíܽ&CsÑAYü>XhfÍMNË8hÊ:¤nC1eIêàþûÈí»|i%Á<:Aw¶myÍWåÖµ=±ßUx~ÃÏå6îïhj

§\wjzúÔpÏFÍ¥Y~Üî4æúMÚè¬@^vnEÛ¤nÌ!M)Zg¢û¶ñï^ÀÇaýuÙJØZxR4Æ5dP*Uf6X{ØìWÖâ¶+,ÿ#Ô$ö<»i®c¥G_G?åñcg|øçÅãqôÄkèá¬Ïäĵù#×$ [MRßO¯²^eåfØ/]&ëܵºÁzÍs*z/¿Ì§}mÌñÂQääÑNþÃ¥=¼uw&öõÓ¨³É°ã¯¶]ÇyçÛF·Fxcnêö:s÷ Ö¯bEDgaïí¿^ÐO.j#AQ¤¥ªÇdijÈ8h ¨Xg³&âÂ÷Xut`¹Ûv¾%x{F)òArm+{YTijý£ÃìÍ·±KVÒR¤Õ

@¬Zª Râ*¬äÚHúÞÃÜ¡·sÞª%ªè´ìóÙ~¤æ¼iÕ{w§zàð»¹ë¨Ò²«û¶¨¥vU"h£Grt.ãÔHb@U¿nÛ®Ýl·J

ÀãötËr©ß!¤PJæwZ|ÁÙyle2T×èi¦û$72Þ'{:,+r/m÷nÂßÐ}ĵE*ªR"+(ÄèàLI],ŸÿSÅÉÈ^Cä·-V[ÕçqRXW=&ÜýƼÜX2Ub)ÑùwC±úg²håÂÖQ+!®h`§O JxåEjjÔHHͤr@± aor.6Ä¿Jª«°áÒû]þÿq³¤,ÅTçìè0Ú[Çzw®w±vËM

!ÎS¡aCÆ7hh$bgãÆHoÒ#m³×·HÕjrÔáN70ßíV­<ÏAR¨©û?ËÕ®Ô|sÚ½QÑ5dh©Z¢²9ªKıT½DeÐÉ7ê,­4ÁYUÁ±ºßÞSìö6\½µ+8ÀUZpâ~}ïy¢åï¤o§Á¾ºmíÃ=-<0BP­72ÃÌÊÕ

}OèßOoÜLLyôÚ/nï®å»ªÎØ?è

Charlotte Moss;

House Beautiful, June 2009

  

Jam yang aku genggam menunjukkan pukul 23.45. Lelaki itu masih berdiam diri. Tubuhnya seperti membatu di kursi ruang tunggu. Dia duduk sendirian dengan kedua tangan menopang dagu. Wajahnya kuyu. Sorot matanya sendu. Sesekali bibirnya bergemetar seakan sedang mendremimilkan sesuatu.

 

Tak lama berselang, dia menangkupkan kedua tangan. Membiarkan gelap menyungkup wajahnya. Aku menerka, barangkali kini benaknya riuh dipenuhi pertanyaan yang menuntut jawaban.

 

Sepertinya aroma obat bercampur bau cat yang sepenuhnya belum kering di dinding membuat kepalanya menjadi lebih pening. Satu per satu keringat dingin bermunculan di kening.

 

Kedua mataku lekat menatap lelaki itu dari jauh. Sejurus kemudian aku berjalan bersijingkat mendekati dia. Aku berharap kedatanganku tak mengusik atau menambah keruh benaknya. Aku duduk tepat di sampingnya. Dia sama sekali tak menyadari kehadiranku. Dia masih tertunduk lesu. Dia seolah tenggelam dalam kekalutan yang pelan-pelan membunuh kesadaran.

 

Beberapa menit berlalu. Aku dan dia sama-sama membisu. Kesunyian terasa begitu pekat. Namun sayup-sayup suara jeritan melengking dari salah satu kamar. Lelaki itu tiba-tiba menggelenggeleng, seakan sedang mengembalikan kesadaran. Aku agak bingung. Secepat kilat dia melesat dari kursi. Setengah berlari dia menuju arah sumber suara. Namun langkahnya tertahan di depan kamar nomor 005. Kedua tangannya memegangi gagang pintu. Bola matanya menatap tajam kaca buram persegi panjang. Mencoba menilisik lebih jauh apa yang sedang terjadi di dalam sana. Terselip rasa penasaran yang mengganjal dalam dada.

 

Lelaki itu kini terpaku di depan pintu sembari menggigiti kuku. Kegelisahan mungkin sedang mengoyak benaknya. Tanpa permisi aku diam-diam masuk menerobos pintu; lelaki itu seperti menjaga ketat. Sejenak aku mengedarkan pandangan. Dari balik tirai warna hijau, aku melihat seorang perempuan terbaring di ranjang. Kedua kakinya mengangkang. Tangan kanannya menggegam seprai yang lecek. Tangan kirinya mencengkeram erat gorden di belakang kepala. Urat-urat di lehernya menegang. Napasnya tersengal-sengal.

 

Mataku tersita oleh papan pipih yang menggapit secarik kertas. Aku mengamati dengan saksama. Nama, usia, dan tanggal lahir tercetak di papan itu, sama persis dengan yang tertulis di daun gugur yang beberapa menit lalu kupungut. Aku merogoh saku. Jam dalam genggamanku menunjukkan pukul 23.55. Kurang dari lima menit lagi.

 

“Sedikit lagi, Bu,” ucap seorang perempuan.

 

Aku melihat dia beberapa kali memberikan arahan. Dia sebegitu bersemangat. Juga cermat. Dia bak pemandu musik dalam sebuah orkestra. Dia tahu bagaimana membawa musik dalam irama pelan atau tempo kencang. Terkadang dia menyingkap sedikit kain yang menutupi kedua kaki perempuan yang terbaring di ranjang. Lalu melongokkan kepala ke dalam, ke balik kain itu, seperti sedang memastikan sesuatu.

 

Perlahan aku mendekati mereka. Aku berdiri di sebelah kiri ranjang. Perempuan yang terbaring itu masih terus berteriak lantang. Berkaliulang dia menarik napas panjang, lalu mengembuskan disertai jeritan. Peluh memandikan wajahnya. Tampak mengilat tertempa cahaya. Tiba-tiba perempuan itu menoleh kepadaku. Bola matanya menghunjam mataku. Aku tersentak. Apakah dia melihatku?

 

Kedua pasang mata kami beradu. Seolah waktu membeku. Jarum jam baru saja bergeser dari pukul 23.59 menuju pukul dua belas tepat tengah malam. Dari pancaran sepasang mata perempuan itu aku menangkap kepiluan mendalam. Sepasang matanya seolah mengiba, meminta dikasihani.

 

“Tunggulah sebentar lagi. Aku mohon.”

 

Entah kenapa aku merasakan kenyerian teramat sangat. Tubuhku seperti tersayat sesuatu yang tak terlihat. Kali pertama keanehan macam ini terjadi. Sebelumnya, aku tak pernah sedikit pun merasa canggung. Aku selalu terbiasa dengan berbagai macam situasi, terkeculi malam ini. Dan, entah, aku sedemikian kasihan bila harus segera merenggut sesuatu yang berharga, yang mungkin sebentar lagi dia rasakan. Barangkali sesuatu itu telah lama dia nantikan, dia harapkan, dan dia idam-idamkan.

 

Aku mengangguk pelan. Aku menangkap kelegaan keluar bersama embusan napasnya. Tak terasa air mengalir perlahan dari pelupuk mataku. Lalu menderas, membasahi pipiku. Aku segera menyeka air dari pelupuk mata dengan telunjuk jariku agar tak banyak lagi yang tumpah. Apakah aku sedang menangis? Apakah aku sedang bersedih?

 

Suara tangis pecah di ruangan. Tangis itu seperti penawar rasa sakit perempuan yang terkulai lemas di atas ranjang. Napasnya sedikit demi sedikit kembali beraturan. Sejak tadi aku hanya mematung. Kedua mataku tak henti-henti mengalirkan air mata.

 

“Selamat! Ibu melahirkan bayi laki-laki,” kata perempuan yang membantu melahirkan seraya menyerahkan bayi itu ke pelukan perempuan di atas ranjang.

 

Samar-samar aku mendengar derap kaki mendekat. Langkah itu seperti bersicepat dengan degup jantungya. Lelaki datang dengan wajah semringah. Dia menghambur mendekati perempuan di atas ranjang. Dia membelai rambut perempuan itu sepenuh kasih.

 

“Selamat, Sayang. Kau resmi jadi ibu,” bisik lirih lelaki itu. Lalu, perlahan dia mengumandangkan azan ke telinga kanan sang bayi.

 

Aku menunduk, mendengarkan dengan khusyuk. Perempuan itu mencium kening bayi, lalu memeluk erat.

 

Setelah selesai, aku kembali mengamati jam yang kugenggam. Waktu menunjukkan pukul 00.05. Ini telah melewati batas ketentuan. Aku telah melakukan satu kesalahan. Tak pernah sekali pun aku melanggar ketetapan yang telah digariskan. Ah, maafkanlah aku.

 

Aku merapatkan diri lebih dekat pada perempuan itu. Sekilas aku menangkap sebaris senyum terlukis di belah bibirnya. Aku membalas dengan senyuman pula. Perlahan aku menangkupkan kedua kelopak mata. Aku membayangkan sedang menarik seutas benang yang rantas dalam gumpalan tepung. Aku menarik dengan segenap kehati-hatian. Aku berharap tak ada yang tertinggal atau benang itu terputus.

 

Setelah membuka mata, aku melihat seberkas cahaya keluar dari tubuh perempuan itu. Cahaya itu menjelma menjadi kupu-kupu dengan kepakan sayap begitu menyilaukan. Dia terbang mengitari aku. Aku mengangkat telunjuk jari, lalu kupu-kupu itu hinggap di atasnya.

 

“Terima kasih telah memberiku sedikit waktu untuk mencium dan memeluk bayiku.”

 

Kupu-kupu itu kembali terbang. Lalu merupa menjadi serpihan cahaya seperti kunangkunang. Perlahan memudar, lalu hilang. Aku bergegas meninggalkan ruangan, yang menyisakan tangis kehilangan. (28)

 

– Dicky Qulyubi Aji, kelahiran Jepara, mahasiswa Sastra Jawa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang.

 

[1] Disalin dari karya Dicky Qulyubi Aji

[2] Pernah tersiar di surat kabar “Suara Merdeka” edisi Minggu 10 Maret 2019.

 

The post Kali Pertama Aku Menangis appeared first on Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara.

 

via Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara bit.ly/2TRuxEp

  

POTONGAN-POTONGAN kenangan tentangmu beranak pinak dalam ingatan. Satu demi satu kenangan itu mendatangiku setelah tiba-tiba kau menghubungiku kembali. Rupanya kau dengan sengaja ingin menyelinap dalam hidupku. Aku sudah lama tidak melihatmu, kini kau menghubungiku kembali. Katamu, beberapa hari terakhir ini kau tak bisa tidur. Namun, adakah kau berharap agar kelak aku bisa membuatmu jatuh tertidur setelah aku datang menemuimu?

 

Kata-katamu yang penuh rahasia mampu melipat jarak di antara kita. Menyeretku untuk menemuimu dari luar kota dan saat itulah kali pertama aku melihatmu meringkuk dalam kecemasan yang sangat. Jalan pikiranmu kurasa telah terperangkap dalam kegelapan panjang tanpa harapan. Menatapmu kembali setelah sekian lama tak berjumpa membuat jantungku berdebar, bukan karena nostalgia, melainkan karena keluhan-keluhanmu yang menyudutkan dirimu sendiri pada suatu ketidakwajaran. Dalam ingatanku, kini kondisimu bertolak belakang dengan gaya hidupmu yang penuh rasa semangat dan percaya diri pada saat aku mengenalmu jauh di masa lalu.

 

Aku menahan kecewa. Pertemuan yang harusnya penuh tawa rupanya hanya tersimpan dalam angan-angan.

 

Malam itu, bayanganmu di masa lalu tiba-tiba kembali memburu. Dulu, kita dalam kondisi sama, belum menanggalkan masa lajang. Padahal, usia kita juga telah sama berada pada kepala tiga. Memasuki kepala empat, kita juga sama-sama termenung. Jalan untuk menemu jodoh memang tak bisa dijelaskan. Meski demikian, di antara kita tak ada yang kecewa, tetap tertawa dan gembira.

 

Kekosongan hatimu mulai terisi pada usia empat puluh tujuh. Kau menemukan separuh jiwamu yang lama hilang pada seorang gadis berumur dua puluh tujuh. Akhirnya, kau resmikan hubungan kalian yang membuatku pelan-pelan menyingkir darimu dan berkelana sampai ke luar kota.

 

Kini, lewat sepuluh tahun setelah kalian meresmikan hubungan, aku tidak percaya kembali menemuimu dalam sebuah kecemasan.

 

“Kapan kau mulai tak bisa tidur?”

 

“Oh, kuharap kau bisa membantu.”

 

Beberapa saat kau diam.

 

“Kau ingat dengan Pak Sumin yang menjadi guru ngaji di langgar tempat kita biasa mengaji sewaktu kecil dulu?” tanyamu.

 

Aku mengernyitkan dahi. Apa hubungan antara Pak Sumin dan kondisimu yang tak bisa tidur?

 

“Kau sudah lupa?” tanyamu kembali.

 

Mau tidak mau, aku memaksa ingatanku kembali ke puluhan tahun silam. Ketika itu, kita masih sama-sama di bangku sekolah dasar. Benar, di kampung kita memang ada satu langgar tempat kita selalu mengaji. Bukan karena rajin, melainkan karena Pak Sumin selalu memaksa dan menakut-nakuti. Kita tak berani menolak perintah Pak Sumin karena ia selalu memiliki banyak cara untuk membuat nyali kita redup.

 

“Aku sama sekali tidak lupa,” jawabku.

 

“Aku percaya dengan kata-kata Pak Sumin.”

 

Aku tidak mengerti maksud kata-katamu. Mengapa hingga kini kau masih sengaja mengingat seorang tua yang kita takuti pada masa kanak kita dulu? Apakah kau memintaku datang hanya untuk mengingat kenangan masa lalu?

 

“Kau ingat pada malaikat yang disebut-sebut Pak Sumin untuk menakut-nakuti kita dulu?”

 

Aku termenung, “Untuk menakut-nakuti kita bila tidak mengaji?”

 

Kau mengangguk.

 

Malaikat apa gerangan? Untuk yang ini aku mengaku lupa. Selama puluhan tahun, aku hanya ingat memang benar Pak Sumin selalu menakuti kita jika tak mau mengaji di langgar, tapi mengapa kau masih mengingat kejadian yang sudah lampau? Padahal, Pak Sumin sudah lama tiada.

 

“Malaikat Izrail?” tanyaku setengah berkelakar.

 

“Salah,” jawabmu singkat.

 

Aku terdiam, bukan karena ingin mengingat kenangan sewaktu kecil, melainkan justru karena urat yang bertonjolan di dahimu menunjukkan bahwa kau sedang tidak bercanda.

 

“Kau masih ingat dengan Malaikat Zabaniyah?” bisikmu nyaris tak terdengar. “Pak Sumin selalu menakut-nakuti kita dengan menyebut-nyebut Malaikat Zabaniyah. Kata Pak Sumin, jika kita malas mengaji, malaikat itu akan mencari kita karena malaikat itulah yang dipanggil Tuhan untuk menyiksa orang-orang yang berdosa.”

 

Ketika kau membisikkan nama malaikat itu, kulihat matamu membulat serupa burung hantu yang sedang berburu.

 

“Kenapa diam saja?” tanyamu.

 

Matamu kini kulihat menyipit. Sebenarnya apa maksud di balik ucapanmu?

 

“Berhari-hari malaikat itu menungguku,” jelasmu.

 

Aku ingin mengerti maksud ucapanmu. Namun, tiba-tiba lidahku kelu.

 

“Malaikat itu menungguku ketika aku tidur,” bisikmu dengan wajah kaku.

 

Perlahan kau membuatku heran.

 

“Aku yakin malaikat itu sengaja menungguku di alam mimpi.”

 

“Dari kapan?” tanyaku.

 

“Kurasa beberapa hari terakhir ini.”

 

Kau tak bisa tidur karena takut pada Malaikat Zabaniyah yang kau sebut-sebut selalu menunggumu di alam mimpi?

 

“Percaya atau tidak?” tanyamu menyelidik.

 

Setelah kuanggukkan kepala, barulah kau mulai menceritakan kondisi rumah tanggamu selama ini dengan gadis pilihanmu yang usianya selisih dua puluh tahun denganmu itu.

 

Kau tampak melihat-lihat sekeliling. Adakah kau melempar pandang untuk mengetahui bahwa istrimu memang tidak sedang mengikutimu atau kau justru sedang memastikan bahwa malaikat yang kau ceritakan padaku itu memang tidak menunggumu di alam nyata?

 

Kau mengingatkanku kembali pada istrimu yang masih muda, yang dulu membuatku selalu merasa iri dan cemburu pada nasibmu. Bagaimana kini kau bisa merasa tak bahagia?

 

Kau katakan padaku bahwa kau memang seorang suami yang tak mampu menciptakan rasa bahagia. Sewaktu istrimu mengharapkan keadaan yang berkecukupan, kau sadar kau tak bisa memberikan. Kau juga sadar, setiap kali istrimu meminta, kau selalu tak punya dan tak bisa. Dalam segala hal, katamu. Kau selalu gagal memenuhi setiap keinginan istrimu. Sejak itu, kau memasabodohkan apa pun yang dilakukan istrimu di hadapanmu. Kau hanya ingin melihat istrimu bahagia.

 

Suatu hari, ketika kau membukakan pintu dan seorang yang mengetuk pintu itu ialah seorang lelaki seumuran istrimu, kau hanya tersenyum kecut dan menyilakan lelaki itu masuk dalam rumahmu, menunggumu memanggilkan istrimu. Ketika istrimu mengenalkan lelaki itu padamu sebagai seorang kawan di masa silam, kau hanya mengatakan: “Oh.” Namun, kau sendiri yakin bahwa hubungan istrimu dengan lelaki itu lebih dari itu.

 

Setelah itu, setidaknya sekali dalam seminggu istrimu dan lelaki itu bertemu di rumahmu. Ketika istrimu hendak pergi dengan lelaki itu dan meninggalkanmu seorang diri di rumah, kau menyerahkan begitu saja kepergian istrimu tanpa dendam dan amarah. Kau biarkan istrimu memasuki mobil lelaki itu dan melihatnya berada di dalamnya dari kejauhan. Seakan istrimu ialah boneka barbie cantik yang tersimpan dalam kotak kaca dan sedang dipinjam oleh kawanmu.

 

Saat istrimu pulang, kau mendengar ada bunyi gemerincing. Kau lihat ada tiga gelang melingkari tangannya. Sejak saat itulah kau selalu menggigil bila tak sengaja melihat gelang-gelang di tangannya.

 

Mengapa kau menahan rasa amarahmu? Yang terpenting ialah melihat istrimu bahagia, katamu. Lelaki itu, katamu, mampu memberikan semua yang tak mungkin bisa kau berikan pada istrimu.

 

Mengapa kau tak melepaskan istrimu untuk lelaki itu secara sah? Kau termangu dalam sendu. Katamu, kau tak rela kebahagiaanmu terhenti jika istrimu benar-benar pergi. Kebahagiaanmu ialah melihat istrimu bahagia setiap waktu tanpa harus melepasnya untuk berlalu. Bukankah melihat orang yang dicintai merasa bahagia adalah bentuk kebahagiaan yang hakiki?

 

Dan suatu malam, kau merasa bahwa Malaikat Zabaniyah sedang menunggumu ketika kau sedang berada dalam tidur. Sekujur tubuhmu terasa kaku. Satu-satunya gerakan yang masih bisa kau rasakan ialah helaan napasmu yang memburu. Dalam mimpimu, sosok malaikat itu tak bicara padamu. Ia hanya menunggumu.

 

“Kau percaya pada ceritaku?” tanyamu.

 

Aku yakin kau tak pernah membohongiku. Namun, kecemasan yang tampak pada raut wajahmu membuatku semakin pilu.

 

“Seolah-olah malaikat itu benar-benar menungguku karena aku telah melakukan banyak dosa,” katamu.

 

“Padahal, kau tak tahu dosa apa yang telah kau lakukan?”

 

“Kau tahu, aku selalu merasa menjadi pedagang yang sedang menawarkan barang dagangan pada orang yang datang. Kau tahu, kadang aku merasa ganjil dengan apa yang kulakukan.”

 

Kau menjawab sambil menangis. Aku melihatmu menangis seperti ketika masa kanak dulu. Ketika Pak Sumin dengan sengaja memarahi kita karena nekat tak mengaji atau ketika orangtuamu mencambuki punggungmu karena kau ketahuan menyelipkan sebatang rokok di sela bibirmu.

 

“Malaikat itu sengaja menungguku,” katamu di sela isakmu yang membuat dadaku terasa sesak. Rupanya kau telah menukar rasa kantukmu dengan ketakutan dan kecemasan yang menghantuimu.

 

Aku meninggalkanmu dalam suasana hati yang kelam. Langkahku tak tegak seolah kehilangan tempat berpijak. Kata-katamu padaku membuat diriku sendiri tak yakin bahwa aku lebih mulia darimu. Orang-orang mengenalku sebagai lelaki tua santun yang belum pernah berumah tangga, sedangkan diam-diam ragaku selalu menemui banyak sosok perempuan yang silih berganti tanpa mereka ketahui.

 

***

 

Malam itu aku terbangun dari tidur setelah sekujur tubuhku kaku dan yang terasa hanya deru napas yang memburu. Aku melihat sosok itu di seberang sana. Ia tak bicara. Namun, membuatku tercekat seolah tubuhku terikat. Napasku tersengal, jantungku berdenyar, dan tubuhku gemetar. Barangkali benar, malaikat itu juga sedang menungguku di alam bawah sadar?

 

Kulonprogo, November 2018

 

Kristin Fourina, lahir di Yogyakarta, 13 November 1987. Alumnus Sastra Indonesia UNY. Beberapa cerpennya telah dimuat di media massa. Cerpennya juga termuat dalam beberapa buku antologi bersama, salah satunya, Bayang-Bayang (Garudhawaca, 2012).

 

[1] Disalin dari karya Kristin Fourina

[2] Pernah tersiar di surat kabar “Media Indonesia” Minggu 09 Desember 2018

 

The post Malaikat yang Menunggu appeared first on Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara.

 

via Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara bit.ly/2RSMspT

Jónína Brynja ÍS 55

Skipaskr.nr.: 2828

Smíðaður: Hafnarfirði 2012 plast

Stærð: brl; 14,95 bt

Lengd: 12,62 m Breidd: 4,40 m Dýpt: 1,24 m

Vél: ISUZU 377,00 kW Árgerð: 2012

Annað:

Fjöldi skipverja: 2

 

Þann 25. nóvember 2012 var línuveiðibáturinn Jónína Brynja ÍS 55 á siglingu til Bolungarvíkur. Veður: SV 11-12 m/s og talsverður sjór.

 

Báturinn hafði farið úr höfn um kl. 04:45 og verið á línuveiðum norður af Straumnesi frá því um kl. 07:50 um morguninn. Um kl. 17:00 var haldið til hafnar en á leiðinni sofnaði stjórnandi hans og kl. 18:53 strandaði Jónína Brynja ÍS í stórgrýti við Straumnesfjall á stað, 66°26‘197N og 023°06‘132V. Jónína Brynja ÍS á strandstað

 

Kl. 18:58 sendu bátsverjar út neyðarkall á VHF 16 og í AIS kerfi. Þeir fóru í flotbjörgunarbúninga, settu út kaðal framan á bátnum og yfirgáfu hann við slæmar aðstæður. Kallaðar voru út björgunarsveitir og haft samband við skip á svæðinu auk þess að þyrla LHG var kölluð út. Kl. 20:54 var þyrlan búinn að ná bátsverjunum um borð og kl. 21:09 lenti hún með þá á Ísafirði.

 

Jónína Brynja ÍS 55 var mikið skemmd og ekki hægt að draga hana af strandstað en björgunaraðilum tókst að bjarga mikið af búnaði.

 

Um borð í bátnum voru um sex tonn af fiski í körum í lest og 36 línubalar á þilfari.

   

"mother earth"

 

listen

 

Móðir vor sem ert á jörðu,

Heilagt veri nafn þitt.

Komi ríki þitt,

Og veri vilji þinn framkvæmd ur í oss,

Eins og han er í þér.

Eins og þú.

Sendir hvern dag þína engla

Sendu þá einnig til oss.

Fyrirgefið oss vorar syndir,

Eins og vér bætum fyrir

Allar vorar syndir gagn- vart þér.

Og leið oss eigi til sjúkleika,

Heldur fær oss frá öllu illu,

því þín er jörðin

Líkaminn og heilsan.

Amen

Alessandra Branca;

House Beautiful, June 2009

Smiling and talking to them early in the morning is a compulsory for me now. They listen. They DO :)

 

Dia diam segala,

Dia diam semuanya.

 

Tapi dia tahu,

Cerita dalam kotak hatimu,

Kala kau bicara sendu.

 

Dia dengar,

Semua kata itu.

 

-Aliah Athirah Mazli (20 Jun 2012, 10:15 pagi)

  

Di Mana Alamat Rindu

 

I: Dialog

 

kau bertanya, di mana

alamat rindu?

ketika kujawab,

di hati malam saat

waktu lelapkan pertemuan

kau kembali bertanya, mana

jalan menuju perjumpaan?

 

aku berujar, turuti kaki

lelaki yang dikutuk rindu

lalu menatap bukit

tapi dia silau oleh cahaya

maha Cahaya

 

kau kembali bertanya,

apakah rindu ada di bukit itu?

aku jawab, lebih tinggi

karena itu tak mampu kau daki

 

lalu kau bertanya lagi, ke mana

harus kutemukan rindu?

sebelum kujawab, lama aku terdiam:

cari sampai kau tak lagi bertanya

 

di mana rindu?

 

2018-2019

 

II: Arah Jalan

 

selalu jalan menuju

alamat itu

tak pernah silau

 

kau mengarah selalu

ke jalan itu. sebuah

alamat tiada di buku

tapi muncul dari igaumu

 

lalu seseorang menanti

dalam alamat itu; igau

yang semayam di matamu

setiap terpejam

dan menatap jauh

 

barangkali, nanti, alamat

itu benarbenar hilang

kau tak henti memburu

dan aku akan meletakkan

 

di tanganmu. meski

sudah berubah, alamat

itu tak lagi mengenalmu

sebab sudah kububuhi

 

seluruh perjumpaan

 

3-4 Januari 2019

 

Bukan Pelantun

 

: Karaoke Room

aku bukanlah pelantun

meski aku akan bernyanyi

untukmu. hanya satu

lagu, itu pun begitu pilu

 

aku hanya miliki rindu

tak busa kuganti nyanyian

maka aku akan mengeja

setiap baris lagu

 

yang kau lantunkan

dan seperti kusaksikan

biduan di panggung

betapa aku melambung

 

tapi, aku bukan pelantun

maka kunikmati nyanyianmu

 

dan, kau begitu rindu

lalu aku kian sendu

 

4 Januari 2019

 

– Isbedy Stiawan ZS, lahir di Tanjungkarang, Bandar Lampung, 5 Juni 1958, dijuluki oleh HB Jassin sebagai Paus Sastra Lampung. (28)

 

[1] Disalin dari karya Isbedy Stiawan ZS

[2] Pernah tersiar di surat kabar “Suara Merdeka” Minggu 6 Januari 2019

 

The post Di Mana Alamat Rindu appeared first on Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara.

 

via Kliping Sastra Indonesia | Literasi Nusantara bit.ly/2Avr832

Menikmati kebersamaan dalam keremangan sore hari nan sendu

Semilir angin kian lembab

Lahirkan titik titik embun diujung dedaunan

Jangkrik bersiul merdu

Sayup suara Ku si burung hantu

Suasana malam yang kian pekat nan senyap

Temaniku dalam pilu

Aku tergugu, Gejolak rindu seolah membeku

Rembulan yang tinggal separuh Mengintip dari celah jendela kamarku

Dia pun terlihat agak sendu Meski tetap tersenyum merayu

Seolah dia tahu gundahku...

 

Oh rembulan tahukah engkau...

Diujung langit mana dia terbang?

Tak satupun nampak jejak juga bayang

Masihkah rindu ini harus ku genggam

Hingga sampai saat itu menjelang

Aku mencintainya sepenuh hati

Amat merinduinya meski telah pergi

Ku hanya ingin bertatap Walau hanya sekejap

Namun itu takkan mungkin terjadi

Tidakkah seharusnya rasa ini telah mati

Dan sirna dari hati ini...

Namun dia tetap bertahta di palung sanubari...

Soligor 135/2.8

the art of "Galau" face

35mm color positive film. Epson Perfection V600 quality scan.

 

Hvalbátunum var sökkt í Nóvember 1986 af Sea Shepard samtökunum, en þeir sendu Rodney Coronado til að framkvæma verkið.

The whaleboats were sunk in november 1986, it was Rodney Coronado of Sea Shepard which did it.

Grace Bonney;

House Beautiful, February 2009

(www.aleixgoho.com)

Aquí podéis ver una página a color de La Troupe#3. Faltan los insertados en las paredes y los diálogos...

Aquí podeu veure una pàgina a color de La Troupe#3. Falten els insertats a les parets i els diàlegs...

 

For more info check La Troupe Facebook's group at:

www.facebook.com/group.php?gid=17394044389&ref=ts

 

Si queréis ver más cosillas, por favor visitad my tienda aquí.

 

If you want to check more stuff, please visit my shop here .

1 3 4 5 6 7 ••• 12 13