gustam743
Cleopatra743
Pudarnya Pesona Cleopatra
Dengan panjang lebar ibu menjelaskan,
sebenarnya sejak ada dalan kandungan
aku telah dijodohkan dengan Raihana
yang tak pernah kukenal."Ibunya Raihana
adalah teman karib ibu waktu nyantri di
pesantren Mangkuyudan Solo dulu" kata
ibu.
"Kami pernah berjanji, jika dikarunia
anak berlainan jenis akan besanan untuk
memperteguh tali persaudaraan. Karena
itu ibu mohon keikhlasanmu", ucap
beliau dengan nada mengiba.
Dalam pergulatan jiwa yang sulit
berhari-hari, akhirnya aku pasrah. Aku
menuruti keinginan ibu. Aku tak mau
mengecewakan ibu. Aku ingin menjadi
mentari pagi dihatinya, meskipun untuk
itu aku harus mengorbankan diriku.
Dengan hati pahit kuserahkan semuanya
bulat-bulat pada ibu. Meskipun
sesungguhnya dalam hatiku timbul
kecemasan-kecemasan yang datang begitu
saja dan tidak tahu alasannya. Yang
jelas aku sudah punya kriteria dan
impian tersendiri untuk calon istriku.
Aku tidak bisa berbuat apa-apa
berhadapan dengan air mata ibu yang
amat kucintai. Saat khitbah (lamaran)
sekilas kutatap wajah Raihana, benar
kata Aida adikku, ia memang baby face
dan anggun.
Namun garis-garis kecantikan yang
kuinginkan tak kutemukan sama sekali.
Adikku, tante Lia mengakui Raihana
cantik, "cantiknya alami, bisa jadi
bintang iklan Lux lho, asli ! kata
tante Lia. Tapi penilaianku lain,
mungkin karena aku begitu hanyut dengan
gadis-gadis Mesir titisan Cleopatra,
yang tinggi semampai, wajahnya putih
jelita, dengan hidung melengkung indah,
mata bulat bening khas arab, dan bibir
yang merah. Di hari-hari menjelang
pernikahanku, aku berusaha menumbuhkan
bibit-bibit cintaku untuk calon
istriku, tetapi usahaku selalu sia-sia.
Aku ingin memberontak pada ibuku,
tetapi wajah teduhnya meluluhkanku.
Hari pernikahan datang. Duduk
dipelaminan bagai mayat hidup, hati
hampa tanpa cinta, Pestapun meriah
dengan empat group rebana. Lantunan
shalawat Nabipun terasa menusuk-nusuk
hati. Kulihat Raihana tersenyum manis,
tetapi hatiku terasa teriris-iris dan
jiwaku meronta. Satu-satunya harapanku
adalah mendapat berkah dari Allah SWT
atas baktiku pada ibuku yang kucintai.
Rabbighfir li wa liwalidayya!
Layaknya pengantin baru, kupaksakan
untuk mesra tapi bukan cinta, hanya
sekedar karena aku seorang manusia yang
terbiasa membaca ayat-ayatNya. Raihana
tersenyum mengembang, hatiku menangisi
kebohonganku dan kepura-puraanku. Tepat
dua bulan Raihana kubawa ke kontrakan
dipinggir kota Malang.
Mulailah kehidupan hampa. Aku tak
menemukan adanya gairah. Betapa susah
hidup berkeluarga tanpa cinta. Makan,
minum, tidur, dan shalat bersama dengan
makhluk yang bernama Raihana, istriku,
tapi Masya Allah bibit cintaku belum
juga tumbuh. Suaranya yang lembut
terasa hambar, wajahnya yang teduh
tetap terasa asing. Memasuki bulan
keempat, rasa muak hidup bersama
Raihana mulai kurasakan, rasa ini
muncul begitu saja. Aku mencoba
membuang jauh-jauh rasa tidak baik ini,
apalagi pada istri sendiri yang
seharusnya kusayang dan kucintai.
Sikapku pada Raihana mulai lain. Aku
lebih banyak diam, acuh tak acuh, agak
sinis, dan tidur pun lebih banyak di
ruang tamu atau ruang kerja. Aku merasa
hidupku ada lah sia-sia, belajar di
luar negeri sia-sia, pernikahanku sia-
sia, keberadaanku sia-sia.
Tidak hanya aku yang tersiksa,
Raihanapun merasakan hal yang sama,
karena ia orang yang berpendidikan,
maka diapun tanya, tetapi kujawab
"tidak apa-apa koq mbak, mungkin aku
belum dewasa, mungkin masih harus
belajar berumah tangga "Ada kekagetan
yang kutangkap diwajah Raihana ketika
kupanggil 'mbak', "kenapa mas
memanggilku mbak, aku kan istrimu, apa
mas sudah tidak mencintaiku" tanyanya
dengan guratan wajah yang sedih.
"wallahu a'lam" jawabku sekenanya.
Dengan mata berkaca-kaca Raihana diam
menunduk, tak lama kemudian dia terisak-
isak sambil memeluk kakiku, "Kalau mas
tidak mencintaiku, tidak menerimaku
sebagai istri kenapa mas ucapkan akad
nikah? Kalau dalam tingkahku melayani
mas masih ada yang kurang berkenan,
kenapa mas tidak bilang dan menegurnya,
kenapa mas diam saja, aku harus
bersikap bagaimana untuk membahagiakan
mas, kumohon bukalah sedikit hatimu
untuk menjadi ruang bagi pengabdianku,
bagi menyempurnakan ibadahku didunia
ini". Raihana mengiba penuh pasrah. Aku
menangis menitikan air mata buka karena
Raihana tetapi karena kepatunganku.
Hari terus berjalan, tetapi komunikasi
kami tidak berjalan. Kami hidup seperti
orang asing tetapi Raihana tetap
melayaniku menyiapkan segalanya
untukku.
Suatu sore aku pulang mengajar dan
kehujanan, sampai dirumah habis
maghrib, bibirku pucat, perutku belum
kemasukkan apa-apa kecuali segelas kopi
buatan Raihana tadi pagi, Memang aku
berangkat pagi karena ada janji dengan
teman. Raihana memandangiku dengan
khawatir. "Mas tidak apa-apa" tanyanya
dengan perasaan kuatir. "Mas mandi
dengan air panas saja, aku sedang
menggodoknya, lima menit lagi mendidih"
lanjutnya. Aku melepas semua pakaian
yang basah. "Mas airnya sudah siap"
kata Raihana. Aku tak bicara sepatah
katapun, aku langsung ke kamar mandi,
aku lupa membawa handuk, tetapi Raihana
telah berdiri didepan pintu membawa
handuk. "Mas aku buatkan wedang jahe"
Aku diam saja. Aku merasa mulas dan
mual dalam perutku tak bisa kutahan.
Dengan cepat aku berlari ke kamar mandi
dan Raihana mengejarku dan memijit-
mijit pundak dan tengkukku seperti yang
dilakukan ibu. "Mas masuk angin.
Biasanya kalau masuk angin diobati
pakai apa, pakai balsam, minyak putih,
atau jamu?" Tanya Raihana sambil
menuntunku ke kamar. "Mas jangan diam
saja dong, aku kan tidak tahu apa yang
harus kulakukan untuk membantu Mas".
"Biasanya dikerokin" jawabku lirih.
"Kalau begitu kaos mas dilepas ya, biar
Hana kerokin" sahut Raihana sambil
tangannya melepas kaosku. Aku seperti
anak kecil yang dimanja ibunya. Raihana
dengan sabar mengerokin punggungku
dengan sentuhan tangannya yang halus.
Setelah selesai dikerokin, Raihana
membawakanku semangkok bubur kacang
hijau. Setelah itu aku merebahkan diri
di tempat tidur. Kulihat Raihana duduk
di kursi tak jauh dari tempat tidur
sambil menghafal Al Quran dengan
khusyu. Aku kembali sedih dan ingin
menangis, Raihana manis tapi tak
semanis gadis-gadis mesir titisan
Cleopatra.
Dalam tidur aku bermimpi bertemu dengan
Cleopatra, ia mengundangku untuk makan
malam di istananya. "Aku punya
keponakan namanya Mona Zaki, nanti akan
aku perkenalkan denganmu" kata Ratu
Cleopatra. "Dia memintaku untuk
mencarikannya seorang pangeran, aku
melihatmu cocok dan berniat
memperkenalkannya denganmu". Aku
mempersiapkan segalanya. Tepat puku
07.00 aku datang ke istana, kulihat
Mona Zaki dengan pakaian pengantinnya,
cantik sekali. Sang ratu mempersilakan
aku duduk di kursi yang berhias berlian.
Aku melangkah maju, belum sempat duduk,
tiba-tiba "Mas, bangun, sudah jam
setengah empat, mas belum sholat Isya"
kata Raihana membangunkanku. Aku
terbangun dengan perasaan kecewa.
"Maafkan aku Mas, membuat Mas kurang
suka, tetapi Mas belum sholat Isya"
lirih Hana sambil melepas mukenanya,
mungkin dia baru selesai sholat malam.
Meskipun cuman mimpi tapi itu indah
sekali, tapi sayang terputus. Aku jadi
semakin tidak suka sama dia, dialah
pemutus harapanku dan mimpi-mimpiku.
Tapi apakah dia bersalah, bukankah dia
berbuat baik membangunkanku untuk
sholat Isya. Selanjutnya aku merasa
sulit hidup bersama Raihana, aku tidak
tahu dari mana sulitnya. Rasa tidak
suka semakin menjadi-jadi. Aku benar-
benar terpenjara dalam suasana konyol.
Aku belum bisa menyukai Raihana. Aku
sendiri belum pernah jatuh cinta, entah
kenapa bisa dijajah pesona gadis-gadis
titisan Cleopatra.
"Mas, nanti sore ada acara qiqah di
rumah Yu Imah. Semua keluarga akan
datang termasuk ibundamu. Kita diundang
juga. Yuk, kita datang bareng, tidak
enak kalau kita yang dieluk-elukan
keluarga tidak datang." Suara lembut
Raihana menyadarkan pengembaraanku pada
Jaman Ibnu Hazm. Pelan-pelan ia
letakkan nampan yang berisi onde-onde
kesukaanku dan segelas wedang jahe.
Tangannya yang halus agak gemetar. Aku
dingin-dingin saja. "Maaf#8230; maaf jika
mengganggu Mas, maafkan Hana,
"lirihnya, lalu perlahan-lahan beranjak
meninggalkan aku di ruang kerja. "Mbak!
Eh maaf, maksudku D..Din..Dinda Hana!,
panggilku dengan suara parau tercekak
dalam tenggorokan. "Ya Mas!" sahut Hana
langsung menghentikan langkahnya dan
pelan-pelan menghadapkan dirinya
padaku. Ia berusaha untuk tersenyum,
agaknya ia bahagia dipanggil "dinda".
"Matanya sedikit berbinar. "Te.. terima
kasih Di..dinda, kita berangkat bareng
kesana, habis sholat dhuhur, Insya
Allah." ucapku sambil menatap wajah
Hana dengan senyum yang kupaksakan.
Raihana menatapku dengan wajah sangat
cerah, ada secercah senyum bersinar
dibibirnya. "Terima kasih Mas, Ibu kita
pasti senang, mau pakai baju yang mana
Mas, biar dinda siapkan? Atau biar
dinda saja yang memilihkan ya?". Hana
begitu bahagia.
Perempuan berjilbab ini memang luar
biasa, Ia tetap sabar mencurahkan bakti
meskipun aku dingin dan acuh tak acuh
padanya selama ini. Aku belum pernah
melihatnya memasang wajah masam atau
tidak suka padaku. Kalau wajah sedihnya
ya. Tapi wajah tidak sukanya belum
pernah. Bah, lelaki macam apa aku ini,
kutukku pada diriku sendiri. Aku memaki-
maki diriku sendiri atas sikap dinginku
selama ini., Tapi, setetes embun cinta
yang kuharapkan membasahi hatiku tak
juga turun. Kecantikan aura titisan
Cleopatra itu? Bagaimana aku
mengusirnya. Aku merasa menjadi orang
yang paling membenci diriku sendiri di
dunia ini.
Acara pengajian dan qiqah putra ketiga
Fatimah kakak sulung Raihana membawa
sejarah baru lembaran pernikahan kami.
Benar dugaan Raihana, kami dielu-elukan
keluarga, disambut hangat, penuh cinta,
dan penuh bangga. "Selamat datang
pengantin baru! Selamat datang pasangan
yang paling ideal dalam keluarga!
Sambut Yu Imah disambut tepuk tangan
bahagia mertua dan bundaku serta
kerabat yang lain. Wajah Raihana cerah.
Matanya berbinar-binar bahagia. Lain
dengan aku, dalam hatiku menangis
disebut pasangan ideal.
Apanya yang ideal. Apa karena aku
lulusan Mesir dan Raihana lulusan
terbaik dikampusnya dan hafal Al Quran
lantas disebut ideal? Ideal bagiku
adalah seperti Ibnu Hazm dan istrinya,
saling memiliki rasa cinta yang sampai
pada pengorbanan satu sama lain. Rasa
cinta yang tidak lagi memungkinkan
adanya pengkhianatan. Rasa cinta yang
dari detik ke detik meneteskan rasa
bahagia.
Tapi diriku? Aku belum bisa memiliki
cinta seperti yang dimiliki Raihana.
Sambutan sanak saudara pada kami benar-
benar hangat. Aku dibuat kaget oleh
sikap Raihana yang begitu kuat menjaga
kewibawaanku di mata keluarga. Pada
ibuku dan semuanya tidak pernah
diceritakan, kecuali menyanjung
kebaikanku sebagai seorang suami yang
dicintainya. Bahkan ia mengaku bangga
dan bahagia menjadi istriku. Aku
sendiri dibuat pusing dengan sikapku.
Lebih pusing lagi sikap ibuku dan
mertuaku yang menyindir tentang
keturunan. "Sudah satu tahun putra
sulungku menikah, koq belum ada tanda-
tandanya ya, padahal aku ingin sekali
menimang cucu" kata ibuku. "Insya Allah
tak lama lagi, ibu akan menimang cucu,
doakanlah kami. Bukankah begitu, Mas?"
sahut Raihana sambil menyikut lenganku,
aku tergagap dan mengangguk sekenanya.
Setelah peristiwa itu, aku mencoba
bersikap bersahabat dengan Raihana. Aku
berpura-pura kembali mesra dengannya,
sebagai suami betulan. Jujur, aku hanya
pura-pura. Sebab bukan atas dasar
cinta, dan bukan kehendakku sendiri aku
melakukannya, ini semua demi ibuku.
Allah Maha Kuasa. Kepura-puraanku
memuliakan Raihana sebagai seorang
istri. Raihana hamil. Ia semakin manis.
Keluarga bersuka cita semua. Namun
hatiku menangis karena cinta tak
kunjung tiba. Tuhan kasihanilah hamba,
datangkanlah cinta itu segera. Sejak
itu aku semakin sedih sehingga Raihana
yang sedang hamil tidak kuperhatikan
lagi. Setiap saat nuraniku bertanya
"Mana tanggung jawabmu!" Aku hanya diam
dan mendesah sedih. "Entahlah, betapa
sulit aku menemukan cinta" gumamku.
Dan akhirnya datanglah hari itu, usia
kehamilan Raihana memasuki bulan ke
enam. Raihana minta ijin untuk tinggal
bersama orang tuanya dengan alasan
kesehatan. Kukabulkan permintaanya dan
kuantarkan dia kerumahnya. Karena rumah
mertua jauh dari kampus tempat aku
mengajar, mertuaku tak menaruh curiga
ketika aku harus tetap tinggal
dikontrakan. Ketika aku pamitan,
Raihana berpesan, "Mas untuk menambah
biaya kelahiran anak kita, tolong nanti
cairkan tabunganku yang ada di ATM. Aku
taruh dibawah bantal, no.pinnya sama
dengan tanggal pernikahan kita".
Setelah Raihana tinggal bersama ibunya,
aku sedikit lega. Setiap hari Aku tidak
bertemu dengan orang yang membuatku
tidak nyaman. Entah apa sebabnya bisa
demikian. Hanya saja aku sedikit repot,
harus menyiapkan segalanya. Tapi toh
bukan masalah bagiku, karena aku sudah
terbiasa saat kuliah di Mesir.
Waktu terus berjalan, dan aku merasa
enjoy tanpa Raihana. Suatu saat aku
pulang kehujanan. Sampai rumah hari
sudah petang, aku merasa tubuhku benar-
benar lemas. Aku muntah-muntah,
menggigil, kepala pusing dan perut
mual. Saat itu terlintas dihati
andaikan ada Raihana, dia pasti telah
menyiapkan air panas, bubur kacang
hijau, membantu mengobati masuk angin
dengan mengeroki punggungku, lalu
menyuruhku istirahat dan menutupi
tubuhku dengan selimut. Malam itu aku
benar-benar tersiksa dan menderita. Aku
terbangun jam enam pagi. Badan sudah
segar. Tapi ada penyesalan dalam hati,
aku belum sholat Isya dan terlambat
sholat subuh. Baru sedikit terasa,
andaikan ada Raihana tentu aku ngak
meninggalkan sholat Isya, dan tidak
terlambat sholat subuh.
Lintasan Raihana hilang seiring
keberangkatan mengajar di kampus.
Apalagi aku mendapat tugas dari
universitas untuk mengikuti pelatihan
mutu dosen mata kuliah bahasa arab.
Diantaranya tutornya adalah professor
bahasa arab dari Mesir. Aku jadi banyak
berbincang dengan beliau tentang mesir.
Dalam pelatihan aku juga berkenalan
dengan Pak Qalyubi, seorang dosen
bahasa arab dari Medan. Dia menempuh S1-
nya di Mesir. Dia menceritakan satu
pengalaman hidup yang menurutnya pahit
dan terlanjur dijalani.
"Apakah kamu sudah menikah?" kata Pak
Qalyubi.
"Alhamdulillah, sudah" jawabku.
"Dengan orang mana?".
"Orang Jawa".
"Pasti orang yang baik ya. Iya kan?
Biasanya pulang dari Mesir banyak
saudara yang menawarkan untuk menikah
dengan perempuan shalehah. Paling tidak
santriwati, lulusan pesantren. Istrimu
dari pesantren?".
"Pernah, alhamdulillah dia sarjana dan
hafal Al Quran".
"Kau sangat beruntung, tidak sepertiku".
"Kenapa dengan Bapak?"
"Aku melakukan langkah yang salah,
seandainya aku tidak menikah dengan
orang Mesir itu, tentu batinku tidak
merana seperti sekarang".
"Bagaimana itu bisa terjadi?".
Kamu tentu tahu kan gadis Mesir itu
cantik-cantik, dank arena terpesona
dengan kecantikanya saya menderita
seperti ini. Ceritanya begini, Saya
seorang anak tunggal dari seorang yang
kaya, saya berangkat ke Mesir dengan
biaya orang tua. Disana saya bersama
kakak kelas namanya Fadhil, orang Medan
juga. Seiring dengan berjalannya waktu,
tahun pertama saya lulus dengan predkat
jayyid, predikat yang cukup sulit bagi
pelajar dari Indonesia.
Demikian juga dengan tahun kedua.
Karena prestasi saya, tuan rumah tempat
saya tinggal menyukai saya. Saya
dikenalkan dengan anak gadisnya yang
bernama Yasmin. Dia tidak pakai jilbab.
Pada pandangan pertama saya jatuh
cinta, saya belum pernah melihat gadis
secantuk itu. Saya bersumpah tidak akan
menikaha dengan siapapun kecuali dia.
Ternyata perasaan saya tidak bertepuk
sebelah tangan. Kisah cinta saya
didengar oleh Fadhil. Fadhil membuat
garis tegas, akhiri hubungan dengan
anak tuan rumah itu atau sekalian
lanjutkan dengan menikahinya. Saya
memilih yang kedua.
Ketika saya menikahi Yasmin, banyak
teman-teman yang memberi masukan
begini, sama-sama menikah dengan gadis
Mesir, kenapa tidak mencari mahasiswi
Al Azhar yang hafal Al Quran, salehah,
dan berjilbab. Itu lebih selamat dari
pada dengan YAsmin yang awam
pengetahuan agamanya. Tetpai saya tetap
teguh untuk menikahinya. Dengan biaya
yang tinggi saya berhasil menikahi
YAsmin. Yasmin menuntut diberi sesuatu
yang lebih dari gadis Mesir.
Perabot rumah yang mewah, menginap di
hotel berbintang. Begitu selesai S1
saya kembali ke Medan, saya minta agar
asset yang di Mesir dijual untuk modal
di Indonesia. KAmi langsung membeli
rumah yang cukup mewah di kota Medan.
Tahun-tahun pertama hidup kami berjalan
baik, setiap tahunnya Yasmin mengajak
ke Mesir menengok orang tuanya. Aku
masih bisa memenuhi semua yang
diinginkan Yasmin. Hidup terus
berjalan, biaya hidup semakin nambah,
anak kami yang ketiga lahir, tetapi
pemasukan tidak bertambah. Saya minta
Yasmin untuk berhemat. Tidak setiap
tahun tetapi tiga tahun sekali YAsmin
tidak bisa.
Aku mati-matian berbisnis, demi
keinginan Yasmin dan anak-anak
terpenuhi. Sawah terakhir milik Ayah
saya jual untuk modal. Dalam diri saya
mulai muncul penyesalan. Setiap kali
saya melihat teman-teman alumni Mesir
yang hidup dengan tenang dan damai
dengan istrinya. Bisa mengamalkan ilmu
dan bisa berdakwah dengan baik.
Dicintai masyarakat. Saya tidak
mendapatkan apa yang mereka dapatkan.
Jika saya pengin rending, saya harus ke
warung. Yasmin tidak mau tahu dengan
masakan Indonesia.
Kau tahu sendiri, gadis Mesir biasanya
memanggil suaminya dengan namanya. Jika
ada sedikit letupan, maka rumah seperti
neraka. Puncak penderitaan saya dimulai
setahun yang lalu. Usaha saya bangkrut,
saya minta YAsmin untuk menjual
perhiasannya, tetapi dia tidak mau. Dia
malah membandingkan dirinya yang hidup
serba kurang dengan sepupunya.
Sepupunya mendapat suami orang Mesir.
Saya menyesal meletakkan kecantikan
diatas segalanya. Saya telah diperbudak
dengan kecantikannya. Mengetahui
keadaan saya yang terjepit, ayah dan
ibu mengalah. Mereka menjual rumah dan
tanah, yang akhirnya mereka tinggal di
ruko yang kecil dan sempit. Batin saya
menangis. Mereka berharap modal itu
cukup untuk merintis bisnis saya yang
bangkrut. Bisnis saya mulai bangkit,
Yasmin mulai berulah, dia mengajak ke
Mesir. Waktu di Mesir itulah puncak
tragedy yang menyakitkan. "Aku menyesal
menikah dengan orang Indonesia, aku
minta kau ceraikan aku, aku tidak bisa
bahagia kecuali dengan lelaki Mesir".
Kata Yasmin yang bagaikan geledek
menyambar. Lalu tanpa dosa dia
bercerita bahwa tadi di KBRI dia
bertemu dengan temannya. Teman lamanya
itu sudah jadi bisnisman, dan istrinya
sudah meninggal.
Yasmin diajak makan siang, dan
dilanjutkan dengan perselingkuhan. Aku
pukul dia karena tak bisa menahan diri.
Atas tindakan itu saya dilaporkan ke
polisi. Yang menyakitkan adalah tak
satupun keluarganya yang membelaku.
Rupanya selama ini Yasmin sering
mengirim surat yang berisi berita
bohong. Sejak saat itu saya mengalami
depresi. Dua bulan yang lalu saya
mendapat surat cerai dari Mesir
sekaligus mendapat salinan surat nikah
Yasmin dengan temannya. Hati saya
sangat sakit, ketika si sulung
menggigau meminta ibunya pulang".
Mendengar cerita Pak Qulyubi membuatku
terisak-isak. Perjalanan hidupnya
menyadarkanku. Aku teringat Raihana.
Perlahan wajahnya terbayang dimataku,
tak terasa sudah dua bualn aku berpisah
dengannya. Tiba-tiba ada kerinduan yang
menyelinap dihati. Dia istri yang
sangat shalehah. Tidak pernah meminta
apapun. Bahkan yang keluar adalah
pengabdian dan pengorbanan. Hanya
karena kemurahan Allah aku mendapatkan
istri seperti dia. Meskipun hatiku
belum terbuka lebar, tetapi wajah
Raihana telah menyala didindingnya. Apa
yang sedang dilakukan Raihana sekarang?
Bagaimana kandungannya? Sudah delapan
bulan. Sebentar lagi melahirkan. Aku
jadi teringat pesannya. Dia ingin agar
aku mencairkan tabungannya.
Pulang dari pelatihan, aku menyempatkan
ke toko baju muslim, aku ingin
membelikannya untuk Raihana, juga
daster, dan pakaian bayi. Aku ingin
memberikan kejutan, agar dia tersenyum
menyambut kedatanganku. Aku tidak
langsung ke rumah mertua, tetapi ke
kontrakan untuk mengambil uang
tabungan, yang disimpan dibawah bantal.
Dibawah kasur itu kutemukan kertas
merah jambu. Hatiku berdesir, darahku
terkesiap. Surat cinta siapa ini,
rasanya aku belum pernah membuat surat
cinta untuk istriku. Jangan-jangan ini
surat cinta istriku dengan lelaki lain.
Gila! Jangan-jangan istriku "serong"?.
Dengan rasa takut kubaca surat itu satu
persatu. Dan Rabbi ternyata surat-surat
itu adalah ungkapan hati Raihana yang
selama ini aku zhalimi. Ia menulis,
betapa ia mati-matian mencintaiku,
meredam rindunya akan belaianku. Ia
menguatkan diri untuk menahan nestapa
dan derita yang luar biasa. Hanya Allah
lah tempat ia meratap melabuhkan
dukanya. Dan ya#8230; Allah, ia tetap setia
memanjatkan doa untuk kebaikan
suaminya. Dan betapa dia ingin hadirnya
cinta sejati dariku.
"Rabbi dengan penuh kesyukuran, hamba
bersimpuh dihadapan-Mu. Lakal hamdu ya
Rabb. Telah muliakan hamba dengan Al
Quran. Kalaulah bukan karena karunia-Mu
yang agung ini, niscaya hamba sudah
terperosok kedalam jurang kenistaan. Ya
Rabbi, curahkan tambahan kesabaran
dalam diri hamba" tulis Raihana.
Dalam akhir tulisannya Raihana berdoa
"Ya Allah inilah hamba-Mu yang kerdil
penuh noda dan dosa kembali datang
mengetuk pintumu, melabuhkan derita
jiwa ini kehadirat-Mu. Ya Allah sudah
tujuh bulan ini hamba-Mu ini hamil
penuh derita dan kepayahan. Namun
kenapa begitu tega suami hamba tak
mempedulikanku dan menelantarkanku.
Masih kurang apa rasa cinta hamba
padanya. Masih kurang apa kesetiaanku
padanya. Masih kurang apa baktiku
padanya? Ya Allah, jika memang masih
ada yang kurang, ilhamkanlah pada hamba-
Mu ini cara berakhlak yang lebih mulia
lagi pada suamiku. Ya Allah, dengan
rahmatMu hamba mohon jangan murkai dia
karena kelalaiannya. Cukup hamba saja
yang menderita. Maafkanlah dia, dengan
penuh cinta hamba masih tetap
menyayanginya. Ya Allah berilah hamba
kekuatan untuk tetap berbakti dan
memuliakannya. Ya Allah, Engkau maha
Tahu bahwa hamba sangat mencintainya
karena-Mu. Sampaikanlah rasa cinta ini
kepadanya dengan cara-Mu. Tegurlah dia
dengan teguran-Mu. Ya Allah
dengarkanlah doa hamba-Mu ini. Tiada
Tuhan yang layak disembah kecuali
Engkau, Maha Suci Engkau".
Tak terasa air mataku mengalir, dadaku
terasa sesak oleh rasa haru yang luar
biasa. Tangisku meledak. Dalam tangisku
semua kebaikan Raihana terbayang.
Wajahnya yang baby face dan teduh,
pengorbanan dan pengabdiannya yang
tiada putusnya, suaranya yang lembut,
tanganya yang halus bersimpuh memeluk
kakiku, semuanya terbayang mengalirkan
perasaan haru dan cinta.
Dalam keharuan terasa ada angina sejuk
yang turun dari langit dan merasuk
dalam jiwaku. Seketika itu pesona
Cleopatra telah memudar berganti cinta
Raihana yang datang di hati. Rasa
sayang dan cinta pada Raihan tiba-tiba
begitu kuat mengakar dalam hatiku.
Cahaya Raihana terus berkilat-kilat
dimata. Aku tiba-tiba begitu
merindukannya. Segera kukejar waktu
untuk membagi cintaku dengan Raihana.
Kukebut kendaraanku. Kupacu kencang
seiring dengan air mataku yang menetes
sepanjang jalan. Begitu sampai di
halaman rumah mertua, nyaris tangisku
meledak. Kutahan dengan nafas panjang
dan kuusap air mataku.
Melihat kedatanganku, ibu mertuak
u memelukku dan menangis tersedu-sedu.
Aku jadi heran dan ikut menangis. "Mana
Raihana Bu?". Ibu mertua hanya menangis
dan menangis. Aku terus bertanya apa
sebenarnya yang telah terjadi.
"Raihana#8230; istrimu..istrimu dan anakmu
yang dikandungnya".
"Ada apa dengan dia".
"Dia telah tiada".
"Ibu berkata apa!".
"Istrimu telah meninggal seminggu yang
lalu. Dia terjatuh di kamar mandi. Kami
membawanya ke rumah sakit. Dia dan
bayinya tidak selamat. Sebelum
meninggal, dia berpesan untuk
memintakan maaf atas segala kekurangan
dan kekhilafannya selama menyertaimu.
Dia meminta maaf karena tidak bisa
membuatmu bahagia. Dia meminta maaf
telah dengan tidak sengaja membuatmu
menderita. Dia minta kau meridhionya".
Hatiku bergetar hebat. "Ke#8230;. kenapa ibu
tidak memberi kabar padaku?". "Ketika
Raihana dibawa ke rumah sakit, aku
telah mengutus seseorang untuk
menjemputmu di rumah kontrakan, tapi
kamu tidak ada. Dihubungi ke kampus
katanya kamu sedang mengikuti
pelatihan. Kami tidak ingin
mengganggumu. Apalagi Raihana berpesan
agar kami tidak mengganggu ketenanganmu
selama pelatihan. Dan ketika Raihana
meninggal kami sangat sedih, Jadi
maafkanlah kami".
Aku menangis tersedu-sedu. Hatiku pilu.
Jiwaku remuk. Ketika aku merasakan
cinta Raihana, dia telah tiada. Ketika
aku ingin menebus dosaku, dia telah
meninggalkanku. Ketika aku ingin
memuliakannya dia telah tiada. Dia
telah meninggalkan aku tanpa memberi
kesempatan padaku untuk sekedar minta
maaf dan tersenyum padanya. Tuhan telah
menghukumku dengan penyesalan dan
perasaan bersalah tiada terkira.
Ibu mertua mengajakku ke sebuah
gundukan tanah yang masih baru
dikuburan pinggir desa. Diatas gundukan
itu ada dua buah batu nisan. Nama dan
hari wafat Raihana tertulis disana. Aku
tak kuat menahan rasa cinta, haru,
rindu dan penyesalan yang luar biasa.
Aku ingin Raihana hidup kembali.
Tiba-tiba dunia gelap gulita
By: Habiburrahman El-Shirazy
Cleopatra743
Pudarnya Pesona Cleopatra
Dengan panjang lebar ibu menjelaskan,
sebenarnya sejak ada dalan kandungan
aku telah dijodohkan dengan Raihana
yang tak pernah kukenal."Ibunya Raihana
adalah teman karib ibu waktu nyantri di
pesantren Mangkuyudan Solo dulu" kata
ibu.
"Kami pernah berjanji, jika dikarunia
anak berlainan jenis akan besanan untuk
memperteguh tali persaudaraan. Karena
itu ibu mohon keikhlasanmu", ucap
beliau dengan nada mengiba.
Dalam pergulatan jiwa yang sulit
berhari-hari, akhirnya aku pasrah. Aku
menuruti keinginan ibu. Aku tak mau
mengecewakan ibu. Aku ingin menjadi
mentari pagi dihatinya, meskipun untuk
itu aku harus mengorbankan diriku.
Dengan hati pahit kuserahkan semuanya
bulat-bulat pada ibu. Meskipun
sesungguhnya dalam hatiku timbul
kecemasan-kecemasan yang datang begitu
saja dan tidak tahu alasannya. Yang
jelas aku sudah punya kriteria dan
impian tersendiri untuk calon istriku.
Aku tidak bisa berbuat apa-apa
berhadapan dengan air mata ibu yang
amat kucintai. Saat khitbah (lamaran)
sekilas kutatap wajah Raihana, benar
kata Aida adikku, ia memang baby face
dan anggun.
Namun garis-garis kecantikan yang
kuinginkan tak kutemukan sama sekali.
Adikku, tante Lia mengakui Raihana
cantik, "cantiknya alami, bisa jadi
bintang iklan Lux lho, asli ! kata
tante Lia. Tapi penilaianku lain,
mungkin karena aku begitu hanyut dengan
gadis-gadis Mesir titisan Cleopatra,
yang tinggi semampai, wajahnya putih
jelita, dengan hidung melengkung indah,
mata bulat bening khas arab, dan bibir
yang merah. Di hari-hari menjelang
pernikahanku, aku berusaha menumbuhkan
bibit-bibit cintaku untuk calon
istriku, tetapi usahaku selalu sia-sia.
Aku ingin memberontak pada ibuku,
tetapi wajah teduhnya meluluhkanku.
Hari pernikahan datang. Duduk
dipelaminan bagai mayat hidup, hati
hampa tanpa cinta, Pestapun meriah
dengan empat group rebana. Lantunan
shalawat Nabipun terasa menusuk-nusuk
hati. Kulihat Raihana tersenyum manis,
tetapi hatiku terasa teriris-iris dan
jiwaku meronta. Satu-satunya harapanku
adalah mendapat berkah dari Allah SWT
atas baktiku pada ibuku yang kucintai.
Rabbighfir li wa liwalidayya!
Layaknya pengantin baru, kupaksakan
untuk mesra tapi bukan cinta, hanya
sekedar karena aku seorang manusia yang
terbiasa membaca ayat-ayatNya. Raihana
tersenyum mengembang, hatiku menangisi
kebohonganku dan kepura-puraanku. Tepat
dua bulan Raihana kubawa ke kontrakan
dipinggir kota Malang.
Mulailah kehidupan hampa. Aku tak
menemukan adanya gairah. Betapa susah
hidup berkeluarga tanpa cinta. Makan,
minum, tidur, dan shalat bersama dengan
makhluk yang bernama Raihana, istriku,
tapi Masya Allah bibit cintaku belum
juga tumbuh. Suaranya yang lembut
terasa hambar, wajahnya yang teduh
tetap terasa asing. Memasuki bulan
keempat, rasa muak hidup bersama
Raihana mulai kurasakan, rasa ini
muncul begitu saja. Aku mencoba
membuang jauh-jauh rasa tidak baik ini,
apalagi pada istri sendiri yang
seharusnya kusayang dan kucintai.
Sikapku pada Raihana mulai lain. Aku
lebih banyak diam, acuh tak acuh, agak
sinis, dan tidur pun lebih banyak di
ruang tamu atau ruang kerja. Aku merasa
hidupku ada lah sia-sia, belajar di
luar negeri sia-sia, pernikahanku sia-
sia, keberadaanku sia-sia.
Tidak hanya aku yang tersiksa,
Raihanapun merasakan hal yang sama,
karena ia orang yang berpendidikan,
maka diapun tanya, tetapi kujawab
"tidak apa-apa koq mbak, mungkin aku
belum dewasa, mungkin masih harus
belajar berumah tangga "Ada kekagetan
yang kutangkap diwajah Raihana ketika
kupanggil 'mbak', "kenapa mas
memanggilku mbak, aku kan istrimu, apa
mas sudah tidak mencintaiku" tanyanya
dengan guratan wajah yang sedih.
"wallahu a'lam" jawabku sekenanya.
Dengan mata berkaca-kaca Raihana diam
menunduk, tak lama kemudian dia terisak-
isak sambil memeluk kakiku, "Kalau mas
tidak mencintaiku, tidak menerimaku
sebagai istri kenapa mas ucapkan akad
nikah? Kalau dalam tingkahku melayani
mas masih ada yang kurang berkenan,
kenapa mas tidak bilang dan menegurnya,
kenapa mas diam saja, aku harus
bersikap bagaimana untuk membahagiakan
mas, kumohon bukalah sedikit hatimu
untuk menjadi ruang bagi pengabdianku,
bagi menyempurnakan ibadahku didunia
ini". Raihana mengiba penuh pasrah. Aku
menangis menitikan air mata buka karena
Raihana tetapi karena kepatunganku.
Hari terus berjalan, tetapi komunikasi
kami tidak berjalan. Kami hidup seperti
orang asing tetapi Raihana tetap
melayaniku menyiapkan segalanya
untukku.
Suatu sore aku pulang mengajar dan
kehujanan, sampai dirumah habis
maghrib, bibirku pucat, perutku belum
kemasukkan apa-apa kecuali segelas kopi
buatan Raihana tadi pagi, Memang aku
berangkat pagi karena ada janji dengan
teman. Raihana memandangiku dengan
khawatir. "Mas tidak apa-apa" tanyanya
dengan perasaan kuatir. "Mas mandi
dengan air panas saja, aku sedang
menggodoknya, lima menit lagi mendidih"
lanjutnya. Aku melepas semua pakaian
yang basah. "Mas airnya sudah siap"
kata Raihana. Aku tak bicara sepatah
katapun, aku langsung ke kamar mandi,
aku lupa membawa handuk, tetapi Raihana
telah berdiri didepan pintu membawa
handuk. "Mas aku buatkan wedang jahe"
Aku diam saja. Aku merasa mulas dan
mual dalam perutku tak bisa kutahan.
Dengan cepat aku berlari ke kamar mandi
dan Raihana mengejarku dan memijit-
mijit pundak dan tengkukku seperti yang
dilakukan ibu. "Mas masuk angin.
Biasanya kalau masuk angin diobati
pakai apa, pakai balsam, minyak putih,
atau jamu?" Tanya Raihana sambil
menuntunku ke kamar. "Mas jangan diam
saja dong, aku kan tidak tahu apa yang
harus kulakukan untuk membantu Mas".
"Biasanya dikerokin" jawabku lirih.
"Kalau begitu kaos mas dilepas ya, biar
Hana kerokin" sahut Raihana sambil
tangannya melepas kaosku. Aku seperti
anak kecil yang dimanja ibunya. Raihana
dengan sabar mengerokin punggungku
dengan sentuhan tangannya yang halus.
Setelah selesai dikerokin, Raihana
membawakanku semangkok bubur kacang
hijau. Setelah itu aku merebahkan diri
di tempat tidur. Kulihat Raihana duduk
di kursi tak jauh dari tempat tidur
sambil menghafal Al Quran dengan
khusyu. Aku kembali sedih dan ingin
menangis, Raihana manis tapi tak
semanis gadis-gadis mesir titisan
Cleopatra.
Dalam tidur aku bermimpi bertemu dengan
Cleopatra, ia mengundangku untuk makan
malam di istananya. "Aku punya
keponakan namanya Mona Zaki, nanti akan
aku perkenalkan denganmu" kata Ratu
Cleopatra. "Dia memintaku untuk
mencarikannya seorang pangeran, aku
melihatmu cocok dan berniat
memperkenalkannya denganmu". Aku
mempersiapkan segalanya. Tepat puku
07.00 aku datang ke istana, kulihat
Mona Zaki dengan pakaian pengantinnya,
cantik sekali. Sang ratu mempersilakan
aku duduk di kursi yang berhias berlian.
Aku melangkah maju, belum sempat duduk,
tiba-tiba "Mas, bangun, sudah jam
setengah empat, mas belum sholat Isya"
kata Raihana membangunkanku. Aku
terbangun dengan perasaan kecewa.
"Maafkan aku Mas, membuat Mas kurang
suka, tetapi Mas belum sholat Isya"
lirih Hana sambil melepas mukenanya,
mungkin dia baru selesai sholat malam.
Meskipun cuman mimpi tapi itu indah
sekali, tapi sayang terputus. Aku jadi
semakin tidak suka sama dia, dialah
pemutus harapanku dan mimpi-mimpiku.
Tapi apakah dia bersalah, bukankah dia
berbuat baik membangunkanku untuk
sholat Isya. Selanjutnya aku merasa
sulit hidup bersama Raihana, aku tidak
tahu dari mana sulitnya. Rasa tidak
suka semakin menjadi-jadi. Aku benar-
benar terpenjara dalam suasana konyol.
Aku belum bisa menyukai Raihana. Aku
sendiri belum pernah jatuh cinta, entah
kenapa bisa dijajah pesona gadis-gadis
titisan Cleopatra.
"Mas, nanti sore ada acara qiqah di
rumah Yu Imah. Semua keluarga akan
datang termasuk ibundamu. Kita diundang
juga. Yuk, kita datang bareng, tidak
enak kalau kita yang dieluk-elukan
keluarga tidak datang." Suara lembut
Raihana menyadarkan pengembaraanku pada
Jaman Ibnu Hazm. Pelan-pelan ia
letakkan nampan yang berisi onde-onde
kesukaanku dan segelas wedang jahe.
Tangannya yang halus agak gemetar. Aku
dingin-dingin saja. "Maaf#8230; maaf jika
mengganggu Mas, maafkan Hana,
"lirihnya, lalu perlahan-lahan beranjak
meninggalkan aku di ruang kerja. "Mbak!
Eh maaf, maksudku D..Din..Dinda Hana!,
panggilku dengan suara parau tercekak
dalam tenggorokan. "Ya Mas!" sahut Hana
langsung menghentikan langkahnya dan
pelan-pelan menghadapkan dirinya
padaku. Ia berusaha untuk tersenyum,
agaknya ia bahagia dipanggil "dinda".
"Matanya sedikit berbinar. "Te.. terima
kasih Di..dinda, kita berangkat bareng
kesana, habis sholat dhuhur, Insya
Allah." ucapku sambil menatap wajah
Hana dengan senyum yang kupaksakan.
Raihana menatapku dengan wajah sangat
cerah, ada secercah senyum bersinar
dibibirnya. "Terima kasih Mas, Ibu kita
pasti senang, mau pakai baju yang mana
Mas, biar dinda siapkan? Atau biar
dinda saja yang memilihkan ya?". Hana
begitu bahagia.
Perempuan berjilbab ini memang luar
biasa, Ia tetap sabar mencurahkan bakti
meskipun aku dingin dan acuh tak acuh
padanya selama ini. Aku belum pernah
melihatnya memasang wajah masam atau
tidak suka padaku. Kalau wajah sedihnya
ya. Tapi wajah tidak sukanya belum
pernah. Bah, lelaki macam apa aku ini,
kutukku pada diriku sendiri. Aku memaki-
maki diriku sendiri atas sikap dinginku
selama ini., Tapi, setetes embun cinta
yang kuharapkan membasahi hatiku tak
juga turun. Kecantikan aura titisan
Cleopatra itu? Bagaimana aku
mengusirnya. Aku merasa menjadi orang
yang paling membenci diriku sendiri di
dunia ini.
Acara pengajian dan qiqah putra ketiga
Fatimah kakak sulung Raihana membawa
sejarah baru lembaran pernikahan kami.
Benar dugaan Raihana, kami dielu-elukan
keluarga, disambut hangat, penuh cinta,
dan penuh bangga. "Selamat datang
pengantin baru! Selamat datang pasangan
yang paling ideal dalam keluarga!
Sambut Yu Imah disambut tepuk tangan
bahagia mertua dan bundaku serta
kerabat yang lain. Wajah Raihana cerah.
Matanya berbinar-binar bahagia. Lain
dengan aku, dalam hatiku menangis
disebut pasangan ideal.
Apanya yang ideal. Apa karena aku
lulusan Mesir dan Raihana lulusan
terbaik dikampusnya dan hafal Al Quran
lantas disebut ideal? Ideal bagiku
adalah seperti Ibnu Hazm dan istrinya,
saling memiliki rasa cinta yang sampai
pada pengorbanan satu sama lain. Rasa
cinta yang tidak lagi memungkinkan
adanya pengkhianatan. Rasa cinta yang
dari detik ke detik meneteskan rasa
bahagia.
Tapi diriku? Aku belum bisa memiliki
cinta seperti yang dimiliki Raihana.
Sambutan sanak saudara pada kami benar-
benar hangat. Aku dibuat kaget oleh
sikap Raihana yang begitu kuat menjaga
kewibawaanku di mata keluarga. Pada
ibuku dan semuanya tidak pernah
diceritakan, kecuali menyanjung
kebaikanku sebagai seorang suami yang
dicintainya. Bahkan ia mengaku bangga
dan bahagia menjadi istriku. Aku
sendiri dibuat pusing dengan sikapku.
Lebih pusing lagi sikap ibuku dan
mertuaku yang menyindir tentang
keturunan. "Sudah satu tahun putra
sulungku menikah, koq belum ada tanda-
tandanya ya, padahal aku ingin sekali
menimang cucu" kata ibuku. "Insya Allah
tak lama lagi, ibu akan menimang cucu,
doakanlah kami. Bukankah begitu, Mas?"
sahut Raihana sambil menyikut lenganku,
aku tergagap dan mengangguk sekenanya.
Setelah peristiwa itu, aku mencoba
bersikap bersahabat dengan Raihana. Aku
berpura-pura kembali mesra dengannya,
sebagai suami betulan. Jujur, aku hanya
pura-pura. Sebab bukan atas dasar
cinta, dan bukan kehendakku sendiri aku
melakukannya, ini semua demi ibuku.
Allah Maha Kuasa. Kepura-puraanku
memuliakan Raihana sebagai seorang
istri. Raihana hamil. Ia semakin manis.
Keluarga bersuka cita semua. Namun
hatiku menangis karena cinta tak
kunjung tiba. Tuhan kasihanilah hamba,
datangkanlah cinta itu segera. Sejak
itu aku semakin sedih sehingga Raihana
yang sedang hamil tidak kuperhatikan
lagi. Setiap saat nuraniku bertanya
"Mana tanggung jawabmu!" Aku hanya diam
dan mendesah sedih. "Entahlah, betapa
sulit aku menemukan cinta" gumamku.
Dan akhirnya datanglah hari itu, usia
kehamilan Raihana memasuki bulan ke
enam. Raihana minta ijin untuk tinggal
bersama orang tuanya dengan alasan
kesehatan. Kukabulkan permintaanya dan
kuantarkan dia kerumahnya. Karena rumah
mertua jauh dari kampus tempat aku
mengajar, mertuaku tak menaruh curiga
ketika aku harus tetap tinggal
dikontrakan. Ketika aku pamitan,
Raihana berpesan, "Mas untuk menambah
biaya kelahiran anak kita, tolong nanti
cairkan tabunganku yang ada di ATM. Aku
taruh dibawah bantal, no.pinnya sama
dengan tanggal pernikahan kita".
Setelah Raihana tinggal bersama ibunya,
aku sedikit lega. Setiap hari Aku tidak
bertemu dengan orang yang membuatku
tidak nyaman. Entah apa sebabnya bisa
demikian. Hanya saja aku sedikit repot,
harus menyiapkan segalanya. Tapi toh
bukan masalah bagiku, karena aku sudah
terbiasa saat kuliah di Mesir.
Waktu terus berjalan, dan aku merasa
enjoy tanpa Raihana. Suatu saat aku
pulang kehujanan. Sampai rumah hari
sudah petang, aku merasa tubuhku benar-
benar lemas. Aku muntah-muntah,
menggigil, kepala pusing dan perut
mual. Saat itu terlintas dihati
andaikan ada Raihana, dia pasti telah
menyiapkan air panas, bubur kacang
hijau, membantu mengobati masuk angin
dengan mengeroki punggungku, lalu
menyuruhku istirahat dan menutupi
tubuhku dengan selimut. Malam itu aku
benar-benar tersiksa dan menderita. Aku
terbangun jam enam pagi. Badan sudah
segar. Tapi ada penyesalan dalam hati,
aku belum sholat Isya dan terlambat
sholat subuh. Baru sedikit terasa,
andaikan ada Raihana tentu aku ngak
meninggalkan sholat Isya, dan tidak
terlambat sholat subuh.
Lintasan Raihana hilang seiring
keberangkatan mengajar di kampus.
Apalagi aku mendapat tugas dari
universitas untuk mengikuti pelatihan
mutu dosen mata kuliah bahasa arab.
Diantaranya tutornya adalah professor
bahasa arab dari Mesir. Aku jadi banyak
berbincang dengan beliau tentang mesir.
Dalam pelatihan aku juga berkenalan
dengan Pak Qalyubi, seorang dosen
bahasa arab dari Medan. Dia menempuh S1-
nya di Mesir. Dia menceritakan satu
pengalaman hidup yang menurutnya pahit
dan terlanjur dijalani.
"Apakah kamu sudah menikah?" kata Pak
Qalyubi.
"Alhamdulillah, sudah" jawabku.
"Dengan orang mana?".
"Orang Jawa".
"Pasti orang yang baik ya. Iya kan?
Biasanya pulang dari Mesir banyak
saudara yang menawarkan untuk menikah
dengan perempuan shalehah. Paling tidak
santriwati, lulusan pesantren. Istrimu
dari pesantren?".
"Pernah, alhamdulillah dia sarjana dan
hafal Al Quran".
"Kau sangat beruntung, tidak sepertiku".
"Kenapa dengan Bapak?"
"Aku melakukan langkah yang salah,
seandainya aku tidak menikah dengan
orang Mesir itu, tentu batinku tidak
merana seperti sekarang".
"Bagaimana itu bisa terjadi?".
Kamu tentu tahu kan gadis Mesir itu
cantik-cantik, dank arena terpesona
dengan kecantikanya saya menderita
seperti ini. Ceritanya begini, Saya
seorang anak tunggal dari seorang yang
kaya, saya berangkat ke Mesir dengan
biaya orang tua. Disana saya bersama
kakak kelas namanya Fadhil, orang Medan
juga. Seiring dengan berjalannya waktu,
tahun pertama saya lulus dengan predkat
jayyid, predikat yang cukup sulit bagi
pelajar dari Indonesia.
Demikian juga dengan tahun kedua.
Karena prestasi saya, tuan rumah tempat
saya tinggal menyukai saya. Saya
dikenalkan dengan anak gadisnya yang
bernama Yasmin. Dia tidak pakai jilbab.
Pada pandangan pertama saya jatuh
cinta, saya belum pernah melihat gadis
secantuk itu. Saya bersumpah tidak akan
menikaha dengan siapapun kecuali dia.
Ternyata perasaan saya tidak bertepuk
sebelah tangan. Kisah cinta saya
didengar oleh Fadhil. Fadhil membuat
garis tegas, akhiri hubungan dengan
anak tuan rumah itu atau sekalian
lanjutkan dengan menikahinya. Saya
memilih yang kedua.
Ketika saya menikahi Yasmin, banyak
teman-teman yang memberi masukan
begini, sama-sama menikah dengan gadis
Mesir, kenapa tidak mencari mahasiswi
Al Azhar yang hafal Al Quran, salehah,
dan berjilbab. Itu lebih selamat dari
pada dengan YAsmin yang awam
pengetahuan agamanya. Tetpai saya tetap
teguh untuk menikahinya. Dengan biaya
yang tinggi saya berhasil menikahi
YAsmin. Yasmin menuntut diberi sesuatu
yang lebih dari gadis Mesir.
Perabot rumah yang mewah, menginap di
hotel berbintang. Begitu selesai S1
saya kembali ke Medan, saya minta agar
asset yang di Mesir dijual untuk modal
di Indonesia. KAmi langsung membeli
rumah yang cukup mewah di kota Medan.
Tahun-tahun pertama hidup kami berjalan
baik, setiap tahunnya Yasmin mengajak
ke Mesir menengok orang tuanya. Aku
masih bisa memenuhi semua yang
diinginkan Yasmin. Hidup terus
berjalan, biaya hidup semakin nambah,
anak kami yang ketiga lahir, tetapi
pemasukan tidak bertambah. Saya minta
Yasmin untuk berhemat. Tidak setiap
tahun tetapi tiga tahun sekali YAsmin
tidak bisa.
Aku mati-matian berbisnis, demi
keinginan Yasmin dan anak-anak
terpenuhi. Sawah terakhir milik Ayah
saya jual untuk modal. Dalam diri saya
mulai muncul penyesalan. Setiap kali
saya melihat teman-teman alumni Mesir
yang hidup dengan tenang dan damai
dengan istrinya. Bisa mengamalkan ilmu
dan bisa berdakwah dengan baik.
Dicintai masyarakat. Saya tidak
mendapatkan apa yang mereka dapatkan.
Jika saya pengin rending, saya harus ke
warung. Yasmin tidak mau tahu dengan
masakan Indonesia.
Kau tahu sendiri, gadis Mesir biasanya
memanggil suaminya dengan namanya. Jika
ada sedikit letupan, maka rumah seperti
neraka. Puncak penderitaan saya dimulai
setahun yang lalu. Usaha saya bangkrut,
saya minta YAsmin untuk menjual
perhiasannya, tetapi dia tidak mau. Dia
malah membandingkan dirinya yang hidup
serba kurang dengan sepupunya.
Sepupunya mendapat suami orang Mesir.
Saya menyesal meletakkan kecantikan
diatas segalanya. Saya telah diperbudak
dengan kecantikannya. Mengetahui
keadaan saya yang terjepit, ayah dan
ibu mengalah. Mereka menjual rumah dan
tanah, yang akhirnya mereka tinggal di
ruko yang kecil dan sempit. Batin saya
menangis. Mereka berharap modal itu
cukup untuk merintis bisnis saya yang
bangkrut. Bisnis saya mulai bangkit,
Yasmin mulai berulah, dia mengajak ke
Mesir. Waktu di Mesir itulah puncak
tragedy yang menyakitkan. "Aku menyesal
menikah dengan orang Indonesia, aku
minta kau ceraikan aku, aku tidak bisa
bahagia kecuali dengan lelaki Mesir".
Kata Yasmin yang bagaikan geledek
menyambar. Lalu tanpa dosa dia
bercerita bahwa tadi di KBRI dia
bertemu dengan temannya. Teman lamanya
itu sudah jadi bisnisman, dan istrinya
sudah meninggal.
Yasmin diajak makan siang, dan
dilanjutkan dengan perselingkuhan. Aku
pukul dia karena tak bisa menahan diri.
Atas tindakan itu saya dilaporkan ke
polisi. Yang menyakitkan adalah tak
satupun keluarganya yang membelaku.
Rupanya selama ini Yasmin sering
mengirim surat yang berisi berita
bohong. Sejak saat itu saya mengalami
depresi. Dua bulan yang lalu saya
mendapat surat cerai dari Mesir
sekaligus mendapat salinan surat nikah
Yasmin dengan temannya. Hati saya
sangat sakit, ketika si sulung
menggigau meminta ibunya pulang".
Mendengar cerita Pak Qulyubi membuatku
terisak-isak. Perjalanan hidupnya
menyadarkanku. Aku teringat Raihana.
Perlahan wajahnya terbayang dimataku,
tak terasa sudah dua bualn aku berpisah
dengannya. Tiba-tiba ada kerinduan yang
menyelinap dihati. Dia istri yang
sangat shalehah. Tidak pernah meminta
apapun. Bahkan yang keluar adalah
pengabdian dan pengorbanan. Hanya
karena kemurahan Allah aku mendapatkan
istri seperti dia. Meskipun hatiku
belum terbuka lebar, tetapi wajah
Raihana telah menyala didindingnya. Apa
yang sedang dilakukan Raihana sekarang?
Bagaimana kandungannya? Sudah delapan
bulan. Sebentar lagi melahirkan. Aku
jadi teringat pesannya. Dia ingin agar
aku mencairkan tabungannya.
Pulang dari pelatihan, aku menyempatkan
ke toko baju muslim, aku ingin
membelikannya untuk Raihana, juga
daster, dan pakaian bayi. Aku ingin
memberikan kejutan, agar dia tersenyum
menyambut kedatanganku. Aku tidak
langsung ke rumah mertua, tetapi ke
kontrakan untuk mengambil uang
tabungan, yang disimpan dibawah bantal.
Dibawah kasur itu kutemukan kertas
merah jambu. Hatiku berdesir, darahku
terkesiap. Surat cinta siapa ini,
rasanya aku belum pernah membuat surat
cinta untuk istriku. Jangan-jangan ini
surat cinta istriku dengan lelaki lain.
Gila! Jangan-jangan istriku "serong"?.
Dengan rasa takut kubaca surat itu satu
persatu. Dan Rabbi ternyata surat-surat
itu adalah ungkapan hati Raihana yang
selama ini aku zhalimi. Ia menulis,
betapa ia mati-matian mencintaiku,
meredam rindunya akan belaianku. Ia
menguatkan diri untuk menahan nestapa
dan derita yang luar biasa. Hanya Allah
lah tempat ia meratap melabuhkan
dukanya. Dan ya#8230; Allah, ia tetap setia
memanjatkan doa untuk kebaikan
suaminya. Dan betapa dia ingin hadirnya
cinta sejati dariku.
"Rabbi dengan penuh kesyukuran, hamba
bersimpuh dihadapan-Mu. Lakal hamdu ya
Rabb. Telah muliakan hamba dengan Al
Quran. Kalaulah bukan karena karunia-Mu
yang agung ini, niscaya hamba sudah
terperosok kedalam jurang kenistaan. Ya
Rabbi, curahkan tambahan kesabaran
dalam diri hamba" tulis Raihana.
Dalam akhir tulisannya Raihana berdoa
"Ya Allah inilah hamba-Mu yang kerdil
penuh noda dan dosa kembali datang
mengetuk pintumu, melabuhkan derita
jiwa ini kehadirat-Mu. Ya Allah sudah
tujuh bulan ini hamba-Mu ini hamil
penuh derita dan kepayahan. Namun
kenapa begitu tega suami hamba tak
mempedulikanku dan menelantarkanku.
Masih kurang apa rasa cinta hamba
padanya. Masih kurang apa kesetiaanku
padanya. Masih kurang apa baktiku
padanya? Ya Allah, jika memang masih
ada yang kurang, ilhamkanlah pada hamba-
Mu ini cara berakhlak yang lebih mulia
lagi pada suamiku. Ya Allah, dengan
rahmatMu hamba mohon jangan murkai dia
karena kelalaiannya. Cukup hamba saja
yang menderita. Maafkanlah dia, dengan
penuh cinta hamba masih tetap
menyayanginya. Ya Allah berilah hamba
kekuatan untuk tetap berbakti dan
memuliakannya. Ya Allah, Engkau maha
Tahu bahwa hamba sangat mencintainya
karena-Mu. Sampaikanlah rasa cinta ini
kepadanya dengan cara-Mu. Tegurlah dia
dengan teguran-Mu. Ya Allah
dengarkanlah doa hamba-Mu ini. Tiada
Tuhan yang layak disembah kecuali
Engkau, Maha Suci Engkau".
Tak terasa air mataku mengalir, dadaku
terasa sesak oleh rasa haru yang luar
biasa. Tangisku meledak. Dalam tangisku
semua kebaikan Raihana terbayang.
Wajahnya yang baby face dan teduh,
pengorbanan dan pengabdiannya yang
tiada putusnya, suaranya yang lembut,
tanganya yang halus bersimpuh memeluk
kakiku, semuanya terbayang mengalirkan
perasaan haru dan cinta.
Dalam keharuan terasa ada angina sejuk
yang turun dari langit dan merasuk
dalam jiwaku. Seketika itu pesona
Cleopatra telah memudar berganti cinta
Raihana yang datang di hati. Rasa
sayang dan cinta pada Raihan tiba-tiba
begitu kuat mengakar dalam hatiku.
Cahaya Raihana terus berkilat-kilat
dimata. Aku tiba-tiba begitu
merindukannya. Segera kukejar waktu
untuk membagi cintaku dengan Raihana.
Kukebut kendaraanku. Kupacu kencang
seiring dengan air mataku yang menetes
sepanjang jalan. Begitu sampai di
halaman rumah mertua, nyaris tangisku
meledak. Kutahan dengan nafas panjang
dan kuusap air mataku.
Melihat kedatanganku, ibu mertuak
u memelukku dan menangis tersedu-sedu.
Aku jadi heran dan ikut menangis. "Mana
Raihana Bu?". Ibu mertua hanya menangis
dan menangis. Aku terus bertanya apa
sebenarnya yang telah terjadi.
"Raihana#8230; istrimu..istrimu dan anakmu
yang dikandungnya".
"Ada apa dengan dia".
"Dia telah tiada".
"Ibu berkata apa!".
"Istrimu telah meninggal seminggu yang
lalu. Dia terjatuh di kamar mandi. Kami
membawanya ke rumah sakit. Dia dan
bayinya tidak selamat. Sebelum
meninggal, dia berpesan untuk
memintakan maaf atas segala kekurangan
dan kekhilafannya selama menyertaimu.
Dia meminta maaf karena tidak bisa
membuatmu bahagia. Dia meminta maaf
telah dengan tidak sengaja membuatmu
menderita. Dia minta kau meridhionya".
Hatiku bergetar hebat. "Ke#8230;. kenapa ibu
tidak memberi kabar padaku?". "Ketika
Raihana dibawa ke rumah sakit, aku
telah mengutus seseorang untuk
menjemputmu di rumah kontrakan, tapi
kamu tidak ada. Dihubungi ke kampus
katanya kamu sedang mengikuti
pelatihan. Kami tidak ingin
mengganggumu. Apalagi Raihana berpesan
agar kami tidak mengganggu ketenanganmu
selama pelatihan. Dan ketika Raihana
meninggal kami sangat sedih, Jadi
maafkanlah kami".
Aku menangis tersedu-sedu. Hatiku pilu.
Jiwaku remuk. Ketika aku merasakan
cinta Raihana, dia telah tiada. Ketika
aku ingin menebus dosaku, dia telah
meninggalkanku. Ketika aku ingin
memuliakannya dia telah tiada. Dia
telah meninggalkan aku tanpa memberi
kesempatan padaku untuk sekedar minta
maaf dan tersenyum padanya. Tuhan telah
menghukumku dengan penyesalan dan
perasaan bersalah tiada terkira.
Ibu mertua mengajakku ke sebuah
gundukan tanah yang masih baru
dikuburan pinggir desa. Diatas gundukan
itu ada dua buah batu nisan. Nama dan
hari wafat Raihana tertulis disana. Aku
tak kuat menahan rasa cinta, haru,
rindu dan penyesalan yang luar biasa.
Aku ingin Raihana hidup kembali.
Tiba-tiba dunia gelap gulita
By: Habiburrahman El-Shirazy