Back to photostream

Cleopatra743

Pudarnya Pesona Cleopatra

 

 

 

Dengan panjang lebar ibu menjelaskan,

sebenarnya sejak ada dalan kandungan

aku telah dijodohkan dengan Raihana

yang tak pernah kukenal."Ibunya Raihana

adalah teman karib ibu waktu nyantri di

pesantren Mangkuyudan Solo dulu" kata

ibu.

"Kami pernah berjanji, jika dikarunia

anak berlainan jenis akan besanan untuk

memperteguh tali persaudaraan. Karena

itu ibu mohon keikhlasanmu", ucap

beliau dengan nada mengiba.

 

 

 

 

Dalam pergulatan jiwa yang sulit

berhari-hari, akhirnya aku pasrah. Aku

menuruti keinginan ibu. Aku tak mau

mengecewakan ibu. Aku ingin menjadi

mentari pagi dihatinya, meskipun untuk

itu aku harus mengorbankan diriku.

Dengan hati pahit kuserahkan semuanya

bulat-bulat pada ibu. Meskipun

sesungguhnya dalam hatiku timbul

kecemasan-kecemasan yang datang begitu

saja dan tidak tahu alasannya. Yang

jelas aku sudah punya kriteria dan

impian tersendiri untuk calon istriku.

Aku tidak bisa berbuat apa-apa

berhadapan dengan air mata ibu yang

amat kucintai. Saat khitbah (lamaran)

sekilas kutatap wajah Raihana, benar

kata Aida adikku, ia memang baby face

dan anggun.

 

 

 

Namun garis-garis kecantikan yang

kuinginkan tak kutemukan sama sekali.

Adikku, tante Lia mengakui Raihana

cantik, "cantiknya alami, bisa jadi

bintang iklan Lux lho, asli ! kata

tante Lia. Tapi penilaianku lain,

mungkin karena aku begitu hanyut dengan

gadis-gadis Mesir titisan Cleopatra,

yang tinggi semampai, wajahnya putih

jelita, dengan hidung melengkung indah,

mata bulat bening khas arab, dan bibir

yang merah. Di hari-hari menjelang

pernikahanku, aku berusaha menumbuhkan

bibit-bibit cintaku untuk calon

istriku, tetapi usahaku selalu sia-sia.

 

 

 

Aku ingin memberontak pada ibuku,

tetapi wajah teduhnya meluluhkanku.

Hari pernikahan datang. Duduk

dipelaminan bagai mayat hidup, hati

hampa tanpa cinta, Pestapun meriah

dengan empat group rebana. Lantunan

shalawat Nabipun terasa menusuk-nusuk

hati. Kulihat Raihana tersenyum manis,

tetapi hatiku terasa teriris-iris dan

jiwaku meronta. Satu-satunya harapanku

adalah mendapat berkah dari Allah SWT

atas baktiku pada ibuku yang kucintai.

Rabbighfir li wa liwalidayya!

Layaknya pengantin baru, kupaksakan

untuk mesra tapi bukan cinta, hanya

sekedar karena aku seorang manusia yang

terbiasa membaca ayat-ayatNya. Raihana

tersenyum mengembang, hatiku menangisi

kebohonganku dan kepura-puraanku. Tepat

dua bulan Raihana kubawa ke kontrakan

dipinggir kota Malang.

 

 

 

Mulailah kehidupan hampa. Aku tak

menemukan adanya gairah. Betapa susah

hidup berkeluarga tanpa cinta. Makan,

minum, tidur, dan shalat bersama dengan

makhluk yang bernama Raihana, istriku,

tapi Masya Allah bibit cintaku belum

juga tumbuh. Suaranya yang lembut

terasa hambar, wajahnya yang teduh

tetap terasa asing. Memasuki bulan

keempat, rasa muak hidup bersama

Raihana mulai kurasakan, rasa ini

muncul begitu saja. Aku mencoba

membuang jauh-jauh rasa tidak baik ini,

apalagi pada istri sendiri yang

seharusnya kusayang dan kucintai.

Sikapku pada Raihana mulai lain. Aku

lebih banyak diam, acuh tak acuh, agak

sinis, dan tidur pun lebih banyak di

ruang tamu atau ruang kerja. Aku merasa

hidupku ada lah sia-sia, belajar di

luar negeri sia-sia, pernikahanku sia-

sia, keberadaanku sia-sia.

 

 

 

Tidak hanya aku yang tersiksa,

Raihanapun merasakan hal yang sama,

karena ia orang yang berpendidikan,

maka diapun tanya, tetapi kujawab

"tidak apa-apa koq mbak, mungkin aku

belum dewasa, mungkin masih harus

belajar berumah tangga "Ada kekagetan

yang kutangkap diwajah Raihana ketika

kupanggil 'mbak', "kenapa mas

memanggilku mbak, aku kan istrimu, apa

mas sudah tidak mencintaiku" tanyanya

dengan guratan wajah yang sedih.

"wallahu a'lam" jawabku sekenanya.

Dengan mata berkaca-kaca Raihana diam

menunduk, tak lama kemudian dia terisak-

isak sambil memeluk kakiku, "Kalau mas

tidak mencintaiku, tidak menerimaku

sebagai istri kenapa mas ucapkan akad

nikah? Kalau dalam tingkahku melayani

mas masih ada yang kurang berkenan,

kenapa mas tidak bilang dan menegurnya,

kenapa mas diam saja, aku harus

bersikap bagaimana untuk membahagiakan

mas, kumohon bukalah sedikit hatimu

untuk menjadi ruang bagi pengabdianku,

bagi menyempurnakan ibadahku didunia

ini". Raihana mengiba penuh pasrah. Aku

menangis menitikan air mata buka karena

Raihana tetapi karena kepatunganku.

Hari terus berjalan, tetapi komunikasi

kami tidak berjalan. Kami hidup seperti

orang asing tetapi Raihana tetap

melayaniku menyiapkan segalanya

untukku.

 

 

 

Suatu sore aku pulang mengajar dan

kehujanan, sampai dirumah habis

maghrib, bibirku pucat, perutku belum

kemasukkan apa-apa kecuali segelas kopi

buatan Raihana tadi pagi, Memang aku

berangkat pagi karena ada janji dengan

teman. Raihana memandangiku dengan

khawatir. "Mas tidak apa-apa" tanyanya

dengan perasaan kuatir. "Mas mandi

dengan air panas saja, aku sedang

menggodoknya, lima menit lagi mendidih"

lanjutnya. Aku melepas semua pakaian

yang basah. "Mas airnya sudah siap"

kata Raihana. Aku tak bicara sepatah

katapun, aku langsung ke kamar mandi,

aku lupa membawa handuk, tetapi Raihana

telah berdiri didepan pintu membawa

handuk. "Mas aku buatkan wedang jahe"

Aku diam saja. Aku merasa mulas dan

mual dalam perutku tak bisa kutahan.

Dengan cepat aku berlari ke kamar mandi

dan Raihana mengejarku dan memijit-

mijit pundak dan tengkukku seperti yang

dilakukan ibu. "Mas masuk angin.

Biasanya kalau masuk angin diobati

pakai apa, pakai balsam, minyak putih,

atau jamu?" Tanya Raihana sambil

menuntunku ke kamar. "Mas jangan diam

saja dong, aku kan tidak tahu apa yang

harus kulakukan untuk membantu Mas".

"Biasanya dikerokin" jawabku lirih.

"Kalau begitu kaos mas dilepas ya, biar

Hana kerokin" sahut Raihana sambil

tangannya melepas kaosku. Aku seperti

anak kecil yang dimanja ibunya. Raihana

dengan sabar mengerokin punggungku

dengan sentuhan tangannya yang halus.

Setelah selesai dikerokin, Raihana

membawakanku semangkok bubur kacang

hijau. Setelah itu aku merebahkan diri

di tempat tidur. Kulihat Raihana duduk

di kursi tak jauh dari tempat tidur

sambil menghafal Al Quran dengan

khusyu. Aku kembali sedih dan ingin

menangis, Raihana manis tapi tak

semanis gadis-gadis mesir titisan

Cleopatra.

 

 

 

Dalam tidur aku bermimpi bertemu dengan

Cleopatra, ia mengundangku untuk makan

malam di istananya. "Aku punya

keponakan namanya Mona Zaki, nanti akan

aku perkenalkan denganmu" kata Ratu

Cleopatra. "Dia memintaku untuk

mencarikannya seorang pangeran, aku

melihatmu cocok dan berniat

memperkenalkannya denganmu". Aku

mempersiapkan segalanya. Tepat puku

07.00 aku datang ke istana, kulihat

Mona Zaki dengan pakaian pengantinnya,

cantik sekali. Sang ratu mempersilakan

aku duduk di kursi yang berhias berlian.

 

 

 

Aku melangkah maju, belum sempat duduk,

tiba-tiba "Mas, bangun, sudah jam

setengah empat, mas belum sholat Isya"

kata Raihana membangunkanku. Aku

terbangun dengan perasaan kecewa.

"Maafkan aku Mas, membuat Mas kurang

suka, tetapi Mas belum sholat Isya"

lirih Hana sambil melepas mukenanya,

mungkin dia baru selesai sholat malam.

Meskipun cuman mimpi tapi itu indah

sekali, tapi sayang terputus. Aku jadi

semakin tidak suka sama dia, dialah

pemutus harapanku dan mimpi-mimpiku.

Tapi apakah dia bersalah, bukankah dia

berbuat baik membangunkanku untuk

sholat Isya. Selanjutnya aku merasa

sulit hidup bersama Raihana, aku tidak

tahu dari mana sulitnya. Rasa tidak

suka semakin menjadi-jadi. Aku benar-

benar terpenjara dalam suasana konyol.

Aku belum bisa menyukai Raihana. Aku

sendiri belum pernah jatuh cinta, entah

kenapa bisa dijajah pesona gadis-gadis

titisan Cleopatra.

"Mas, nanti sore ada acara qiqah di

rumah Yu Imah. Semua keluarga akan

datang termasuk ibundamu. Kita diundang

juga. Yuk, kita datang bareng, tidak

enak kalau kita yang dieluk-elukan

keluarga tidak datang." Suara lembut

Raihana menyadarkan pengembaraanku pada

Jaman Ibnu Hazm. Pelan-pelan ia

letakkan nampan yang berisi onde-onde

kesukaanku dan segelas wedang jahe.

Tangannya yang halus agak gemetar. Aku

dingin-dingin saja. "Maaf#8230; maaf jika

mengganggu Mas, maafkan Hana,

"lirihnya, lalu perlahan-lahan beranjak

meninggalkan aku di ruang kerja. "Mbak!

Eh maaf, maksudku D..Din..Dinda Hana!,

panggilku dengan suara parau tercekak

dalam tenggorokan. "Ya Mas!" sahut Hana

langsung menghentikan langkahnya dan

pelan-pelan menghadapkan dirinya

padaku. Ia berusaha untuk tersenyum,

agaknya ia bahagia dipanggil "dinda".

"Matanya sedikit berbinar. "Te.. terima

kasih Di..dinda, kita berangkat bareng

kesana, habis sholat dhuhur, Insya

Allah." ucapku sambil menatap wajah

Hana dengan senyum yang kupaksakan.

 

 

 

Raihana menatapku dengan wajah sangat

cerah, ada secercah senyum bersinar

dibibirnya. "Terima kasih Mas, Ibu kita

pasti senang, mau pakai baju yang mana

Mas, biar dinda siapkan? Atau biar

dinda saja yang memilihkan ya?". Hana

begitu bahagia.

Perempuan berjilbab ini memang luar

biasa, Ia tetap sabar mencurahkan bakti

meskipun aku dingin dan acuh tak acuh

padanya selama ini. Aku belum pernah

melihatnya memasang wajah masam atau

tidak suka padaku. Kalau wajah sedihnya

ya. Tapi wajah tidak sukanya belum

pernah. Bah, lelaki macam apa aku ini,

kutukku pada diriku sendiri. Aku memaki-

maki diriku sendiri atas sikap dinginku

selama ini., Tapi, setetes embun cinta

yang kuharapkan membasahi hatiku tak

juga turun. Kecantikan aura titisan

Cleopatra itu? Bagaimana aku

mengusirnya. Aku merasa menjadi orang

yang paling membenci diriku sendiri di

dunia ini.

Acara pengajian dan qiqah putra ketiga

Fatimah kakak sulung Raihana membawa

sejarah baru lembaran pernikahan kami.

Benar dugaan Raihana, kami dielu-elukan

keluarga, disambut hangat, penuh cinta,

dan penuh bangga. "Selamat datang

pengantin baru! Selamat datang pasangan

yang paling ideal dalam keluarga!

Sambut Yu Imah disambut tepuk tangan

bahagia mertua dan bundaku serta

kerabat yang lain. Wajah Raihana cerah.

Matanya berbinar-binar bahagia. Lain

dengan aku, dalam hatiku menangis

disebut pasangan ideal.

 

 

 

Apanya yang ideal. Apa karena aku

lulusan Mesir dan Raihana lulusan

terbaik dikampusnya dan hafal Al Quran

lantas disebut ideal? Ideal bagiku

adalah seperti Ibnu Hazm dan istrinya,

saling memiliki rasa cinta yang sampai

pada pengorbanan satu sama lain. Rasa

cinta yang tidak lagi memungkinkan

adanya pengkhianatan. Rasa cinta yang

dari detik ke detik meneteskan rasa

bahagia.

Tapi diriku? Aku belum bisa memiliki

cinta seperti yang dimiliki Raihana.

Sambutan sanak saudara pada kami benar-

benar hangat. Aku dibuat kaget oleh

sikap Raihana yang begitu kuat menjaga

kewibawaanku di mata keluarga. Pada

ibuku dan semuanya tidak pernah

diceritakan, kecuali menyanjung

kebaikanku sebagai seorang suami yang

dicintainya. Bahkan ia mengaku bangga

dan bahagia menjadi istriku. Aku

sendiri dibuat pusing dengan sikapku.

Lebih pusing lagi sikap ibuku dan

mertuaku yang menyindir tentang

keturunan. "Sudah satu tahun putra

sulungku menikah, koq belum ada tanda-

tandanya ya, padahal aku ingin sekali

menimang cucu" kata ibuku. "Insya Allah

tak lama lagi, ibu akan menimang cucu,

doakanlah kami. Bukankah begitu, Mas?"

sahut Raihana sambil menyikut lenganku,

aku tergagap dan mengangguk sekenanya.

 

 

 

Setelah peristiwa itu, aku mencoba

bersikap bersahabat dengan Raihana. Aku

berpura-pura kembali mesra dengannya,

sebagai suami betulan. Jujur, aku hanya

pura-pura. Sebab bukan atas dasar

cinta, dan bukan kehendakku sendiri aku

melakukannya, ini semua demi ibuku.

Allah Maha Kuasa. Kepura-puraanku

memuliakan Raihana sebagai seorang

istri. Raihana hamil. Ia semakin manis.

Keluarga bersuka cita semua. Namun

hatiku menangis karena cinta tak

kunjung tiba. Tuhan kasihanilah hamba,

datangkanlah cinta itu segera. Sejak

itu aku semakin sedih sehingga Raihana

yang sedang hamil tidak kuperhatikan

lagi. Setiap saat nuraniku bertanya

"Mana tanggung jawabmu!" Aku hanya diam

dan mendesah sedih. "Entahlah, betapa

sulit aku menemukan cinta" gumamku.

 

 

 

Dan akhirnya datanglah hari itu, usia

kehamilan Raihana memasuki bulan ke

enam. Raihana minta ijin untuk tinggal

bersama orang tuanya dengan alasan

kesehatan. Kukabulkan permintaanya dan

kuantarkan dia kerumahnya. Karena rumah

mertua jauh dari kampus tempat aku

mengajar, mertuaku tak menaruh curiga

ketika aku harus tetap tinggal

dikontrakan. Ketika aku pamitan,

Raihana berpesan, "Mas untuk menambah

biaya kelahiran anak kita, tolong nanti

cairkan tabunganku yang ada di ATM. Aku

taruh dibawah bantal, no.pinnya sama

dengan tanggal pernikahan kita".

Setelah Raihana tinggal bersama ibunya,

aku sedikit lega. Setiap hari Aku tidak

bertemu dengan orang yang membuatku

tidak nyaman. Entah apa sebabnya bisa

demikian. Hanya saja aku sedikit repot,

harus menyiapkan segalanya. Tapi toh

bukan masalah bagiku, karena aku sudah

terbiasa saat kuliah di Mesir.

 

 

 

Waktu terus berjalan, dan aku merasa

enjoy tanpa Raihana. Suatu saat aku

pulang kehujanan. Sampai rumah hari

sudah petang, aku merasa tubuhku benar-

benar lemas. Aku muntah-muntah,

menggigil, kepala pusing dan perut

mual. Saat itu terlintas dihati

andaikan ada Raihana, dia pasti telah

menyiapkan air panas, bubur kacang

hijau, membantu mengobati masuk angin

dengan mengeroki punggungku, lalu

menyuruhku istirahat dan menutupi

tubuhku dengan selimut. Malam itu aku

benar-benar tersiksa dan menderita. Aku

terbangun jam enam pagi. Badan sudah

segar. Tapi ada penyesalan dalam hati,

aku belum sholat Isya dan terlambat

sholat subuh. Baru sedikit terasa,

andaikan ada Raihana tentu aku ngak

meninggalkan sholat Isya, dan tidak

terlambat sholat subuh.

Lintasan Raihana hilang seiring

keberangkatan mengajar di kampus.

Apalagi aku mendapat tugas dari

universitas untuk mengikuti pelatihan

mutu dosen mata kuliah bahasa arab.

Diantaranya tutornya adalah professor

bahasa arab dari Mesir. Aku jadi banyak

berbincang dengan beliau tentang mesir.

Dalam pelatihan aku juga berkenalan

dengan Pak Qalyubi, seorang dosen

bahasa arab dari Medan. Dia menempuh S1-

nya di Mesir. Dia menceritakan satu

pengalaman hidup yang menurutnya pahit

dan terlanjur dijalani.

"Apakah kamu sudah menikah?" kata Pak

Qalyubi.

"Alhamdulillah, sudah" jawabku.

"Dengan orang mana?".

"Orang Jawa".

"Pasti orang yang baik ya. Iya kan?

Biasanya pulang dari Mesir banyak

saudara yang menawarkan untuk menikah

dengan perempuan shalehah. Paling tidak

santriwati, lulusan pesantren. Istrimu

dari pesantren?".

"Pernah, alhamdulillah dia sarjana dan

hafal Al Quran".

"Kau sangat beruntung, tidak sepertiku".

"Kenapa dengan Bapak?"

"Aku melakukan langkah yang salah,

seandainya aku tidak menikah dengan

orang Mesir itu, tentu batinku tidak

merana seperti sekarang".

"Bagaimana itu bisa terjadi?".

Kamu tentu tahu kan gadis Mesir itu

cantik-cantik, dank arena terpesona

dengan kecantikanya saya menderita

seperti ini. Ceritanya begini, Saya

seorang anak tunggal dari seorang yang

kaya, saya berangkat ke Mesir dengan

biaya orang tua. Disana saya bersama

kakak kelas namanya Fadhil, orang Medan

juga. Seiring dengan berjalannya waktu,

tahun pertama saya lulus dengan predkat

jayyid, predikat yang cukup sulit bagi

pelajar dari Indonesia.

 

 

 

Demikian juga dengan tahun kedua.

Karena prestasi saya, tuan rumah tempat

saya tinggal menyukai saya. Saya

dikenalkan dengan anak gadisnya yang

bernama Yasmin. Dia tidak pakai jilbab.

Pada pandangan pertama saya jatuh

cinta, saya belum pernah melihat gadis

secantuk itu. Saya bersumpah tidak akan

menikaha dengan siapapun kecuali dia.

Ternyata perasaan saya tidak bertepuk

sebelah tangan. Kisah cinta saya

didengar oleh Fadhil. Fadhil membuat

garis tegas, akhiri hubungan dengan

anak tuan rumah itu atau sekalian

lanjutkan dengan menikahinya. Saya

memilih yang kedua.

Ketika saya menikahi Yasmin, banyak

teman-teman yang memberi masukan

begini, sama-sama menikah dengan gadis

Mesir, kenapa tidak mencari mahasiswi

Al Azhar yang hafal Al Quran, salehah,

dan berjilbab. Itu lebih selamat dari

pada dengan YAsmin yang awam

pengetahuan agamanya. Tetpai saya tetap

teguh untuk menikahinya. Dengan biaya

yang tinggi saya berhasil menikahi

YAsmin. Yasmin menuntut diberi sesuatu

yang lebih dari gadis Mesir.

 

 

 

Perabot rumah yang mewah, menginap di

hotel berbintang. Begitu selesai S1

saya kembali ke Medan, saya minta agar

asset yang di Mesir dijual untuk modal

di Indonesia. KAmi langsung membeli

rumah yang cukup mewah di kota Medan.

Tahun-tahun pertama hidup kami berjalan

baik, setiap tahunnya Yasmin mengajak

ke Mesir menengok orang tuanya. Aku

masih bisa memenuhi semua yang

diinginkan Yasmin. Hidup terus

berjalan, biaya hidup semakin nambah,

anak kami yang ketiga lahir, tetapi

pemasukan tidak bertambah. Saya minta

Yasmin untuk berhemat. Tidak setiap

tahun tetapi tiga tahun sekali YAsmin

tidak bisa.

Aku mati-matian berbisnis, demi

keinginan Yasmin dan anak-anak

terpenuhi. Sawah terakhir milik Ayah

saya jual untuk modal. Dalam diri saya

mulai muncul penyesalan. Setiap kali

saya melihat teman-teman alumni Mesir

yang hidup dengan tenang dan damai

dengan istrinya. Bisa mengamalkan ilmu

dan bisa berdakwah dengan baik.

Dicintai masyarakat. Saya tidak

mendapatkan apa yang mereka dapatkan.

Jika saya pengin rending, saya harus ke

warung. Yasmin tidak mau tahu dengan

masakan Indonesia.

Kau tahu sendiri, gadis Mesir biasanya

memanggil suaminya dengan namanya. Jika

ada sedikit letupan, maka rumah seperti

neraka. Puncak penderitaan saya dimulai

setahun yang lalu. Usaha saya bangkrut,

saya minta YAsmin untuk menjual

perhiasannya, tetapi dia tidak mau. Dia

malah membandingkan dirinya yang hidup

serba kurang dengan sepupunya.

Sepupunya mendapat suami orang Mesir.

 

 

 

Saya menyesal meletakkan kecantikan

diatas segalanya. Saya telah diperbudak

dengan kecantikannya. Mengetahui

keadaan saya yang terjepit, ayah dan

ibu mengalah. Mereka menjual rumah dan

tanah, yang akhirnya mereka tinggal di

ruko yang kecil dan sempit. Batin saya

menangis. Mereka berharap modal itu

cukup untuk merintis bisnis saya yang

bangkrut. Bisnis saya mulai bangkit,

Yasmin mulai berulah, dia mengajak ke

Mesir. Waktu di Mesir itulah puncak

tragedy yang menyakitkan. "Aku menyesal

menikah dengan orang Indonesia, aku

minta kau ceraikan aku, aku tidak bisa

bahagia kecuali dengan lelaki Mesir".

Kata Yasmin yang bagaikan geledek

menyambar. Lalu tanpa dosa dia

bercerita bahwa tadi di KBRI dia

bertemu dengan temannya. Teman lamanya

itu sudah jadi bisnisman, dan istrinya

sudah meninggal.

 

 

 

Yasmin diajak makan siang, dan

dilanjutkan dengan perselingkuhan. Aku

pukul dia karena tak bisa menahan diri.

Atas tindakan itu saya dilaporkan ke

polisi. Yang menyakitkan adalah tak

satupun keluarganya yang membelaku.

Rupanya selama ini Yasmin sering

mengirim surat yang berisi berita

bohong. Sejak saat itu saya mengalami

depresi. Dua bulan yang lalu saya

mendapat surat cerai dari Mesir

sekaligus mendapat salinan surat nikah

Yasmin dengan temannya. Hati saya

sangat sakit, ketika si sulung

menggigau meminta ibunya pulang".

Mendengar cerita Pak Qulyubi membuatku

terisak-isak. Perjalanan hidupnya

menyadarkanku. Aku teringat Raihana.

Perlahan wajahnya terbayang dimataku,

tak terasa sudah dua bualn aku berpisah

dengannya. Tiba-tiba ada kerinduan yang

menyelinap dihati. Dia istri yang

sangat shalehah. Tidak pernah meminta

apapun. Bahkan yang keluar adalah

pengabdian dan pengorbanan. Hanya

karena kemurahan Allah aku mendapatkan

istri seperti dia. Meskipun hatiku

belum terbuka lebar, tetapi wajah

Raihana telah menyala didindingnya. Apa

yang sedang dilakukan Raihana sekarang?

Bagaimana kandungannya? Sudah delapan

bulan. Sebentar lagi melahirkan. Aku

jadi teringat pesannya. Dia ingin agar

aku mencairkan tabungannya.

Pulang dari pelatihan, aku menyempatkan

ke toko baju muslim, aku ingin

membelikannya untuk Raihana, juga

daster, dan pakaian bayi. Aku ingin

memberikan kejutan, agar dia tersenyum

menyambut kedatanganku. Aku tidak

langsung ke rumah mertua, tetapi ke

kontrakan untuk mengambil uang

tabungan, yang disimpan dibawah bantal.

 

 

 

Dibawah kasur itu kutemukan kertas

merah jambu. Hatiku berdesir, darahku

terkesiap. Surat cinta siapa ini,

rasanya aku belum pernah membuat surat

cinta untuk istriku. Jangan-jangan ini

surat cinta istriku dengan lelaki lain.

Gila! Jangan-jangan istriku "serong"?.

Dengan rasa takut kubaca surat itu satu

persatu. Dan Rabbi ternyata surat-surat

itu adalah ungkapan hati Raihana yang

selama ini aku zhalimi. Ia menulis,

betapa ia mati-matian mencintaiku,

meredam rindunya akan belaianku. Ia

menguatkan diri untuk menahan nestapa

dan derita yang luar biasa. Hanya Allah

lah tempat ia meratap melabuhkan

dukanya. Dan ya#8230; Allah, ia tetap setia

memanjatkan doa untuk kebaikan

suaminya. Dan betapa dia ingin hadirnya

cinta sejati dariku.

"Rabbi dengan penuh kesyukuran, hamba

bersimpuh dihadapan-Mu. Lakal hamdu ya

Rabb. Telah muliakan hamba dengan Al

Quran. Kalaulah bukan karena karunia-Mu

yang agung ini, niscaya hamba sudah

terperosok kedalam jurang kenistaan. Ya

Rabbi, curahkan tambahan kesabaran

dalam diri hamba" tulis Raihana.

 

 

 

Dalam akhir tulisannya Raihana berdoa

"Ya Allah inilah hamba-Mu yang kerdil

penuh noda dan dosa kembali datang

mengetuk pintumu, melabuhkan derita

jiwa ini kehadirat-Mu. Ya Allah sudah

tujuh bulan ini hamba-Mu ini hamil

penuh derita dan kepayahan. Namun

kenapa begitu tega suami hamba tak

mempedulikanku dan menelantarkanku.

Masih kurang apa rasa cinta hamba

padanya. Masih kurang apa kesetiaanku

padanya. Masih kurang apa baktiku

padanya? Ya Allah, jika memang masih

ada yang kurang, ilhamkanlah pada hamba-

Mu ini cara berakhlak yang lebih mulia

lagi pada suamiku. Ya Allah, dengan

rahmatMu hamba mohon jangan murkai dia

karena kelalaiannya. Cukup hamba saja

yang menderita. Maafkanlah dia, dengan

penuh cinta hamba masih tetap

menyayanginya. Ya Allah berilah hamba

kekuatan untuk tetap berbakti dan

memuliakannya. Ya Allah, Engkau maha

Tahu bahwa hamba sangat mencintainya

karena-Mu. Sampaikanlah rasa cinta ini

kepadanya dengan cara-Mu. Tegurlah dia

dengan teguran-Mu. Ya Allah

dengarkanlah doa hamba-Mu ini. Tiada

Tuhan yang layak disembah kecuali

Engkau, Maha Suci Engkau".

 

 

 

Tak terasa air mataku mengalir, dadaku

terasa sesak oleh rasa haru yang luar

biasa. Tangisku meledak. Dalam tangisku

semua kebaikan Raihana terbayang.

Wajahnya yang baby face dan teduh,

pengorbanan dan pengabdiannya yang

tiada putusnya, suaranya yang lembut,

tanganya yang halus bersimpuh memeluk

kakiku, semuanya terbayang mengalirkan

perasaan haru dan cinta.

Dalam keharuan terasa ada angina sejuk

yang turun dari langit dan merasuk

dalam jiwaku. Seketika itu pesona

Cleopatra telah memudar berganti cinta

Raihana yang datang di hati. Rasa

sayang dan cinta pada Raihan tiba-tiba

begitu kuat mengakar dalam hatiku.

Cahaya Raihana terus berkilat-kilat

dimata. Aku tiba-tiba begitu

merindukannya. Segera kukejar waktu

untuk membagi cintaku dengan Raihana.

Kukebut kendaraanku. Kupacu kencang

seiring dengan air mataku yang menetes

sepanjang jalan. Begitu sampai di

halaman rumah mertua, nyaris tangisku

meledak. Kutahan dengan nafas panjang

dan kuusap air mataku.

Melihat kedatanganku, ibu mertuak

 

 

 

u memelukku dan menangis tersedu-sedu.

Aku jadi heran dan ikut menangis. "Mana

Raihana Bu?". Ibu mertua hanya menangis

dan menangis. Aku terus bertanya apa

sebenarnya yang telah terjadi.

"Raihana#8230; istrimu..istrimu dan anakmu

yang dikandungnya".

"Ada apa dengan dia".

"Dia telah tiada".

"Ibu berkata apa!".

"Istrimu telah meninggal seminggu yang

lalu. Dia terjatuh di kamar mandi. Kami

membawanya ke rumah sakit. Dia dan

bayinya tidak selamat. Sebelum

meninggal, dia berpesan untuk

memintakan maaf atas segala kekurangan

dan kekhilafannya selama menyertaimu.

Dia meminta maaf karena tidak bisa

membuatmu bahagia. Dia meminta maaf

telah dengan tidak sengaja membuatmu

menderita. Dia minta kau meridhionya".

Hatiku bergetar hebat. "Ke#8230;. kenapa ibu

tidak memberi kabar padaku?". "Ketika

Raihana dibawa ke rumah sakit, aku

telah mengutus seseorang untuk

menjemputmu di rumah kontrakan, tapi

kamu tidak ada. Dihubungi ke kampus

katanya kamu sedang mengikuti

pelatihan. Kami tidak ingin

mengganggumu. Apalagi Raihana berpesan

agar kami tidak mengganggu ketenanganmu

selama pelatihan. Dan ketika Raihana

meninggal kami sangat sedih, Jadi

maafkanlah kami".

 

 

 

Aku menangis tersedu-sedu. Hatiku pilu.

Jiwaku remuk. Ketika aku merasakan

cinta Raihana, dia telah tiada. Ketika

aku ingin menebus dosaku, dia telah

meninggalkanku. Ketika aku ingin

memuliakannya dia telah tiada. Dia

telah meninggalkan aku tanpa memberi

kesempatan padaku untuk sekedar minta

maaf dan tersenyum padanya. Tuhan telah

menghukumku dengan penyesalan dan

perasaan bersalah tiada terkira.

Ibu mertua mengajakku ke sebuah

gundukan tanah yang masih baru

dikuburan pinggir desa. Diatas gundukan

itu ada dua buah batu nisan. Nama dan

hari wafat Raihana tertulis disana. Aku

tak kuat menahan rasa cinta, haru,

rindu dan penyesalan yang luar biasa.

Aku ingin Raihana hidup kembali.

Tiba-tiba dunia gelap gulita

 

 

By: Habiburrahman El-Shirazy

33,182 views
3 faves
3 comments
Uploaded on August 20, 2008
Taken on August 19, 2008