AL-AZHAR PEDULI
Menemani Si Miskin
Duhai Rasulullah SAW. Engkau lahir, hijrah, dan wafat di musim bunga (Rabi'ul Awal). Namamu terpuji (Muhammad), ayahmu hamba Allah (Abdullah), ibumu memberi rasa aman (Aminah), dan kakekmu Abdul Muththalib yang bijaksana (Syaibah). Kelahiranmu dibantu wanita yang sempurna dan sehat (Asy-Syifa'), dan yang menyusuimu wanita nan lapang dada lagi beruntung (Halimah As-Sa'diyah).
Allah memanggil semua utusan-Nya sebelum engkau, dengan nama-nama mereka: Yaa Adam, Yaa Musa, Yaa Isa, dan seterusnya. Tapi terhadapmu, Allah memanggil dengan gelar kemuliaan: Yaa ayyuhan Nabi, Yaa ayyuhar Rasul. Atau dengan panggilan mesra: Yaa ayyuhal muddatstsir, Yaa ayyuhal muzzammil (wahai orang yang berselimut). Kalaupun menyebut namamu, Allah akan membarenginya dengan gelar kehormatanmu (Ali-'Imran (3): 144, Al-Ahzab (33): 40, Al-Fat-h (48): 29, dan Al-Shaff (61): 6).
Bahkan Allah dan malaikat pun bershalawat atasmu, dan Allah melarang manusia untuk meninggikan suara di hadapanmu dan memanggilmu seperti kepada manusia lain (QS Al-Nur [24]: 63).
Ketika seorang Yahudi menemui Khalifah Umar bin Khaththab ra dan bertanya tentang akhlakmu, lidah Umar kelu tak mampu melukiskan. Ia lalu menyuruh Yahudi itu menemui Bilal ra. Bilal pun sama, lalu menyuruh mendatangi Ali bin Abi Thalib yang sejak kecil sudah mengenalmu, bahkan sering tidur bersamamu.
Namun Sayyidina Ali malah balik bertanya kepada Yahudi itu, “Lukiskanlah keindahan dunia ini, maka akan aku gambarkan kepadamu akhlak Nabi Muhammad SAW.”
Bahkan istrimu tercinta, Aisyah ra, tak kuasa jua melukiskan keagungan akhlakmu, sehingga beliau cukup menyimpulkan bahwa Al Qur’an lah akhlakmu (HR Ahmad).
"Sungguh terdapat dalam diri Rasul teladan yang baik bagi yang mengharapkan (ridha) Allah dan ganjaran di hari kemudian." (QS Al-Ahzab [33]: 2l).
Tapi kini, ketika kaum muslimin di seluruh penjuru dunia mengenang kelahiran serta merindukanmu di bulan Rabiulawwal 1431 Hijriah, seorang aktivis liberal menyamakanmu dengan seorang manusia yang keblinger. Rabu, 17 Februari lalu, sebagai saksi ahli pihak penggugat kasus UU No. 1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama, Luthfi Assyaukanie menyatakan:
‘’Setiap pemunculan agama selalu diiringi dengan ketegangan dan tuduhan yang sangat menyakitkan dan seringkali melukai rasa kemanusiaan kita. Ketika Rasulullah Muhammad SAW mengaku sebagai nabi, masyarakat Mekah tidak bisa menerimanya. Mereka menuduh nabi sebagai orang gila dan melempari beliau dengan kotoran unta. Para pengikut nabi dikejar-kejar, disiksa dan bahkan dibunuh seperti yang terjadi pada Bilal bin Rhabah sang muadzin dan keluarga Amar bin Yasar. Hal serupa juga terjadi pada Lia Aminuddin ketika dia mengaku sebagai nabi dan mengakui sebagai jibril. Orang menganggapnya telah gila dan sebagian mendesak pemerintah untuk menangkap dan memenjarakannya. Kesalahan Lia Aminuddin persis sama dengan kesalahan Kanjeng Nabi Muhammad, meyakini suatu ajaran dan berusaha menyebarluaskannya’’ (www.mahkamahkonstitusi.go.id).
Astaghfirullah, demi kesejahteraan dunia sejumlah orang tega menciderai kehormatanmu yaa Rasul. Mereka seakan bosan miskin, lalu celakanya bosan menjadi muslim. Makin vulgar menghujat Islam, mereka makin menemukan kepuasan dunianya.
Maha Benar Allah dengan firman-Nya: ‘’Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kalian dengan kemiskinan.’’ (QS Al- Baqarah: 268).
Rasulullah Saw pun wanti-wanti: Kadzal fakru ayyakuna kufran. Kefakiran adalah bibir jurang kekafiran (HR. Abu Nu'aim). Beliau pun mengajarkan do’a: ‘’Ya Rabbi, aku berlindung kepada-Mu dari belitan utang (ghalabat al dayn) dan dari cengkeraman kekuasaan orang lain (qahr al-rijal)‘’ (HR. Abu Daud).
Sedangkan Sayyidina Ali ra berseru: ‘’Jika kemiskinan berwujud manusia niscaya akan kubunuh dia!’’
Orang miskin, kata James Scott, ‘’selamanya berdiri terendam dalam air sampai ke leher, sehingga ombak kecil sekalipun sudah cukup untuk menenggelamkannya".
DR Yusuf Qaradhawy dalam bukunya Musykilatul Fakri Wa kaifa Aalajahal Islam, mengemukakan 5 bahaya kemiskinan. Salah satunya adalah bahaya terhadap aqidah. ‘’Tidak sedikit orang yang keluar dari aqidah Islam lalu memilih agama lain yang bathil karena kemiskinan yang menghimpun dirinya,’’ tulis Al Qaradhawy.
Karena itulah, sejak dini kaum miskin harus ditemani, sebagaimana Sang Nabi mengakrabi kaum dhuafa. ‘’Jika kau ingin menemuiku, carilah aku di tengah-tengah orang miskin,’’ kata Nabi suatu ketika.
Miskin (poor), dalam sistem Kapitalisme maupun Sosialisme, ukurannya relatif dan gampang dipolitisir. Pemerintah kita misalnya, kadang memakai data kemiskinan dari BPS, kadang dari BKKBN.
Dengan data BPS, angka kemiskinan cenderung rendah karena garis kemiskinan yang digunakan sangat rendah. Sehingga, bila digunakan poverty line versi Bank Dunia yaitu pendapatan maksimal $2/kapita/hari, angka yang dikeluarkan BPS bisa membengkak tak ketulungan.
Belum lagi dihitung, kaum dhuafa yang termasuk silent poverty. Yaitu, kata Nabi dalam hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah ra, ‘’orang yang tidak mendapati kebutuhan yang mencukupi buatnya, tapi orang lain tidak tahu karena dengan kesabarannya dia menyembunyikan keadaannya dan tidak meminta-minta. Dia akan diberi sedekah tanpa perlu meminta.’’ (HR. Bukhari-Muslim).
Anda mungkin tidak melihat mereka. Anda barangkali tidak mengenal mereka. Musykil buat Anda, kemiskinan yang membuat anak-anak pemulung Bantar Gebang kerap makan daging busuk yang didaur ulang.
Namun, dengan zakat, infak, dan sedekah, Anda dapat mendekati, membelai, dan menyayangi mereka semua. Sebagaimana wasiat Rasulullah SAW: “Pemurah hati dekat dengan Allah, dengan manusia, dengan surga, dan jauh dari neraka. Orang bakhil jauh dari Allah, dari manusia, dari surga, dan dekat dengan neraka” (HR Turmudzi). abu fadlan
Menemani Si Miskin
Duhai Rasulullah SAW. Engkau lahir, hijrah, dan wafat di musim bunga (Rabi'ul Awal). Namamu terpuji (Muhammad), ayahmu hamba Allah (Abdullah), ibumu memberi rasa aman (Aminah), dan kakekmu Abdul Muththalib yang bijaksana (Syaibah). Kelahiranmu dibantu wanita yang sempurna dan sehat (Asy-Syifa'), dan yang menyusuimu wanita nan lapang dada lagi beruntung (Halimah As-Sa'diyah).
Allah memanggil semua utusan-Nya sebelum engkau, dengan nama-nama mereka: Yaa Adam, Yaa Musa, Yaa Isa, dan seterusnya. Tapi terhadapmu, Allah memanggil dengan gelar kemuliaan: Yaa ayyuhan Nabi, Yaa ayyuhar Rasul. Atau dengan panggilan mesra: Yaa ayyuhal muddatstsir, Yaa ayyuhal muzzammil (wahai orang yang berselimut). Kalaupun menyebut namamu, Allah akan membarenginya dengan gelar kehormatanmu (Ali-'Imran (3): 144, Al-Ahzab (33): 40, Al-Fat-h (48): 29, dan Al-Shaff (61): 6).
Bahkan Allah dan malaikat pun bershalawat atasmu, dan Allah melarang manusia untuk meninggikan suara di hadapanmu dan memanggilmu seperti kepada manusia lain (QS Al-Nur [24]: 63).
Ketika seorang Yahudi menemui Khalifah Umar bin Khaththab ra dan bertanya tentang akhlakmu, lidah Umar kelu tak mampu melukiskan. Ia lalu menyuruh Yahudi itu menemui Bilal ra. Bilal pun sama, lalu menyuruh mendatangi Ali bin Abi Thalib yang sejak kecil sudah mengenalmu, bahkan sering tidur bersamamu.
Namun Sayyidina Ali malah balik bertanya kepada Yahudi itu, “Lukiskanlah keindahan dunia ini, maka akan aku gambarkan kepadamu akhlak Nabi Muhammad SAW.”
Bahkan istrimu tercinta, Aisyah ra, tak kuasa jua melukiskan keagungan akhlakmu, sehingga beliau cukup menyimpulkan bahwa Al Qur’an lah akhlakmu (HR Ahmad).
"Sungguh terdapat dalam diri Rasul teladan yang baik bagi yang mengharapkan (ridha) Allah dan ganjaran di hari kemudian." (QS Al-Ahzab [33]: 2l).
Tapi kini, ketika kaum muslimin di seluruh penjuru dunia mengenang kelahiran serta merindukanmu di bulan Rabiulawwal 1431 Hijriah, seorang aktivis liberal menyamakanmu dengan seorang manusia yang keblinger. Rabu, 17 Februari lalu, sebagai saksi ahli pihak penggugat kasus UU No. 1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama, Luthfi Assyaukanie menyatakan:
‘’Setiap pemunculan agama selalu diiringi dengan ketegangan dan tuduhan yang sangat menyakitkan dan seringkali melukai rasa kemanusiaan kita. Ketika Rasulullah Muhammad SAW mengaku sebagai nabi, masyarakat Mekah tidak bisa menerimanya. Mereka menuduh nabi sebagai orang gila dan melempari beliau dengan kotoran unta. Para pengikut nabi dikejar-kejar, disiksa dan bahkan dibunuh seperti yang terjadi pada Bilal bin Rhabah sang muadzin dan keluarga Amar bin Yasar. Hal serupa juga terjadi pada Lia Aminuddin ketika dia mengaku sebagai nabi dan mengakui sebagai jibril. Orang menganggapnya telah gila dan sebagian mendesak pemerintah untuk menangkap dan memenjarakannya. Kesalahan Lia Aminuddin persis sama dengan kesalahan Kanjeng Nabi Muhammad, meyakini suatu ajaran dan berusaha menyebarluaskannya’’ (www.mahkamahkonstitusi.go.id).
Astaghfirullah, demi kesejahteraan dunia sejumlah orang tega menciderai kehormatanmu yaa Rasul. Mereka seakan bosan miskin, lalu celakanya bosan menjadi muslim. Makin vulgar menghujat Islam, mereka makin menemukan kepuasan dunianya.
Maha Benar Allah dengan firman-Nya: ‘’Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kalian dengan kemiskinan.’’ (QS Al- Baqarah: 268).
Rasulullah Saw pun wanti-wanti: Kadzal fakru ayyakuna kufran. Kefakiran adalah bibir jurang kekafiran (HR. Abu Nu'aim). Beliau pun mengajarkan do’a: ‘’Ya Rabbi, aku berlindung kepada-Mu dari belitan utang (ghalabat al dayn) dan dari cengkeraman kekuasaan orang lain (qahr al-rijal)‘’ (HR. Abu Daud).
Sedangkan Sayyidina Ali ra berseru: ‘’Jika kemiskinan berwujud manusia niscaya akan kubunuh dia!’’
Orang miskin, kata James Scott, ‘’selamanya berdiri terendam dalam air sampai ke leher, sehingga ombak kecil sekalipun sudah cukup untuk menenggelamkannya".
DR Yusuf Qaradhawy dalam bukunya Musykilatul Fakri Wa kaifa Aalajahal Islam, mengemukakan 5 bahaya kemiskinan. Salah satunya adalah bahaya terhadap aqidah. ‘’Tidak sedikit orang yang keluar dari aqidah Islam lalu memilih agama lain yang bathil karena kemiskinan yang menghimpun dirinya,’’ tulis Al Qaradhawy.
Karena itulah, sejak dini kaum miskin harus ditemani, sebagaimana Sang Nabi mengakrabi kaum dhuafa. ‘’Jika kau ingin menemuiku, carilah aku di tengah-tengah orang miskin,’’ kata Nabi suatu ketika.
Miskin (poor), dalam sistem Kapitalisme maupun Sosialisme, ukurannya relatif dan gampang dipolitisir. Pemerintah kita misalnya, kadang memakai data kemiskinan dari BPS, kadang dari BKKBN.
Dengan data BPS, angka kemiskinan cenderung rendah karena garis kemiskinan yang digunakan sangat rendah. Sehingga, bila digunakan poverty line versi Bank Dunia yaitu pendapatan maksimal $2/kapita/hari, angka yang dikeluarkan BPS bisa membengkak tak ketulungan.
Belum lagi dihitung, kaum dhuafa yang termasuk silent poverty. Yaitu, kata Nabi dalam hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah ra, ‘’orang yang tidak mendapati kebutuhan yang mencukupi buatnya, tapi orang lain tidak tahu karena dengan kesabarannya dia menyembunyikan keadaannya dan tidak meminta-minta. Dia akan diberi sedekah tanpa perlu meminta.’’ (HR. Bukhari-Muslim).
Anda mungkin tidak melihat mereka. Anda barangkali tidak mengenal mereka. Musykil buat Anda, kemiskinan yang membuat anak-anak pemulung Bantar Gebang kerap makan daging busuk yang didaur ulang.
Namun, dengan zakat, infak, dan sedekah, Anda dapat mendekati, membelai, dan menyayangi mereka semua. Sebagaimana wasiat Rasulullah SAW: “Pemurah hati dekat dengan Allah, dengan manusia, dengan surga, dan jauh dari neraka. Orang bakhil jauh dari Allah, dari manusia, dari surga, dan dekat dengan neraka” (HR Turmudzi). abu fadlan