Back to photostream

Wasiat Para Imam Madzhab untuk Mengambil al-Qur`an dan Sunnah Serta Perintah Meninggalkan Pendapat Mereka Jika Memang Jelas Menyelisihi Keduanya

norkandirblog.wordpress.com/2016/09/05/wasiat-para-imam-m...

Wasiat Para Imam Madzhab untuk Mengambil al-Qur`an dan Sunnah Serta Perintah Meninggalkan Pendapat Mereka Jika Memang Jelas Menyelisihi Keduanya

 

Wasiat Para Imam Madzhab untuk Mengambil al-Qur`an dan Sunnah Serta Perintah Meninggalkan Pendapat Mereka Jika Memang Jelas Menyelisihi Keduanya

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

 

«يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا»

 

“Wahai orang-orang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasulullah serta Ulil Amri di antara kalian. Jika kalian berselisih dalam suatu perkara maka kembalikanlah (keputusan hukumnya) kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kalian beriman kepada Allah dan hari Akhir. Itu lebih patut dan lebih baik akibatnya.” [QS. An-Nisâ` [4]: 59]

 

Yang dimaksud ulil amri adalah ‘umara (para pemimpin) dan ‘ulama. Dalam ayat ini kita diperintah untuk mentaati para ‘ulama dengan mengikuti fatwa dan pendapatnya, hanya saja terikat dengan kesesuaikan al-Qur`an dan as-Sunnah. Jika memang ternyata menyelisihi keduanya maka wajib ditinggal dan diambil al-Qur`an dan as-Sunnah. Untuk itulah mengapa dalam ayat di atas tidak terdapat kata (أَطِيعُوا) “taatilah”, karena ketaatan kepada ulama mengikuti ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, al-Qur`an dan as-Sunnah.

 

Mujahid dan banyak ‘ulama salaf menafsirkan firman, “Jika kalian berselisih dalam suatu perkara maka kembalikanlah (keputusan hukumnya) kepada Allah dan Rasul-Nya,” maksudnya:

 

إِلَى كِتَابِ اللَّهِ وَسَنَةِ رَسُولِهِ

 

“Kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.” [Tafsîr Ibni Katsîr (II/345)]

 

Dalam ayat ini juga terdapat ketegasan dari Allah bahwa keimanan mereka tidak diakui hingga mengembalikan semua perkara kepada al-Qur`an dan as-Sunnah dalam masalah yang mereka perselisihkan.

 

Al-Hafizh Ibnu Katsir menjelaskan:

 

فَدَلَّ عَلَى أَنَّ مَنْ لَمْ يَتَحَاكَمْ فِي مَجَالِ النِّزَاعِ إِلَى الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَلَا يَرْجِعْ إِلَيْهِمَا فِي ذَلِكَ، فَلَيْسَ مُؤْمِنًا بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ

 

“Ayat ini menunjukkan bahwa siapa yang tidak menyerahkan perselisihan mereka kepada al-Kitab dan as-Sunnah dan tidak kembali kepada keduanya, berarti bukan orang beriman kepada Allah dan tidak pula kepada hari Akhir.” [Tafsîr Ibni Katsîr (II/346)]

 

Ini semakna dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala:

 

«وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا»

 

“Tidak patut bagi orang mukmin laki-laki dan perempuan jika Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan perkara lantas mereka memiliki pilihan lain dari urusan mereka. Siapa yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang nyata.” [QS. Al-Ahzâb [33]: 36]

 

Untuk itu, para ‘ulama salaf sangat berhati-hati dalam berfatwa dan perpendapat. Buktinya, di zaman salaf terdahulu mereka enggan mengucapkan “haram” untuk hukum yang tidak dijelaskan secara jelas di dalam nash, tetapi memakai lafazh “makruh” yang bermakna “haram.” Imam asy-Syafi’i menjelaskan ini secara gambling dalam kitabnya al-Um dan beliaupun mengikuti ini sehingga perkara yang beliau haramkan memakai redaksi makruh, padahal maksudnya haram. Mereka takut dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala:

 

«وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلَالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ»

 

“Dan janganlah kalian mengatakan kedustaan dengan lisan-lisan kalian bahwa ini halal dan ini haram, untuk berdusta atas Allah. Sesungguhnya orang-orang yang berdusta atas Allah tidak akan beruntung.” [QS. An-Nahl [16]: 116]

 

Wasiat Para Imam Madzhab Untuk Mendahulukan al-Qur`an dan as-Sunnah

 

Mari kita mengikuti ucapan para imam madzhab tentang wasiat mereka berpegang kepada al-Qur`an dan as-Sunnah dan menyuruh kita meninggalkan setiap fatwa atau pendapat mereka jika terbukti benar menyelisihi keduanya.

 

Pertama: Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit (w. 150 H). Beliau berkata:

 

❶ إِذَا صَحَّ الْحَدِيْثُ فَهُوَ مَذْهَبِي

 

“Jika suatu hadits memang shahih, maka itulah madzhabku.” [Al-Hâsyiyah (I/63) oleh Ibnu ‘Abidin]

 

❷ لَا يَحِلُّ لِأَحَدٍ أَنْ يَّأْخُذَ بِقَوْلِنَا مَا لَمْ يَعْلَمْ مِنْ أَيْنَ أَخَذْنَاهُ

 

“Tidak halal bagi siapapun yang mengambil pendapat kami, selagi dia tidak tahu dari mana kami mengambilnya.” [Al-Hâsyiyah (VI/293) oleh Ibnu ‘Abidin]

 

وفي رواية: حَرَامٌ عَلَى مَنْ لَمْ يَعْرِفْ دَلِيْلِيْ أَنْ يَّفْتِيَ بِكَلَامِيْ

 

Dalam riwayat lain, “Haram bagi siapa saja yang tidak mengetahui dalilku untuk berfatwa dengan ucapanku.”

 

زاد في رواية: فَإِنَّنَا بَشَرٌ نَقُوْلُ الْقَوْلَ الْيَوْمَ وَنَرْجِعُ عَنْهُ غَدًا

 

Dalam riwayat lain, “Kami hanyalah manusia. Kami mengucapkan pendapat hari ini dan meralatnya besok.”

 

وفي أخرى: وَيْحَكْ يَا يَعْقُوْبُ (هُوَ أَبُوْ يُوْسُفَ) لَا تَكْتُبْ كُلَّ مَا تَسْمَعْ مِنِّيْ فَإِنِّيْ قَدْ أَرَى الرَّأْيَ الْيَوْمَ وَأَتْرُكُهُ غَدًا وَأَرَى الرَّأْيَ غَدًا وَأَتْرُكُهُ بَعْدَ غَدٍ

 

Dalam riwayat lain, “Celaka engkau wahai Ya’qub (yaitu Abu Yusuf). Janganlah kamu menulis semua yang kamu dengar dariku, karena aku berpendapat hari ini lalu meninggalkannya besok, dan berpendapat besok lalu meninggalkannya lusa.”

 

❸ إِذَا قُلْتُ قَوْلًا يُخَالِفُ كِتَابَ اللَّهِ تَعَالَى وَخَبَرَ الرَّسُوْلِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاتْرُكُوْا قَوْلِيْ

 

“Jika aku mengucapkan suatu pendapat yang menyelisihi Kitabullah ta’ala dan hadits Rasul-Nya maka tinggalkan pendapatku.” [Iqâzh (hal. 50) oleh al-Falani]

 

Kedua: Imam Malik bin Anas (w. 179 H). Beliau berkata:

 

❶ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ أُخْطِئُ وَأُصِيْبُ فَانْظُرُوْا فِي رَأْيِيْ فَكُلُّ مَا وَافَقَ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ فَخُذُوْهُ وَكُلُّ مَا لَمْ يُوَافِقِ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ فَاتْرُكُوْهُ

 

“Aku hanyalah manusia yang bisa salah dan bisa benar, maka hendaklah kalian memperhatikan pendapatku. Setiap pendapatku yang sesuai dengan al-Kitab as-Sunnah, maka ambillah, dan setiap pendapatku yang tidak sesuai dengan al-Kitab dan as-Sunnah maka tinggalkanlah.” [Al-Jâmi’ (II/32) oleh Ibnu Abdil Barr]

 

❷ لَيْسَ أَحَدٌ بَعْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَّا وَيُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ وَيُتْرَكُ إِلَّا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

 

“Tidak ada seorang pun sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali pendapatnya diambil dan ditolak selain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [Al-Jâmi’ (II/91) oleh Ibnu Abdil Barr]

 

Aku pernah mendengar Malik ditanya tentang hukum menyela-nyela dua kaki saat berwudhu lalu menjawab, ‘Tidak perlu.’ Aku membiarkannya hingga manusia pergi lalu aku katakan kepadanya, ‘Kami memiliki hadits dalam masalah ini.’ Dia bertanya, ‘Apa haditsnya?’ Aku menjawab, ‘Al-Laits bin Sa’ad, Ibnu Lahi’ah, dan ‘Amr bin al-Harits menceritakan kepada kami, dari Yazid bin ‘Amr al-Ma’arifi, dari Abi ‘Abdirrahman al-Hanbali, dari al-Mustaurid bin Syadad al-Qurasyi berkata, ‘Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyela-nyela jari-jari kakinya dengan jari kelingkingnya.’ Malik berkata, ‘Ini hadits hasan. Aku belum mendengarnya sama sekali kecuali baru waktu tadi.’ Setelah itu, aku mendengar dia ditanya lagi lalu menyuruh orang itu untuk menyela-nyela jari kaki.” [Muqaddimah al-Jahr wat Ta’dil (hal. 31-32) oleh Ibnu Abi Hatim]

 

Ketiga: Imam asy-Syafi’i Muhammad bin Idris (w. 204 H). Beliau berkata:

 

❶ أَجْمَعَ الْمُسْلِمُوْنَ عَلَى أَنَّ مَنِ اسْتَبَانَ لَهُ سُنَّةٌ عَنْ رَسُوْلِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَحِلَّ لَهُ أَنْ يَّدَعَهَا لِقَوْلٍ أَحَدٍ

 

“Kaum muslimin telah berijma’ bahwa siapa saja yang telah jelas sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam baginya, tidak halal baginya meninggalkannya karena mengikuti pendapat seseorang.” [Al-Iqâzh (hal. 68) oleh al-Falani]

 

❷ إِذَا وَجَدْتُمْ فِي كِتَابِيْ خِلَافُ سُنَّةِ رَسُوْلِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُوْلُوْا بِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَدَعُوْا مَا قُلْتُ

 

Jika kalian mendapati dalam kitabku sesuatu yang menyelisihi sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ambillah pendapat sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tinggalkan pendapatku,” dalam riwayat lain, “maka ikutilah ia dan jangan menoleh kepada pendapat siapa pun.” [Al-Majmu’ (I/63) oleh an-Nawawi]

 

❸ إِذَا صَحَّ الْحَدِيْثُ فَهُوَ مَذْهَبِي

 

“Jika memang hadits shahih, maka itulah madzhabku.” [Al-Majmu’ (I/63) oleh an-Nawawi]

 

❹ أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِالْحَدِيْثِ وَالرِّجَالِ مِنِّي فَإِذَا كَانَ الْحَدِيْثُ الصَّحِيْحُ فَأَعْلِمُونِي بِهِ أَيْ شَيْءٍ يَكُوْنُ: كُوفِيًا أَوْ بَصْرِيًّا أَوْ شَامِيًا حَتَّى أَذْهَبَ إِلَيهِ إِذَا كَانَ صَحِيحًا

 

“Kamu lebih tahu tentang hadits dan para perawi daripada aku. Maka, jika ada hadits shahih, maka beritahu aku, dari mana saja baik Kufah, Bashrah, dan Syam, sehingga aku akan berpendapat dengannya jika memang shahih.” [Al-Ihtijâj bisy Syâfi’î (I/8) oleh al-Khathib al-Baghdadi]

 

❺ كُلُّ مَسْأَلَةٍ صَحَّ فِيْهَا الْخَبَرُ عَنْ رَسُوْلِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ أَهْلِ النَّقْلِ بِخِلَافِ مَا قُلْتُ فَأَنَا رَاجِعٌ عَنْهَا فِي حَيَاتِيْ وَبَعْدَ مَوْتِيْ

 

“Setiap masalah yang ada haditsnya shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menurut ahli hadits yang ternyata menyelisihi pendapatku, maka aku rujuk kepadanya baik saat masih hidup maupun setelah mati.” [Al-Hilyah (IX/107) oleh Abu Nu’aim]

 

❻ إِذَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أَقُوْلُ قَوْلًا وَقَدْ صَحَّ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خِلَافُهُ فَاعْلَمُوْا أَنَّ عَقْلِيْ قَدْ ذَهَبَ

 

“Jika kalian melihat aku berpendapat, tetapi ada hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyelisihinya, maka ketahuilah bahwa akalku telah hilang.” [Ibnu ‘Asakir (I/10/15)]

 

❼ كُلُّ حَدِيْثٍ عَنِ النَّبِيِّ فَهُوَ قَوْلِيْ وَإِنْ لَمْ تَسْمَعُوْهُ مِنِّي

 

“Setiap hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah pendapatku, meskipun kalian tidak mendengarnya dariku.” [Muqaddimah (hal. 93-94) oleh Ibnu Abi Hatim]

 

Keempat: Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H). Beliau berkata:

 

❶ لَا تُقَلِّدْنِيْ وَلَا تُقَلِّدْ مَالِكًا وَلَا الشَّافِعِيَّ وَلَا الْأَوْزَاعِيَ وَلَا الثَّوْرِيَ وَخُذْ مِنْ حَيْثُ أَخَذُوْا

 

“Janganlah kalian taklid kepadaku, jangan pula taklid kepada Malik, jangan pula kepada asy-Syafi’i, jangan pula kepada al-Auza’I, dan jangan pula kepada ats-Tsauri. Ambillah dari mana mereka mengambil.” [I’lâmul Muwaqqi’în (II/302) oleh Ibnul Qayyim]

 

❷ رَأْيُ الْأَوْزَاعِي وَرَأْيُ مَالِكٍ وَرَأْيُ أَبِي حَنِيْفَةَ كُلُّهُ رَأْيٌ وَهُوَ عِنْدِيْ سَوَاءٌ، وَإِنَّمَا الْحُجَّةُ فِي الْآثَارِ

 

“Pendapat al-Auza`i, pendapat Malik, dan pendapat Abu Hanifah semua hanyalah pendapat dan kedudukannya bagiku sama. Hujjah itu hanya pada hadits-hadits.” [Al-Jâmi’ (II/149) oleh Ibnu ‘Abdil Barr]

 

❸ مَنْ رَدَّ حَدِيْثَ رَسُوْلِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهُوَ عَلَى شَفَا هَلَكَةٍ

 

“Siapa saja yang menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada dalam tepi kehancuran.” [Al-Manâqib (hal. 182) oleh Ibnul Jauzi][AZ]

 

 

 

798 views
0 faves
0 comments
Uploaded on September 5, 2016