AL-AZHAR PEDULI
mengungsi
Sudah hampir sepuluh tahun Ropah (29) meninggalkan Dusun Wonoaji, Setieng, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo. Ia hidup bersahaja dengan suaminya, Nashudi (32), buruh tani asal tetangga desa di sebuah rumah kayu kontrakan berukuran 6 x 8 meter persegi. Sehari, penghasilan Nashudi mentok di angka 10 ribu rupiah, ditambah kerja serabutan sebagai kuli panggul kebutuhan pertanian, paling banter keluarga kecil berputri tunggal itu menegakkan mahligai dengan topangan penghasilan Rp. 16 ribu sehari. Namun toh keluarga itu bisa hidup dan menyekolahkan putri mereka yang kini kelas 2 SD. Sembilan tahun itu kehidupan berjalan lambat seperti dinginnya udara di lereng pegunungan Dieng yang selalu berkabut.
Rabu, 20 Januari 2010, pukul 13.00 wib. Hujan lebat sejak tengah hari membuat Nashudi enggan turun ke ladang. Keluarga kecil itu tengah meriung di dekat pendiangan ketika pintu digedor-gedor orang. Ropah bergegas membuka pintu dan mendapati dua adik perempuannya berdiri di ambang pintu dalam keadaan “berantakan”.
“Yu, nyong arep milu mati wae..! Nyong arep milu mati wae!! (Kak, aku mau ikut mati saja),” histeris Rohana (16) berteriak-teriak sambil berurai air mata.
“Kenang opo, de’e dikapakno uwong (Kenapa, kamu diapain sama orang)?” Tanya Nashudi yang kebingungan melihat kedua adik iparnya histeris.
“Bapake mati, Mboke mati, Kang Madhon yo mati,” si bungsu Zaqirah (14) yang kemudian menjawab karena Rohana keburu pingsan.
“Mati prige? De’e nek ngomong ojo ngawur (Mati bagimana? Kamu kalau bicara jangan sembarangan)!” hardik Nashudi yang disergap gelagat buruk.
“Mati kurugan gunturan. Omahe nggon dewek kurugan gunturan (Mati tertimbun tanah longsor. Rumah kita tertimbun longsor)...”
Ropah pingsan seketika, Zaqirah tenggelam dalam tangis berkepanjangan. Musibah tanah longsor yang menerjang Dusun Wonoaji dua jam sebelumnya telah menemukan korbannya. Tusamin dan Wagisah (orangtua Zaqirah) serta Romadhon (satu-satunya anak lelaki tulang punggung keluarga) wafat. Tinggallah Istiqomah (19), Rohana, dan Zaqirah menjadi 3 dara yatim piatu yang tak tahu harus bagaimana melanjutkan kisah hidup mereka.
Enam orang meninggal dalam musibah akibat bahu jalan raya menuju dataran tinggi Dieng di tanjakan 15 persen sempal. Lahan-lahan berkontur curam yang sangat rawan longsor akibat penggundulan hutan untuk bertanam kentang, mengakibatkan bongkahan kecil yang longsor menimbulkan efek bola salju. 9 rumah hancur lebur. 30 KK diungsikan ke Balai Desa Setieng. RT 04/VIII dinyatakan sebagai kawasan terlarang untuk hunian.
Selasa, 26 Januari 2010, Pemkab Wonosobo menutup tempat pengungsian sementara di Balai Desa. Pengungsi sementara dititipkan ke rumah-rumah kerabat sambil menunggu rencana relokasi yang belum jelas pelaksanaannya. Janji Pemkab, dalam tempo 3 bulan bekas warga Wonoaji yang diungsikan sudah mendapat rumah baru.
Tapi, skim mitigasi bencana yang tampak cantik itu menimbulkan masalah baru bagi keluarga Nashudi.
Sebagai satu-satunya kerabat, Nashudi harus menampung ketiga adik iparnya di rumah kontrakannya yang sempit dan teramat bersahaja. Rumahnya sendiri, gubuk berukuran 4 x 6 meter persegi yang tidak lebih baik dari kandang kambing dihuni kedua orangtua Nashudi yang praktis menjadi beban karena ayahnya lumpuh akibat stroke sejak 9 tahun lalu.
Gubuk itu berlantai tanah, tidak ada perabot keculai sebuah dipan kayu tempat berbaring ayah Nashudi. Lantainya tanah lembab yang jorok karena berserak sampah basah akibat seng yang bocor di sana-sini. Al Azhar Peduli Ummat yang berkunjung ke gubuk itu nyaris frustasi karena “rumah” keluarga Nashudi tidak bias direnovasi: lokasinya berada di bawah tebing kritis, di atasnya sebatang pohon tua akarnya sudah tergantung, tinggal menunggu waktu untuk longsor.
“Bagaimana kalau pindah, Kang?” Tanya relawan Al Azhar Peduli Ummat.
“Pindah ke mana? Untuk hidup sehari-hari dengan tambahan beban tiga adik saja saya sudah bingung. Yang saya khawatirkan, di musim hujan seperti ini sewaktu-waktu orangtua saya bisa mati tertimbun longsor. Untuk beli tanah jelas hal yang mustahil,” Nashudi menjawab lirih.
Inisiatif diambil. Di bawah rinai gerimis Al Azhar Peduli Ummat berburu lahan layak huni yang sangat sulit ditemukan di kawasan pegunungan gundul itu. Tapi akhirnya tanah kapling berukuran 10 x 10 meter persegi ditemukan. Harganya 150.000 rupiah permeter.
“Bagaimana kalau pindah ke sini, Kang?”
“Walah.., kalau sampean bisa membantu kami memiliki rumah di sini, keluarga kami ibarat pindah ke surga,” jawab Nashudi dengan mata berbinar penuh harap.
“Doakan ya Kang, mudah-mudahan saudara-saudara kita di Jakarta bisa membantu. Doakan ya, Kang…”
mengungsi
Sudah hampir sepuluh tahun Ropah (29) meninggalkan Dusun Wonoaji, Setieng, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo. Ia hidup bersahaja dengan suaminya, Nashudi (32), buruh tani asal tetangga desa di sebuah rumah kayu kontrakan berukuran 6 x 8 meter persegi. Sehari, penghasilan Nashudi mentok di angka 10 ribu rupiah, ditambah kerja serabutan sebagai kuli panggul kebutuhan pertanian, paling banter keluarga kecil berputri tunggal itu menegakkan mahligai dengan topangan penghasilan Rp. 16 ribu sehari. Namun toh keluarga itu bisa hidup dan menyekolahkan putri mereka yang kini kelas 2 SD. Sembilan tahun itu kehidupan berjalan lambat seperti dinginnya udara di lereng pegunungan Dieng yang selalu berkabut.
Rabu, 20 Januari 2010, pukul 13.00 wib. Hujan lebat sejak tengah hari membuat Nashudi enggan turun ke ladang. Keluarga kecil itu tengah meriung di dekat pendiangan ketika pintu digedor-gedor orang. Ropah bergegas membuka pintu dan mendapati dua adik perempuannya berdiri di ambang pintu dalam keadaan “berantakan”.
“Yu, nyong arep milu mati wae..! Nyong arep milu mati wae!! (Kak, aku mau ikut mati saja),” histeris Rohana (16) berteriak-teriak sambil berurai air mata.
“Kenang opo, de’e dikapakno uwong (Kenapa, kamu diapain sama orang)?” Tanya Nashudi yang kebingungan melihat kedua adik iparnya histeris.
“Bapake mati, Mboke mati, Kang Madhon yo mati,” si bungsu Zaqirah (14) yang kemudian menjawab karena Rohana keburu pingsan.
“Mati prige? De’e nek ngomong ojo ngawur (Mati bagimana? Kamu kalau bicara jangan sembarangan)!” hardik Nashudi yang disergap gelagat buruk.
“Mati kurugan gunturan. Omahe nggon dewek kurugan gunturan (Mati tertimbun tanah longsor. Rumah kita tertimbun longsor)...”
Ropah pingsan seketika, Zaqirah tenggelam dalam tangis berkepanjangan. Musibah tanah longsor yang menerjang Dusun Wonoaji dua jam sebelumnya telah menemukan korbannya. Tusamin dan Wagisah (orangtua Zaqirah) serta Romadhon (satu-satunya anak lelaki tulang punggung keluarga) wafat. Tinggallah Istiqomah (19), Rohana, dan Zaqirah menjadi 3 dara yatim piatu yang tak tahu harus bagaimana melanjutkan kisah hidup mereka.
Enam orang meninggal dalam musibah akibat bahu jalan raya menuju dataran tinggi Dieng di tanjakan 15 persen sempal. Lahan-lahan berkontur curam yang sangat rawan longsor akibat penggundulan hutan untuk bertanam kentang, mengakibatkan bongkahan kecil yang longsor menimbulkan efek bola salju. 9 rumah hancur lebur. 30 KK diungsikan ke Balai Desa Setieng. RT 04/VIII dinyatakan sebagai kawasan terlarang untuk hunian.
Selasa, 26 Januari 2010, Pemkab Wonosobo menutup tempat pengungsian sementara di Balai Desa. Pengungsi sementara dititipkan ke rumah-rumah kerabat sambil menunggu rencana relokasi yang belum jelas pelaksanaannya. Janji Pemkab, dalam tempo 3 bulan bekas warga Wonoaji yang diungsikan sudah mendapat rumah baru.
Tapi, skim mitigasi bencana yang tampak cantik itu menimbulkan masalah baru bagi keluarga Nashudi.
Sebagai satu-satunya kerabat, Nashudi harus menampung ketiga adik iparnya di rumah kontrakannya yang sempit dan teramat bersahaja. Rumahnya sendiri, gubuk berukuran 4 x 6 meter persegi yang tidak lebih baik dari kandang kambing dihuni kedua orangtua Nashudi yang praktis menjadi beban karena ayahnya lumpuh akibat stroke sejak 9 tahun lalu.
Gubuk itu berlantai tanah, tidak ada perabot keculai sebuah dipan kayu tempat berbaring ayah Nashudi. Lantainya tanah lembab yang jorok karena berserak sampah basah akibat seng yang bocor di sana-sini. Al Azhar Peduli Ummat yang berkunjung ke gubuk itu nyaris frustasi karena “rumah” keluarga Nashudi tidak bias direnovasi: lokasinya berada di bawah tebing kritis, di atasnya sebatang pohon tua akarnya sudah tergantung, tinggal menunggu waktu untuk longsor.
“Bagaimana kalau pindah, Kang?” Tanya relawan Al Azhar Peduli Ummat.
“Pindah ke mana? Untuk hidup sehari-hari dengan tambahan beban tiga adik saja saya sudah bingung. Yang saya khawatirkan, di musim hujan seperti ini sewaktu-waktu orangtua saya bisa mati tertimbun longsor. Untuk beli tanah jelas hal yang mustahil,” Nashudi menjawab lirih.
Inisiatif diambil. Di bawah rinai gerimis Al Azhar Peduli Ummat berburu lahan layak huni yang sangat sulit ditemukan di kawasan pegunungan gundul itu. Tapi akhirnya tanah kapling berukuran 10 x 10 meter persegi ditemukan. Harganya 150.000 rupiah permeter.
“Bagaimana kalau pindah ke sini, Kang?”
“Walah.., kalau sampean bisa membantu kami memiliki rumah di sini, keluarga kami ibarat pindah ke surga,” jawab Nashudi dengan mata berbinar penuh harap.
“Doakan ya Kang, mudah-mudahan saudara-saudara kita di Jakarta bisa membantu. Doakan ya, Kang…”